Share

|7. Cause and Effect

******

"Frank, ayolah jelaskan sedikit padaku," Anak laki-laki itu mondar-mandir karena mengikuti Frank yang entah kenapa sejak tadi terus menghindar saat dia bertanya kenapa anak itu tak melanjutkan ceritanya tentang seluk-beluk Negeri Wynstelle. 

Salahkan saja Frank, kenapa dia menyebutkan jika tidak mau menjelaskan? Membuat orang penasaran saja! 

Sedangkan Frank sudah risau setengah mati karena dia keceplosan dan berakhir memberitahu Felix tadi, bagaimana tidak? Menurut rumor dari teman-teman bermainnya, orang yang membocorkan rahasia ini tanpa izin Ratu akan ditahan di penjara besi emas yang mana di dalam penjara tersebut suhunya sangat panas seperti kau masuk neraka ditambah lagi dengan wajah penjaganya yang sangat mengerikan. Ah, membayangkan saja sudah membuat Frank ngeri. 

"Biar aku saja yang jelaskan." Kedua anak laki-laki itu menoleh kearah belakang dan mendapati Edward di sana. 

"Ayah?" 

"Paman?" 

Kedua anak itu berucap secara bersamaan. Pria itu berjongkok untuk menyamakan tubuhnya dengan anak laki-laki dari sahabatnya itu. Seketika Frank memasang wajah tak tahu apa-apa untuk menghindari bahaya. Namun ayahnya meliriknya sebentar dengan tatapan aneh membuatnya berkali-kali mencoba berpikir positif. 

"Hai naga kecil, ngomong-ngomong tadi terbangmu hebat," ucap pria itu sembari tersenyum menatap anak berambut pirang platina tersebut. 

Felix tersenyum hingga menampilkan jejeran giginya yang rapi, "terima kasih, paman."

"Kamu ingin tahu tentang rahasia itu, bukan?" Tanya Edward.

"Rahasia?" Ujar Felix bingung, memangnya itu rahasia, ya? Jika memang iya, pantas saja Frank tidak mau menjelaskan kepadanya. 

"Iya, itu adalah rahasia besar dalam sejarah Wynstelle."

******

"Dahulu, negeri kita dikutuk oleh para siluman naga," ucap Edward memecah keheningan, dengan kedua anak laki-laki yang saat ini tengah diam dan menatapnya secara serius. Mereka sedang duduk di teras rumah pohon itu sambil memandangi danau berwarna biru yang sangat indah kemarin namun sekarang berubah menjadi warna hitam pekat. 

Sesekali Edward melemparkan batu yang diperoleh entah darimana lalu menaikannya kembali dan menangkapnya dengan tangannya, begitu terus-menerus. 

"Naga? Memangnya di sini ada?" Tanya Felix penasaran. Pria itu menghentikan aktifitas melempar batunya lalu netra hijaunya mengarah ke depan. 

"Mereka ada di sana," balas pria itu sambil menunjuk kearah depan membuat Felix dan Frank mengikuti arah tangan Edward menunjuk. 

Disana ada dua bukit yang diselimuti kabut tebal, hal itu membuatnya tampak menyeramkan jika dilihat dari kejauhan. 

"Memangnya ada masalah apa sampai siluman naga mengutuk negeri ini?" Tanya anak bernetra biru itu lagi. 

"Karena ada orang jahat yang hampir berhasil berkuasa di sini," ucapnya membuat Felix kebingungan dan Frank angkat bicara. 

"Tapi apakah ayah tau siapa orang itu?" Edward menghembuskan napasnya pelan lalu mendongak menatap langit, mengingat kembali saat-saat paling menyedihkan bagi para penghuni Wynstelle. 

"Beri tahu dimana keberadaannya atau kupenggal kepalamu!" Pria bersayap putih itu mengarahkan pedang tajamnya kearah leher seorang pria tua yang sedang menatapnya dengan raut marah. 

"Kau pikir aku takut? Bahkan aku rela mengorbankan nyawaku hanya untuk Batu Permata itu, sialan!" Sentak pria itu sampai urat-urat di lehernya tampak menonjol. 

