Home / Fantasi / Felix And The Star Gemstone / |7. Cause and Effect

Share

|7. Cause and Effect

last update Last Updated: 2021-09-03 21:44:55

******

"Frank, ayolah jelaskan sedikit padaku," Anak laki-laki itu mondar-mandir karena mengikuti Frank yang entah kenapa sejak tadi terus menghindar saat dia bertanya kenapa anak itu tak melanjutkan ceritanya tentang seluk-beluk Negeri Wynstelle. 

Salahkan saja Frank, kenapa dia menyebutkan jika tidak mau menjelaskan? Membuat orang penasaran saja! 

Sedangkan Frank sudah risau setengah mati karena dia keceplosan dan berakhir memberitahu Felix tadi, bagaimana tidak? Menurut rumor dari teman-teman bermainnya, orang yang membocorkan rahasia ini tanpa izin Ratu akan ditahan di penjara besi emas yang mana di dalam penjara tersebut suhunya sangat panas seperti kau masuk neraka ditambah lagi dengan wajah penjaganya yang sangat mengerikan. Ah, membayangkan saja sudah membuat Frank ngeri. 

"Biar aku saja yang jelaskan." Kedua anak laki-laki itu menoleh kearah belakang dan mendapati Edward di sana. 

"Ayah?" 

"Paman?" 

Kedua anak itu berucap secara bersamaan. Pria itu berjongkok untuk menyamakan tubuhnya dengan anak laki-laki dari sahabatnya itu. Seketika Frank memasang wajah tak tahu apa-apa untuk menghindari bahaya. Namun ayahnya meliriknya sebentar dengan tatapan aneh membuatnya berkali-kali mencoba berpikir positif. 

"Hai naga kecil, ngomong-ngomong tadi terbangmu hebat," ucap pria itu sembari tersenyum menatap anak berambut pirang platina tersebut. 

Felix tersenyum hingga menampilkan jejeran giginya yang rapi, "terima kasih, paman."

"Kamu ingin tahu tentang rahasia itu, bukan?" Tanya Edward.

"Rahasia?" Ujar Felix bingung, memangnya itu rahasia, ya? Jika memang iya, pantas saja Frank tidak mau menjelaskan kepadanya. 

"Iya, itu adalah rahasia besar dalam sejarah Wynstelle."

******

"Dahulu, negeri kita dikutuk oleh para siluman naga," ucap Edward memecah keheningan, dengan kedua anak laki-laki yang saat ini tengah diam dan menatapnya secara serius. Mereka sedang duduk di teras rumah pohon itu sambil memandangi danau berwarna biru yang sangat indah kemarin namun sekarang berubah menjadi warna hitam pekat. 

Sesekali Edward melemparkan batu yang diperoleh entah darimana lalu menaikannya kembali dan menangkapnya dengan tangannya, begitu terus-menerus. 

"Naga? Memangnya di sini ada?" Tanya Felix penasaran. Pria itu menghentikan aktifitas melempar batunya lalu netra hijaunya mengarah ke depan. 

"Mereka ada di sana," balas pria itu sambil menunjuk kearah depan membuat Felix dan Frank mengikuti arah tangan Edward menunjuk. 

Disana ada dua bukit yang diselimuti kabut tebal, hal itu membuatnya tampak menyeramkan jika dilihat dari kejauhan. 

"Memangnya ada masalah apa sampai siluman naga mengutuk negeri ini?" Tanya anak bernetra biru itu lagi. 

"Karena ada orang jahat yang hampir berhasil berkuasa di sini," ucapnya membuat Felix kebingungan dan Frank angkat bicara. 

"Tapi apakah ayah tau siapa orang itu?" Edward menghembuskan napasnya pelan lalu mendongak menatap langit, mengingat kembali saat-saat paling menyedihkan bagi para penghuni Wynstelle. 

"Beri tahu dimana keberadaannya atau kupenggal kepalamu!" Pria bersayap putih itu mengarahkan pedang tajamnya kearah leher seorang pria tua yang sedang menatapnya dengan raut marah. 

