Share

4. Bukan Suami Tengkulak

Yura terbaring di ranjang, ia menutupi tubuhnya dengan selimut. Tatapan wanita ini tampak mengerikan, seperti macan buas kelaparan, tinggal mencari mangsa yang siap ia terkam.

"Aku harap tidak akan pernah hamil anak dari laki-laki bajingan seperti kamu," cecar Yura. Sepertinya wanita ini tak ada puas-puas memancing emosi Raga. Padahal laki-laki itu sedang bekerja serius, dia mengecek beberapa email masuk dari kantor.

"Kamu itu istri aku, Yura. Sudah sewajarnya jika kamu hamil anak aku." Yura malah tertawa miris mendengar kata-kata dari Raga. Lah, pria ini kan udah punya anak, untuk apa hamil lagi, kagak ada gunanya lahiran anak biadap satu ini.

"Apa tak ada wanita lain yang bisa kamu nikahi, selain aku? Atau stok dayang-dayang kamu sudah habis, sehingga harus nikah dengan mantan kamu sendiri," ujar Yura dengan memberikan tatapan iblisnya kepada Raga. Masa sih buaya ini kehabisan stok, nggak mungkin banget. Apalagi buaya modelan Raga gini, tidak akan kehabisan stok selingkuhan.

"Harusnya kamu bersyukur memiliki suami seperti aku. Di luaran sana, banyak wanita mengantri jadi istri bahkan simpananku," ucap Raga dengan bangga. Seolah-olah tak pernah berbuat dosa dengan Yura, padahal jelas dia pernah membuat Yura patah hati, sehingga wanita itu menjomblo begitu lama, jadi perawan tua pula. Ups, keceplosan. Hehe.

"What? Bersyukur? Cih, tak akan pernah, aku akan bersyukur jika kamu hilang dari hidupku selamanya." Nggak ada untung-untungnya buat Yura nikah dengan Raga, adanya buntung kali.

"Tidak akan pernah, aku sudah pernah bilang kan, jika urusanku dan Alfira selesai, aku akan kembali dengan kamu." Anjay sih Raga. Emang Yura barang, dibuang, lalu dipungut kembali. Sial banget nasib Yura menjadi istri Raga, udah belagu, menyebalkan, merasa paling berkuasa.

"Kamu pikir aku mau, setelah semua kebiadapan kamu lakukan. Hello, Tuan Raga, aku masih punya harga diri." Tidak peduli seberapa besar Yura membencinya. Dalam kamusnya, pantang mundur sebelum maju. Dia yakin nanti juga hati Yura luluh dengan gombalannya.

"Aku akan beli dengan cara apapun harga diri kamu." Yaelah beli harga diri, udah kayak beli skincare tinggal pesan online, langsung datang. Enggak pakai ribet-ribet lagi. Ngelawak kali sih Raga.

"O iya, kamu bisa beli harga diri aku. Semudah itu? Dengan cara apa?" Yura tidak akan membiarka harga dirinya diinjak-injak, apalagi dengan Raga yang telah menjadi salah satu alasan dia tak ingin membuka hatinya. "Ah, sudahlah. Keluar dari sini, aku tidak mau kita sekamar, jika kamu ingin mengeluarkan nafsu baru ke sini. Anggap saja aku seperti pelacur di rumah ini," lanjut Yura membuat Raga menggelengkan kepala tak percaya. Sebenarnya jijik juga disentuh Raga, tapi mau gimana lagi, dia harus mau. Geli-geli enak soalnya.

"Kita suami istri, sudah seharusnya satu kamar," protes Raga. Masa udah sah nggak satu kamar, tega amat sih Yura. Kasian atuh titid yang berada di balik dalaman Raga.

"Enggak akan pernah. Jangan mimpi kamu!" bentak Yura. Wanita ini bangkit dari ranjang, dia membongkar isi kopernya, karena baru menginjak rumah ini, dia belum sempat memasukan pakaian di dalam lemari. Boro-boro rapikan, baru sampai sudah dicicip saja martabak mininya.

"Yura, ini kamar aku, dan akan jadi kamar kita. Kamu tidak bisa membantah." Raga mendekat dengan tatapan sadisnya. Tak peduli apapun pendapat Yura mereka harus tetap satu kamar.