"Sudahlah ayah, kenapa kau tidak memberikan Batu Permata itu kepada penguasa negeri ini selanjutnya?" Pria bersayap putih yang diikat pada sebuah pohon cemara itu menatap putranya sulungnya tak percaya. 

Itu adalah Aldric, sang penguasa negeri Wynstelle yang pertama dan terakhir. 

"Hanya untuk kekuasaan kau ingin menghabisi ayahmu sendiri?" Tanyanya menurunkan intonasi bicaranya. 

Pria bernama Orazio itu tertawa pelan lalu berubah menjadi tawa jahat secara perlahan, "memangnya kenapa? Memangnya kenapa jika aku seperti itu?"

"Kau egois, Orazio," ujarnya dengan pandangan menajam kearah pria di depannya. 

Perkataan itu sukses membuat raut marah tergambar jelas di wajah Orazio. Dia menurunkan pedangnya dari leher ayahnya lalu berjongkok dan menatap pria tua yang merupakan ayahnya tersebut. 

"Benarkah aku yang egois? INI SEMUA SALAH AYAH, AYAH TAHU? KENAPA AYAH MEMUTUSKAN JIKA NEGERI INI AKAN MENJADI NEGERI BEBAS DISAAT SUDAH JELAS ADA PENERUS YANG PANTAS DISISI AYAH? PENGUASA NEGERI INI SETERUSNYA ADALAH AKU, TIDAK AKAN ADA KATA BEBAS UNTUK NEGERI INI, AYAH MENGERTI?!" Pria itu berteriak di depan ayahnya hingga menggebu-nggebu. 

Aldric menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, menyayangkan kelakuan baik putra sulungnya yang berubah begitu saja hanya karena dibutakan oleh kekuasaan. Orazio adalah orang yang lemah lembut bahkan adiknya lebih suka membantah daripada laki-laki itu, Orazio yang selalu menyelesaikan masalah dengan kepala dingin dan bahkan laki-laki itu tidak pernah terlihat menunjukkan emosinya kepada siapapun, ia orang yang selalu berkeliling setiap hari hanya untuk memastikan tidak ada rakyat yang kelaparan maupun kesusahan. Namun saat ini semuanya seolah berubah secara perlahan. 

Apakah semua itu hanya untuk mendapatkan kekuasaan? 

Sedari dulu dia memang tidak pernah memutuskan tentang penerusnya, dan dia sama sekali tidak pernah mau memberikan kekuasaannya kepada putra sulungnya, karena suatu alasan yang tidak bisa dia jabarkan melalui kata-kata. Lalu kenyataan apakah ini? 

Orang yang selalu menebarkan kebaikan justru sekarang malah berbalik arah. Apakah memang hukum alamnya begitu? Sifat yang ditunjukkan mungkin baik, tapi kita tak bisa menyimpulkan seseorang baik atau tidaknya hanya melihat dari luarnya saja. 

Tapi di dalam lubuk hatinya, dia juga merasa bersalah karena mengambil keputusan sepihak begitu saja tanpa persetujuan dari putra sulungnya itu dahulu. 

Dia tidak bisa membantah dan membela diri sama sekali. Karena yang dikatakan Orazio memang benar. 

"Silahkan bunuh ayah, namun jangan kau menghancurkan negeri ini hanya karena keegoisanmu itu, anakku." Pria itu mengambil tangan Orazio yang menggenggam pedang dan meletakkan pedang itu pada lehernya. Pandangan Aldric menunduk, melihat tanah basah yang mungkin saja sebentar lagi akan menjadi tempat tinggalnya, memilih pasrah akan apa yang akan terjadi padanya selanjutnya. 

Sedangkan kedua insan berbeda jenis kelamin yang sejak tadi menyaksikan sejak tadi dari semak-semak tak jauh dari posisi mereka hanya bisa mematung di tempat. 

Mereka tau dan mereka sadar bahwa pemandangan yang terjadi di depan mereka saat ini tidak bisa mereka campuri. 

Iya, itu Edward dan Freya. 

"Andaikan kakak tahu bahwa ayah melakukan ini untuk keselamatan dia." Gadis berambut pirang platina dengan hiasan bunga di kepalanya itu menatap nanar pemandangan yang disaksikan oleh matanya kali ini. 

