Share

Pergi

"Dan kamu juga tidak perlu khawatir, Sa. Kamu dan suamimu akan hidup tenang di sini tanpa kehadiranku, aku akan pergi dari rumah ini. Ambillah semua milik Mas Haris, aku tidak butuh," ucapku memandang tajam Risa dan juga suaminya.

Risa dan suaminya hanya menunduk mendapat amarahku. Siapa mereka berani menilaiku dengan rendah seperti itu.

Mama berdiri dari duduknya dan mendekat ke arahku. Tatapan matanya menyiratkan kesedihan. Mama adalah wanita yang sangat aku hormati selain ibu, beliau wanita lemah lembut yang membuatku merasa beruntung mempunyai mertua sepertinya.

Sifat lemah lembut Mas Haris mungkin juga menurun dari mama. Didikan mama yang seorang diri membesarkannya membuat Mas Haris sangat menyayangi mama. Bahkan aku pun sangat berterima kasih pada mama yang sudah membuat Mas Haris mempunyai sifat yang lemah lembut sepertinya.

"Ras, kamu tidak perlu pergi dari rumah ini. Kamu sudah Mama anggap putri Mama sendiri. Mama benar-benar menyayangimu seperti Mama menyayangi Risa dan Haris. Mama mohon jangan benci Mama karena mendengar hal yang buruk ini, Ras. Dan maafkan Mama karena sudah memanggil orangtuamu kemari, Mama hanya tidak tega melihatmu begitu terpuruk, Ras," ucap Mama sembari meraih kedua tanganku dan menggenggam lembut.

Tak terasa mataku memanas mendengar ucapan tulus mama. Jika saja Mas Haris masih ada, tentu aku akan dengan senang hati tetap berada di sini, tapi sekarang berbeda, Mas Haris sudah tiada, aku tidak mau menjadi beban jika tetap berada di sini terus-menerus.

Perlahan aku melepas genggaman tangan mama, "Tidak perlu, Ma. Aku akan tetap pergi. Aku tidak bisa tinggal di sini jika tidak ada Mas Haris lagi. Apalagi kalau ada yang khawatir aku akan menguasai harta Mas Haris." Netraku melirik Risa dan juga Indra, mereka nampak salah tingkah mendapat lirikanku.

"Dan satu lagi, Ma. Aku meminta maaf pada mama, selama ini aku belum bisa menjadi menantu yang baik untuk Mama."

"Tidak, Ras. Kamu jangan minta maaf kepada Mama. Mama yang harusnya meminta maaf karena kamu harus mendengar hal buruk dari kami," ucap Mama sendu.

Tanganku terulur menggenggam tangan mama, "Jangan meminta maaf, Ma. Mama sudah sangat baik padaku. Tolong jangan pernah mengucapkan kata maaf padaku, Ma. Aku merasa berdosa jika orang yang sangat aku hormati harus meminta maaf padaku."

"Terima kasih, Ras. Kamu memang wanita yang baik. Tidak salah Haris memilihmu menjadi pendamping hidupnya." Mama langsung menghambur ke pelukanku.

Aku membalas pelukan mama dengan tulus, jujur hatiku berat meninggalkan wanita sebaik mama. Tapi aku sudah tidak punya pilihan lain lagi. Aku harus pergi jika tidak ingin membebani mama dengan keberadaanku. Aku juga tidak mau mama bertengkar dengan Risa hanya karena keberadaanku di rumah ini.

Aku melepas perlahan pelukan mama, "Maaf, Ma. Aku pamit dulu, Winda sudah terlalu lama menungguku di mobil. Do'akan setiap langkahku, Ma."

"Iya, Ras. Mama akan selalu mendo'akanmu, jaga kesehatanmu, Ras. Jangan lupa untuk mengunjungi Mama lagi. Baik-baiklah di manapun kamu berada," ucap mama.

"Mama juga jaga kesehatan, Laras pamit, Ma," pamitku sembari meraih tangan mama dan mencium punggung tangannya penuh haru.

Mama mengusap kepalaku pelan, isak tangis mama mulai terdengar di telingaku. Aku buru-buru melepas tangan mama dan melangkah pergi tanpa menoleh ke arah mama. Aku tidak mau hatiku goyah melihat mama menangis.