"Oh, jadi kamu merasa punya hak atas aku. Setelah drama pernikahan yang kamu buat ini. Kamu pikir dengan mengancam aku, kamu bisa miliki hati aku lagi, adanya aku semakin benci sama kamu. Laki-laki kayak kamu ini, harusnya enyah di muka bumi ini." Astaga, ini perempuan kalau soal memberi kritikan, badas banget dah, tak pakai otak, apalagi hati, main asa jeplak aja tuh mulut.

"Fine, aku minta maaf. Kamu enggak suka atas pernikahan ini, tetapi kamu udah nggak bisa apa-apa, aku udah jadi suami sah kamu, mau nolak gimana pun, aku tetap suami kamu." Benar jug yak, dia kan suami Yura, suka nggak suka, Yura harus terima. Untuk saat ini Raga harus bisa mencari cara meluluhkan hati keras Yura.

***

Bukan malam pertama seperti ini yang Yura mimpikan, ia ingin memiliki malam indah, tidak pernah tuh dia membayangkan harus malam pertama dengan sih Raga. Enggak ada yang tersisa sekarang hidupnya benar-benar hancur.

Yura berpikir, dia akan mengembalikan semua yang telah Raga berikan ke ayahnya, anggap saja ia berhutang, nggak kuat Yura lama-lama hidup bersama Raga.

"Ini ambil." Ia memberikan kartu atm miliknya. Sebenarnya itu tabungan Yura, tapi ia rela memberikan itu untuk lepas dari jeratan pria bajingan ini.

Raga menaiki satu alisnya, ia tampak heran. Perasaan kartu debitnya masih lengkap, kok bertambah ya. "Apa ini?" tanya Raga.

"Kartu Atm," jawab Yura polos. Anak umur sepuluh tahun juga tahu ini atm, fungsinya apaan coba memberikan kepadanya. Miliknya sudah melebihi dosis. Udah kegemukan soalnya.

"Untuk apa? Kamu pengen belanja? Ya udah pakai punya aku aja, nggak perlu minta isikan." Raga malah salah paham, ia selalu berpikir, uang adalah segalanya, bahkan mungkin uang bisa membeli cin

"Di mana dompet kamu?" Yura bertanya dengan muka datarnya. Ia bukan wanita yang hobby menghamburkan uang nggak jelas, lebih baik uangnya ia tabung daripada untuk belanja.

"Ini." Raga menyodorkan dompet tersebut.

Yura langsung menyelipkan kartu atm miliknya di dompet laki-laki ini, bertahun-tahun ia menabung, akhirnya harus ia relakan juga. Apes memang nikah dengan sih Raga.

"Loh? Apa-apaan kamu! Aku nggak butuh atm kamu, nggak ada istri kasih uang sama suami, adanya suami kasih ke istri." Raga bangkit dari duduknya. Pria ini sangat-sangat tidak membutuhkan atm Yura, ia lebih membutuh cinta Yura daripada uangnya.

"Itu uang untuk bayar hutang, aku akan cicil sisanya." Yura nggak mau ada hutang budi, walaupun ia mesti mencicil, nggak tahu juga sampai kapan.

"Hutang apa?" Raga sama sekali nggak mengerti, ia nggak ada buka usaha pinjam meminjam uang, ia kan bukan sejenis tengkulak.

"Apa yang kamu berikan ke ayah, biar aku yang bayar, setelah semua itu lunas, aku mau kita cerai." Waduh, Yura sama sekali nggak takut jadi janda. Ngapain takut coba? Emangnya jadi janda dosa.

Raga terbelalak tak percaya. Benar-benar ya Yura menginjak harga dirinya. Ia ikhlas kali, ya memamg selalu ia jadikan senjata itu, habisnya Yura suka gitu sih, bikin greget.

"Enggak!" Enak aja main cerai, susah payah Raga mendapatkannya kembali, eh malah minta cerai. Ia pastikan Yura tidak bisa membayar sisanya.

"Aku akan tetap membayarnya, jika kamu menolak, aku akan pergi dari rumah ini." Memangnya Raga saja yang mengancam, ia juga bisa lho.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status