Lapangan ramai dipenuhi panitia pensi dan anak-anak lainnya. Mereka antusian terhadap pensi yang akan diadakan, terutama anggota osis. Mereka sibuk menyiapkan segalanya.
“Ohuhuhu, aku yakin kali ini akan sangat menyenangkan,” ujar Gilang sangat bersemangat.
“Yah, tamu-tamu yang kita undang juga lumayan oke. Panyak yang datang, pasti terjadi,” sahut Salma.
“Iya sih. Tapi aku masih bertanya-tanya kenapa si Dandi itu gak pernah mau datang, maksudku pasti bakalan lebih rame,” kata Rayla, entah kenapa ia masih berharap Danil akan datang.
“Hmm, benar juga! Keren juga keturunan pendiri sekolah ini bergabung bersama kita di pensi.”
“Menurutku sama saja ia datang atau nggak, gak penting-penting amat,” tukas Salma.
“Oh, ayolah Salma! Ya memang, sih, gak penting-penting amat, tapi, kan, ada sesuatunya gitu! Lagian dia kan beda dari kita, turunan arab, itulah katanya, dan tinggi banget! Yah hampir sama sih kayak aku, tapi waktu pertama ia masuk sekolah ini, dia lebih tinggi dari aku! Padahal kan cowok-cowok waktu itu lebih pendek, hahaha.” Rayla memuji dirinya. Salma memutar matanya.
“Kau suka Danniyaal, ya, Nona Rayla, ahay!” goda Gilang.
“Gak tuh! Biasa aja, cuman kalo ia mau jadian sama aku, boleh aja. Dia kan cowok satu-satunya, ya gak juga sih. Tapi kan ia laku kalau mau jadian sama cewek, gak sedikit yang naksir dia,” ketus Rayla.
“Termasuk kamu?” tiba-tiba Salma bertanya.
“Ck, gak penting banget! Aku gak punya perasaan apa-apa sama dia ....”
“Tapi uangnya pengen, karena Danniyaal kan tajir,” potong Gilang lalu ia tertawa, Rayla menendang lututnya. Tawanya tersedak, ia memandang Rayla dengan sebal lalu pergi.
“Waw, lihat! Gerbangnya udah dibuka, bisa pulangnih,” ujar salma
“Yeah! Dan Danniyaal gak sabar untuk pulang.” Rayla melihat Danil yang terlihat berlari kecil dan gelisah. Lalu ia masuk ke kelasnya. Langsung menyambut temanya Salih. Napasnya terengah-engah.
“Salih!” serunya.
“Hei, kenapa kamu? Kayak habis mau digebuk orang aja, atau habis liat setan,” tanya Salih.
“Itu ....” ia memandang keluar jendela. “ Gerbangnya udah dibuka?” guman Danil, napasnya belum teratur.
“Beneran? Horeee!” Salih yang langsung berdiri dan mengangkat kedua tangannya membuat Danil kaget. Ghina yang dari tadi membaca buku bangkit memandang jendela, lalu ia merapikan bukunya.
“Yeahh! Udah dibuka gerbangnya! Pulang aja, ah!” kata Ghina.
“Oii, ayo pulang! Oh, ya! Kamu tadi mau bilang apa? Atau cuman mau kasih tau gerbangnya udah dibuka?” tanya Salih.
Danil melamun, masih memandang jendela, tapi ia tersadar ketika temannnya bertanya. Ia lalu meliriknya.
“Hah, iya. Ayo kita pulang,” sahutnya, ia tidak menceritakan tentang cahaya aneh itu.
Danil dan Salih keluar gerbang sekolah. Danil masih memikirkan tentang Falfayria, dan cahaya itu. Mereka menyusuri jalan setapak. Daerah itu dipenuhi bunga-bunga ungu, apapun jenisnya. Mawar, bunga sepatu, heliotrope, dan banyak sekali anggrek. Rumah Danil tidak jauh dari sekolahnya jadi ia bisa berjalan atau naik sepeda tiap harinya. Dan Salih, rumahnya tidak terlalu jauh, ia kadang-kadang naik transportasi umum, atau mobil ayahnya. Tapi ia lebih suka naik sepeda, seperti Danil. Tetapi hari ini mereka tidak naik sepeda, entah mengapa.
