Share

Status Janda

Author: Uci ekaputra
last update Last Updated: 2022-07-02 10:50:21

[Win, tolong jemput aku.]

Kukirimkan pesan melalui Whatshap kepada Winda untuk menjemputku, hari ini aku memutuskan untuk pergi dari rumah Mas Haris. Sudah berlalu tiga hari sejak kedatangan ayah dan ibu, aku sudah menghubungi Winda untuk mencarikanku tempat tinggal yang baru. Aku ingin menepi sejenak dari suasana kota, aku ingin berpindah ke tempat lain untuk mencari ketenangan.

[Baiklah, aku akan datang satu jam lagi.]

Aku segera bersiap setelah membaca balasan pesan dari Winda. Aku tidak membawa barang banyak, hanya potret Mas Haris yang aku bawa dari kamarku, selebihnya aku meninggalkan semuanya di sini.

Setelah selesai bersiap, aku kembali duduk di ranjang. Netraku memandang setiap sudut kamar yang menjadi saksi bisu betapa terpuruknya aku setelah kepergian Mas Haris.

Netraku memandang bunga-bunga di dalam vas yang sudah mulai layu, tapi aku tidak berniat untuk membersihkan atau menggantinya dengan yang baru. Bahkan bunga yang sudah mengering pun tetap pada tempatnya.

Aku menunduk termenung, aku kembali teringat kebersamaanku dengan Mas Haris. Terkadang terbesit keinginanku untuk mengakhiri hidup agar bisa bersama dengan Mas Haris, tapi aku tidak kuasa menanggung dosa yang sangat besar akibat mengakhiri hidup.

Memang pengetahuan agamaku sangat sedikit, tapi aku masih sangat tahu kalau bunuh diri itu termasuk dosa besar. Aku tidak mau menambah dosa-dosaku karena melakukannya.

Aku tersentak ketika ponselku berbunyi, netraku memandang sendu ke arah layar ponsel, tertera nama Winda di layar tersebut. Aku pun segera mengambilnya dan menerima panggilan dari Winda.

"Halo, Win," sapaku saat panggilan tersambung.

"Aku sudah di depan rumah, Ras. Aku masuk atau menunggumu di mobil saja?" tanya Winda.

"Tunggu saja di mobil, Win. Aku akan segera keluar," jawabku.

"Baiklah." Winda pun mengakhiri panggilan telfonnya.

Aku segera bangkit, melangkah mengambil tas yang sudah aku persiapkan. Setelahnya aku melangkah ke arah pintu, saat di depan pintu, aku berhenti sejenak, kuputar badan memandang seisi kamar untuk yang terakhir kalinya. Netraku menyusuri setiap sudut kamar tanpa terkecuali. Aku mencoba merekam suasana kamar yang kelak akan aku rindukan.

"Aku pergi, Mas. Aku akan mencoba menjalani hariku tanpamu," lirihku.

Setelah puas, aku kembali memutar badan dan membuka pintu. Aku melangkah cepat keluar dari kamar, aku tidak ingin tiba-tiba berubah pikiran dan tidak jadi pergi.

Saat akan mencapai tangga, langkahku melambat ketika mendengar suara orang berbincang dan ada namaku di dalam perbincangan mereka.

"Mama tidak bisa memutuskan seperti itu, Mbak Laras baru beberapa hari menjadi istri Mas Haris, jadi Mbak Laras masih belum berhak mendapatkan apa yang dimiliki Mas Haris." Terdengar suara Risa yang sedikit meninggi.

Aku langsung menghentikan langkah seketika, aku tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Risa. Aku pun memutuskan untuk menyimak lebih jauh obrolan mereka.

"Iya, Ma. Betul apa yang dikatakan oleh Risa, apalagi kondisi Mbak Laras masih seperti itu, mana mungkin Mbak Laras mampu menjalankan perusahaan Mas Haris," tambah Indra--suami Risa.

"Tapi Laras juga punya hak atas apa yang dimiliki Haris, dia sudah menjadi bagian dari keluarga kita, kalian jangan lupa itu," sahut Mama tegas.

