Share

|2. The Bright Spot

******

Felix menekan tombol on off lampu tidurnya yang berada di nakas bergantian, membuat penerangan minim di kamarnya menjadi padam lalu terang lagi, hal itu terjadi secara berulang-ulang hingga beberapa saat. Sampai akhirnya tangannya berhenti dan membiarkan penerangan remang-remang itu menyala. 

Dia membalikkan badannya, berganti menatap langit-langit kamarnya. 

"Ibu..." ucapnya memecah keheningan. 

"Apakah ibu tidak ingin bertemu denganku?"

Suara lirih itu terdengar semakin menyayat ditengah sepinya malam, bahkan suara hewan malam yang biasanya saling menyahut pun sekarang entah kemana perginya. Seakan suasana itu sangat mendukungnya untuk bersedih. Matanya perlahan memanas, menciptakan genangan bening di kantung bawah matanya. 

"A-apakah ibu merindukanku...?" Dia tergagap karena menahan tangisnya mati-matian, sungguh dirinya tidak mau meneteskan air matanya barang sekali saja seumur hidup. Dulu kakek pernah berkata jika laki-laki itu harus kuat, apapun yang terjadi laki-laki tidak boleh terlihat lemah dihadapan orang lain apalagi perempuan. 

Tapi, apakah dia boleh menangis jika tidak ada yang melihat seperti saat ini? 

"Ibu... Aku ingin bertemu ibu..." ucapnya terbata hingga tangis yang dia tahan sedari tadi—atau mungkin sedari dulu pecah malam itu juga. 

Ditempat lain, wanita berperawakan tinggi semampai dengan mahkota bunga yang melekat indah di kepalanya itu memalingkan wajahnya kearah samping kala melihat putranya sedang menangis karenanya dari sebuah kolam ajaib yang selalu dia gunakan untuk mengawasi segala aktifitas yang dilakukan anak itu.

Isakkan kecil yang keluar dari bibir anak laki-lakinya seakan meruntuhkan dunianya secara perlahan. Apalagi racauan tak masuk akal itu membuat hatinya bagai diremat karena merasa gagal sebagai seorang ibu. 

Dia mengarahkan tangannya kearah kolam itu hingga membuat kolam ajaib itu tidak lagi memperlihatkan wajah sedih Felix. Dia berbalik arah dan duduk di atas tanah tinggi tak jauh dari posisi kolam ajaib sambil memandang sendu tebaran bintang di langit. 

"Ratu Freya, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang pria yang sedari tadi duduk disana sebelum dia. 

Dia terkekeh pelan mendengar panggilan 'ratu' dari temannya sejak kecil itu. "Kau meledekku?"

"Tentu saja tidak, kau itu memang seorang ratu," balas pria itu. 

"Hentikan,lah, Ed. Aku hanya penjaga bukan penguasa seperti yang otak kecilmu pikirkan itu," dengus wanita itu kesal sendiri karena orang-orang selalu menyebutnya ratu di negeri ini. Padahal kenyataannya, negeri ini adalah negeri tanpa pemerintahan, semua orang bebas melakukan apapun tanpa diikat oleh aturan, kecuali hal yang tidak bermoral atau berbau negatif maka akan ditindak lanjuti olehnya dengan persetujuan semua orang. 

"Kau tidak ingin menemuinya?" tanya Ed. 

"Aku sudah menginginkan itu dari dulu, asal kau tahu." Dia memandangi kunang-kunang yang berada di telapak tangannya, cahaya dari kunang-kunang itu mulai redup. 

"Lalu apa rencanamu selanjutnya?" 

"Membuka jalan pintas lagi," ucap Freya tenang, sambil memindahkan kunang-kunang itu pada bunga yang berada di sampingnya.

"Kau gila? Sama saja kamu mengundang anakmu masuk kandang singa," Edward menatap wanita di sampingnya itu tak percaya. 

"Coba kita perbaiki, dia, lah yang dihampiri singa, karena dia bukan singanya."

********

"Aku pulang!" seru Felix ketika baru saja pulang dari sekolah. 

Dia menolehkan kepalanya sana-sini karena tidak ada tanda-tanda ada orang di rumah. Dia melangkah kearah dapur untuk memeriksa, tapi nyatanya nihil, tidak ada orang sama sekali. 

Lalu matanya tak sengaja melirik sebuah note yang ditempelkan di kulkas. Disana tertulis bahwa bibi dan Scarlett sedang keluar dengan neneknya juga, entahlah pergi kemana. 

Dia beranjak dari dapur menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua. Felix menaruh tasnya di sofa lalu beralih menghempaskan tubuhnya di kasur, rasanya melelahkan sekali setelah berjalan kaki dari sekolah menuju rumah. 

Iya, sekolahnya memang berjarak hanya beberapa kilo meter dari rumahnya. Tapi tetap saja melelahkan, seharusnya dia meminta sepeda untuk hadiah ulang tahunnya kemarin. 

Tunggu, hadiah...ya?

Dia bangkit dari kasur dan menghampiri lemari bajunya, mencari sebuah kotak kecil yang diberikan kakeknya saat beliau masih ada dahulu. 

Felix ingat sekali jika kakek memerintahkannya untuk membuka kotak itu saat dia berumur cukup dan nenek sudah memberitahukan sesuatu tentang ibunya. Dulu dia tidak begitu tertarik dengan isinya, jadinya dia menurut saja kepada kakek. 

Dan, dia menemukannya.

Kotak kecil kuno dengan ukiran bunga indah di bagian samping. Dia kembali duduk di kasur dan membuka kotak itu. 