“Hei, kenapa melamun terus? Dan tadi kamu pergi ke alam mana, beritahu? Oh, ya, kamu tau gak?”
Salih memulai percakapan, Danil meliriknya.
“Aku gak kemana-mana, terus mau kasih tau apa kamu? Kamu, kan, sekarang ultah. Terus katanya mau teraktir makan. Terus mau bayarin ke bioskop.”
“Oh, iya, ya! Ah, kamu nagih mulu, nantilah! Hehe. Aku cuman mau bilang Danang bener-bener bikin ulah mulu, tapi Rayla bisa ngendaliin dia kayak Macan buas jadi anak Kucing, dan aku pengen minjem kaset kamu, hehe. Dan aku juga punya aplikasi baru di hp aku, rame gamenya.” Asyik Salih.
“Minjem lagi, yang dulu balikin dulu, atau ilang lagi jangan-jangan,” ujar Danil.
“Ya Allah, gitu banget, memang sih pernah ilang. Nanti aku balikin. Oh, aku ultah ya? Tapi gak ada pesta ultah? Gapapalah. Tenang aja nanti aku traktir kamu, tapi jangan sekarang, oke?” kata Salih
“Pengennya, sekarang. Lagian kamu suka nipu!”
“Gak segitunya juga kali.”
Mereka di pertigaan sekarang yang satunya ke jalan raya, dan satu lagi jalan ke rumah Danil, taman besar komplek itu terlihat di pertigaan itu. Danil berbelok dan Salih menyebrang untuk cari kendaraan untuk pulang, tapi kemudian tidak jadi. Ia malah mengikuti Danil.
Danil menyadarinya dan bertanya, ia ingin mampir ke rumahnya dulu, entah untuk apa. Danil mengganguk, tanda boleh-boleh saja.
“Oh, iya. Kakek menyuruhku membersihkan garasi. Bantuin yek, sekalian jadi kado ultah,” kata Danil.
Mendengar ini Salih berhenti berjalan, lalu berbalik arah, pulang kerumahnya.
“Gak banyak kok barangnya, cuman ... hei! Mau kemana?”
“Nanti aja deh baru inget aku juga ada kerjaan, daaghz,” sahut Salih yang berjalan cepat sampai kayak berlari.
Danil tercenung melihat temannya, mengedikkan bahunya, lalu tersenyum kecil dan meneruskan jalannya ke rumahnya. Dan ia masih memikirkan cahaya aneh itu. Sampai ia sampai di depan pintu rumahnya, membuka pintu dan masuk ke lobi rumahnya. Ibunya tahu ia sudah datang.
“Kau tidak mau menyapa orang lain di rumah?” kata Ibu Danil, Hawa Muhdhor.
“Hm—Assalamualaikum." sahut Danil.
“Waalaikum salam,” jawab ibunya. ”Ibu mau keluar dulu ya, sayang. Ada pekerjaan, dan kau besok harus sekolahnya ada formulir pendaftaran ulang.”
“Aku tahu, kenapa gak tadi aja sih, sekalian? Dimana kakek?” tanya Danil.
“Jangan mengeluh! Ayah akan pulang tiga hari lagi. Sekalian lihat kemeriahan pensi, kau juga kalau mau ikut bersama kita, dan ....”
“Gak makasih! Aku mau dirumah aja, males kemaleman,” potong Danil.
“Ya sudah. Kakek sedang tidur. Sebentar lagi mungkin bangun, kau mau membersihkan garasi, kan? Hati-hati ya, ibu akan pulang sore. Jika kau makan, sudah ibu siapkan di meja. Ibu pergi dulu, Salam”
“Hah, iya salam.” Danil lalu pergi ke kamarnya, bersiap-siap membersihkan garasi.
