Share

Status Janda

[Win, tolong jemput aku.]

Kukirimkan pesan melalui Whatshap kepada Winda untuk menjemputku, hari ini aku memutuskan untuk pergi dari rumah Mas Haris. Sudah berlalu tiga hari sejak kedatangan ayah dan ibu, aku sudah menghubungi Winda untuk mencarikanku tempat tinggal yang baru. Aku ingin menepi sejenak dari suasana kota, aku ingin berpindah ke tempat lain untuk mencari ketenangan.

[Baiklah, aku akan datang satu jam lagi.]

Aku segera bersiap setelah membaca balasan pesan dari Winda. Aku tidak membawa barang banyak, hanya potret Mas Haris yang aku bawa dari kamarku, selebihnya aku meninggalkan semuanya di sini.

Setelah selesai bersiap, aku kembali duduk di ranjang. Netraku memandang setiap sudut kamar yang menjadi saksi bisu betapa terpuruknya aku setelah kepergian Mas Haris.

Netraku memandang bunga-bunga di dalam vas yang sudah mulai layu, tapi aku tidak berniat untuk membersihkan atau menggantinya dengan yang baru. Bahkan bunga yang sudah mengering pun tetap pada tempatnya.

Aku menunduk termenung, aku kembali teringat kebersamaanku dengan Mas Haris. Terkadang terbesit keinginanku untuk mengakhiri hidup agar bisa bersama dengan Mas Haris, tapi aku tidak kuasa menanggung dosa yang sangat besar akibat mengakhiri hidup.

Memang pengetahuan agamaku sangat sedikit, tapi aku masih sangat tahu kalau bunuh diri itu termasuk dosa besar. Aku tidak mau menambah dosa-dosaku karena melakukannya.

Aku tersentak ketika ponselku berbunyi, netraku memandang sendu ke arah layar ponsel, tertera nama Winda di layar tersebut. Aku pun segera mengambilnya dan menerima panggilan dari Winda.

"Halo, Win," sapaku saat panggilan tersambung.

"Aku sudah di depan rumah, Ras. Aku masuk atau menunggumu di mobil saja?" tanya Winda.

"Tunggu saja di mobil, Win. Aku akan segera keluar," jawabku.

"Baiklah." Winda pun mengakhiri panggilan telfonnya.

Aku segera bangkit, melangkah mengambil tas yang sudah aku persiapkan. Setelahnya aku melangkah ke arah pintu, saat di depan pintu, aku berhenti sejenak, kuputar badan memandang seisi kamar untuk yang terakhir kalinya. Netraku menyusuri setiap sudut kamar tanpa terkecuali. Aku mencoba merekam suasana kamar yang kelak akan aku rindukan.

"Aku pergi, Mas. Aku akan mencoba menjalani hariku tanpamu," lirihku.

Setelah puas, aku kembali memutar badan dan membuka pintu. Aku melangkah cepat keluar dari kamar, aku tidak ingin tiba-tiba berubah pikiran dan tidak jadi pergi.

Saat akan mencapai tangga, langkahku melambat ketika mendengar suara orang berbincang dan ada namaku di dalam perbincangan mereka.

"Mama tidak bisa memutuskan seperti itu, Mbak Laras baru beberapa hari menjadi istri Mas Haris, jadi Mbak Laras masih belum berhak mendapatkan apa yang dimiliki Mas Haris." Terdengar suara Risa yang sedikit meninggi.

Aku langsung menghentikan langkah seketika, aku tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Risa. Aku pun memutuskan untuk menyimak lebih jauh obrolan mereka.

"Iya, Ma. Betul apa yang dikatakan oleh Risa, apalagi kondisi Mbak Laras masih seperti itu, mana mungkin Mbak Laras mampu menjalankan perusahaan Mas Haris," tambah Indra--suami Risa.

"Tapi Laras juga punya hak atas apa yang dimiliki Haris, dia sudah menjadi bagian dari keluarga kita, kalian jangan lupa itu," sahut Mama tegas.

