Jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Amira masih berada di ruang tengah di rumah Yudha bersama bayinya sembari memberikannya asi.
Kondisi Amira sudah membaik, meskipun wajahnya masih terlihat pucat. Yudha dan Pak Abdullah sudah berangkat kerja sebagai guru dari tadi pagi, sedangkan Yuni sudah berangkat ke sekolah.
Di rumah, hanya ada Bu Zaenab dan Amira. Setelah melihat kondisi Amira yang sudah tenang, Bu Zaenab kembali mencoba bertanya pada Amira. Tadi pagi sempat Yudha juga bertanya pada Amira, tetapi Amira hanya diam saja dan menangis. Yudha juga sempat bercerita pada Ibunya tentang telepon Yudha pada suami Amira yang dimatikan sepihak.
"Nak Amira," sapa Bu Zaenab.
Amira seketika menoleh ke arah Bu Zaenab.
"Sekarang apa bisa, kamu ceritakan masalahmu? Ibu ingin sekali membantumu, sepertinya kamu memiliki masalah yang berat," bujuk Bu Zaenab sembari mengelus pipi mungil Gemilang.
Amira tertunduk, sebenarnya ia merasa malu menceritakan masalahnya pada orang lain. Namun, hatinya begitu sesak, mungkin Bu Zaenab adalah orang yang tepat agar bisa membantunya.
"Sa-saya diusir suami saya, Bu," jawab Amira.
Bu Zaenab sedikit terkejut, "Kenapa?" tanya Bu Zaenab.
"Saya dituduh berzina .... "
Amira pun menceritakan masalah yang menimpanya. Ia kembali menangis saat mengingat perlakuan suami, ipar dan mertuanya. Amira mencoba ikhlas, tetapi tak dipungkiri hatinya begitu sakit. Amira menceritakan semuanya tanpa ditambah atau dikurangi.
"Astaghfirullahaladzim .... " Bu Zaenab tak berhenti beristighfar setelah mendengar cerita Amira. Jiwa keibuannya membuat ia segera memeluk Amira. Meskipun baru kenal, ada rasa kasihan yang teramat dalam saat mendengar cerita Amira.
"Sekarang, apa rencana kamu selanjutnya, Mir?" tanya Bu Zaenab.
"Saya tidak tahu, Bu. Saya ingin ke panti tempat saya dibesarkan dulu, tetapi tempatnya jauh di Surabaya. Saya tak punya ongkos untuk pergi ke sana," jawab Amira.
"Kamu yang sabar ya, Mir. Ya sudah kamu sementara tinggal di sini dulu, sampai kamu siap," tawar Bu Zaenab sembari mengusap punggung Amira.
"Terima kasih Bu. Tetapi, saya tak mau merepotkan keluarga Ibu," tolak Amira, bukannya ia tak mau menerima tawaran Bu Zaenab, tetapi ia merasa tak enak dengan Yudha karena masa lalu yang pernah terjadi diantara mereka.
"Tak ada yang direpotkan, kamu bisa bantu Ibu buat kue untuk dijual, nanti Ibu kasih kamu gaji agar bisa membeli keperluan Gemilang. Kebetulan Ibu butuh tenaga untuk membantu bikin-bikin kue, biasanya dibantu Yuni. Tapi dia sekarang sedang sibuk persiapan ujian kelulusan."
Tawaran yang menarik menurut Amira, ia pun mempertimbangkannya. Meskipun sebenarnya ia tak nyaman dengan Yudha, tetapi ia butuh uang untuk Gemilang dan juga ongkos pulang ke panti tempatnya dirawat dulu.
"Tetapi Bu, saya tak bisa bikin kue." Amira merasa ragu.
"Nanti Ibu ajarkan. Yang penting sekarang kamu aman berada di sini. Kamu juga bisa mengumpulkan uang untuk ongkos kamu ke Surabaya. Sebenarnya Ibu bisa saja memberikan pinjaman uang padamu, tetapi Ibu sudah jatuh cinta pada anakmu, Amira. Biarkan dia di sini," ucap Bu Zaenab, ia lalu menggendong Gemilang dan mengajak bercanda bayi tujuh bulan itu. Gemilang pun tertawa menggemaskan saat bercanda dengan Bu Zaenab. Hal yang sama sekali tak pernah dilakukan oleh Retno yang merupakan nenek kandung Gemilang.