Srekk! 

Freya dan Edward memejamkan matanya kala pedang yang sedari tadi berada di tangan Orazio berhasil menebas kepala Aldric—ayahnya sendiri. 

Dia sudah gila! 

Batin Freya menjerit karena merasa tak berdaya sebagai seorang anak, dia tidak bisa melakukan apa-apa, ini sudah keputusan dari ayahnya. Dia membuka kelopak matanya yang sedari tadi terpejam, dan kakinya seketika lemas karena melihat tubuh ayahnya yang terikat di pohon tadi sudah dalam keadaan tak berkepala. 

Darah sudah menyiprat kemana-mana, termasuk kakaknya yang sekarang sudah berlumuran darah. Pandangan Gadis berkuncir kuda itu menajam saat menatap sang pelaku yang saat ini terduduk kaku sambil menatap kedua tangannya yang berlumuran darah. Nampak seperti menyesal, namun Freya agak ragu jika orang tak berotak seperti dia mempunyai rasa menyesal. 

Edward memperhatikan tangan Freya yang sudah mengepal seakan bersiap untuk menghabisi kakak laki-lakinya, tangannya bergerak untuk memegang bahu gadis itu untuk sekedar menenangkan namun berhenti di udara kala objek yang dituju sudah berjalan menghampiri si pelaku yang masih terduduk kaku itu. 

"Puas kau sekarang, huh?!" Freya berteriak dengan napas menderu membuat orang yang diteriaki mendongak menatap kearahnya. 

"Kau itu sudah tidak waras, ya?! Dia ayahmu, bodoh! DIA AYAHMU!" Bibir gadis itu bergetar karena menahan tangis bercampur amarahnya yang sudah tak dapat ia tahan lagi. 

"Kau membunuh ayah kita, kakak..." Dia terduduk di hadapan kakaknya yang masih menatapnya kosong. 

Tangisnya tumpah saat itu juga. 

Edward kaku di tempat, dia hanya bisa terpaku melihat sahabatnya yang begitu tahan banting dan ceria kali ini menangis tersedu-sedu di hadapan mayat tanpa kepala itu. 

Tiba-tiba sebuah kekehan kecil terdengar membuat Edward dan Freya menatap orang yang beberapa bagian dari tubuhnya terciprat darah akibat ulahnya sendiri. 

Dia...memang gila. 

"Akulah penguasa Wynstelle sekarang," katanya sambil tertawa penuh kemenangan.

"Setelah Raja Aldric meninggal, semuanya berubah seperti ini." Pria itu mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru hutan, entah kapan terakhir kali dia melihat daun-daun berwarna hijau dan danau yang berwarna biru itu. 

Mereka semua sangatlah indah, tapi itu dulu. 

"Itu semua terkait peringatan dari siluman naga, bahwa jika Batu Permata itu jatuh ke tangan yang salah maka dunia akan menjadi gelap," sambung pria itu. 

"Jadi maksud ayah, Raja Aldric memutuskan negeri ini menjadi negeri bebas karena tidak mau peringatan siluman naga menjadi kenyataan?" Tanya Frank yang dibalas anggukan oleh Edward. 

"Iya, dan sampai akhirnya semua orang yang mempunyai jiwa yang jahat sayap mereka berubah menjadi hitam. Keputusan Raja Aldric untuk melindungi negeri ini dirusak oleh kerakusan putranya sendiri," balasnya. 

Negeri Wynstelle pada masa itu dan sampai saat ini dibagi menjadi dua bagian, bagian Wynstelle timur untuk Freya sebagai penjaga Peri Putih dan untuk daerah kekuasaan Orazio adalah bagian barat, Edward tidak tahu pasti namun informasinya Orazio adalah pemimpin bangsa Peri Hitam. 

"Tapi paman, adakah orang yang bisa membebaskan negeri ini?" Tanya Felix membuat Edward menatap kearahnya sembari tersenyum tipis. 

"Menurutmu, apakah ibumu tidak mempunyai alasan khusus saat membiarkanmu masuk ke negeri berbahaya ini?"

******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status