******
"Felix!"
Panggilan itu membuatnya tersentak kaget dan mengurungkan niatnya untuk membuka pintu lemari, dia menyembunyikan diri di bawah meja usang yang berada di samping lemari, meja itu tertutupi tumpukkan barang lama yang cukup tinggi sehingga tidak akan terlihat orang. Tindakan refleks itu membuat kepalanya terbentur sisi meja hingga berbunyi cukup keras, bayangkan betapa sakitnya.
Tangannya yang tidak memegang kertas bergerak untuk mengelus kepalanya yang terbentur. Dia mengintip kearah pintu gudang yang masih tertutup, sungguh, dia panik sekali saat mendengar namanya dipanggil oleh bibi tadi. Saat hendak berdiri karena dirasa tidak ada orang yang mengetahuinya masuk kesini, dia berniat untuk berdiri. Sebelum—
'Klek'
Dia kembali ke tempat persembunyianya dengan cepat karena terdengar suara pintu gudang dibuka.
"Felix, apakah itu kau?" tanya seseorang yang berada di ambang pintu, itu suara bibinya. Jangan bilang karena suara kepalanya terbentur tadi terdengar sampai ruang tamu, ah,sial. Sekeras itu, kah? Dia memeriksa kepalanya sekali lagi apakah berdarah atau tidak, ternyata tidak. Tapi terasa sedikit sakit. Dia mengintip dari samping meja, terlihat bibinya yang masih celingukan mencari sumber suara.
"Tidak ada siapa-siapa, mungkin hanya tikus," ucap bibi lalu menutup pintu dan pergi dari gudang.
Felix bernapas lega, dia keluar dari kolong meja. Untung saja bibi tidak menyadari jika kain yang menyelimuti lemari sudah tersingkirkan, bisa mati dia jika nenek dan bibi mengetahui dia masuk gudang ini. Tapi ada yang aneh, jika gudang ini sangat rahasia dan tidak ada yang boleh masuk, lantas kenapa saat ia masuk kemari pintunya tidak dikunci?
Netranya bergerak untuk melihat kertas yang dia dapatkan dari kotak pemberian kakek, apakah itu bantuan sihir? Karena tadi dia melihat gemboknya tergantung di sana namun dalam keadaan terbuka. Felix menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali dengan cepat, sadar akan pikirannya yang mulai ngawur.
Lebih baik dia keluar dari sini sebelum nenek melihatnya. Mungkin lebih baik dia tidak membuka lemari itu sekarang.
*******
Sosok anak laki-laki dengan kacamata yang bertengger di hidungnya itu tampak sedang berkutat dengan beberapa tumpukkan buku yang berada di meja belajarnya dengan penerangan hanya dari lampu belajar.
Dia membolak-balikan lembar demi lembar buku tebal yang berisi materi sekolahnya itu. Sekali lagi dia mengacak-acak rambutnya frustasi sendiri, bagaimana tidak? Sedari tadi dia mencoba fokus memahami materi yang dia dapatkannya dari sekolah tadi agar pikirannya teralihkan, namun tidak berhasil.
Anak laki-laki itu menyandarkan tubuhnya di kursi belajarnya sembari menghela napas panjang, dia terus memikirkan tentang surat, bintang, dan lemari aneh itu.
Tiga benda yang berhubungan dengan ibunya itu terus menerus menghantui pikirannya, dia mengambil kotak tadi, mengambil sebuah bentuk bintang tiruan minimalis yang menurutnya sangat indah, setiap 1 cm dari sudut bintang itu terdapat batu berlian biru yang menghiasinya.
Dia meletakkan benda itu di meja, lalu beralih membuka gulungan surat kecil yang menurutnya bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkannya tadi siang.
Haruskah dia mencoba bertanya? Sepertinya tidak buruk jika mencobanya sekali lagi.
Dia berdehem sebentar, memandang surat itu serius,
"Hei surat usang, apakah kau tahu sesuatu tentang lemari itu?" tanyanya pelan.
Nihil.
Tidak muncul apapun di sana, tidak seperti siang tadi. Bahkan setelah beberapa menit setelahnya pun tidak ada tulisan apapun di sana. Huh, sudahlah mungkin tadi memang hanya perasaannya saja.
Dia memejamkan matanya lelah. Lihatlah, bahkan dia sudah seperti orang gila karena berbicara dengan kertas kosong. Ah, sudahlah.