“Ouffw, tinggal satu kotak lagi, aku akan menaruhnya di rak” Danil mengangkat kotak kayu yang sebesar kardus kecap. Ia membawa kotak itu ke rak kayu bertingkat bewarna coklat kayu. Meletakkannya di rak yang ketiga, kemudian kakinya mengetuk kotak kayu yang dibawah rak. Saat sudah meletakkannya dengan benar, ia menunduk, lalu duduk berlutut untuk melihat kotak itu. Ia lalu mengambil kotak itu, sangat berdebu. Lalu ia melihat buku di atas kotak itu. Judulnya ‘ Sejarah Negeri Ungu’. Danil membersihkan debu yang bersarang di kedua benda itu.
Ia ingat kakeknya pernah menceritakan tentang negeri ungu. Kakek diceritakan oleh kakeknya yang konon pernah ke negeri ungu, tapi anaknya tidak percaya kepadanya makanya ia ceritakan hal ini kepada cucunya. Ia bilang kotak itu harus dijaga dengan baik dari generasi ke generasi. Meskipun anaknya tidak percaya karena berpikir itu hanyalah dongeng yang dibuat ayahnya, ia tetap menjaga kotak itu. Dan sampai sekarang masih ada. Kakek Danil meringkas cerita di buku ini, yang selalu disimpan entah dimana cerita yang aslinya. Sepertinya ia sedikit percaya cerita kakeknya, kakek buyut Danil. Tapi Danil dan ayahnya tidak pernah peduli tentang hal ini.
Sampai hari ini. Lalu Danil teringat Falfayria, gadis yang menghilang itu, atau itu hanya tipuan? Danil tidak habis pikir, kenapa ia tidak beritahu tentang yang lainnya. Mungkin besok ia harus sekolah. Menyelidiki tentang Falfayria, kenapa ia menghilang tiba-tiba. Danil memandang kotak itu, kotak yang bagus. Dihiasi dengan batu-batu berwarna-warni dan jernih, bergradasi ungu, lagi. Diukir dengan motif bunga-bunga dan sulur di kotak kayu berwarna hitam-keunguan itu, dan—terkunci. Dengan gembok yang terdiri dari 5 gembok berjejeran, Danil bertanya-tanya kuncinya dimana saja.
“Kau sudah membersihkan semuanya?" tiba-tiba Kakek Danil, Mihras datang dan bersandar di pintu.
“Akh, ohh!! Kakek jangan mengagetkan aku gitu! Iya sudah selesai, tapi apa ini kek?” tanya Danil menunjuk kotak kayu itu.
“Ohh, kotak itu, kakek juga kurang tau. Kakek mencarinya dari kemarin. Sini, biar kakek simpan di tempat yang lebih aman,” jawab Mihras. Danil mengangguk, lalu mengangkat kotak itu, lumayan berat. Berjalan ke arah kakeknya dan memberikan kotak itu. Kakek Danil sepertinya masih kuat memegang kotak itu. Ia berjalan kedalam, dan Danil mengamati kakeknya itu pergi.
Setiap Ketua Murid di kelas, menyebarkan formulir pendaftaran ulang, atau pendataan ulang siswa yang naik kelas. Yang tidak naik, tetap dikasih. Meskipun berangkat agak terlambat, diperbolehkan saja masuk kelas. Ya, memang lagi bebas, sih. Para panitia pensi sibuk dengan pekerjaannya. Mulai dari memindahkan barang yang mau dipakai, mempersiapkan panggung, mendesain lampu dan gambar-gambar yang mau dipasang, memasang beberapa spanduk, menata dan membersihkan lapangan, dan masih banyak lagi. Kadang-kadang ada beberapa anak yang asyik melihat-lihat panitia bekerja, ada yang di kelas dan main diluar kelas. Entah di taman, lab komputer, atau nongkrong di pos satpam. Falfayria yang hilang di cermin pun terlihat baik-baik saja, ia tengah membaca formulir itu. Danil daritadi melamun, matanya menatap ke Falfayria yang membaca formulir itu, ia masih penasaran dengan apa yang terjadi dengannya. Saat Falfayria hilang dengan cahaya itu, ia lalu masuk ke gudang, meng
