Share

Bab 51

Author: Autumn
last update Last Updated: 2025-09-24 20:55:48

Matahari sudah di atas kepala cuaca terasa begitu terik, hati Dirga ikut memanas karena kejadian di hari ini. Pria itu tampak mengusap wajahnya gusar, sudah beberapa tempat dia datangi, namun tetap tak membuahkan hasil juga.

Dia bahkan sudah meminta bantuan Nanda untuk melacak keberadaan sang istri, namun hasilnya tetap nihil. Dia menarik napas berat, tangannya meremas kaleng minuman lalu melemparnya ke segala arah.

“Aduh, catit!” teriak seorang anak kecil sembari memegangi kepalanya.

Mendengar suara itu, Dirga sontak menoleh. “Astaga, maaf-maaf, kamu baik-baik saja?” tanya Dirga terlihat panik. Dia segera berlari menghampiri seorang anak lelaki berusia tiga tahunan itu.

”Hiih syebel. Om lepal kaleng cembalangan, itu pencemalan lingkungan!” teriak anak kecil itu berlari mendekati Dirga sembari memberikan kaleng yang sempat dilempar olehnya tadi.

Dirga tampak termenung menatap wajah gembul menggemaskan, yang terlihat kesal itu. Dia bahkan tak tau harus bereaksi seperti apa saat ini. Bisa diakui jika dirinya memang ceroboh.

“Jangan diulangi lagi ya! No no!" bentak anak kecil itu sembari bertolak pinggang.

”Astaga, Dae, nggak boleh seperti itu. Cepat minta maaf sama omnya,” bujuk Intan berlari menghampiri putranya. Baru sebentar ditinggal melayani pembeli, anak lelaki itu sudah menghilang dari radar Intan.

“No mama, om om ini yang salah, buang campah sembalangan, dia yang salah!” teriaknya tak mau kalah.

”Maaf ya mas, saya jadi nggak enak,” kata Intan merasa tak enak hati melihat tingkah putranya.

”Tidak-tidak, adek ini benar. Saya yang salah, seharusnya saya yang minta maaf. Maaf ya, om salah. Lain kali om akan buang sampah dengan tertib," kata Dirga sembari tersenyum.

“Janji?” tanya Dae sembari mengangkat kelingking mungilnya. Kali ini wajah anak itu terlihat sedikit berubah, dengan sudut bibir terangkat membentuk bulan sabit.

“Iya janji," jawab Dirga menautkan kelingkingnya dengan milik Dae.

“Ayo mama, kita balik!” ajaknya kepada sang mama.

“Maaf ya mas, kami permisi," pamit Intan kepada Dirga.

“Ah, maaf sebelumnya, apakah kamu pernah melihat orang ini?” tanya Dirga mengulurkan ponselnya. Sejak tadi dia sudah berkeliling menanyai pengunjung satu demi satu, sayangnya tak ada yang melihat keberadaan sang istri. Dirga sempat ke minimarket di mana Kirana melakukan transaksi sebelumnya.

Salah seorang pegawai mengatakan jika istrinya berjalan menuju pantai. Namun sudah hampir satu jam dirinya berkeliling tetap tak menemukannya. Dia memang baru bertemu dengan wanita yang ada di hadapannya saat ini. Besar harapan Dirga jika wanita ini bertemu dengan Kirana sebelumnya.

“Tante gaun putih," celetuk Dae.

“Kamu pernah lihat tante ini?” tanya Dirga sembari tersenyum. Seakan mendapat angin segar di padang pasar, Dirga merasa seperti menemukan sebuah harapan di tengah keputusaasaannya siang ini.

“Mbak Kirana ya, apakah anda suaminya?” tanya Intan.

“Iya saya suaminya, jika memang anda pernah bertemu dengan istri saya. Tolong katakan di mana dia sekarang?" cecar Dirga.

“Kami memang sempat bertemu tadi, tapi ke mana dia saat ini saya juga kurang tau. Dia meninggalkan kedai saya sekitar satu jam yang lalu. Selebihnya saya kurang tau mas,” jawab Intan yang memng berkata jujur.