Ternyata isinya adalah sebuah benda kuno—seperti aksesoris berbentuk bintang dan sepucuk surat usang yang terlihat sudah lama. 

Namun anehnya, bintang itu hanya sebagian. Tidak seperti bintang utuh pada umumnya, entahlah, tapi sepertinya ada bagian lainnya. 

Dia beralih menatap gulungan kertas—bukan kertas yang biasa digunakan manusia zaman sekarang melainkan kertas zaman dahulu yang berada di kotak itu. Di ujung surat terdapat nama seseorang yang ditulis menggunakan tinta, tapi nama itu bukan nama kakek, namun nama seorang perempuan. 

"Freya?" Dia menautkan kedua alisnya membaca nama yang sangat asing menurutnya. Siapa Freya? 

Tangannya perlahan bergerak untuk membuka surat itu. Tapi anehnya lagi, tidak ada tulisan apapun didalamnya. 

"Kenapa kosong?" Tanyanya kebingungan sendiri. 

Namun beberapa saat kemudian dari surat itu muncul suatu butiran cahaya cahaya kecil berwarna kuning berterbangan di depannya secara perlahan hingga membentuk wajah manusia yang tersenyum kearahnya. 

Dia terbelalak kala menyadari itu wajah siapa,"ibu?"

Butiran cahaya kecil itu berubah bentuk lagi menjadi sebuah jejeran tulisan rapi. 

'Jika bintang itu menemukan bagiannya yang hilang maka pintu dari negeri para makhluk bersayap akan terbuka.'

Negeri para makhluk bersayap? Maksudnya negeri para peri seperti ibunya? Sungguh, ini terlalu mengejutkan untuknya, apalagi dengan tulisan yang keluar dari kertas dan mengambang di udara tadi. Kemudian jejeran tulisan rapi itu perlahan memudar dan hilang dengan sendirinya. 

Felix berpikir sejenak, bagaimana caranya dia menemukan sebagian bintang itu? Oh,ayolah mana mungkin dia bisa menemukannya hanya dengan feeling dan opini semata, setidaknya berilah sedikit petunjuk. 

"Masa bodoh, lah!" Dia bangkit dari tempat tidur hendak mengambil makanan yang berada di meja makan, namun ekor matanya tak sengaja melirik kertas kosong yang masih tergeletak di atas ranjang, mendadak sudah tergambar sesuatu disana. Refleks tangannya bergerak dengan cepat untuk mengambil surat itu. 

"Lemari?" Anak laki-laki itu mengamati lemari putih dengan beberapa ukiran bunga cantik yang tampak asing baginya itu lekat, entah dia yang tidak tahu atau memang tidak ada. Tapi jujur, dia tidak pernah melihat lemari seperti itu di rumah ini. 

Dia mengamati kotak dan lemari itu secara bergantian, ukiran di kotak itu sama dengan ukiran lemari yang digambarkan oleh kertas. 

Tidak pernah melihat lemari itu artinya lemari itu berada di tempat yang tidak pernah dikunjunginya. Tapi dimana? Semua tempat disini dia pernah mengunjunginya. Ah, ini membingungkan. 

"Apa aku cek satu-satu saja?"

Dia memeriksa satu kali lagi gambar lemari itu lalu kembali terkejut.

"Wah, lihat saja sekarang latarnya pun muncul," ucapnya kagum. 

Tapi tunggu, dia tidak pernah mengunjungi gudang bawah selama ini. Karena tidak pernah diizinkan untuk masuk ke sana, tidak tahu karena apa. 

"Benarkah disana? tanyanya. 

Dan lagi, di kertas itu muncul sebuah tulisan. 

"Dia ada di tempat semua barang dikumpulkan?"

Entah kenapa dia berpikir jika kertas ini mampu mendengar suaranya, dan bahkan mampu membalas ucapannya melalui tulisan. 

"Pasti ada sesuatu di sana," ucapnya yakin. 

Dengan masih membawa kertas itu di tangannya, dia berjalan cepat keluar dari kamarnya dan turun menuju lantai bawah untuk pergi ke gudang yang berada sedikit masuk di lorong gelap sisi kanan ruang tamu. 

Saat sudah sampai di depan pintu, tangannya yang hendak membuka knop pintu dia hentikan di udara. Dia menengok kanan-kiri bergantian berharap nenek dan bibi pulang lebih lambat lagi agar setidaknya dia mendapatkan sedikit titik terang untuk bisa tahu tentang tempat asal ibunya. 

Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia membuka pintu itu perlahan hingga menampakkan tumpukkan barang yang sudah berdebu. Ada satu hal yang menarik perhatiannya, sebuah benda persegi panjang yang ditutupi menggunakan kain putih. Benda lumayan tinggi itu berada tak jauh dari tempatnya berdiri. 

Felix berjalan mendekat kearah sana, semakin dekat dia bisa melihat dengan jelas bahwa yang ditutupi kain putih itu adalah sebuah lemari. 

Dia menyentuh ujung kain saat berada di depan lemari itu, berniat membukanya secara perlahan untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. 

Hampir saja dia membuka sebagian, tiba-tiba seekor hewan kecil berwarna hitam melompat kearahnya membuatnya terkejut dan melepaskan tautan tangannya dari kain putih itu. 

"Huh, hanya tikus," gumamnya sambil mengelus dadanya yang bergemuruh. 

Dengan cepat dia membuka kain itu, dan...benar! 

Lemari putih yang sama persis seperti yang tergambar di kertas tadi. 

Tangannya bergerak untuk membuka lemari bercat putih itu. Sampai akhirnya—

"Felix!" 

********

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status