Share

3. Flashback

Yura menangis tersedu-sedu saat mengetahui kekasihnya menikah dengan wanita lain, apalagi wanita yang dinikahi Raga sahabatnya sendiri. Sakitnya bertubi-tubi, ibarat kata temanmu bisa jadi selimutmu yang siap menusuk kapan saja.

Dan benar, itu yang terjadi kepada Yura. Di kampus semua mahasiswa maupun mahasiswinya tengah heboh membicarakan masalah Raga yang sudah menikah. Maklum, Raga termasuk kategori laki-laki paling beken di kampusnya, karena dia ganteng, tajir, apalagi dia anak dari crazy rich di kota itu.

Namun sayang, dia playboy, banyak wanita yang termakan gombalan mautnya, termasuk Yura. Akan tetapi Yura dan Raga sudah pacaran sejak mereka jaman sekolah dulu, hingga kuliah mereka masih pacaran. Hubungan mereka, udah kayak kredit motor, malah lebih dari tiga tahun.

"Ra, aku minta maaf." Yura menatap Raga tajam, bisa-bisanya Raga sudah menikah dengan sahabatnya sendiri. Lebih-lebih lagi dia tahu setelah mereka sudah menikah. Emang dasar bejat! Fix sih, nih. Yura jaga jodoh orang.

"Minta maaf? Kamu itu nggak punya hati, atau apa sih? Ya, aku tahu kamu itu brensek, kamu pacaran sama aku, tapi kamu goda-godain perempuan sana sini, kurang gesit goyangan aku sama kamu," caci Yura. Tak terima lah Yura diginikan, sudah dapat semuanya, malah sekarang ditinggalkan seperti sampah, mau enaknya aja.

"Bukan gitu, Alfira hamil."

What? Hamil? Kok bisa?

Bukannya selama ini Raga selalu bermain aman, dengan dia saja selalu penggunakan pengaman, kalau tidak pun, Raga selalu mengeluarkan di luar, sehingga tak bisa berbuah dalam rahim.

"Fira hamil anak kamu? Bagaimana bisa? Aku enggak masalah ya kamu main sana-sini, tetapi sampai nikah, gila kamu! Aku nggak bisa terima ini." Wajarkan dia marah, Raga keterlaluan gitu. Masuk lubang sana, masuk lubang sini. Bukannya setiap lubang itu sama saja. Memang ya kalau dasarnya buaya, suka banyak lubang.

"Dengarkan aku dulu, sayang." Raga berusaha ingin pertahankan Yura. Padahal jelas sudah berstatus suami orang. Sinting kali ah, mau gimana lagi Raga cintanya sama Yura. Dia emang brensek sih. Udah ada Yura di sampingnya, masih saja jajan sana-sini, walau begitu dia tidak bisa harus kehilangan Yura.

"Dengarkan apa lagi. Enggak ada yang tersisa dari hubungan kita ini. Aku juga nggak mau jadi pelakor." Saat itu mereka berada di kantin kampus, tak peduli jadi pusat perhatian, Raga menahan Yura pergi, padahal jelas-jelas tak jauh dari sana ada sosok Alfira berdiri.

"Yura, tunggu! Aku bisa ceraikan Alfira setelah anak itu lahir."

Astaga, enteng sekali tuh mulut, kayak enggak ada bebannya. Enggak lihat apa istrinya sudah menatap Yura seakan ingin mencakar, meraung, kalau bisa membunuhnya. "Kamu itu ngelawak atau gimana sih? Otak kamu tinggal di mana? Kamu pikir, nikah itu kayak orang pacaran, bosan langsung main tinggal aja."

"Tapi, aku cinta sama kamu."

"Kalau kamu cinta, tidak mungkin kamu suka main dengan perempuan-perempuan itu. Kamu enggak pernah memikirkan perasaan aku. Sekarang dengan mudah kamu bilang cinta." Ck. Kemarin-kemarin kemana woy, masa gadis seperti Yura masih kurang.

"Iya, aku tahu salah. Aku minta maaf, aku akan selesaikan masalah ini, cukup kamu tunggu aku. Aku janji akan kembali hati kamu." Raga tidak main-main, mukanya tampak serius. Namun sayang sekali, Yura sudah tak mau termakan rayuan ala playboy satu ini.

