Share

Anak Nakal (I)

The Purple One

Orchids School, sekolah yang didirikan oleh keluarga Muhdhor memang berbeda dari sekolah lain. Di sekolah itu anak didiknya dari kelas 7-12, atau bisa dibilang masuk smp, lulus sma. Gedung sekolah itu bisa dibilang besar. Dengan jendelanya ada juga yang menjulang dari lantai atas ke lantai bawah. Ada beberapa fasilitas yang menarik juga, yaitu kolam renang. Disana juga ada taman yang luas berisi bermacam-macam bunga-bunga. Mereka menamai kelas mereka Anggrek. Seperti; Anggrek &7A-7E—Anggrek 12A-12E. Meskipun ada kegiatan yang berbeda dari kurikulum di Indonesia, seperti warna rambut (yang terserah warna apa, yang penting rapi), tata tertibnya sangat disiplin. Mereka juga tidak perlu belajar lebih lama seperti kurikulum 2017, tapi jika kau ada kegiatan lain disekolah misalkan osis, ekskul, pensi ,dll.

Kau bahkan boleh bergadang.

GOL!!!” sorak seorang murid yang kini dikerumuni teman satu timnya dalam sepaak bola. Pertandingan antar kelas hampir selesai dan mereka akan menuju final. Begitu bersemangat!

Namun ada beberapa murid yang jug bosan karena harus masuk ke sekolah tapi tidak ada kerjaan apa pun. Seperti salah satu anak ini yang tengah melamun seraya menatap pertandingan berlangsung, namun nyatanya tidak.

Di salah satu jendela disitulah anak laki-laki itu berada tengah memandang keluar dengan tatapan kosong. Entah dia melamun atau apa, dan entah dia mendengar temannya atau tidak peduli temannya yang menyerocos tentang film baru di bioskop yang dia ributkan dari tadi.

“Aku berpikir mungkin ada lanjutanya lagi! Film ini sangat keren iyakan, Danil,” kata  anak itu bersemangat.

“Entahlah, Sal. Terserah saja pikiranmu mau kemana,” sahut Danil masih memandang jendela.

“Kau ini gimana sih, dan jangan panggil aku Sal, namaku Salih!” ujar Salih.

“Kamu, sih, manggil aku Danil! Namaku juga panjangannya Danniyaal, malahan dipanggilnya Danil.”

“Kamu namanya kepanjangan jadi aku panggil Danil, jadinya kan sama 5 huruf, hehehe.”

“Terserah,” guman Danil.

Danil dan Salih berteman dari pertama mereka masuk ke sekolah ini, mereka bersahabat, meskipun kadang-kadang suka bertengkar, tapi pertemanan mereka yang sudah lama membuat mereka sering bersamaan, mereka pun duduk sebangku di bangku yang letaknya di baris kedua dari bangku kedua, dekat dengan jendela.

“Eh, aku dengar kabar kalo Fast & Furious, mau nonton gak? Tapi di bioskop?” kata  Salih.

“Boleh aja tapi kamu yang bayar,” jawab Danil.

“Huuu-uh, mentang-mentang aku ulang tahun, kamu bilang gitu,” seru Salih gemas.

“Kapan sih pulangnya, gak jelas banget, udah mau libur masih aja suruh masuk.”

“Ah, udah biarin! Sekalian liat-liat teman kita yang lagi nyiapin pensi, dan juga, kan, ada lomba-lomba gitu,” kata Salih genit.

“Bilang kalau udah boleh pulang,” ketus Danil.

“Anak yang membosaankaaan.”

“Nyebelin lu.”

Tiba-tiba seorang gadis muncul diantara mereka.

“Wah kalian ngobrolin apasih, rame banget? Iya, gitu kalo ga jadi panitia pensi, ga jelas di kelas mau apa,” kata  gadis itu, Rayla, Wakil ketua kelas.

“Baca buku aja, atau nggak ngembaliin buku, ada kerjaan dikit, kan?” gadis dibelangkang Danil yang sedang baca buku bersuara, juga temannya Danil kalau butuh bantuan pelajaran, Ghina Mirra.

“Apaan, sih, Ray? Kayak jadi panitia itu hal yang paling cetar membahana di sekolah,” sembur Salih.

“Bukan cetar membahana, tapi cetar kebakaran,” kata Danil, dan mereka bertiga tertawa, kecuali Rayla dan temannya yang saling berpandangan seraya memanyunkan bibirnya.

“Hmm, mendingan berbaur dengan orang yang lebih waras. Dan kamu, Dan. Bukannya sebagai cucu dari pendiri sekolah ini dan ayahmu juga kan kepala sekolah, harusnya kamu juga ikut mendukung kegiatan sekolah, bukannya diam disini terus,” ujar Rayla.

“Hei! Bukan ideku untuk ngadain pensi, dan aku juga males kesana, kayak yang paling penting aja, dan namaku Danniyaal, bukan Dan, dan jangan bawa nama-nama ayahku dan Kakek moyangku,” jawab Danil dengan kesal.