"Tapi memberikan perusahaan Mas Haris begitu saja itu sangat berlebihan, Ma. Bagaimana kalau Mbak Laras menemukan lelaki lain untuk dinikahinya? Apa Mama akan membiarkan begitu saja harta milik Mas Haris dinikmati dengan lelaki lain? Apa hati Mama rela jika itu terjadi?" tanya Risa lagi.

Aku mengepalkan tangan erat-erat, telingaku panas mendengar apa yang Risa ucapkan. Begitu hina kah diriku sampai Risa mampu mengatakan hal seperti itu? Apa Risa pikir aku bisa dengan mudah menikah lagi dan melupakan Mas Haris begitu saja?

Padahal dia belum pernah berada di posisiku, kenapa begitu mudahnya dia mengatakan kalau aku akan menikah lagi dan menikmati harta Mas Haris? Aku mencintai Mas Haris tanpa memandang hartanya, aku tulus mencintainya. Bahkan aku tidak butuh harta Mas Haris, kalau bisa aku tentu akan memilih hidup susah asalkan Mas Haris hidup kembali.

Kulihat mama hanya menunduk dan diam saja tidak menanggapi pertanyaan Risa, aku tersenyum miris melihatnya. Pasti mama pun tidak akan rela jika aku menjadi seperti yang Risa katakan.

"Laras tidak akan semudah itu menikah lagi, Sa. Kau tidak tahu betapa terpuruknya Laras kehilangan Haris, Sa. Mama melihat dengan mata kepala Mama sendiri betapa terpuruknya Laras kehilangan Haris. Mama melihat sendiri ketika Laras menangis sambil berbicara dengan potret Haris. Mama tidak sanggup melihatnya seperti itu, Mama ingin Laras melanjutkan hidupnya. Kalau Laras ingin menikah lagi, tentu Mama tidak akan pernah keberatan," lirih Mama.

Aku tersentak dengan ucapan mama, ternyata mama masih tulus menyayangiku. Mama memanggil orang tuaku karena mama tidak mau aku terlarut-larut dalam kesedihan. Aku pikir mama memanggil mereka karena sudah tidak ingin aku berada di rumah ini. Aku telah salah paham kepada mama selama ini.

"Tapi Mama tidak akan tahu apa yang terjadi nanti, bisa saja Mbak Laras tidak betah menjanda dan akhirnya menikah lagi. Bagaimana jika hal itu sampai terjadi, Ma?"

Suara Indra membuatku kembali geram. Aku sudah tidak bisa menahan diri lagi. Aku tidak mau harga diriku diinjak-injak hanya karena statusku sekarang adalah janda. Bukan mauku menjadi janda, hanya nasibkulah yang tidak mujur sehingga bisa menyandang status tersebut.

Kulangkahkan kaki menuruni tangga dengan cepat, setelah sampai di ujung tangga aku segera menuju ruang makan tempat mereka berbincang.

"Kalian tenang saja, aku tidak akan mengambil sepeser pun milik Mas Haris. Kalau hanya untuk menyambung hidup, aku masih memiliki uang. Jadi kalian tidak perlu khawatir aku akan menguasai apa yang dimiliki Mas Haris," ucapku membuat mereka nampak terkejut dengan kedatanganku. Mungkin mereka pikir aku akan tetap berdiam diri di kamar seperti hari-hari yang lalu.

"Ras, kamu salah paham ...."

Mama nampak berusaha menjelaskan apa yang mereka bicarakan. Namun aku sudah tidak bisa lagi menahan hinaan yang mereka ucapkan tentangku.

"Tidak, Ma. Aku sudah sangat jelas dengan apa yang kalian bicarakan. Aku tidak keberatan meninggalkan semua harta milik Mas Haris, asal jangan rendahkan aku dengan status yang baru aku sandang. Menjadi janda bukan pilihanku, Ma. Jika bisa memilih tentu aku tidak akan mau menjadi janda," ucapku memotong ucapan Mama.

