Fargo membanting pintu mobilnya, dan berjalan cepat masuk ke dalam lobby apartemen di mana unit apartemen Debora berada. Raut wajah Fargo nampak menunjukan kekhawatirannya. Sebelum Fargo meninggalkan Andrew, pria itu memastikan bahwa demam Andrew sudah turun, tapi entah kenapa malah sekarang bocah laki-laki itu kembali demam.“Fargo?” Debora yang berada di ruang tamu, menatap Fargo yang baru saja masuk ke dalam apartemennya. Senyuman di wajah Debora terlukis. Wanita itu bahagia, karena Fargo datang cepat.“Di mana Andrew?” tanya Fargo seraya menatap dingin Debora. Pancaran mata Fargo nampak sangat jelas terselimuti kekhawatiran.“Andrew ada di kamar. Dia terus mencarimu,” jawab Debora pelan.Fargo mengembuskan napas panjang. “Kenapa dia demam lagi? Terakhir, suhu tubuhnya sudah menurun.”“Aku tidak tahu, Fargo. Aku juga bingung.” Debora berucap penuh kekhawatiran.“Apa kau sudah memanggil dokter untuk ke sini?” Fargo kembali bertanya. “Belum. Andrew tidak mau diperiksa oleh dokter. Y
“Shit!” Fargo mengumpat kasar melihat Carol melajukan mobil dengan kecepatan penuh. Kemarahan Carol membuat wanita itu sampai lepas kendali dalam melajukan mobil. Dalam hati, Fargo merutuki keadaan di mana dirinya harus terpergok oleh Carol. Fargo tak menginginkan dengan cara seperti ini Carol tentangnya dengan Debora.Fargo menginjak pedal gas, menambah laju mobil. Fargo menyalip ke kiri agar bisa bersampingan dengan mobil Carol, namun sialnya malah mobil Carol kian melaju dengan kecepatan penuh, hingga berhasil melewati jauh mobil Fargo.“Carol! Beraninya kau mengebut tanpa memikirkan kehamilanmu!” Fargo menekan klakson, memberikan kode meminta Carol untuk tidak mengebut, tapi hasil yang didapatkan adalah nihil. Carol tetap melajukan mobil dengan kecepatan penuh.Fargo mengembuskan napas kasar, berusaha mengendalikan amarahnya. Fargo terpaksa memilih untuk menjaga jarak dari mobil Carol. Jika Fargo tetap mengejar mobil Carol, malah membuat wanita itu semakin melajukan mobil dengan k
Carol bergeming di tempatnya dengan wajah yang nampak pucat. Pancaran mata wanita itu lemah seperti tengah menyimpan jutaan beban berat. Layaknya piring yang telah pecah tak mampu lagi bisa untuk terbentuk sempurna sedia kala.Carol berharap dirinya tengah bermimpi buruk, dan segera terbangun dalam mimpinya. Akan tetapi, semua ini adalah nyata. Pria yang sangat dicintainya telah menghancurkan impiannya. Bagaikan istana pasir yang diterpa ombak. Dalam hitungan detik, semuanya hilang.Hal yang tak mungkin bisa termaafkan adalah kebohongan yang menyakitkan. Mungkin jika Fargo jujur padanya sejak awal, maka tak akan pernah menjadi seperti ini. Sekarang yang ada di dalam pikiran Carol adalah kehidupan Arabella dan kehidupan anak yang ada di dalam kandungannya. Carol hanya ingin memastikan bahwa nanti kehidupan dua anaknya bahagia tanpa kekurangan apa pun.Langkah kaki memasuki kamar. Carol tetap melamun menatap lurus ke depan. Carol seakan mengabaikan yang datang. Karena tentu wanita itu t
Fargo berlari menelusuri koridor rumah sakit. Tampak jelas raut wajah Fargo menunjukan rasa panik. Yang ada di dalam pikiran Fargo hanyalah kondisi Andrew. Fargo yakin pasti Andrew akan sangat takut melihat Debora pingsan.Saat tiba di depan ruang rawat, langkah kaki Fargo terhenti melihat Gene berada di depan ruang rawat sambil memeluk Andrew. Suara tangis Andrew begitu terdengar dan menyesakan hati Fargo. Tangis yang terdengar sangat rapuh dan sedih.“Daddy.” Andrew yang melihat Fargo langsung berlari memeluk Fargo. Refleks, Fargo menggendong Andrew dan memberikan pelukan hangat pada Andrew.“Tuan.” Gene menundukan kepalanya saat melihat Fargo datang.“Daddy, Mommy sakit,” isak Andrew sesegukan dalam pelukan Fargo.“Ibumu pasti akan segera sembuh. Sudah jangan menangis.” Fargo mengusap-usap punggung Andrew, berusaha menenangkan bocah laki-laki itu.Andrew membenamkan wajahnya di leher Fargo. Bocah laki-laki itu nampak begitu sedih. “Mommy tidak boleh sakit, Daddy. Aku menyayangi Mom
