Share

Pergi

Author: Uci ekaputra
last update Last Updated: 2022-07-02 10:57:01

"Dan kamu juga tidak perlu khawatir, Sa. Kamu dan suamimu akan hidup tenang di sini tanpa kehadiranku, aku akan pergi dari rumah ini. Ambillah semua milik Mas Haris, aku tidak butuh," ucapku memandang tajam Risa dan juga suaminya.

Risa dan suaminya hanya menunduk mendapat amarahku. Siapa mereka berani menilaiku dengan rendah seperti itu.

Mama berdiri dari duduknya dan mendekat ke arahku. Tatapan matanya menyiratkan kesedihan. Mama adalah wanita yang sangat aku hormati selain ibu, beliau wanita lemah lembut yang membuatku merasa beruntung mempunyai mertua sepertinya.

Sifat lemah lembut Mas Haris mungkin juga menurun dari mama. Didikan mama yang seorang diri membesarkannya membuat Mas Haris sangat menyayangi mama. Bahkan aku pun sangat berterima kasih pada mama yang sudah membuat Mas Haris mempunyai sifat yang lemah lembut sepertinya.

"Ras, kamu tidak perlu pergi dari rumah ini. Kamu sudah Mama anggap putri Mama sendiri. Mama benar-benar menyayangimu seperti Mama menyayangi Risa dan Haris. Mama mohon jangan benci Mama karena mendengar hal yang buruk ini, Ras. Dan maafkan Mama karena sudah memanggil orangtuamu kemari, Mama hanya tidak tega melihatmu begitu terpuruk, Ras," ucap Mama sembari meraih kedua tanganku dan menggenggam lembut.

Tak terasa mataku memanas mendengar ucapan tulus mama. Jika saja Mas Haris masih ada, tentu aku akan dengan senang hati tetap berada di sini, tapi sekarang berbeda, Mas Haris sudah tiada, aku tidak mau menjadi beban jika tetap berada di sini terus-menerus.

Perlahan aku melepas genggaman tangan mama, "Tidak perlu, Ma. Aku akan tetap pergi. Aku tidak bisa tinggal di sini jika tidak ada Mas Haris lagi. Apalagi kalau ada yang khawatir aku akan menguasai harta Mas Haris." Netraku melirik Risa dan juga Indra, mereka nampak salah tingkah mendapat lirikanku.

"Dan satu lagi, Ma. Aku meminta maaf pada mama, selama ini aku belum bisa menjadi menantu yang baik untuk Mama."

"Tidak, Ras. Kamu jangan minta maaf kepada Mama. Mama yang harusnya meminta maaf karena kamu harus mendengar hal buruk dari kami," ucap Mama sendu.

Tanganku terulur menggenggam tangan mama, "Jangan meminta maaf, Ma. Mama sudah sangat baik padaku. Tolong jangan pernah mengucapkan kata maaf padaku, Ma. Aku merasa berdosa jika orang yang sangat aku hormati harus meminta maaf padaku."

"Terima kasih, Ras. Kamu memang wanita yang baik. Tidak salah Haris memilihmu menjadi pendamping hidupnya." Mama langsung menghambur ke pelukanku.

Aku membalas pelukan mama dengan tulus, jujur hatiku berat meninggalkan wanita sebaik mama. Tapi aku sudah tidak punya pilihan lain lagi. Aku harus pergi jika tidak ingin membebani mama dengan keberadaanku. Aku juga tidak mau mama bertengkar dengan Risa hanya karena keberadaanku di rumah ini.

Aku melepas perlahan pelukan mama, "Maaf, Ma. Aku pamit dulu, Winda sudah terlalu lama menungguku di mobil. Do'akan setiap langkahku, Ma."

"Iya, Ras. Mama akan selalu mendo'akanmu, jaga kesehatanmu, Ras. Jangan lupa untuk mengunjungi Mama lagi. Baik-baiklah di manapun kamu berada," ucap mama.

"Mama juga jaga kesehatan, Laras pamit, Ma," pamitku sembari meraih tangan mama dan mencium punggung tangannya penuh haru.