"Kau pikir aku takut? Bahkan aku rela mengorbankan nyawaku hanya untuk Batu Permata itu, sialan!" Sentak pria itu sampai urat-urat di lehernya tampak menonjol. 

"Sudahlah ayah, kenapa kau tidak memberikan Batu Permata itu kepada penguasa negeri ini selanjutnya?" Pria bersayap putih yang diikat pada sebuah pohon cemara itu menatap putranya sulungnya tak percaya. 

Itu adalah Aldric, sang penguasa negeri Wynstelle yang pertama dan terakhir. 

"Hanya untuk kekuasaan kau ingin menghabisi ayahmu sendiri?" Tanyanya menurunkan intonasi bicaranya. 

Pria bernama Orazio itu tertawa pelan lalu berubah menjadi tawa jahat secara perlahan, "memangnya kenapa? Memangnya kenapa jika aku seperti itu?"

"Kau egois, Orazio," ujarnya dengan pandangan menajam kearah pria di depannya. 

Perkataan itu sukses membuat raut marah tergambar jelas di wajah Orazio. Dia menurunkan pedangnya dari leher ayahnya lalu berjongkok dan menatap pria tua yang merupakan ayahnya tersebut. 

"Benarkah aku yang egois? INI SEMUA SALAH AYAH, AYAH TAHU? KENAPA AYAH MEMUTUSKAN JIKA NEGERI INI AKAN MENJADI NEGERI BEBAS DISAAT SUDAH JELAS ADA PENERUS YANG PANTAS DISISI AYAH? PENGUASA NEGERI INI SETERUSNYA ADALAH AKU, TIDAK AKAN ADA KATA BEBAS UNTUK NEGERI INI, AYAH MENGERTI?!" Pria itu berteriak di depan ayahnya hingga menggebu-nggebu. 

Aldric menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, menyayangkan kelakuan baik putra sulungnya yang berubah begitu saja hanya karena dibutakan oleh kekuasaan. Orazio adalah orang yang lemah lembut bahkan adiknya lebih suka membantah daripada laki-laki itu, Orazio yang selalu menyelesaikan masalah dengan kepala dingin dan bahkan laki-laki itu tidak pernah terlihat menunjukkan emosinya kepada siapapun, ia orang yang selalu berkeliling setiap hari hanya untuk memastikan tidak ada rakyat yang kelaparan maupun kesusahan. Namun saat ini semuanya seolah berubah secara perlahan. 

Apakah semua itu hanya untuk mendapatkan kekuasaan? 

Sedari dulu dia memang tidak pernah memutuskan tentang penerusnya, dan dia sama sekali tidak pernah mau memberikan kekuasaannya kepada putra sulungnya, karena suatu alasan yang tidak bisa dia jabarkan melalui kata-kata. Lalu kenyataan apakah ini? 

Orang yang selalu menebarkan kebaikan justru sekarang malah berbalik arah. Apakah memang hukum alamnya begitu? Sifat yang ditunjukkan mungkin baik, tapi kita tak bisa menyimpulkan seseorang baik atau tidaknya hanya melihat dari luarnya saja. 

Tapi di dalam lubuk hatinya, dia juga merasa bersalah karena mengambil keputusan sepihak begitu saja tanpa persetujuan dari putra sulungnya itu dahulu. 

Dia tidak bisa membantah dan membela diri sama sekali. Karena yang dikatakan Orazio memang benar. 

"Silahkan bunuh ayah, namun jangan kau menghancurkan negeri ini hanya karena keegoisanmu itu, anakku." Pria itu mengambil tangan Orazio yang menggenggam pedang dan meletakkan pedang itu pada lehernya. Pandangan Aldric menunduk, melihat tanah basah yang mungkin saja sebentar lagi akan menjadi tempat tinggalnya, memilih pasrah akan apa yang akan terjadi padanya selanjutnya. 

