Share

5. Hitam Atas Putih

Masa lalu harusnya tak perlu diingat, tapi bagaimana jika masa lalu itu selalu mengusik. Yura pernah merasa hancur di mana Raga harus menikahi sahabatnya sendiri.

Dan sekarang pria itu kini telah menjadi suaminya. Apa semudah itu memaafkan setelah pernah mematahkan. Tidak kan!

"Hitam di atas putih. Kamu harus tanda tangan surat ini." Baru juga membuka mata, Raga sudah mendapatkan wanita ini menunjukan secarik kertas, untuk menggosok gigi saja belum sempat.

"Kita kan udah sepakat semalam, perlu tanda tangan juga?" Yura mengangguk antusias, tentu saja perlu. Dengan susah payah pagi-pagi ia menyiapkan semua ini, sampai-sampai keliling mencari materai.

"Tapi aku mandi dulu." Raga malas melihat kertas tersebut.

Bertahun-tahun Raga menanti bisa menikahi Yura, tapi sekarang wanita itu membuat tantangan. Ah, sampai sekarang juga ia belum bisa mengenalkan wanita ini dengan kedua orang tuanya. Nah, sekarang istrinya ini malah menambah beban dalam hidupnya.

"Enggak boleh!" Yura duduk menunggu Raga untuk menandatangani surat yang sebenarnya sih tak penting-penting amat. Hanya ia yang selalu menganggapnya penting.

"Cuma mandi sebentar." Wanita ini tetap saja memaksa, selama Raga belum tanda tangan, ia juga tidak akan pergi dari hadapan Raga. Terlalu banyak drama, tinggal tanda tangga doang kok dipersulit.

"Tanda tangan!" jika Raga bisa melakukan sesuka hatinya, ia juga bisa dong. Jangan mau jadi perempuan lemah. Apalagi hanya demi sih kadal ini.

Raga pun mengambil kertas itu, mau tak mau dia harus menandatangani kertas itu, dan sekarang ia harus membuat Yura tak bisa membayar apa yang telah diberikannya ke Hendra.

"Puas!" Raga turun dari ranjang dengan tatapan yang kesal. Hidup pernikahannya udah sama kayak drama-drama korea.

"Hahaha ... puas banget lah." Yura terkekeh, dia harus bekerja lebih giat biar dapat uang tambahan. Ia kan cuma bekerja sebagai kepala toko, ia akan semangat bekerja agar dapat lebih banyak insentif bulan ini. Yura nggak mau lama-lama jadi istri Raga. Merugikan!

"Sekarang bolehkah anda menyiapkan segala keperluan saya untuk bekerja?" Raga memang dari dulu apa-apa sudah siap, sebelum ada Yura sih ada maid yang mempersiapkan kebutuhan Raga, karena ia akan menikah, pria ini memberikan para maid cuti, pikirnya biar nggak menganggu pengantin baru. Eh, faktanya pernikahan tak seperti ia harapkan.

"Emang kamu nggak bisa mengurus sendiri, aku di sini bukan pembantu, aku juga harus kerja, bikin sarapan. Kamu mau pergi kerja tanpa isi perut." Rada-rada malas mengurus semua prihal nggak penting Raga ini, masa ngurus baju sendiri nggak bisa. Pria ini bukan bocah kan.

"Ya bilang kamu pembantu itu siapa? Aku cuma minta tolong, karena semua asisten rumah tangga cuti, jadi kamu aja yang mengurus." Beuh, malas banget Yura disuruh-suruh gini, buang-buang energi. Dengan muka masam, Yura mengambilkan kemeja, celana panjang, dan dasi dari lemari Raga, tak lama ia mengambilkan jas.

Raga mengulum senyumnya. Dari dulu wanita ini nggak pernah berubah, meskipun dia menggerutu, tapi tetap melakukan yang dimintanya.

"Terima kasih istriku yang cantik." Yura merasa jijik mendengarkan kalimat bajingan satu ini. Bisa nggak sih, pagi-pagi dia tidak membuat perut Yura mulas.

"Aku udah siapkan semuanya, sekarang apa lagi?" ucap Yura ketus. Melihat muka Yura menggemaskan pria ini mencuri bibirnya sekilas.