"Raga! Kamu nggak bisa seenaknya gitu. Di perut aku ini ada anak kamu, kita udah nikah. Dan aku nggak akan biarkan anak kita hidup tanpa ayah," geram Alfira menghampiri dua orang saling berdebat. Tidak akan semudah itu dia melepaskan Raga. Jadi menantu crazy rich, impian setiap wanita. Kesempatan seperti ini, tidak boleh dia sia-siakan.

"Tapi, aku nggak pernah cinta sama kamu. Aku cintanya sama Yura. Aku nikah hanya untuk anak di dalam kandungan kamu, setelah dia lahir kita cerai," ucap Raga tak peduli dengan perasaan Alfira.

Yura sendiri hendak pergi meninggal dua orang ini, dia tak sanggup lama-lama di sini. Untung sebulan lagi dia sidang, paling tidak kuliahnya sebentar lagi selesai. Jadi tak perlu setiap hari melihat dia curut ini.

"Yura, kamu ikhlas kan Raga sama aku." Yura mengerjapkan matanya sejenak, lalu ia menghempaskan napas panjang. Kenapa harus tanya ikhlas atau enggak sih. Sudah pasti dia tak ikhlas, melihat mereka berdua hatinya panas, seperti api yang membara.

Yura menarik tangan Alfira menjauh dari semua orang, selain tidak ingin Raga dan Alfira malu, dia masih menghargai Alfira, walau hatinya sudah dipenuhi rasa benci, mana mungkin dia ikhlas. Hubungan dia dan Raga kan sudah sangat jauh. Eh, mendadak Alfira hamil anak Raga, doyan punya Raga juga sih pepacor (perebut pacar orang).

"Asal lo tahu ya, Alfira. Gue enggak ikhlas sampai kapan pun lo nikah sama Raga. Ternyata hebat juga cara lo rebut Raga dari gue," cecar Yura sinis. Dadanya turun naik menahan emosi, tidak ada unfaedah mempertahankan sahabat seperti Alfira, lebih baik dia pecat jadi sahabat.

"Tapi sekarang gue udah sah jadi istri Raga," ucap Alfira polos. Terserah mau dibilang apa, terpenting untuk hidupnya saat ini Raga sudah dalam genggamannya.

"Lo yakin bisa bahagia dengan Raga? Dia cinta sama gue, bukan sama lo. Setiap langkah hidup kalian akan terbayang-bayang gue." Alfira mengepalkan kedua tangannya. Tidak mungkin wanita ini sepenting itu untuk Raga, anak dalam perutnya kelak akan menguntungkannya.

"Lo lihat cincin ini, itu tandanya Raga punya gue, lebih lo ikhlas dan jauhin Raga," seru Alfira yang memamerkan cincin pernikahan mereka.

Dih, siapa juga yang mau dekat-dekat dengan suami orang, Raga-nya saja yang terus menempel, itu artinya bukan salah dia dong.

Yura memang terlihat baik-baiknya, tanpa ada yang tau isinya, jantungnya seolah diremuk, hatinya tertusuk, perasaannya bercampur aduk berkecamuk tak menentu. Syukur, dia masih bisa mengontrol amarahnya.

"Gue enggak peduli!" pekik Yura.

Kemudian Yura pergi meninggalkan Alfira, dia berlari sekencang-kencangnya. Tangisan Yura akhirnya terurai saat duduk sendiri di taman tak jauh dari kampus.

"Hiks... cowok brensek, penjahat kelamin, buaya darat." Segala umpatan dia keluarkan, mumpung sendiri dia bisa meluapkan emosi yang sejak tadi tertahan.

Yura berpikir, selama ini dia sudah sabar menghadapi Raga, dia juga tulus mencintai laki-laki itu, semua diserahkan, termasuk ena-ena yang bisa membuat dia dan Raga bisa hareudang.

Akan tetapi Raga justru selalu mengkhianatinya, menyiksa perlahan batinnya. Hubungan yang hampir 7 tahun dia tetap pertahankan, akhirnya runtuh juga. Tidak ada yang tersisa, kecuali hatinya yang sakit.

Tanpa Yura sadari, Raga ternyata melihatnya. Rasa bersalah menghantuinya. Dia tidak bisa mengubah takdir, ini salahnya yang selalu jajan sana, jajan sini, harusnya dia bisa setia, paling tidak itu bisa membuat dia tak kehilangan Yura.

"Maafkan aku, Yura," lirih Raga dari kejauhan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status