"Tapi memberikan perusahaan Mas Haris begitu saja itu sangat berlebihan, Ma. Bagaimana kalau Mbak Laras menemukan lelaki lain untuk dinikahinya? Apa Mama akan membiarkan begitu saja harta milik Mas Haris dinikmati dengan lelaki lain? Apa hati Mama rela jika itu terjadi?" tanya Risa lagi.

Aku mengepalkan tangan erat-erat, telingaku panas mendengar apa yang Risa ucapkan. Begitu hina kah diriku sampai Risa mampu mengatakan hal seperti itu? Apa Risa pikir aku bisa dengan mudah menikah lagi dan melupakan Mas Haris begitu saja?

Padahal dia belum pernah berada di posisiku, kenapa begitu mudahnya dia mengatakan kalau aku akan menikah lagi dan menikmati harta Mas Haris? Aku mencintai Mas Haris tanpa memandang hartanya, aku tulus mencintainya. Bahkan aku tidak butuh harta Mas Haris, kalau bisa aku tentu akan memilih hidup susah asalkan Mas Haris hidup kembali.

Kulihat mama hanya menunduk dan diam saja tidak menanggapi pertanyaan Risa, aku tersenyum miris melihatnya. Pasti mama pun tidak akan rela jika aku menjadi seperti yang Risa katakan.

"Laras tidak akan semudah itu menikah lagi, Sa. Kau tidak tahu betapa terpuruknya Laras kehilangan Haris, Sa. Mama melihat dengan mata kepala Mama sendiri betapa terpuruknya Laras kehilangan Haris. Mama melihat sendiri ketika Laras menangis sambil berbicara dengan potret Haris. Mama tidak sanggup melihatnya seperti itu, Mama ingin Laras melanjutkan hidupnya. Kalau Laras ingin menikah lagi, tentu Mama tidak akan pernah keberatan," lirih Mama.

Aku tersentak dengan ucapan mama, ternyata mama masih tulus menyayangiku. Mama memanggil orang tuaku karena mama tidak mau aku terlarut-larut dalam kesedihan. Aku pikir mama memanggil mereka karena sudah tidak ingin aku berada di rumah ini. Aku telah salah paham kepada mama selama ini.

"Tapi Mama tidak akan tahu apa yang terjadi nanti, bisa saja Mbak Laras tidak betah menjanda dan akhirnya menikah lagi. Bagaimana jika hal itu sampai terjadi, Ma?"

Suara Indra membuatku kembali geram. Aku sudah tidak bisa menahan diri lagi. Aku tidak mau harga diriku diinjak-injak hanya karena statusku sekarang adalah janda. Bukan mauku menjadi janda, hanya nasibkulah yang tidak mujur sehingga bisa menyandang status tersebut.

Kulangkahkan kaki menuruni tangga dengan cepat, setelah sampai di ujung tangga aku segera menuju ruang makan tempat mereka berbincang.

"Kalian tenang saja, aku tidak akan mengambil sepeser pun milik Mas Haris. Kalau hanya untuk menyambung hidup, aku masih memiliki uang. Jadi kalian tidak perlu khawatir aku akan menguasai apa yang dimiliki Mas Haris," ucapku membuat mereka nampak terkejut dengan kedatanganku. Mungkin mereka pikir aku akan tetap berdiam diri di kamar seperti hari-hari yang lalu.

"Ras, kamu salah paham ...."

Mama nampak berusaha menjelaskan apa yang mereka bicarakan. Namun aku sudah tidak bisa lagi menahan hinaan yang mereka ucapkan tentangku.

"Tidak, Ma. Aku sudah sangat jelas dengan apa yang kalian bicarakan. Aku tidak keberatan meninggalkan semua harta milik Mas Haris, asal jangan rendahkan aku dengan status yang baru aku sandang. Menjadi janda bukan pilihanku, Ma. Jika bisa memilih tentu aku tidak akan mau menjadi janda," ucapku memotong ucapan Mama.

Aku tidak bermaksud untuk berperilaku tidak sopan pada mama, aku hanya tidak mau status janda membuat harga diriku diinjak-injak begitu saja.

Apalagi memang bukan mauku menyandang status tersebut. Jika saja aku bisa memilih, tentu aku lebih memilih untuk tidak akan mau menyandang status tersebut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status