Matanya terbuka, melihat jam weker yang berada di nakas yang menunjukkan pukul sepuluh malam. Waktu berlalu begitu cepat sekali, bahkan sekarang sudah tidak ada suara gaduh Scarlett dan bibi lagi di bawah.
Tunggu, dia melupakan sesuatu.
"Bodoh, mengapa aku tidak datang lagi ke sana sekarang saja? Malah bertanya dengan kertas seperti orang gila!" ucapnya sambil menepuk pucuk kepalanya.
Dia memasukkan surat serta bentuk bintang tiruan tadi ke dalam kotak dan membawanya, ia membuka pintu kamarnya pelan, mengintip luar sisi kanan dan kiri bergantian, barangkali ada orang.
Saat dirasa tidak ada, Felix keluar dari kamar menuju lantai bawah tanpa menimbulkan suara gaduh apapun, tak lupa dengan senter kecil yang berada di tangan kanannya.
Penerangan di sana sudah padam sedari tadi—mungkin. Saat sampai di ujung tangga dia menyalakan senternya hingga dia bisa melihat jalan walau hanya remang-remang.
Anak laki-laki dengan balutan kemeja kotak-kotak dan celana jeans itu melanjutkan langkahnya hingga sampai di gudang tempat lemari itu berada.
Dia meneguk ludahnya saat sudah berada tepat di depan lemari putih itu. Dia takut, entah kenapa. Padahal hanya sekedar memeriksa ada apa di dalam lemari itu.
Dengan satu kali hembusan napas, dia meyakinkan diri untuk membuka lemari itu. Dan, terbuka.
Namun.... Kosong.
Dia masuk dan memeriksa bagian dalam lemari itu namun juga tidak ada sesuatu yang aneh.
Kepalan tangannya mengetuk kayu bagian tengah lemari itu. "Tidak ada apa-apa disini..."
"Jadi ini maksudnya aku dibohongi oleh surat?" gumamnya tak percaya dengan mata yang menelusuri sekeliling bagian lemari sempit itu.
Hingga netra birunya terfokus pada satu titik, di sela-sela kayu bagian tengah agak keatas ternyata ada sebuah lubang kecil.
Instingnya mengatakan jika mungkin ada sesuatu di belakang lemari, tapi kelihatannya konyol, mana mungkin, aneh-aneh saja. Dia berbalik, ingin beranjak pergi dari sana. Namun diurungkannya, karena tiba-tiba suatu hal terlintas di benaknya, lebih baik memeriksa dahulu bukan?
Felix memutar tubuhnya lagi, berjinjit agar bisa melihat jelas lubang itu. Matanya membulat kala melihat sesuatu yang tidak pernah diduganya sebelumnya di sana.
Dengan cepat, dia keluar dari dalam lemari dan mendorong lemari itu dari sisi samping agar sedikit bergeser.
Dan... Benar.
Ada sebuah pintu yang mempunyai ukiran yang sama di setiap sisinya seperti ukiran yang ada pada lemari dan kotak pemberian kakek.
Anak laki-laki itu berjalan mendekat dan meraba pintu itu, satu hal yang menarik perhatiannya, bentuk bintang tiruan tadi ternyata sebagiannya ada di pintu itu.
Felix membuka kotak itu dan mengambil bentuk bintang tiruan yang ada di dalamnya. Mencocokannya sekali lagi, dan memang sama.
"Apakah bintang ini adalah kunci?" ucapnya pelan.
Felix memasangkan bintang itu pada bagian yang kosong pada tengah pintu itu. Iya, mungkin inilah yang dimaksud oleh surat tadi, kedua bintang yang terpisah itu adalah sebuah kunci, jika disatukan maka pintu ini akan terbuka.
Tak lama, sebuah cahaya putih terlihat keluar dari balik pintu itu membuat matanya silau. Tapi perlahan cahaya itu hilang, dia membuka matanya dan hal pertama yang dia lihat adalah pintu tadi yang sudah terbuka dan sebuah tempat yang menurutnya begitu aneh namun—indah sekali,sungguh.
Pohon-pohon tampak berdiri kokoh di sekeliling tempat itu serta bunga-bunga indah yang mengeluarkan serbuk kuning bercahaya seperti yang dikeluarkan oleh surat tadi. Dia melangkahkan kakinya mendekat kearah tempat itu membuat pintunya kembali tertutup.