“Baiklah, terimakasih. Jawaban ini cukup membantu saya,” kata Dirga segera pergi meninggalkan Intan dan putranya.

Dirga buru-buru berjalan menuju parkiran, dia membuka mobil dan duduk sejenak. Kepalanya bersandar pada kemudi. Tangannya masih setia menggenggam ponsel sembari melingkar pada kemudi.

Beberapa kali dia menghela napas. ”Sayang, kamu di mana?" gumamnya sembari memejamkan mata.

Dia langsung teringat pada ayah mertuanya yang saat ini berada di belahan dunia lain. Dia berpikir jika sang mertua akan mengetahui keberadaan sang istri. Tanpa berpikir panjang, dia kembali menyandarkan pundaknya mencari kontak sang ayah mertua.

Sayangnya, karen perbedaan waktu. Panggilan Dirga tak mendapat jawaban. Beberapa pesan singkat masuk ke ponselnya, itu adalah pesan dari sang mama. Dia tak ingin melihat pesan dan segera meletakkan ponsel itu kembali. Tanpa berlama-lama, Dirga segera menyalakan mesin mobil dan mengendarai tanpa tujuan. Berharap akan menemukan sang istri di persimpangan jalan manapun nanti.

~~

Di stasiun kereta, Kirana kembali berpikir untuk melanjutkan langkahnya atau kembali pulang. ‘Apakah langkahku kali ini benar? Jika aku pulang. Aku hanya akan merasakan sakit hati untuk kesekian kali. Mungkin kali ini aku salah, tapi bukankah aku harus menyembuhkan diri sebelum menghadapi semuanya?' ucapnya bermonolog.

Kakinya tetap melangkah maju memasuki gerbong kereta. Pejalanan kali ini akan memakan waktu yang cukup lama. Jika tidak ada kendala dia akan sampai ke kota S dengan kurang lebih tujuh jam perjalanan. Dibanding dengan pesawat dia memilih untuk menaiki kereta agar bisa menikmati pemandangan di sepanjang perjalanan.

Kirana akan pergi ke rumah budenya, yang saat ini tinggal di kota S. Dia sengaja tak memberikan kabar berniat ingin memberikan sebuah kejutan nantinya.

Di sepanjang perjalanan Kirana terlelap. Dia merasa kelelahan setelah mengalami beberapa kejadian hari ini. Untungnya dia tak merasakan mual sama sekali sepanjang hari.

Waktu menunjukkan pukul sembilan, akhirnya Kirana sampai juga di kota S.

“Permisi, mbak." Seorang penumpang laki-laki membanggakan Kirana.

”Eh, iya," jawab Kirana diselimuti rasa kantuk luar biasa.

”Keretanya sudah sampai. Tinggal kita saja yang belum turun, maaf saya menganggu waktu istirahatnya,” potong pria muda itu.

“Nggak kok mas, makasih sebelumnya. Saya jadi nggak enak. Sekali lagi terimakasih banyak,” jawab Kirana. Pria itu tersenyum dan masih memperhatikan setiap gerak Kirana.

Sayangnya, Kirana malah merasa risih dengan tatapan pria itu yang begitu Intens.

“Apakah ada barang yang mau diambil?" tanyanya. “Biar saya bantu,” tawar pria itu.

“Eh, nggak ada kok. Saya permisi,” pamit Kirana yang memang tak membawa apapun. Dia buru-buru pergi keluar dari gerbong kereta.

Kirana berjalan dengan langkah panjang, kebetulan rumah sang bude tak jauh dari stasiun. Dia memilih jalan kaki sembari mengenang masa-masa dulu ketika berlibur di rumah bude bersama dengan sang bunda.

Di dalam perjalanan, dia merasa sedikit terganggu pria muda yang sebelumnya membangunkannya tampak membuntutinya di belakangnya. Langkah kakinya sengaja dia percepat menuju ke ruah sang bude.

‘Aduh ... Kenapa malah kayak drama horor begini sih. Atau jangan-jangan dia seorang psikopet. Aduh ... Malah suudzon begini, mana jalanan sepi. Nggak biasa sepi begini. Tenang, Ki. Sabar ya, nak insyaallah mama akan indungin kamu sampe titik darah penghabisan.’ Kirana menggenggam tali sling bag kecilnya. Kakinya terus melangkah semakin cepat.