Setelah lama terdiam, Amira pun mengangguk, menyetujui tawaran Bu Zaenab. Ia tak punya pilihan lain, ada rasa kasihan pada Gemilang jika ia pergi dalam kondisi tak punya uang. Untuk meminjam uang pada Yudha pun, ia segan. Maka dari itu lebih baik Amira menerima tawaran itu. Bu Zaenab pun tersenyum, penuh ketulusan.
Amira menatap Bu Zaenab yang tengah menggendong Gemilang, ia membayangkan andai saja dulu ia lebih memilih Yudha, mungkin ia akan memiliki mertua sebaik Ibu Zaenab.
'Astaghfirullahaladzim,' batin Amira beristighfar, ia harusnya tak boleh membayangkan yang tidak-tidak. Semua yang sudah terjadi adalah suratan takdir yang harus dijalaninya.
"Kamu tahu Mir, andai saja, Yudha bisa segera menikah. Ibu pasti sudah punya cucu, usia Yudha tahun ini sudah tiga puluh, harusnya ia sudah menikah," kata Bu Zaenab pada Amira.
"Mungkin belum bertemu jodohnya, Bu."
"Halah, anak itu susah, Mir. Entah, wanita seperti apa yang ia mau. Sudah sering ibu jodohkan, juga banyak wanita yang ingin dekat dengan Yudha. Namun, ia masih tak mau membuka hatinya," keluh Bu Zaenab.
Amira hanya mengangguk, ia bingung mau menanggapi apa.
"Yudha pernah cerita sama Ibu, beberapa tahun lalu, ia pernah mencintai wanita. Tapi kayaknya, cintanya bertepuk sebelah tangan," ucap Bu Zaenab yang merasa lucu dengan nasib cinta anaknya.
Deg! Amira seketika merasa tak enak, ia merasa takut jika Bu Zaenab akan membahas dirinya dan Yudha.
"Wanita itu bod*h nolak cinta Yudha, Mir. Anak Ibu kan ganteng, Sholeh, kerjaan juga udah mapan tapi malah ditolak. Hemm ... Yang Ibu gak habis pikir, Yudha masih belum mop-on dari wanita itu."
"A-apa Ibu kenal dengan wanita itu?" tanya Amira berhati-hati.
"Yudha gak pernah ngasih tahu, baik nama maupun foto. Setiap Ibu nanya, dia tak mau jawab. Ibu kesel jadinya, Mir. Padahal, Ibu penasaran."
'Syukurlah berarti Bu Zaenab tak tahu apa pun,' bathin Amira. Namun, cerita Bu Zaenab mengenai Yudha, membuat ia semakin merasa tak enak pada keluarga Yudha yang sudah berbaik hati menolongnya.
Bu Zaenab menyerahkan Gemilang kembali pada Amira, ia lalu menyuruh Amira menempati kamar kosong di belakang dekat dengan dapur karena hanya kamar itu yang kosong.
Malam ini, semua anggota keluarga Yudha sudah berkumpul di ruang keluarga. Mereka membahas tentang Amira yang akan tinggal di rumah mereka untuk sementara. Yudha sangat antusias mengetahui Ibunya ingin menolong Amira, meskipun di depan keluarganya ia menyembunyikan itu semua dengan bersikap acuh. Bu Zaenab pun menceritakan hal yang menimpa Amira sehingga membuat ia merasa iba.
"Bagaimana menurut Bapak? Ibu sangat kasihan dengan Amira, biarkan ia sementara di sini bantu Ibu. Ibu juga sangat menyukai Gemilang," ucap Bu Zaenab pada suaminya.
"Tapi apa tak sebaiknya kita kasih ongkos saja Amira supaya dia bisa pulang ke Surabaya?" Pak Abdullah terlihat keberatan.
"Ibu juga pengennya gitu, Pak. Tapi, Ibu gak tega lihat Gemilang yang masih bayi."
"Terus, itu gimana temanmu Yud? kamu sudah hubungi suaminya kan?" Pak Abdullah bertanya pada Yudha.
"Sudah Pak. Tapi Amira sudah ditalak oleh suaminya," jawab Yudha.