Aku tidak bermaksud untuk berperilaku tidak sopan pada mama, aku hanya tidak mau status janda membuat harga diriku diinjak-injak begitu saja.

Apalagi memang bukan mauku menyandang status tersebut. Jika saja aku bisa memilih, tentu aku lebih memilih untuk tidak akan mau menyandang status tersebut.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Fitnah Menjadi Janda   Akhir

    "Jadi kamu berangkat hari ini, Mas?" Aku sedang berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan. Seperti pagi-pagi biasanya, aku akan sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan tanpa bantuan asisten rumah tangga.Aku lebih suka mengerjakan semua pekerjaan rumah dengan tanganku sendiri. Dari dulu aku sudah berkomitmen untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah tanpa bantuan asisten rumah tangga. Dan sekarang aku telah mewujudkannya. Setelah melahirkan, aku fokus menjadi ibu rumah tangga, tidak lagi kembali bekerja."Jadi, Ras," jawabnya sembari menyesap secangkir kopi."Berapa hari kamu di sana?" tanyaku lagi."Ada apa? Kamu takut jauh-jauh dari aku ya?" tanyanya membuatku menghentikan aktifitasku dan menoleh ke arahnya."Mana mungkin. Putrimu itu yang akan selalu mencarimu. Dia pasti rewel mencari ayahnya," sanggahku."Ah, ternyata cuma Safira yang mencariku, bukan kamu. Istriku memang tidak pernah merindukanku, padahal aku pasti akan sangat merindukanmu," sahutnya sembari mencebikkan bibirnya.

  • Fitnah Menjadi Janda   Bertemu Kembali

    Netraku terus menetes melihat Pandu mengadzani putri kecilku, hatiku terasa bagai disiram air dingin melihatnya. Aku terharu sekaligus sedih, terharu karena Pandu benar-benar menjadi sosok ayah untuk putriku. Tapi aku juga sedih karena seharusnya Mas Haris lah yang mengadzani putri kami. Dialah yang seharusnya berada di posisi itu.Takdir telah membuat putriku harus kehilangan ayah kandungnya untuk selama-lamanya. Air mataku menetes semakin deras, hingga tiba-tiba kurasakan pandangan mataku mulai mengabur. Perlahan aku pun kehilangan kesadaranku. *** Aku mengerjapkan mata pelan, hidungku mencium aroma bunga yang sangat harum. Perlahan aku mencoba kembali membuka mata.Cahaya terang menyilaukan mataku yang mulai terbuka, aku mengernyitkan kening melihat sekelilingku. Banyak bunga-bunga yang berwarna warni tumbuh dengan indahnya.Aku langsung bangun dari posisiku berbaring, aku bingung sedang ada di mana. Tempat ini terasa asing bagiku. Aku memegang kepalaku yang sedikit pening, aku m

  • Fitnah Menjadi Janda   Kelahiran

    "Duduklah, Ras. Sepanjang acara kamu terus berdiri, kamu pasti lelah."Aku menoleh menatap Pandu yang sudah berdiri di sampingku tanpa aku menyadarinya. Dia membawa gelas yang berisi minuman. Lalu dia pun menyodorkan gelas tersebut kepadaku."Aku tidak apa-apa, jangan terlalu khawatir. Dokter malah menyarankan aku untuk banyak bergerak agar mempermudahku melahirkan kelak," sahutku sembari menerima gelas dari Pandu.Kami sedang berada di rumah Winda, dia baru saja melangsungkan akad nikah dengan Wira. Akhirnya Winda memutuskan untuk menerima Wira. Aku turut bahagia melihat Winda akhirnya menemukan tambatan hatinya.Waktu cepat sekali berlalu semenjak terbongkarnya kedok Indra. Aku dan Pandu sepakat untuk mencoba menjalani pernikahan kami. Tapi selama ini Pandu tidak pernah meminta haknya padaku, dia berjanji untuk memulai hubungan kami dengan pertemanan. Tentu aku tidak keberatan, tidak ada ruginya berteman dengan Pandu, sebelum akhirnya kami berpisah kelak."Winda terlihat cantik seka