Sedangkan kedua insan berbeda jenis kelamin yang sejak tadi menyaksikan sejak tadi dari semak-semak tak jauh dari posisi mereka hanya bisa mematung di tempat. 

Mereka tau dan mereka sadar bahwa pemandangan yang terjadi di depan mereka saat ini tidak bisa mereka campuri. 

Iya, itu Edward dan Freya. 

"Andaikan kakak tahu bahwa ayah melakukan ini untuk keselamatan dia." Gadis berambut pirang platina dengan hiasan bunga di kepalanya itu menatap nanar pemandangan yang disaksikan oleh matanya kali ini. 

Srekk! 

Freya dan Edward memejamkan matanya kala pedang yang sedari tadi berada di tangan Orazio berhasil menebas kepala Aldric—ayahnya sendiri. 

Dia sudah gila! 

Batin Freya menjerit karena merasa tak berdaya sebagai seorang anak, dia tidak bisa melakukan apa-apa, ini sudah keputusan dari ayahnya. Dia membuka kelopak matanya yang sedari tadi terpejam, dan kakinya seketika lemas karena melihat tubuh ayahnya yang terikat di pohon tadi sudah dalam keadaan tak berkepala. 

Darah sudah menyiprat kemana-mana, termasuk kakaknya yang sekarang sudah berlumuran darah. Pandangan Gadis berkuncir kuda itu menajam saat menatap sang pelaku yang saat ini terduduk kaku sambil menatap kedua tangannya yang berlumuran darah. Nampak seperti menyesal, namun Freya agak ragu jika orang tak berotak seperti dia mempunyai rasa menyesal. 

Edward memperhatikan tangan Freya yang sudah mengepal seakan bersiap untuk menghabisi kakak laki-lakinya, tangannya bergerak untuk memegang bahu gadis itu untuk sekedar menenangkan namun berhenti di udara kala objek yang dituju sudah berjalan menghampiri si pelaku yang masih terduduk kaku itu. 

"Puas kau sekarang, huh?!" Freya berteriak dengan napas menderu membuat orang yang diteriaki mendongak menatap kearahnya. 

"Kau itu sudah tidak waras, ya?! Dia ayahmu, bodoh! DIA AYAHMU!" Bibir gadis itu bergetar karena menahan tangis bercampur amarahnya yang sudah tak dapat ia tahan lagi. 

"Kau membunuh ayah kita, kakak..." Dia terduduk di hadapan kakaknya yang masih menatapnya kosong. 

Tangisnya tumpah saat itu juga. 

Edward kaku di tempat, dia hanya bisa terpaku melihat sahabatnya yang begitu tahan banting dan ceria kali ini menangis tersedu-sedu di hadapan mayat tanpa kepala itu. 

Tiba-tiba sebuah kekehan kecil terdengar membuat Edward dan Freya menatap orang yang beberapa bagian dari tubuhnya terciprat darah akibat ulahnya sendiri. 

Dia...memang gila. 

"Akulah penguasa Wynstelle sekarang," katanya sambil tertawa penuh kemenangan.

"Setelah Raja Aldric meninggal, semuanya berubah seperti ini." Pria itu mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru hutan, entah kapan terakhir kali dia melihat daun-daun berwarna hijau dan danau yang berwarna biru itu. 

Mereka semua sangatlah indah, tapi itu dulu. 

"Itu semua terkait peringatan dari siluman naga, bahwa jika Batu Permata itu jatuh ke tangan yang salah maka dunia akan menjadi gelap," sambung pria itu. 

"Jadi maksud ayah, Raja Aldric memutuskan negeri ini menjadi negeri bebas karena tidak mau peringatan siluman naga menjadi kenyataan?" Tanya Frank yang dibalas anggukan oleh Edward. 

"Iya, dan sampai akhirnya semua orang yang mempunyai jiwa yang jahat sayap mereka berubah menjadi hitam. Keputusan Raja Aldric untuk melindungi negeri ini dirusak oleh kerakusan putranya sendiri," balasnya. 