Mama mengusap kepalaku pelan, isak tangis mama mulai terdengar di telingaku. Aku buru-buru melepas tangan mama dan melangkah pergi tanpa menoleh ke arah mama. Aku tidak mau hatiku goyah melihat mama menangis.

Kupercepat langkah kakiku ketika sudah sampai di ambang pintu, kulihat mobil Winda sudah terparkir di depan rumah. Winda melambaikan tangan ketika melihatku, dia pasti sudah jenuh menungguku terlalu lama.

Gadis dengan mengenakan jilbab biru itu mulai melambai tidak sabar padaku. "Ih, Laras cepetan. Lama banget kayak keong!" teriaknya padaku.

Aku mendecakkan lidah mendengar teriakannya. Winda tidak seanggun penampilannya, walau berjilbab dia tidak bisa berbicara dengan nada lembut. Sangat berbanding terbalik dengan penampilannya. Tapi aku tidak masalah dengan semua itu, karena Winda adalah teman terbaik yang pernah aku miliki.

Aku buru-buru masuk ke dalam mobil karena tidak mau mendengar omelan darinya.

"Kenapa lama banget sih, Ras? Kering aku di dalam mobil nungguin kamu," omel Winda begitu aku duduk di sampingnya.

Aku mendesah, "Iya, maaf Win. Tadi saat mau keluar rumah ada insiden kecil."

"Apa? Ada insiden apa memangnya?" Jiwa kepo Winda mulai bangkit lagi. Selain suka mengomel dia juga sangat kepo.

"Ada lah, nanti saja aku cerita, yang penting sekarang ayo kita berangkat."

"Baiklah," sahut Winda mulai mengemudikan mobilnya.

Aku menatap rumah Mas Haris untuk terakhir kalinya. Walau belum lama aku tinggal di sana, sudah banyak kenangan yang terukir indah di sana.

Mobil mulai melaju menjauh dari rumah Mas Haris, aku pun meninggalkan semua kenangan bersama Mas Haris di sana.

"Kamu sudah menemukan tempat untukku tinggal kan, Win?" tanyaku pada Winda demi mengalihkan kesedihanku mengingat Mas Haris lagi.

"Tentu sudah, kamu pasti akan sangat menyukai tempat tersebut. Di sana masih sangat asri, suasana pedesaan yang kamu inginkan akan kamu nikmati setelah tiba nanti," jawab Winda masih fokus mengemudi.

"Ah, semoga saja apa yang kamu katakan benar, Win." Dan semoga saja aku bisa dengan mudah beradaptasi dengan lingkungan di sana.

"Tapi Ras, kamu yakin tidak memberitahu orang tuamu terlebih dahulu?"

Aku menggeleng menanggapi pertanyaan Winda. Aku yakin jika mereka tahu, mereka tidak akan mengijinkanku pergi. Mereka pasti khawatir jika aku tidak pulang ke rumah dan malah pergi ke tempat yang belum pernah aku kunjungi.

"Aku tidak tanggung jawab ya Ras, kalau mereka marah kepadamu," tambah Winda.

Aku jengah dengan Winda, dia cerewet sekali. "Iya-iya, Win. Sudah jangan cerewet, kamu fokus saja menyetir, tidak usah banyak tanya-tanya lagi. Aku ingin tidur, bangunkan aku jika kita sudah sampai."

"Wah, dasar. Enak sekali ingin tidur sementara aku harus fokus mengemudi sendirian. Kalau bukan temanku sudah kutendang kamu keluar dari mobil, Ras," gerutu Winda.

Aku memejamkan mata tak menanggapi gerutuan Winda. Dia memang selalu begitu, jadi aku tidak perlu ambil pusing apa yang diucapkannya.

Sebenarnya aku tidak tidur, aku hanya ingin memejamkan mata sejenak. Kepalaku sedikit pusing karena tadi malam aku kembali tidak bisa tidur karena memikirkan Mas Haris. Seperti malam-malam sebelumnya, aku tidak akan bisa tertidur jika teringat Mas Haris.

