Share

4. Terusir Dari Desa

"Kalian Pembunuh!"

Semua orang menatap ke arah Alina, termasuk Dewi dan Ujang. Tentu saja semua orang kebingungan sekaligus terkejut dengan sikap Alina yang tiba-tiba marah ini. Dada Alina naik turun sebagai pertanda ia sedang emosi. Namun, apalah daya semarah apapun dia tidak ada yang bisa dilakukan olehnya gadis kecil tersebut selain berteriak dan menangis.

"Ayah, Ibu, mereka pembunuh. Mereka membunuh kak Reza. Resta dan Restu bilang selama ia di kurung di gudang di kasih nasi basi, selama kakak di kurung ia di cambuk. Mereka membunuh kakakku, Yah, Bu! Mereka pembunuh!" ucap Alina bercucuran air mata.

Dewi segera mendekap putrinya. Ia menatap Mirna dengan tatapan penuh benci, ia kira Mirna akan menjaga Reza setelah mendapat ancaman tersebut. Namun, semua itu salah. Sementara Burhan yang mendengar itu merasa sedikit takut kalau warga mempercayai kata-kata Alina. Burhan menatap Resta dan Restu yang sedang bermain, benarkah anaknya berkata demikian kepada Alina?

"Apa maksudmu, Nak?" tanya Burhan.

"Istrimu itu penjahat, sepantasnya ia mendapatkan hukuman bukan kakakku, istrimu membunuh kakakku, kalian pembunuh!" Walau sudah dalam dekapan ibunya Alina tetap meraung seperti orang kerasukan, ia berusaha mencari keadilan untuk kakaknya.

"Tau apa kamu? Kamu itu anak kecil, menjenguk kakakmu saja baru hari ini. Mentang-mentang kamu masih kecil mau membuat cerita palsu supaya semua orang percaya? Cih, murahan sekali keluarga kalian dan kau membawa-bawa nama putra dan putriku sebagai sumber informasi? Keterlaluan kau! Kecil-kecil sudah pandai berbohong, sudah tau kakakmu salah malah nyari kebenaran. Kalau salah ya cara salah nggak usah nyari kebenaran seperti anjing menggonggong!" Dewi mendengar hinaan dari Marni pun naik pitam. Ia segera berdiri menatap Marni.

"Tidakkah kau sadar darimana asalmu? Apa perlu aku beberkan semua fakta tentang dirimu? Panggil kedua anakmu, tanya langsung mereka. Apa yang mereka katakan pada putriku!"

Warga yang melihat perseteruan tersebut hanya bisa diam dan menyimpulkan sebenarnya apa yang terjadi. Di saat mayat masih tergeletak mereka malah memilih berdebat bukan pergi menanamkan mayat tersebut.

Seorang warga menengahi, ia merupakan sosok tetua di tempat tersebut. "Ada baiknya kalian hentikan dulu. Burhan, Marni, kalian itu sangat terpandang tidaklah kalian malu? Ujang, Dewi lebih baik kalian memakamkan jasad anak kalian. Nanti dulu kalian selesaikan permasalahan ini."

Mendengar hal itu ada beberapa warga yang membawa tandu untuk mengangkat mayat Reza. Mereka kemarin memang tak menyukai Reza karena kejadian pendobrakan pintu. Namun, mereka masih punya empati untuk membantu keluarga Ujang.

Mereka merasa iba melihat Alina yang sekarang ada di gendongan ibunya. Mulut mungilnya tak henti-hentinya mengatakan kalimat yang menyatakan bahwa keluarga Burhan pembunuh.

"Hey, Gendut! Udah gendut manja lagi, sok-sokan minta di gendong. Oh, iya kakak gilamu sudah mati ya, kasian deh nggak punya kakak lagi," teriak Resta kepada Alina.

"Tante, maafin adik saya," ucap Restu meminta maaf kepada Dewi sambil menundukkan kepalanya.

Dewi mengusap kepala Restu, setidaknya Restu tidak ada hubungannya dengan semua ini. Hanya pada orang tuanya lah mereka memiliki rasa benci.

***

Alina menangis di batu nisan yang terbuat dari kayu. Kakaknya sudah pergi, ia sangat sedih karena pemakaman sang kakak tak mendapat izin dari para warga untuk dimakamkan di pemakaman umum tempatnya, hingga terpaksa keluaga Ujang memakamkan Reza di depan rumah mereka. Beruntung tanah yang mereka miliki tidak pas-pasan dengan ukuran rumah jadi mereka masih bisa memanfaatkan tempat yang kosong tersebut.