"Raga! Jorok banget sih, belum gosok gigi cium aku." Pria ini sih udah kabur masuk kamar mandi, dia tahu Yura pasti akan menyemburnya dengan kalimat kasarnya.

***

Yura baru saja selesai menyiapkan sarapan pagi, dia bahkan tak menunggu Raga, langsung duduk mengisi perut. Emang dasar istri durhaka!

Nggak tahu apa derajat suami itu lebih tinggi, mau dibandingan kayak gimana juga, tetap suami pemimpin, benar-benar nggak sopan makan dulu.

"Sayang, aku makan dulu ya. Minta ijin dulu kek." Raga menarik kursi, lalu duduk tak jauh dari Yura.

"Emangnya ada aturan kalau apa-apa harus izin kamu," ucap wanita ini enteng. Ah, parah banget sih Yura, nggak pernah baca buku pedoman suami istri kayaknya, dengar cemarah kek, kali aja langsung terbuka hatinya.

"Hanyalah dunia ini semata kesenangan. Dan tidak ada kesenangan dunia yang lebih utama daripada seorang istri yang sholihah. Itu hadist Ibnu Majah, kamu kayak harus banyak belajar nih, biar nggak makin banyak dosa sama suami." Waduh, Yura sampai terperangah gitu mendengar hadist yang baru Raga lontarkan, sejak kapan pria ini tahu beginian, bukannya selama ini tahunya seks, main perempuan, dan mungkin kebejatan suaminya ini.

"Kamu tahu beginian dari mana?" Raga juga baru baca sebuah artikel tadi malam, ya merasa bermanfaat aja, makanya dia hapalkan.

"Aku ini suami yang baik, harusnya kamu beruntung punya aku." Dia malah cengegesan, seperti biasa mukanya tanpa dosa.

"Tapi faktanya aku merasa buruk mendapatkan suami seperti kamu," gumam Yura sebal. Bukannya saja buruk, tetapi sangat-sangat buruk, entah sampai kapan mimpi buruknya akan berakhir, suami tak ada yang bergedok baik, kenyataannya playboy cap kadal.

"Masa?" Raga dengan santai menatap dalam wanita ini. Istrinya ini ia anggap sih beo yang tak berhenti mencecar.

"Jadi pacar aja dulu kamu gak becus, apalagi jadi suami lebih nggak becus," ujar Yura masih dengan nada jengkel. Ah, ngapain pakai diingat sih mereka pernah pacaran, Yura yang terlalu bego, mau aja tuh pacaran sama buaya.

"Kamu itu memang nggak pernah bisa move on, ya. Masih aja ungkit-ungkit yang dulu." Dia terlalu meninggalkan bekas luka yang tak ada obatnya sih, jadinya Yura baperan deh bawaannya

"Aku nggak bisa move on dari kamu? Itu sih maunya kamu." Jelas Yura nggak terima, pastinya sih cintanya nggak seperti dulu. Yang bego berlebihan, padahal Raga kan playboy.

"Kamu itu punya masalah apa sih sama aku, jutek terus. Sama suami itu senyum kek, ini senyum kagak, kasar iya." Pria ini malah mendapat tatapan sinis dari Yura. Memang susah ya bicara dengan perempuan yang pernah patah hati, apa-apa masalah udah-udah ungkit lagi.

"Ya kamu pantas dapatkan itu, kamu dengar baik-baik, pasang telinga tuh, aku nikah sama kamu karena ayah, bukan cinta. Jadi kamu nggak perlu ngarep aku bisa cinta sama kamu," beo Yura kasar, bagi Yura cinta itu nggak akan pernah bisa bikin hidupnya bahagia.

"Tapi, aku cinta sama kamu," ungkap Raga sungguh-sungguh. Ia memang masih cinta banget dengan Yura, mau Yura sebenci apapun, dia akan terima. Apapun itu.

Heran deh, cinta membutakan segalanya, relanya berkorban sampai ke akar-akar, untung itu cuma Raga yang rasakan

"Kamu kan cinta bukan aku, perasaan kamu itu bukan urusan kamu!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status