Negeri Wynstelle pada masa itu dan sampai saat ini dibagi menjadi dua bagian, bagian Wynstelle timur untuk Freya sebagai penjaga Peri Putih dan untuk daerah kekuasaan Orazio adalah bagian barat, Edward tidak tahu pasti namun informasinya Orazio adalah pemimpin bangsa Peri Hitam. 

"Tapi paman, adakah orang yang bisa membebaskan negeri ini?" Tanya Felix membuat Edward menatap kearahnya sembari tersenyum tipis. 

"Menurutmu, apakah ibumu tidak mempunyai alasan khusus saat membiarkanmu masuk ke negeri berbahaya ini?"

******

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Felix And The Star Gemstone   |29. PALSU

    ****"Paman Edward?"Keenam anak peri itu terlonjak kaget kala tak sengaja mendapati Edward yang tengah berdiri tepat di depan Goa Dua Pintu.Frank menelan salivanya susah payah lalu membalikkan badannya, namun ditahan oleh Gazza dengan cara ditarik ujung kerah lehernya. Lagi? Astaga, dia lelah terus yang terkena omelan Ayahnya karena ketahuan melakukan hal mencurigakan. Padahal Ratu Freya biasa-biasa saja, tapi respon Ayahnya sangat berlebihan menurutnya."Frank?" panggil Edward ke arah putranya yang kini tengah menundukkan kepala.Frank yang sangat tahu apa maksud dari Sang Ayah pun memejamkan matanya sebentar, mendongakkan kepalanya dan menghalau semua rasa gugup bercampur takut yang ada. "Kami ingin mengambil Batu Permata Bintang," ucapnya.Edward menaikkan sebelah alisnya bingung. "Batu Permata Bintang? Mengapa di sini?" tanyanya ke arah ketujuh anak itu.Frank menyerahkan peta yang sedari tadi berada di tangannya kepada Edward.Dengan ragu, Edward menerima peta itu. Dia cukup t

  • Felix And The Star Gemstone   28. Salah Paham.

    ***** "AAAAAA!" "TIDAKKK!" Kaki Edward melemas melihat kedua sahabatnya yang kini telah tak sadarkan diri akibat diserang Habis-habisan oleh Raja Peri Hitam. Dia terlambat. Netra hijau emeraldnya mengamati anak laki-laki bersurai pirang platina yang kini tengah mengarahkan tatapan membunuh ke arah pria yang menjadi biang keladi dari kerusuhan yang terjadi malam ini. "BERANI SEKALI KAU MENGHENTIKAN MANTRAKU, BOCAH!!" Pria bertanduk hitam itu menatap tajam Felix yang baru saja menghalau mantranya, sehingga mantra itu tidak mengenai Andrio sepenuhnya. Tapi, bagaimana anak itu bisa bangun lebih cepat dari dugaanya? "Kau mencariku, bukan? Lalu untuk apa kau membunuhnya? Melakukan hal yang sia-sia?" ucap Felix tak berekspresi sambil menaikkan sebelah alisnya. Rahang Orazio mengeras melihat ekspresi anak laki-laki di depannya. "Kau tidak tahu apapun!" Felix terkekeh pelan, "ken

  • Felix And The Star Gemstone   27. That's Him?

    ***** "Hahaha, apakah kau akan terus melindunginya, Andrio?" Suara tawa terdengar menggema di sebuah rumah yang hanya di terangi oleh cahaya lilin dan pantulan cahaya dari sang bulan. Anak bersurai pirang platina itu perlahan membuka matanya, merasakan tubuhnya tengah terbaring di atas lantai marmer berwarna hitam yang terasa begitu dingin menusuk tulangnya. Dia mengubah posisinya menjadi duduk. Di depannya terlihat kedua pria yang mungkin seumuran Paman Edward tengah saling bertarung mengeluarkan kekuatan mereka masing-masing. Salah satu diantara mereka bertanduk hitam serta bersayap hitam sedangkan yang satunya tidak mempunyai sayap maupun tanduk. Peri bersayap hitam itu tampak sedang membelakangi seseorang yang sedang disekap pada sebuah kursi dengan sihir merah yang mengelilingi tubuhnya. Dia mengucek-ucek matanya yang masih buram karena mungkin sudah terlelap entah berapa lama. Tapi, kenapa dia berada