Tiba-tiba warga beramai-ramai datang ke kediaman keluarga Ujang, mereka tersenyum melihat kerumunan tersebut, setidaknya masih ada yang peduli pada keluarga mereka.

Senyum mereka luntur kala kerumunan itu mendekat, mereka kira itu adalah orang yang ingin mengucapkan belasungkawa. Namun, ternyata salah. Kerumunan tersebut ingin mengusir Keluarga Ujang.

"Usir mereka dari tempat kita!"

"Usir!"

Di depan kerumunan terdapat Burhan dan sang Istri. Sungguh picik mereka, tidak puaskah mereka setelah menghabisi Reza? Entah ada dendam apa mereka pada keluarga Ujang sehingga begitu benci pada keluarga Ujang.

Apa benar cuma karena Reza mendobrak pintu kamar mandi? Entahlah, tak ada yang tau dengan apa yang terjadi sebenarnya.

"Ada apa ini, Bapak, Ibu?" tanya Ujang.

"Halah, nggak usah sok nggak tau kamu, Ujang! Mentang-mentang putra gilamu mati bunuh diri di gudang rumah, Pak Burhan kamu jadi ingin mencelakai Restu, putranya pak Burhan!"  teriak salah satu warga.

"Astaghfirullah, tidak ada sedikit pun terpikir untuk berbuat demikian. Kami tidak ada niat jahat dengan keluarga pak Burhan, Pak!"

Ujang bingung, tapi ia tau pasti sudah terjadi sesuatu lagi, entah kerjaan siapa tapi yang pasti mereka tak menginginkan keberadaan keluarga Ujang di sini.

"Pak Burhan, apa yang sebenarnya terjadi di sini?" tanya Ujang.

"Setelah bubarnya kerumunan yang melihat mayat Reza, tiba-tiba saja Resta berteriak. Ia menemukan Restu dalam keadaan pingsan dan bersimbah darah. Dari perkiraan mungkin ada seseorang yang melemparnya menggunakan batu dan mengenai kepala Restu. Semua orang mengira kalau itu adalah perbuatan dari pihak keluargamu, Ujang," ucap Burhan menjelaskan dengan tenang.

Tidak seperti warga yang lain, Ujang mampu berpikir jernih. Bagaimana pun juga ia harus sabar dalam kasus ini.

"Demi Allah, Pak kami tidak melakukan itu! Semenjak mayat Reza diantar warga ke rumah kami langsung mengurusnya. Setelah itu bahkan kami belum melangkah pergi dari rumah, ini mungkin ada yang tidak suka pada kami dan punya masalah dengan keberadaan kami, Pak."

"Jadi maksud anda istri pak Burhan yang melakukan semua itu pada anaknya sendiri agar anda sekeluarga kena usir?" tanya warga.

"Bukan begitu maksud saya, saya tau tidak mungkin seorang ibu tega menyakiti anaknya. Tapi cobalah kalian mengerti. Semenjak tadi saya, istri saya, dan anak saya belum pergi kemana-mana tidak mungkin perbuatan kami." Ujang mencoba menjelaskan, tapi sepertinya warga sudah gelap mata.

"Tau darimana kalian kalau kejadiannya setelah sepulang kalian? Padahal tidak ada yang tau kapan kejadiannya!"

Semua warga mengamuk, mereka mengira keluarga Ujang yang mencelakai anak Burhan. Dengan paksa warga masuk ke rumah Ujang dan mengeluarkan barang-barang milik mereka. Alina terpaku melihat kejadian itu.

"Andai kami orang kaya, tidak mungkin orang melakukan semua ini." Air matanya mengalir, ia menoleh ke makam Reza.

Alina kembali memeluk nisan Reza, meski semua orang terus berteriak meminta mereka pergi.

"Kak Reza, suatu saat kita akan ketemu lagi. Aku akan mengunjungi, Kak Reza. Untuk saat ini kakak sendirian dulu ya, aku pasti merindukan kak Reza," ucap Alina.

Alina bangkit memeluk ibunya. Ia menatap satu persatu wajah warga yang mereka temui dijalan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status