Julian berdiri di jarak dua meter dari tempat tidur Ana.
Ana sibuk melempari Julian dengan benda apa pun yang bisa diraih dengan tangannya. "Pergi!" sesuatu yang cukup nyaring terdengar, tapi tidak juga membuat Julian beranjak.
Enam jam setelah kemoterapi, Julian masih belum bisa mendekati Ana. Perempuan itu marah ketika tahu zat-zat kimia masuk ke dalam darahnya dan membuat matanya dipenuhi lingkaran biru. Zat-zat itu juga membuatnya semakin mual, ia muntah berkali-kali dan Ruin bilang efeknya tidak akan hilang dalam 24 jam, atau bahkan sampai berminggu-minggu.
"Ana, aku...," Julian mencoba melangkah maju.
Satu lagi yang melayang dari tangan Ana, vas bunga yang kemudian remuk di lantai. "Pergi!" histeris Ana sekali lagi. Ia
Julian tidak menemukannya di mana pun. Rasa haus akan berita tentang Ana membuat Julian gelisah. Ruin, Julian telah menelponnya beberapa kali. Tapi, pemuda itu tidak menjawab panggilannya. Julian akhirnya memutuskan sendiri apa yang akan ia lakukan untuk mengetahui kabar tentang Ana dan berharap bisa sedikit mengubur kekhawatirannya.Julian, sejak tiga hari lalu ia membiasakan diri dengan topi hitam yang menutupi kepala dan membuatnya tak dikenali kecuali ia menegakkan kepalanya. Ketika itu Julian bahkan menaikkan kupluk jaket dan berjalan cepat di koridor rumah sakit sambil menunduk. Sekilas ia terlihat seperti lelaki mencurigakan yang datang dengan rencana jahatnya. Langkah kaki orang itu melambat ketika sampai di depan pintu Dokter Ruin, ia tak menemukan siapa pun ketika menyelipkan tubuhnya melewati depan pintu. Julian berusaha tidak menimbulkan suara apa pun ketika memutuskan memuta
"Dia sudah memesan tiket. Dia akan berangkat ke Paris besok pagi dengan pesawat Air France. Aku sudah mengecek daftar penumpang yang masuk.""Julian Andreas", Ruin memperlihatkan gambar dari ponselnya, sesuatu yang ia dapatkan dari komputer salah satu customer service di bandara. "Ada baiknya kau menepati janjimu," Ruin menyerahkan setumpuk kertas pada Ana.Seakan tak ingin ambil pusing dengan itu, Ana menarik kertas tersebut dan langsung menandatanganinya. Padahal Ruin sudah bersiap jika Ana ingin berdebat dengannya soal tindakan pengobatan.Ana diam saja seraya terus menjejalkan pakaian-pakaiannya ke dalam koper. Hari ini perempuan itu memang akan pulang. Rencananya ia akan dijemput oleh Nara dan Vanessa."Kau akan menemui Vanessa d
Hanya sedikit cahaya yang jatuh ke matanya ketika memasuki kamar Julian. Cahaya itu dari lampu balkon yang menyala dan menembus pintu kaca yang tak tertutup tirai. Ana harusnya takut pada sudut-sudut gelap yang ada di sana. Tapi, ia juga tak kuasa untuk berteriak. Tidak akan ada yang mendengarnya. Julian sudah pergi, dan itu memaksanya untuk berani. Hanya saja, Ana ditimpa kelelahan yang sangat sekadar berpura-pura bahwa dirinya baik-baik saja. Ana melirik ke atas tempat tidur Julian. Tempat itu masih berantakan dan ada satu stel pakaian yang tergeletak di atasnya. Ana ingat betapa hangatnya ketika terakhir kali berbaring di atas sana. Dan aroma tubuh Julian yang menempel, seperti sedative yang menenangkan pikiran Ana. Aroma yang sama yang diingat Ana sejak satu per satu hal mengenai Julian mulai menarik perhatiannya. Selalu ada botol kristal bening berwarna agak kehitaman terpajang di
"Apa yang terjadi?" Ruin menghampiri Ana. Ia ingat hampir pukul dua ketika Ana meneleponnya dan membuatnya terpaksa mengendarai mobil di tengah malam menuju rumah Ana. Ana terus menyebut nama "Julian" di sela-sela isakannya, tanpa menjelaskan apa yang terjadi dengan orang itu. Sekarang, ia menemukan Julian ada dalam dekapan Ana. Ana membelainya dengan lembut sambil sesekali bersuara, "Kakak, ayo bangun!" Ana terlihat putus asa. "Berikan dia padaku! Aku akan memeriksanya!" pinta Ruin. Ruin menelentangkan tubuh Julian sementara pahanya yang tertekuk menjadi penyangga untuk kepala Julian. Ruin memulai dengan menjatuhkan sedikit cahaya ke mata Julian, tidak ada masalah dengan itu. Nadinya teraba kuat dan teratur, juga tidak ada masalah dengan caranya bernapas. "Julian, kau bisa mendengarku?" tanyanya lagi sambil menepuk-nepuk bahu Julian. "Aku Ruin, katakan jika kau merasakan sesuatu?"