Dia buru-buru memasuki pekarangan rumah sang bude. Sialnya ketika dia sudah sampai di depan pintu, langkah kaki terdengar mendekat ke arahnya. Dia menoleh ke arah suara itu. Matanya melotot melihat pria yang tadi membangunkannya berada di pekarangan rumah sang bude.

‘Fiks, dia psikopet,' gumam Kirana mulai bergetar. Kakinya melangkah mundur perlahan, selangkah demi selangkah berirama dengan langkah pria itu yang maju mendekat ke arahnya. Bahkan saat ini, kaki Kirana sudah mentok pada pintu depan rumah sang bude.

Pria muda itu membetulkan kacamatanya sembari menyeringai.

“Aaaaa ... Bude toloong!" jerit Kirana histeris.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 85 (End)

    Mobil yang dikendarai Dirga melaju pelan di jalan memuju pulang, tak ada banyak percakapan di sana. Pria itu kini fokus menyetir mobil, hanya terdengar deru napas sesekali dan suara radio lembut menemani perjalanan mereka. Kirana menatap ke arah jendela, tangannya sesekali menempel di perutnya dan mengusapnya lembut. Liburan di pantai tadi terasa hangat, dan damai. Tapi hatinya tiba-tiba terasa berat, tanpa alasan jelas. Begitu sampai rumah, teleponnya berbunyi. Dirga mengambilnya, tapi setelah beberapa detik, ekspresinya tampak bingung menatap nomor asing dari ponselnya. Dirga menerima panggilan itu ragu. Kirana hanya menatap ke arahnya seakan meminta sebuah penjelasan dari suaminya. Setelah menjawab beberapa percakapan dari balik telepon, Dirga menatap ragu kearah sang istri. Entah apa yang dikatakan oleh orang dari seberang sana. Tapi jelas membuat ekspresi wajah Dirga berubah. Dia menatap Kirana dengan mata terbelalak, setelah mengakhiri panggilannya. “Mereka bilang ada kabar

  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 84

    Tak lama kemudian, pintu ruang Rumah Sakit terbuka, dan seorang wanita paruh baya dengan wajah cemas memasuki ruang rawat Kirana. Mayang, mama Dirga, dengan wajah sedikit cemas tapi tampak hangat melangkah tanpa ragu masuk.“Dirga … Kirana … kalian baik-baik aja?” Suaranya lembut, tapi penuh perhatian. Ada sedikit keraguan tapi rasa cemas lebih mendominasi.Dirga segera berdiri dan memeluk ibunya, sedikit canggung. “Iya, Ma. Semua aman.” Beberapa waktu belakangan ini Dirga benar-benar membiarkan sang mama salah paham terhadap mereka. Dia sengaja pergi untuk memperbaiki diri masing-masing.Dia sengaja menghubungi sang mama, rasanya dia benar-benar masih membutuhkan wanita yang ada di dalam pelukan itu.Kirana hendak ikut bangkit, tapi Mayang memberi instruksi agar Kirana tetap pada posisinya. Ada kehangatan aneh yang terasa, sedikit ragu tapi juga lega. “Maafin Kirana ya, ma,” ucap Kirana ragu. Rasanya begitu canggung ketika tiba-tiba mertuanya datang tanpa memberi kabar. Apalagi sete

  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 83

    Dirga berlari keluar kamar dengan langkah terburu-buru, tubuh Kirana di dalam gendongannya terasa begitu ringan padahal berat wanita itu sudah tidak seperti dulu lagi. Tubuhnya sudah jauh lebih berisi, efek panik membuat tenaga Dirga seakan menjadi penuh tenang. Hujan di luar belum berhenti, udara dingin terasa menusuk kulit, tapi keringat dingin sudah mengalir di pelipis Kirana.“Bertahan ya, sayang ... tolong jangan pingsan dulu,” bisiknya panik.Kirana menahan rasa sakit di dada dan perutnya, napasnya tersengal. Melihat sang istri, Dirga malah semakin panik.“Mas ... pelan ... aku bisa jalan sendiri!” protes Kirana dalam gendongan Dirga, dia takut jika nanti mereka malah berakhir di rumah sakit berdua karena kecerobohan Dirga.“Enggak, diem aja ya. Pokoknya percaya deh sama, mas! Kita ke rumah sakit sekarang!” kali ini suara Dirga terdengar tegas dan penuh keyakinan.Mobil melaju menembus jalanan yang basah. Pandangan Dirga kabur oleh air mata yang menggenang di pelupuk matanya sej