  • Felix And The Star Gemstone   |26. Tidak Bernapas

    ***** "Paman, Ibu tidak bernapas. Aku harus bagaimana?" Ucapnya lirih, bahkan mungkin tak terdengar oleh yang lain selain mereka. Suara putus asa itu membuat jantung Andrio serasa berhenti berdetak detik itu juga. Kepalanya menoleh cepat kearah perempuan bersurai pirang platina tergerai bebas yang sedari tadi masih dalam keadaan memejamkan mata. Dia menggeleng pelan. Itu tidak mungkin. Dia belum menyalurkan mantra itu sepenuhnya. Seharusnya tidak secepat itu. Andrio berlari cepat ke arah wanita yang masih berstatus pasangan hidupnya tersebut. "Freya... Itu tidak benar, kan?" Ucapnya lirih di hadapan Freya. Telunjuknya bergerak untuk dia taruh di depan lubang hidung Freya agar ia bisa merasakan deru napas wanitanya. Oh, masihkah kata itu berlaku? Tepat sebelum hal itu terjadi, Felix lebih dahulu menyambarkan petir yang berasal dari Berlian Biru yang tengah ia hadapkan ke arah pria itu. A

  • Felix And The Star Gemstone   |25. Penangkapan

    ***** Felix berlari tergesa-gesa diantara beberapa pohon yang tumbuh tinggi menjulang di sekitar Hutan Cahaya. Ibunya ditangkap. Berita sampah macam apa itu? Awas saja jika dia dibohongi. Tidak mungkin ada yang menyakiti Ibunya. "Kau punya sayap, bodoh! Kenapa malah berlari?!" Ujar Frank yang kini sedang terbang di atasnya bersama dengan keenam temannya yang lain. Anak laki-laki bersurai pirang platina itu mendongak. Seketika timbul keinginan menempeleng kepala anak itu karena cara mengingatkannya yang amat menyebalkan. Tapi...benar juga kata Frank. Kenapa dia seketika melupakan fungsi sayapnya? Ah, entahlah. Pikirannya campur aduk sekarang. Entah itu tentang keberadaan Batu Permata Bintang maupun tentang ibunya yang katanya ditangkap entah oleh siapa. Dia mengepakkan sayapnya, ikut terbang bersama dengan teman-temannya. Namun diantara ketujuhnya, Felix lah yang terbang dengan sangat cepat da

  • Felix And The Star Gemstone   |24. 00.00

    ***** "Vancy dan Lavender sedang ditugaskan Paman James untuk meneliti sesuatu, jadi mungkin mereka tidak akan datang malam ini," ucap Gazza yang tengah merebahkan dirinya di kursi empuk di ruang tengah. Tunggu, kursi empuk? Anak laki-laki itu kembali duduk, menoleh ke belakang untuk mengamati kursi kayu yang biasanya selalu ia duduki sekarang sudah berubah menjadi kursi empuk berwarna biru. Dia melirik keempat temannya yang sedang sibuk bermain membentuk kunang-kunang menjadi sebuah bentuk hewan sesuai yang diperintah oleh pemain lain. "Siapa yang mengubah kursi ini?" Tepat saat giliran Hardwin yang akan membentuk kunang-kunang, Gazza bertanya kepada mereka mereka. Mendengar itu, keempatnya menoleh ke arah sofa tempat Gazza duduk. "Siapa lagi kalau bukan temanmu yang berasal dari dunia manusia ini," ujar Dean sambil melirik Felix. Anak laki-laki bersurai pirang platina

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status