“Bagaimana keadaan Carol?” Damian bertanya kala sang dokter sudah selesai memeriksa Carol. Tak menampik, raut wajah Damian menunjukan kecemasannya. Bagaimanapun Carol adalah istri dari keponakannya. Pria itu tak ingin sampai terjadi sesuatu hal yang buruk pada Carol. “Tuan, Nyonya Carol kelelahan. Tensi darahnya rendah. Kandungan Nyonya Carol masih muda. Mohon Nyonya Carol jangan membebani Nyonya Carol dengan beban pikiran,” ujar sang dokter mengingatkan Damian.Damian terdiam sebentar mendengar jawaban dari sang dokter. Kalau seperti ini, maka pasti terjadi sesuatu masalah. Pun tadi Damian mengingat wajah Carol yang menunjukan seperti memiliki masalah berat.“Aku mengerti. Thanks,” jawab Damian datar.“Baiklah, kalau begitu saya permisi.” Dokter itu segera pamit undur diri dari hadapan Damian.Saat sang dokter sudah pergi, Damian mendekat pada Carol. Pria itu duduk di tepi ranjang, menatap wajah Carol yang pucat. Mata Carol sembab. Damian yakin pasti Carol menangis lama. Entah mas
Jantung Carol nyaris berhenti melihat sosok pria yang sudah lama tak dia lihat ada di depannya. Pria yang telah meninggalkan memori buruk di ingatan Carol. Tampak wajah Carol memucat ketakutan. Detik di mana Carol merasakan adanya bahaya, dia langsung menjauh dari sosok pria yang ada di hadapannya itu.“K-kau—”“Carol, tenanglah. Aku tidak akan melukaimu.” Adrik mundur satu langkah, demi tidak membuat Carol ketakutan. Bukan hanya Carol saja terkejut, tapi Adrik pun terkejut. Pria itu tak mengira akan bertemu dengan Carol.Carol mengatur napasnya. Walau ketakutan melanda, tapi Carol tetaplah berusaha untuk tenang. “Kenapa kau ada di sini, Adrik?” tanyanya dingin.“Fargo sudah mencabut tuntutannya. Harusnya aku sekarang berada di Russia, tapi aku ke sini karena pengobatan ibuku. Kesehatan ibuku menurun sejak aku berada di rumah sakit jiwa. Tenanglah, Carol. Kejiwaanku sudah baik. Jika aku masih gangguan jiwa, tidak mungkin polisi membebaskanku,” jawab Adrik dengan tatapan dalam, menatap
“Mommy, Daddy di mana? Aku merindukan Daddy.” Arabella berucap polos dengan raut wajah yang muram. Balita kecil dan cantik itu, menunjukan jelas betapa sangat merindukan ayahnya. Sudah sejak tadi Arabella menunggu, tapi Fargo tak kunjung pulang.Carol berusaha tersenyum di balik wajah rapuhnya. Carol berusaha untuk tetap tegar di depan putri kecilnya. “Daddy sedang sibuk, Sayang. Sebentar lagi, pasti Daddy akan datang. Tunggulah sebentar.” Carol membelai pipi Arabella lembut, menenangkan putri kecilnya itu.Carol tak akan mungkin menceritakan hal buruk tentang Fargo pada Arabella. Bagaimanapun, Arabella membutuhkan ayahnya. Fargo memang telah melukainya, tapi Carol tidak akan pernah memisahkan hubungan ayah dan anak.Bibir Arabella menekuk dalam. “Aku merindukan Daddy. Aku ingin Daddy.”Mata Carol sudah berkaca-kaca, menahan air matanya agar tidak tumpah. Carol tak mampu berkata apa pun, dia hanya memeluk erat Arabella, dengan sudut mata yang sudah meneteskan air mata. Setiap kali, Ca
Satu minggu sudah Arabella dirawat di rumah sakit. Dokter kini telah mengizinkan Arabella untuk pulang ke rumah. Kondisi Arabella telah berangsur-angsur membaik. Balita kecil dan cantik itu, sudah tidak lagi demam. Bisa dikatakan kondisi Arabella sudah hampir seratus persen pulih. Namun, meski demikian dokter tetap meminta Arabella untuk minum obat dan banyak istirahat demi memulihkan kondisi balita cantik itu. Setelah dari rumah sakit, Fargo dan Carol segera membawa Arabella pulang ke rumah. Beberapa anggota keluarga ingin menjenguk, tapi Fargo dan Carol memutuskan untuk meminta para keluarga mereka menjenguk dilain waktu. Pasalnya, Fargo dan Carol ingin Arabella istirahat total. “Carol, aku akan ke kantor sebentar, ada pekerjaan yang ingin aku periksa. Aku tidak akan pulang malam.” Fargo berucap setelah membaringkan tubuh Arabella di ranjang milik putri kecilya itu. Saat ini Fargo dan Carol serta putri mereka telah tiba di mansion mereka.Carol mengangguk. “Pergilah, aku bisa men