Kupercepat langkah kakiku ketika sudah sampai di ambang pintu, kulihat mobil Winda sudah terparkir di depan rumah. Winda melambaikan tangan ketika melihatku, dia pasti sudah jenuh menungguku terlalu lama.

Gadis dengan mengenakan jilbab biru itu mulai melambai tidak sabar padaku. "Ih, Laras cepetan. Lama banget kayak keong!" teriaknya padaku.

Aku mendecakkan lidah mendengar teriakannya. Winda tidak seanggun penampilannya, walau berjilbab dia tidak bisa berbicara dengan nada lembut. Sangat berbanding terbalik dengan penampilannya. Tapi aku tidak masalah dengan semua itu, karena Winda adalah teman terbaik yang pernah aku miliki.

Aku buru-buru masuk ke dalam mobil karena tidak mau mendengar omelan darinya.

"Kenapa lama banget sih, Ras? Kering aku di dalam mobil nungguin kamu," omel Winda begitu aku duduk di sampingnya.

Aku mendesah, "Iya, maaf Win. Tadi saat mau keluar rumah ada insiden kecil."

"Apa? Ada insiden apa memangnya?" Jiwa kepo Winda mulai bangkit lagi. Selain suka mengomel dia juga sangat kepo.

"Ada lah, nanti saja aku cerita, yang penting sekarang ayo kita berangkat."

"Baiklah," sahut Winda mulai mengemudikan mobilnya.

Aku menatap rumah Mas Haris untuk terakhir kalinya. Walau belum lama aku tinggal di sana, sudah banyak kenangan yang terukir indah di sana.

Mobil mulai melaju menjauh dari rumah Mas Haris, aku pun meninggalkan semua kenangan bersama Mas Haris di sana.

"Kamu sudah menemukan tempat untukku tinggal kan, Win?" tanyaku pada Winda demi mengalihkan kesedihanku mengingat Mas Haris lagi.

"Tentu sudah, kamu pasti akan sangat menyukai tempat tersebut. Di sana masih sangat asri, suasana pedesaan yang kamu inginkan akan kamu nikmati setelah tiba nanti," jawab Winda masih fokus mengemudi.

"Ah, semoga saja apa yang kamu katakan benar, Win." Dan semoga saja aku bisa dengan mudah beradaptasi dengan lingkungan di sana.

"Tapi Ras, kamu yakin tidak memberitahu orang tuamu terlebih dahulu?"

Aku menggeleng menanggapi pertanyaan Winda. Aku yakin jika mereka tahu, mereka tidak akan mengijinkanku pergi. Mereka pasti khawatir jika aku tidak pulang ke rumah dan malah pergi ke tempat yang belum pernah aku kunjungi.

"Aku tidak tanggung jawab ya Ras, kalau mereka marah kepadamu," tambah Winda.

Aku jengah dengan Winda, dia cerewet sekali. "Iya-iya, Win. Sudah jangan cerewet, kamu fokus saja menyetir, tidak usah banyak tanya-tanya lagi. Aku ingin tidur, bangunkan aku jika kita sudah sampai."

"Wah, dasar. Enak sekali ingin tidur sementara aku harus fokus mengemudi sendirian. Kalau bukan temanku sudah kutendang kamu keluar dari mobil, Ras," gerutu Winda.

Aku memejamkan mata tak menanggapi gerutuan Winda. Dia memang selalu begitu, jadi aku tidak perlu ambil pusing apa yang diucapkannya.

Sebenarnya aku tidak tidur, aku hanya ingin memejamkan mata sejenak. Kepalaku sedikit pusing karena tadi malam aku kembali tidak bisa tidur karena memikirkan Mas Haris. Seperti malam-malam sebelumnya, aku tidak akan bisa tertidur jika teringat Mas Haris.

Semoga saja setelah pindah ke tempat yang baru aku bisa sedikit melupakan kesedihanku. Aku juga tidak mau terus terpuruk seperti ini. Apalagi jika mengingat kesedihan orang tuaku akibat melihatku dalam keadaan yang kacau, aku tidak tak sampai hati melihat mereka bersedih seperti itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status