Semoga saja setelah pindah ke tempat yang baru aku bisa sedikit melupakan kesedihanku. Aku juga tidak mau terus terpuruk seperti ini. Apalagi jika mengingat kesedihan orang tuaku akibat melihatku dalam keadaan yang kacau, aku tidak tak sampai hati melihat mereka bersedih seperti itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Fitnah Menjadi Janda   Akhir

    "Jadi kamu berangkat hari ini, Mas?" Aku sedang berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan. Seperti pagi-pagi biasanya, aku akan sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan tanpa bantuan asisten rumah tangga.Aku lebih suka mengerjakan semua pekerjaan rumah dengan tanganku sendiri. Dari dulu aku sudah berkomitmen untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah tanpa bantuan asisten rumah tangga. Dan sekarang aku telah mewujudkannya. Setelah melahirkan, aku fokus menjadi ibu rumah tangga, tidak lagi kembali bekerja."Jadi, Ras," jawabnya sembari menyesap secangkir kopi."Berapa hari kamu di sana?" tanyaku lagi."Ada apa? Kamu takut jauh-jauh dari aku ya?" tanyanya membuatku menghentikan aktifitasku dan menoleh ke arahnya."Mana mungkin. Putrimu itu yang akan selalu mencarimu. Dia pasti rewel mencari ayahnya," sanggahku."Ah, ternyata cuma Safira yang mencariku, bukan kamu. Istriku memang tidak pernah merindukanku, padahal aku pasti akan sangat merindukanmu," sahutnya sembari mencebikkan bibirnya.

  • Fitnah Menjadi Janda   Bertemu Kembali

    Netraku terus menetes melihat Pandu mengadzani putri kecilku, hatiku terasa bagai disiram air dingin melihatnya. Aku terharu sekaligus sedih, terharu karena Pandu benar-benar menjadi sosok ayah untuk putriku. Tapi aku juga sedih karena seharusnya Mas Haris lah yang mengadzani putri kami. Dialah yang seharusnya berada di posisi itu.Takdir telah membuat putriku harus kehilangan ayah kandungnya untuk selama-lamanya. Air mataku menetes semakin deras, hingga tiba-tiba kurasakan pandangan mataku mulai mengabur. Perlahan aku pun kehilangan kesadaranku. *** Aku mengerjapkan mata pelan, hidungku mencium aroma bunga yang sangat harum. Perlahan aku mencoba kembali membuka mata.Cahaya terang menyilaukan mataku yang mulai terbuka, aku mengernyitkan kening melihat sekelilingku. Banyak bunga-bunga yang berwarna warni tumbuh dengan indahnya.Aku langsung bangun dari posisiku berbaring, aku bingung sedang ada di mana. Tempat ini terasa asing bagiku. Aku memegang kepalaku yang sedikit pening, aku m

  • Fitnah Menjadi Janda   Kelahiran

    "Duduklah, Ras. Sepanjang acara kamu terus berdiri, kamu pasti lelah."Aku menoleh menatap Pandu yang sudah berdiri di sampingku tanpa aku menyadarinya. Dia membawa gelas yang berisi minuman. Lalu dia pun menyodorkan gelas tersebut kepadaku."Aku tidak apa-apa, jangan terlalu khawatir. Dokter malah menyarankan aku untuk banyak bergerak agar mempermudahku melahirkan kelak," sahutku sembari menerima gelas dari Pandu.Kami sedang berada di rumah Winda, dia baru saja melangsungkan akad nikah dengan Wira. Akhirnya Winda memutuskan untuk menerima Wira. Aku turut bahagia melihat Winda akhirnya menemukan tambatan hatinya.Waktu cepat sekali berlalu semenjak terbongkarnya kedok Indra. Aku dan Pandu sepakat untuk mencoba menjalani pernikahan kami. Tapi selama ini Pandu tidak pernah meminta haknya padaku, dia berjanji untuk memulai hubungan kami dengan pertemanan. Tentu aku tidak keberatan, tidak ada ruginya berteman dengan Pandu, sebelum akhirnya kami berpisah kelak."Winda terlihat cantik seka