Kupu-kupu berwarna-warni terbang kesana kemari bersamaan dengan ribuan kunang-kunang yang pembawa warna hijau mengelilingi kumpulan bunga tersebut. Sayapnya nampak bercahaya dan terlihat makin indah karena pantulan dari serbuk bercahaya yang dikeluarkan oleh bunga-bunga. Tempat ini hutan namun keadaan dalamnya saat masuk seperti taman bunga.
Felix menghampiri salah satu bunga yang dihinggapi oleh kupu-kupu berwana hitam bercampur ungu. Kupu-kupu itu terbang dan mendekat kearahnya, dia mengangkat tangannya di depan dada membuat hewan dengan sayap cantik itu hinggap di jari telunjuknya.
Senyumnya merekah hingga gigi-gigi rapinya terlihat.
"Siapa kau?" tanya seseorang dari belakangnya.
Dia refleks menoleh kearah sumber suara, terdapat tiga orang tanpa busana dengan sayap hitam di punggung mereka tampak melotot kearahnya. Ketiga orang itu membawa tongkat di tangan kanan mereka.
"Siapa kalian?" tanyanya, bukanya takut pada pelototan mereka, dia malah membalas tatapan mereka dengan tatapan tajam.
"Kami penjaga disini, ini adalah daerah kekuasaan peri hitam, tidak ada yang boleh melintasi perbatasan ini," ucap orang yang berada di tengah.
Dia menautkan alisnya bingung mendengar perkataan mereka, peri hitam? Daerah kekuasaan? Apa maksudnya?
"Apakah kau mata mata yang diutus Ratu Freya?" tanya orang yang di sebelah kiri.
"Ratu Freya? Apa maksudmu? Aku baru datang dari dunia manusia, siapa Ratu Freya?" tanyanya kebingungan. Tapi sebenarnya dia hanya pura-pura saja.
Tiga makhluk itu saling berpandangan beberapa saat, lalu menyeringai kearahnya. Dua orang diantara mereka mendekat kearahnya dan memegang kedua lengannya kuat seperti akan menahan seseorang.
"Mau apa kalian?" tanyanya sambil berusaha melepaskan tautan tangan mereka dari tangannya.
Mereka berdua makin mengeratkan pegangannya, sambil tertawa menyeramkan. Tapi tidak membuat Felix takut.
"Kami akan membawamu ke hadapan raja kami."
****"Paman Edward?"Keenam anak peri itu terlonjak kaget kala tak sengaja mendapati Edward yang tengah berdiri tepat di depan Goa Dua Pintu.Frank menelan salivanya susah payah lalu membalikkan badannya, namun ditahan oleh Gazza dengan cara ditarik ujung kerah lehernya. Lagi? Astaga, dia lelah terus yang terkena omelan Ayahnya karena ketahuan melakukan hal mencurigakan. Padahal Ratu Freya biasa-biasa saja, tapi respon Ayahnya sangat berlebihan menurutnya."Frank?" panggil Edward ke arah putranya yang kini tengah menundukkan kepala.Frank yang sangat tahu apa maksud dari Sang Ayah pun memejamkan matanya sebentar, mendongakkan kepalanya dan menghalau semua rasa gugup bercampur takut yang ada. "Kami ingin mengambil Batu Permata Bintang," ucapnya.Edward menaikkan sebelah alisnya bingung. "Batu Permata Bintang? Mengapa di sini?" tanyanya ke arah ketujuh anak itu.Frank menyerahkan peta yang sedari tadi berada di tangannya kepada Edward.Dengan ragu, Edward menerima peta itu. Dia cukup t
***** "AAAAAA!" "TIDAKKK!" Kaki Edward melemas melihat kedua sahabatnya yang kini telah tak sadarkan diri akibat diserang Habis-habisan oleh Raja Peri Hitam. Dia terlambat. Netra hijau emeraldnya mengamati anak laki-laki bersurai pirang platina yang kini tengah mengarahkan tatapan membunuh ke arah pria yang menjadi biang keladi dari kerusuhan yang terjadi malam ini. "BERANI SEKALI KAU MENGHENTIKAN MANTRAKU, BOCAH!!" Pria bertanduk hitam itu menatap tajam Felix yang baru saja menghalau mantranya, sehingga mantra itu tidak mengenai Andrio sepenuhnya. Tapi, bagaimana anak itu bisa bangun lebih cepat dari dugaanya? "Kau mencariku, bukan? Lalu untuk apa kau membunuhnya? Melakukan hal yang sia-sia?" ucap Felix tak berekspresi sambil menaikkan sebelah alisnya. Rahang Orazio mengeras melihat