  • Fitnah Menjadi Janda   Bimbang

    Sepulang dari rumah Mama, aku berada di dalam mobil Pandu. Ayah memintaku pulang bersama Pandu. Aku langsung masuk ke dalam mobil Pandu tanpa penolakan.Pandanganku tentang Pandu sedikit barubah. Ternyata dia menghilang selama ini untuk mencari bukti, agar namaku bersih dari fitnah-fitnah yang menyebar tentangku.Aku sudah berburuk sangka padanya selama ini, aku pikir dia menghilang karena terluka oleh kata-kataku. Tapi ternyata dia malah membantuku, aku menyesal sekali telah berkata buruk padanya.Suasana di dalam mobil sangat hening, tidak ada yang berbicara di antara kami. Pandu nampak fokus menyetir, melihat lurus ke arah jalanan yang temaram. Tidak sekalipun dia melihat kepadaku, sedang aku sedari tadi mencuri-curi pandang ke arah Pandu.Aku ingin berbicara tapi aku urungkan, aku takut jika Pandu tidak menjawab pertanyaanku. Aku sadar sekali, kalau aku sudah berperilaku buruk padanya. Tapi aku sudah instropeksi diri. Aku ingin berdamai dengan Pandu. Biar nasib yang akan menentuka

  • Fitnah Menjadi Janda   Risa Meminta Maaf

    "Masih tidak bisa menjelaskan juga?" Risa memandang tajam Indra."A-ku bisa jelaskan, Sayang. Semua yang ada di foto itu tidak benar, mereka mencoba menfitnahku." Indra nampak mencoba mengelak, tangan Indra mencoba meraih tangan Risa. Tapi Risa menepis tangan Indra kasar.Apa aku tidak salah dengar? Bukannya Indra yang mencoba menfitnahku? Apa dia lupa dengan apa yang telah dia lakukan padaku? Aku mengepalkan tangan mendengar ucapan Indra yang masih saja mau melempar fitnah. Aku membuang napas kasar, geram sekali dengan Indra yang pandai bersilat lidah.Ibu memegang tanganku dan mengusapnya lembut. Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum tipis, aku meyakinkan Ibu bahwa aku baik-baik saja. Aku tidak terpengaruh oleh pertengkaran Indra dan Risa. Sementara Pandu dan Ayah diam saja dari tadi. Mereka hanya menyaksikan semua yang telah terjadi dalam diam."Jangan coba-coba membohongiku! Jika foto-foto itu tidak benar, pasti wanita di dalam foto itu mempunyai wajah yang sama. Tapi kau lihat sen

  • Fitnah Menjadi Janda   Terbongkar

    Tak terasa waktu cepat sekali berlalu, sudah dua minggu sejak pernikahanku dengan Pandu, tapi dia tidak menampakkan batang hidungnya sama sekali. Setelah mendapat penolakan dariku, dia seperti ditelan bumi. Tidak pernah menemui atau mengirim pesan padaku.Ayah pun hanya diam, tidak membahas apapun tentang Pandu. Beliau kembali seperti biasanya, bahkan bertambah perhatian padaku yang sering mengalami kram perut sejak pernikahanku dengan Pandu.Bukannya aku ingin bertemu dengan Pandu, tapi aku heran saja dengan ketidakhadirannya selama dua minggu ini, tanpa mengatakan apapun. Apa mungkin dia merasa sakit hati karena penolakanku kemarin? Atau dia sudah menyerah untuk menjadi suamiku? Berbagai pertanyaan memenuhi pikiranku.Ah, biar saja. Aku tidak peduli akan kehadirannya di sini. Aku malah tidak mengharap dia kembali lagi ke sini. Mungkin dengan begini hubungan kami akan putus dengan sendirinya."Ras, hari ini kamu punya jadwal apa?" tanya Ayah tiba-tiba sudah ada di sampingku tanpa aku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status