  • Fitnah Menjadi Janda   Bimbang

    Sepulang dari rumah Mama, aku berada di dalam mobil Pandu. Ayah memintaku pulang bersama Pandu. Aku langsung masuk ke dalam mobil Pandu tanpa penolakan.Pandanganku tentang Pandu sedikit barubah. Ternyata dia menghilang selama ini untuk mencari bukti, agar namaku bersih dari fitnah-fitnah yang menyebar tentangku.Aku sudah berburuk sangka padanya selama ini, aku pikir dia menghilang karena terluka oleh kata-kataku. Tapi ternyata dia malah membantuku, aku menyesal sekali telah berkata buruk padanya.Suasana di dalam mobil sangat hening, tidak ada yang berbicara di antara kami. Pandu nampak fokus menyetir, melihat lurus ke arah jalanan yang temaram. Tidak sekalipun dia melihat kepadaku, sedang aku sedari tadi mencuri-curi pandang ke arah Pandu.Aku ingin berbicara tapi aku urungkan, aku takut jika Pandu tidak menjawab pertanyaanku. Aku sadar sekali, kalau aku sudah berperilaku buruk padanya. Tapi aku sudah instropeksi diri. Aku ingin berdamai dengan Pandu. Biar nasib yang akan menentuka

  • Fitnah Menjadi Janda   Risa Meminta Maaf

    "Masih tidak bisa menjelaskan juga?" Risa memandang tajam Indra."A-ku bisa jelaskan, Sayang. Semua yang ada di foto itu tidak benar, mereka mencoba menfitnahku." Indra nampak mencoba mengelak, tangan Indra mencoba meraih tangan Risa. Tapi Risa menepis tangan Indra kasar.Apa aku tidak salah dengar? Bukannya Indra yang mencoba menfitnahku? Apa dia lupa dengan apa yang telah dia lakukan padaku? Aku mengepalkan tangan mendengar ucapan Indra yang masih saja mau melempar fitnah. Aku membuang napas kasar, geram sekali dengan Indra yang pandai bersilat lidah.Ibu memegang tanganku dan mengusapnya lembut. Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum tipis, aku meyakinkan Ibu bahwa aku baik-baik saja. Aku tidak terpengaruh oleh pertengkaran Indra dan Risa. Sementara Pandu dan Ayah diam saja dari tadi. Mereka hanya menyaksikan semua yang telah terjadi dalam diam."Jangan coba-coba membohongiku! Jika foto-foto itu tidak benar, pasti wanita di dalam foto itu mempunyai wajah yang sama. Tapi kau lihat sen

  • Fitnah Menjadi Janda   Terbongkar

    Tak terasa waktu cepat sekali berlalu, sudah dua minggu sejak pernikahanku dengan Pandu, tapi dia tidak menampakkan batang hidungnya sama sekali. Setelah mendapat penolakan dariku, dia seperti ditelan bumi. Tidak pernah menemui atau mengirim pesan padaku.Ayah pun hanya diam, tidak membahas apapun tentang Pandu. Beliau kembali seperti biasanya, bahkan bertambah perhatian padaku yang sering mengalami kram perut sejak pernikahanku dengan Pandu.Bukannya aku ingin bertemu dengan Pandu, tapi aku heran saja dengan ketidakhadirannya selama dua minggu ini, tanpa mengatakan apapun. Apa mungkin dia merasa sakit hati karena penolakanku kemarin? Atau dia sudah menyerah untuk menjadi suamiku? Berbagai pertanyaan memenuhi pikiranku.Ah, biar saja. Aku tidak peduli akan kehadirannya di sini. Aku malah tidak mengharap dia kembali lagi ke sini. Mungkin dengan begini hubungan kami akan putus dengan sendirinya."Ras, hari ini kamu punya jadwal apa?" tanya Ayah tiba-tiba sudah ada di sampingku tanpa aku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status