"Are you ok?" Mrs. Alena meletakkan piring berisi Beef Bourguignon di meja kerja Julian. Tampaknya lumayan jika disandingkan dengan wine yang sudah lebih dulu menemani Julian. Julian duduk di kursi kerjanya sambil menghadap jendela kaca besar di lantai dua. Ketika itu malam telah menyelimuti Champs-Élysées. Ia menatap kosong pada lampu-lampu hias yang menggantung menghias jalanan dan berkedip bergantian. "I'm not hungry!" katanya sempat melirik ke meja. "Since you came back here, you didn't eat anything yet," ucap Mrs. Alena lagi. Julian mengangkat gelas wine-nya lagi. Sudah lebih dari 24 jam ia berada di Paris, Julian mengakui ia masih belum bisa menenangkan dirinya. Julian bahkan telah mengosongkan dua botol wine untuk diminum sendiri. Ia punya sedikit harapan untuk melupakan Ana
Beberapa hari kemudian, "Sir... sorry!" Mrs. Alena terpaksa membangunkan Julian yang tertidur bersama sketsa-sketsanya. "What happened?" "Someone calling you!" "Did you say I'm sleeping?" "I did. But, he said this is about urgent things!" Julian mengusap rambutnya, "Who?" "Mr. Ruin!" "Ruin?" ulang Julian berharap Alena mengucapkan nama yang salah. "Give me!" Julian mengusap rambutnya sebelum mulai bicara, hormon stressnya memuncak dan itu membuatnya gugup. Tentu saja ia
Ketika terbangun, Ana tak menemukan siapa pun di dekatnya. Kamar yang terlihat asing, tapi tidak dengan aroma parfum Julian yang melekat di setiap sudutnya. Ana turun dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi. Jika tidak salah, kamar mandi yang ia maksud ada sekitar sepuluh langkah dari tempatnya berdiri sekarang. Luar biasa, baru saja ia mendorong pintu kamar mandi, Ana menemukan jendela besar yang tertutup tirai tipis di samping bath tub. Handuk putih yang tergantung di sisi kamar mandi, juga alat cukur yang pastinya digunakan Julian.Ana mulai yakin ia berada di Paris, terlebih ketika menemukan Julian asyik dengan gaun hitam di hadapannya. Ana bergeming di tengah-tengah tangga turun menuju lantai dua. Ia melanjutkan langkahnya ketika Julian menyadari kehadirannya."Sudah bangun?" ucap Julian terdengar dingin.
Hampir malam ketika Ana tahu Julian kembali. Pria itu melemparkan kotak rokok dan pemantik api ke atas meja kerjanya. Ia kemudian menjatuhkan dirinya ke sofa hitam yang menghadap jendela kaca besar di lantai dua. Ana diam-diam memperhatikan orang itu dari anak tangga. Julian bisa saja melihat Ana jika ia berpaling, tapi Julian sepertinya fokus pada pikirannya sendiri. Dan untuk beberapa alasan, Ana tidak ingin mengganggunya meski ingin sekali bicara. Ada perasaan bersalah yang menyusup di benak Ana. Ia kira ia datang ke Paris untuk membuat Julian merasa dicintai. Memang terdengar bodoh dan tetap menjadi hal yang bodoh karena Ana hanya membawa beban untuk Julian. Sejak Ana di Paris, tak sekalipun Julian terlihat senang.Ana kembali ke kamar. Tempat yang entah sejak kapan terlihat gelap. Titik-titik cahaya yang terlihat dari balik jendela besar mulai bermunculan. Kota itu seperti dikalungi