Danil kemudian terjaga kembali saat mendengar suara yang begitu keras di lereng bukit di depannya. Ia lalu bangkit dengan susah payah. Kemudian berjalan ke lereng itu dan darahnya menjadi beku. Ia lalu bersembunyi di balik batu, duduk berlutut. Melihat dibawah sana. Ada dua pasukan saling berhadapan.Seperti semacam perbatasan dan pasukan yang bewarna gelap dan pucat tidak boleh melewati jalan itu karena dijegal oleh pasukan satu lagi yang berwarna terang. Danil merasa saat ia jatuh tadi matanya tidak berfungsi dengan baik. Mereka melihat makhluk-makhluk aneh berpakaian seperti mau perang. Dan disisi lain, pasukan yang bewarna terang seperti manusia. Tapi ada beberapa perbedaan yang tidak pernah diketahuinya. Pasukan terang berbicara seperti manusia biasa.Pasukan yang gelap juga begitu, tapi mereka kelihatan sangat liar daripada pasukan dari sisi lain. Mereka berdecak-decak, tertawa tidak jelas, berdekut-dekut, dan mencaci-maki pasukan lawannya. Pasukan di belakang me
Danil agak kaget saat melihat ada Falfayria di depannya. Gadis itu pun sama, tapi di sisi lain dia kelihatan senang tak karuan. Gadis itu begitu bingung kenapa Danil bisa sampai sini.“Bagaimana kau bisa ....” perkataan danil terpotong tiba-tiba karena merpati ungu di atas pohon mulai terbang lagi, mengibaskan bunga-bunga, dan menyemburkan debu-debu ungu kerlap-kerlip tepat di kepala Danil.“Hei!” pekik Danil, sambil menundukan kepalanya untuk mengusapkan debu-debu itu, yang sepertinya sulit sekali karena sangat tipis, menempel di kepalanya. Sekarang rambutnya jadi warna ungu seperti Falfayria, hampir. Falfayria tertawa kecil sambil menutupi mulutnya. Tapi tetap saja Danil tahu, dan sepertinya dia agak tersipu.“Jangan tertawa seperti itu! “ seru Danil malu.“Owh, maaf. Kau sepertinya jadi bagian dari kami sekarang. “ kata Falfayria lalu ia tertawa lagi.Danil lalu menggoyankan kepalanya kekiri dan ke
Entah ada angin badai apa yang menyebabkan Danil dan Falfayria bisa bertemu. Dan ketika Falfayria mengumumkan dirinya adalah putri negeri dongeng yang sedang Danil jumpai membuat Danil makin khawatir berdekatan dengan gadis itu lebih lama. Roman muka Danil jadi makin gusar.“A-apa maksudmu? Kau putri, seorang putri?" Danil bertanya dengan suara pelan.“Ya, tentu saja! Aku adalah putri disini, di kerajaanku. Yah, di negeri ini penduduknya dipimpin oleh raja, dan istanaku tempat tinggal raja juga. Dan ada beberapa klan bangsawan, tiga lebih tepatnya. Mereka membantu ayahku dan juga menteri negeri ungu yang lain. Para menteri tinggal di kastil yang lain sebenarnya. Kau kenapa?” Falfayria bingung kenapa Danil memandangnya seakan ia orang asing yang bisa membuatnya terluka, setidaknya itulah yang dipikirkan Falfayria.“Apa? Aku? Oh, tidak apa. Umm, aku hanya ingin tanya kenapa kau menjelaskan banyak hal kepadaku yang, jangan tersinggung
Mereka berjalan menuruni bukit yang dihiasi pohon- pohon yang beranting panjang dan lebat. Lalu semak-semak yang di sela waktu menyemburkan serbuk ungu. Danil terperanjat dan hampir terjatuh saat tiba-tiba bunga itu menyemprotkan serbuknya di depan langkanya selanjutnya. Dan Falfayria hanya tersenyum dan menyuruhnya tenang. Kadang-kadang warna itu membuat para Warnarish kembali segar lagi. Tapi ada beberapa tanaman di daerah kusam yang membuat warna para Warnarish menjadi tak segar dan kusam. Dan kadang-kadang para Waemon menyerang warga negeri ungu dengan membuat mereka terluka dan lemah.Danil terlihat seperti mendengarkan Falfayria, tapi ia diliputi rasa khawatir yang terus menerus menggangunya jadi ia sebernarnya tidak peduli apa yang diberitahukan dan diceritakan Falfayria sepanjang jalan.Saat selesai menuruni bukit. Mereka disambut oleh sungai yang dipinggirnya ditumbuhi bunga-bunga. Ada bunga yang seperti bunga poppy, tapi Falfayria menyebutnya Waroppy