“Terserahlah. Ayo, Salma! Kita masih banyak urusan,” sahut Rayla.

“Masih ada kerjaan kok mampir kesini,” kata  Salih ke Danil yang juga didengar oleh Ghina, mereka tersenyum.

“Mau ngambil sesuatu. Dasar, Bang Sally!” ejek Rayla, sambil tersenyum miring.

“Jangan bawa-bawa nama itu, huh—menyebalkan aku kan gak kayak Bang Saleh di Upin&Ipin,” kata  Salih.

“Daaah! Dan jangan lupa datang di pensi Orchids, karena kalian semua diundang, kecuali kalau mau bawa teman dari luar, ia harus bayar, dan—ohh ....” perkataannya terhenti ketika seseorang menabraknya.

“Hey, hati-hati dong, hampir jatuh nih!” bentak Rayna ke gadis yang membuatnya tersandung.

“Maaf, tapi lain kali jangan langsung balik badan seperti itu, berbahaya,” kata  gadis itu.

“Dengar Violet, aku tidak tahu rambutmu yang kayak permen kapas itu menghalangi matamu atau apa, tapi kalau jalan lihat-lihat, hmmppt,” sahutnya lalu pergi keluar kelas diikuti Salma dibelakangnya.

“Namaku Falfayria, Falfayria Thistle,” gumannya sambil memandang Rayna dan Salma yang di menuju keluar pintu lalu mengobrol.

Falfayria terdiam, Dani dan Salih saling berpandangan, dan Ghina masih sibuk membaca tapi ia mendengar pembicaraan mereka. Lalu Salih angkat bicara.

“Sudah gak usah dipikirin Thistle, mungkin dia iri, dan mempunyai sifat yang sangat-sangat buruk, atau bisa dibilang menyebalkan.”

“Ya, mereka pikir mereka mempunyai segala-galanya, dan orang lain hanyalah pengganggu,” sambung Danil.

“Oh, ya? Bukannya kamu sejenis dengan mereka, Anak Kepala Sekolah,” ejek Salih sambil tersenyum miring.

“Jangan bawa kata-kata  itu. Lagian kakek buyutku yang buat sekolah ini. Dan ayahku wakil kepala sekolah, yang bekerja di luar sekolah untuk urusan dinas—untuk membuat sekolah ini lebih baik, atau begitulah. Dan membuat sekolah ini berstatus negeri, agar nanti ada beasiswa atau kegiatan lain yang dibayar pemerintah,” balas Danil, sambil membuang muka ke teman-temanya.

“Ohhh ..., gitu, ya? Ga ada yang nanya tuh! Hehehe.”

“Dasar, lu! Mau ditabokin kali?!”

“Jangan mereka membuatmu terganggu, lagian rambutmu bagus kok, lurus dan tebal, idaman para gadis. Dan warna rambutmu ungu hampir putih dengan highlight ungu kebiruan, sungguh pilihan warna yang lucu dan cantik,” kata Ghina yang masih sibuk membaca buku tanpa melihat temannya.

“Hmm, terima kasih kalian,” kata  Falfayria.

“Ya siapa peduli rambutmu warna apa, di film Boboiboy, Fang yang rambutnya ungu boleh saja sekolah disana,” kata  Salih tiba-tiba.

 “Ya, dan dia itu kan alien. Yah manusia dari planet lain—lebih tepatnya,” kata Ghina.

Falfayria bergidik, lalu dia berguman “Aku bukan alien, maksudku bukan di tempatku, aku ....” kata -kata nya terputus.

“Tenanglah, memang kau pikir kita ini Rayna Geng’s apa.” ujar Danil yang dari tadi mengamati pintu.

“Hmm—mm.” guman Falfayria sedikit gelisah dan masih tidak nyaman dengan kata -kata  temannya, entah yang mana. Lalu ia pergi keluar kelas.

“Aku kadang-kadang gak ngerti apa yang dia pikirin,” kata  Salih ketika Falfayria sudah tidak ada di kelas.

“Ya, mungkin ia memang seperti itu. Ada beberapa anak yang ingin mengajaknya main, atau berteman lebih dekat, tapi ia lebih suka sendiri,” kata Ghina yang matanya masih membaca buku.

“Terserah dia saja, hanya dia yang tahu dirinya sendiri,” sembur Danil yang beranjak pergi keluar kelas.

“Uwaaah” Salih menguap. “Hei, mau kemana?” tanya Salih agak berteriak.

“Mencari udara segar!” jawab Danil yang sudah di belakang pintu. Lalu ia melihat Falfayria yang dijegal oleh anak-anak nakal, menggagu gadis tanpa daya itu.

“Memangnya masih jaman yah mengirup udara segar, terus pergi gitu, aja,” tanya Salih.

Ghina hanya berguman dan masih membaca bukunya, Salih menjatuhkan mukanya ke meja tempat ia duduk.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status