"Bapak sih tak masalah menolong dia, Bu. Cuman, Bapak hanya tak ingin menimbulkan fitnah untuk keluarga kita. Ibu kan tahu sendiri, kita punya anak bujang yang belum menikah. Apa nanti gak jadi omongan tetangga, Bu?" tanya Pak Abdullah.
"Bapak tenang saja, untuk urusan itu biar Ibu yang atur. Nanti bilang saja, Amira saudara kita yang dari Jawa sana," ucap Bu Zaenab menenangkan hati suaminya yang gelisah.
Pak Abdullah pun akhirnya setuju dengan keinginan Bu Zaenab, ia akhirnya mengizinkan Amira dan Gemilang tinggal di rumahnya untuk sementara. Begitupun dengan Yudha, dalam hati ia tersenyum bahagia melihat wanita yang masih dicintainya itu akan berada di dekatnya.
***
"
"Ayo, cerita, ada apa?" tanya Nisa kemudian setelah mereka duduk."Nis, apa keputusanku ini salah ya? Apa aku telah egois?" Syahla mulai bercerita."Keputusan buat nikah dengan Pak Yudha? Bukankah itu mimpi kamu?" Nisa merasa tak mengerti dengan ucapan Syahla."Maksud aku gini, aku pikir, aku akan bahagia mendapatkan Mas Yudha. Namun, hati kecilku merasa hampa karena aku tahu, Mas Yudha tak mencintaiku. Aku merasa Mas Yudha tak bahagia jika menikah denganku. Ia selalu bersikap dingin meskipun kami akan menikah. Aku pikir, Mas Yudha masih mencintai Amira," ujar Syahla."Terus, mau kamu apa, La? Apa kamu berpikir untuk melepaskan Yudha dan Amira untuk bersama? Bukankah, kau membenci Amira?" seloroh Nisa."Iya, sih. Namun, aku kembali merenung akhir-akhir ini. Semua yang terjadi bukan sepenuhnya salah Amira. Ini hanya keegoisanku semata karena cemburu padanya. Aku bingung, Nis. Namun, untuk mundur dan melepas Mas Yudha, aku sudah terlanjur malu dengan foto-foto itu.""Hati kecilku juga me
Syahla baru saja sadar dari pingsannya. Setelah semalaman tak sadarkan diri. Terlihat Nisa yang sedang menjaganya. "Nisa," ucap Syahla lirih."Syahla, kamu udah sadar? Alhamdulillah ..." Nisa menangis haru, ia sangat takut kehilangan sahabatnya tersebut."Nis, aku masih hidup kan?" tanya Syahla."Iya, bod*h. Kau masih hidup, janji jangan kau ulangi perbuatan bod*hmu itu, La," ujar Nisa."Buat apa aku hidup, Nis. Semua kebahagiaanku sudah direnggut oleh Amira. Aku bahkan sudah tidak punya muka lagi sekarang. Hanya karena cinta, aku bertindak bod*h." Syahla menyesali perbuatannya."Aku benci Amira, Nis! Aku benci dia, karena dia hidup aku hancur seperti ini," sambungnya."Syahla, kamu yang tenang ya. Pak Yudha pasti akan menikahimu," ucap Nisa."Nggak mungkin, Nis. Mas Yudha tak akan menikahiku, ia pasti sangat membenciku saat ini.""A-aku akan menikahimu, Syahla." Suara seorang lelaki yang tak begitu asing di telinga Syahla.Syahla pun menoleh, mencari lelaki itu. Terlihat Yudha sudah
Malam hari.Syahla tengah melihat foto-foto di galeri ponselnya di dalam kamar. Foto-foto mesra yang ia ambil dengan dibantu Nisa, ketika Yudha tengah tak sadarkan diri di kamarnya. Ia sedang berpikir untuk mengirim foto-foto itu di media sosial miliknya. Juga, ia akan mengirim di grup pekerjaannya di kantor. Meskipun, hal itu akan sangat memalukan, tetapi Syahla sudah tak punya cara lain lagi.Ia kemudian mengirim foto-foto itu di grup kerjaanya. Tak lama, grup kerjaanya itu heboh dengan banyaknya komentar dari rekan-rekan karyawan di kantornya. Semua komentar hampir menanyakan apa maksud dari Syahla mengirimkan foto-foto ini. Serta, menanyakan apakah benar foto-foto itu adalah foto Yudha dan Syahla?Syahla hanya membaca kehebohan di grup kantor, ia tak berniat membalasnya. Deretan pesan pribadi pun memenuhi ponselnya. Rata-rata dari teman kantornya."La, kamu benar-benar gila ya? Kamu serius kirim foto itu di grup kantor?" Nisa menghampiri Syahla, ia tak percaya dengan tindakan nek