  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 82

    Entah kenapa malam itu dada Kirana terasa berat. Pelukan Dirga terasa hangat, tapi ada sesuatu yang dingin di antara mereka. Seolah ada jarak tipis, tak kasatmata, yang makin lama makin terasa begitu nyata.Dirga masih diam, wajahnya bersembunyi di bahu Kirana. Deru napasnya terdengar teratur.“Kamu capek, ya mas?” bisik Kirana pelan dengan sedikit mendongak ke arah sang suami. Dirga tersenyum menggeleng pelan, dia menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan.“Enggak, sayang,” jawabnya singkat. “Cuma pengen kayak gini sebentar.” Jawaban Dirga kali ini terdengar jujur. Kirana menghela napas pelan, bahkan helaan berat itu tak terdengar oleh Dirga, seakan dia terbiasa memendam segalanya sendirian.Sunyi. Hanya suara denting jam dinding yang terdengar samar. Tak ada lagi percakapan antara dua insan itu. Kirana menggenggam tangan Dirga, menatap ke jendela. Hujan baru saja berhenti, dan aroma tanah basah mengisi ruangan. Degub jantung wanita itu bahkan semakin terasa cepat, dia bisa

  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 81

    Denting porselen yang retak memecah ruangan. Hening seketika, lalu suara napas Kirana yang tercekat.Di dalam ruangan, Dirga berhenti bicara. Suaranya yang semula lantang menghilang, diganti dengung telepon yang masih ada di telinganya. Dia menatap ke arah vas yang berserakan, mata langsung ke arah pintu yang pintunya setengah terbuka, di sana Kirana berdiri, wajahnya pucat, tangan masih memegang handuk.Dirga cepat mematikan panggilannya. Jantungnya berdetak kencang, tapi ekspresinya langsung berubah menjadi waspada dan lembut. Sebuah jurus insting yang selalu dia simpan untuk Kirana.Kirana mundur cepat dari ambang pintu, napasnya pendek. Suara pecahan vas masih nyangkut di telinganya. Langkahnya terburu, tapi goyah, seperti ingin kabur dari ruangan itu, dari semua yang baru saja dia denger.“Sayang!” suara Dirga menyusul dari belakang. Nada paniknya bukan karena marah, tapi takut kehilangan kendali atas sesuatu yang sangat rapuh, perasaan istrinya yang selalu mampu mengacak-acak ha

  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 80

    Suara mesin pesawat mulai meninggi, bergemuruh lembut di telinga. Lampu kabin meredup, udara terasa dingin menusuk kulit. Giselle duduk di dekat jendela, tangannya masih gemetar, matanya sembab, sisa tangis yang belum sempat kering.Kursi di sebelahnya kini kosong. Kursi itu seharusnya milik Ferdi. Pria yang seharusnya menemaninya.Dia menatapnya lama, berharap tiba-tiba Ferdi muncul dan bilang semuanya cuma salah paham, lalu duduk sambil nyengir seperti biasanya. Tapi kini nggak ada siapa-siapa. Yang tersisa hanya sabuk pengaman yang terlipat rapi, dan bayangan tubuh pria itu terlintas di jendela pesawat. Giselle menarik napas berat. Pikirannya tertarik ke belakang, membawanya pada adegan terakhir di bandara. Ferdi sempat berhenti sebelum langkahnya menjauh. Tangannya sempat menggenggam wajah Giselle, dan dalam ruang yang penuh ketegangan itu, Ferdi sempat menciumnya singkat, dan hangat.Ciuman yang terasa seperti ucapan selamat tinggal yang tak diucapkan. Mengingatnya membuat hati

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status