ekspresi anak laki-laki di depannya. "Kau tidak tahu apapun!" Felix terkekeh pelan, "ken
***** "Hahaha, apakah kau akan terus melindunginya, Andrio?" Suara tawa terdengar menggema di sebuah rumah yang hanya di terangi oleh cahaya lilin dan pantulan cahaya dari sang bulan. Anak bersurai pirang platina itu perlahan membuka matanya, merasakan tubuhnya tengah terbaring di atas lantai marmer berwarna hitam yang terasa begitu dingin menusuk tulangnya. Dia mengubah posisinya menjadi duduk. Di depannya terlihat kedua pria yang mungkin seumuran Paman Edward tengah saling bertarung mengeluarkan kekuatan mereka masing-masing. Salah satu diantara mereka bertanduk hitam serta bersayap hitam sedangkan yang satunya tidak mempunyai sayap maupun tanduk. Peri bersayap hitam itu tampak sedang membelakangi seseorang yang sedang disekap pada sebuah kursi dengan sihir merah yang mengelilingi tubuhnya. Dia mengucek-ucek matanya yang masih buram karena mungkin sudah terlelap entah berapa lama. Tapi, kenapa dia berada
***** "Paman, Ibu tidak bernapas. Aku harus bagaimana?" Ucapnya lirih, bahkan mungkin tak terdengar oleh yang lain selain mereka. Suara putus asa itu membuat jantung Andrio serasa berhenti berdetak detik itu juga. Kepalanya menoleh cepat kearah perempuan bersurai pirang platina tergerai bebas yang sedari tadi masih dalam keadaan memejamkan mata. Dia menggeleng pelan. Itu tidak mungkin. Dia belum menyalurkan mantra itu sepenuhnya. Seharusnya tidak secepat itu. Andrio berlari cepat ke arah wanita yang masih berstatus pasangan hidupnya tersebut. "Freya... Itu tidak benar, kan?" Ucapnya lirih di hadapan Freya. Telunjuknya bergerak untuk dia taruh di depan lubang hidung Freya agar ia bisa merasakan deru napas wanitanya. Oh, masihkah kata itu berlaku? Tepat sebelum hal itu terjadi, Felix lebih dahulu menyambarkan petir yang berasal dari Berlian Biru yang tengah ia hadapkan ke arah pria itu. A
***** Felix berlari tergesa-gesa diantara beberapa pohon yang tumbuh tinggi menjulang di sekitar Hutan Cahaya. Ibunya ditangkap. Berita sampah macam apa itu? Awas saja jika dia dibohongi. Tidak mungkin ada yang menyakiti Ibunya. "Kau punya sayap, bodoh! Kenapa malah berlari?!" Ujar Frank yang kini sedang terbang di atasnya bersama dengan keenam temannya yang lain. Anak laki-laki bersurai pirang platina itu mendongak. Seketika timbul keinginan menempeleng kepala anak itu karena cara mengingatkannya yang amat menyebalkan. Tapi...benar juga kata Frank. Kenapa dia seketika melupakan fungsi sayapnya? Ah, entahlah. Pikirannya campur aduk sekarang. Entah itu tentang keberadaan Batu Permata Bintang maupun tentang ibunya yang katanya ditangkap entah oleh siapa. Dia mengepakkan sayapnya, ikut terbang bersama dengan teman-temannya. Namun diantara ketujuhnya, Felix lah yang terbang dengan sangat cepat da
***** "Vancy dan Lavender sedang ditugaskan Paman James untuk meneliti sesuatu, jadi mungkin mereka tidak akan datang malam ini," ucap Gazza yang tengah merebahkan dirinya di kursi empuk di ruang tengah. Tunggu, kursi empuk? Anak laki-laki itu kembali duduk, menoleh ke belakang untuk mengamati kursi kayu yang biasanya selalu ia duduki sekarang sudah berubah menjadi kursi empuk berwarna biru. Dia melirik keempat temannya yang sedang sibuk bermain membentuk kunang-kunang menjadi sebuah bentuk hewan sesuai yang diperintah oleh pemain lain. "Siapa yang mengubah kursi ini?" Tepat saat giliran Hardwin yang akan membentuk kunang-kunang, Gazza bertanya kepada mereka mereka. Mendengar itu, keempatnya menoleh ke arah sofa tempat Gazza duduk. "Siapa lagi kalau bukan temanmu yang berasal dari dunia manusia ini," ujar Dean sambil melirik Felix. Anak laki-laki bersurai pirang platina