Amira begitu kecewa mendengar penuturan dari Yudha yang mengatakan, jika lelaki itu mengakui tidur di kamar yang sama dengan Syahla saat terbangun. Namun, Yudha sendiri merasa tak yakin jika melakukan hal itu, ia tak ingat apa pun."Aku tak begitu ingat, kenapa aku berada di kamar yang sama dengan Syahla. Aku juga merasa tak yakin jika aku melakukan hal itu. Hanya saja, aku merasa kecewa dengan diriku sendiri, Mir. Aku sudah menyakitimu, maafkan aku," sesal Yudha."Terus, apa yang akan kau lakukan, Kak? Apa kau akan menikahi Syahla?" tanya Amira datar.Yudha terdiam, entahlah dia tak tahu apa yang akan dia lakukan. Sebagai seorang lelaki yang dididik baik oleh keluarganya, ia tak ingin menjadi lelaki pengecut yang lepas dari tanggung jawab. Namun, ia tak yakin dengan apa yang terjadi antara dirinya dan Syahla di kamar itu.Yudha kembali mengingat saat baru saja bangun dari pingsannya malam tadi. Ia memijit pelipisnya, merasa kepalanya begitu sakit. Pelan-pelan ia membuka matanya, terl
Syahla sedang pisisi tidur di samping Yudha. Meskipun tidak berpakaian seksi, Syahla melepas hijab yang menutup kepalanya."Nisa!" Syahla menoleh saat mendengar suara pintu terbuka dan Nisa masuk ke kamarnya."Syahla, aku berubah pikiran!" "Maksud kamu?"Nisa ke sisi Syahla kemudian menarik lengan wanita itu untuk segera bangun dari kasur."La, sadar, bukan seperti ini cara untuk mendapatkan Yudha! Kamu hanya akan mempermalukan dirimu sendiri!" ujar Nisa memperingatkan."Aku tak peduli, Nis! Bagiku mendapatkan Mas Yudha adalah hal yang lebih penting. Aku bahkan rela jika harus tidur dengannya!" seloroh Syahla."Tapi aku tak bisa membantumu dalam hal ini. Aku seperti ini karena peduli padamu, La. Aku tak ingin kamu mempermalukan dirimu sendiri." Nisa berusaha menyadarkan Syahla dari ide konyolnya."Oke, tak masalah. Aku sudah punya rencana lain kalau kau tak mau membantuku. Tapi, untuk kali ini kau jangan ikut campur Nisa. Berhenti menasehatiku, kau cukup melihat saja dan jangan berit
"Gemilang? Itu ... Bukan apa-apa," jawab Syahla gugup. Ia khawatir Gemilang melihat aksinya memberikan beberapa tetes cairan ke dalam kopi milik Yudha."Tapi, aku pernah lihat itu di rumah Oma." Gemilang menunjuk sesuatu di tangan kiri Syahla.Syahla pun mengikuti pandangan Gemilang, ternyata yang dimaksud anak kecil itu adalah gelang yang dipake Syahla."Gelang ini?" tanya Syahla memastikan dengan menunjukkan gelang itu pada Gemilang.Gemilang mengangguk. "Gelangnya sama kaya punya Oma. Apa itu gelang punya Oma, Tan?"Syahla sedikit lega mendengar ucapan Gemilang. Ternyata benar, Gemilang menanyakan gelangnya."Ini gelang punya Tante. Oma membelikannya untuk Tante. Gelang Oma sama Tante samaan," jelas Syahla."Emang kenapa, kok Gemilang tanya gelang ini?" tanya Syahla kemudian karena penasaran."Dulu waktu di rumah Oma, aku ambil gelang Oma buat mainan. Habis itu, gelang Oma rusak. Oma marah sama aku, katanya itu gelang berharga punya Oma. Aku nggak boleh pegang gelang itu lagi." Gem