Danil terkesiap memandang pemuda itu, matanya terbuka lebar dan jantungnya nyaris copot. Falfayria pun menengang. Tapi sikap dan roman mukanya masih terlihat tenang. Lalu semak tinggi yang di sebelah Danil menyemprotkan serbuk dari bunganya ke rambut Danil. Dan rambutnya makin ungu. Ia agak kesal dan menutup matanya saat serbuknya mulai melebar ke udara. Ia lalu menggoyangkan kepalanya lagi. Falfayria mengangkat tangannya ke mukanya dan memejamkan matanya. Lelaki itu hanya melihat dengan bengong. Sehelai rambut jatuh dikeningnya.“Hmm, aku tidak tahu kau sepertinya terganggu saat serbuknya menyebar kemana-mana. Tapi aku belum tahu namamu. Jadi kuperkenalkan diriku. Namaku Byzan Mauvo. Pangeran negeri ini, juga ahli waris kerajaanku. Dan gadis yang kau ajak bicara itu adalah adikku, kau...” Byzan menunggu jawaban dari Danil. Danil menyisir rambutnya dengan jemarinya. Tapi ia tidak mau membersihkan semua serbuk itu agar rambut tebalnya yang coklat muda itu tak terli
Mereka sampai di bukit yang berdekatan dengan hutan yang lebat. Istana yang terlihat agak jauh masih bisa terlihat di balik bukit itu. Falfayria mengeluarkan cermin di tasnya. Cermin itu ada pegangannya. Di sekitar cerminnya terukir motif-motif spiral. Ganggang cerminnya bewarna ungu terang. Bahkan pantulan sinar dari cermin itu bewarna keunguan, yang biasanya bewarna biru.“Pegang ini! Aku mau menambil batu portalnya. Dan kau jangan masuk ke hutan. Jika kau pergi kedalam hutan, kau akan menemukan sarang dan kerajaan Waemon,” Falfayria memperingatkan. Ia merogoh tasnya untuk mencari batu itu. Tapi tidak ada. Kemudian Danil melihat kilatan besi dari tas Falfayria, seperti pisau. Danil yang gusar dan ragu, kini menjadi takut. Falfayria mencari-cari lagi dengan cemas. Ia lalu berhenti dan mengeluarkan tangannya dari tasnya. Matanya terbuka lebar.“Celaka, aku lupa kalau tadi aku sudah mengembalikannya. Aku takut ayahku melihatnya. Demi Sang Maha Pencipta
Danil melesat begitu cepat saat Falfayria pandangannya teralih. Ia berusaha untuk tidak membuat suara sedikit pun.Ia sebenarnya tidak bermaksud pergi ke hutan. Tapi hanya itu tempat persembunyian yang bagus, dipikirannya. Ia berlari dan berjalan, sampai tiba di tengah hutan. Ia lalu berhenti sejenak untuk mengatur napasnya. Ia menyandar di pohon yang lumayan panjang dan besar. Ia lalu duduk di bawah pohon itu. Letak pohon itu di tengah-tengah pohon-pohon lainnya. Danil teringat ia masih memegang pecahan cermin tadi. Danil mencengkram kaca itu saat berlari, untung pecahan kaca itu tidak melukainya. Tapi ia merasa sakit karena memar yang disebabkan ia mencengkram kaca itu, lumayan kuat. Ia mengambil kalung kristal yang ia temukan waktu itu.“Baiklah, sekarang apa?” kata Danil sambil terengah-engah.Ia mengangkat cemin dan kalungnya itu. Kemudian mendekatkan mereka. Ia berharap cahaya itu muncul lagi. Tapi tidak terjadi apa-apa.&ldq