Aku dan Tania saling bertatapan. Beberapa saat kemudian aku mengangguk mantap."Panggil tukang kunci atau kalau perlu rusak sekalian pintu ini, Pak!" titahku tegas. Sekarang aku tak perlu sembunyi-sembunyi lagi menyelidiki Mas Ibram. Toh, dia sudah tahu kalau aku akan melakukan ini.Pak Hasim tampak ragu. Dia masih menatapku tanpa bicara."Cepat, Pak!" titahku."Ba-baik, Bu."Pak Hasim menyalakan lampu koridor tempat kami berdiri, kemudian beranjak pergi."Benar-benar niat Ibram, ya!" geram Tania."Aku sebenarnya masih bingung, Tan. Enggak ngerti sama apa yang sebenarnya terjadi. Ini kayak .... Rasanya kayak tiba-tiba semua berubah. Dan aku enggak tahu alasan Ibram apa?" Tania mengusap punggungku. "Kamu harus kuat! Apapun kenyataan yang terjadi nanti, kamu harus yakin itu yang terbaik.""Iya, Tan. Cuma rasanya ini kayak tiba-tiba banget. Awalnya cuma kemarin Ibram ketahuan bantu Rena pindahan, setelah itu satu persatu kebohongan dia terungkap. Dan ini terjadi cuma dalam hitungan hari
Aku dan Tania melangkah mendekati brankas tersebut dengan hati-hati. Aku melihat banyak tumpukan uang, emas, dan berkas-berkas lainnya."Ambil semua aja, Tan!" pintaku pada Tania. Wanita berjemari lentik itu berhati-hati memindahkan barang-barang dari brankas tersebut ke meja kerja Mas Ibram.Setelah brankas kosong, aku mengecek apa saja isi yang tadi telah kami pindahkan. Kuambil amplop cokelat besar untuk menyimpan uang tunai dan emas batangan. Tak lupa kuambil setumpuk uang bertulis nominal sepuluh juta untuk Pak Hasim. Sepertinya cukup untuk upahnya malam ini."Wah, terima kasih sekali, Bu!" ucap Pak Hasim dengan mata berbinar. Dipeluknya uang bonus tersebut.Selanjutnya aku dan Tania mengecek satu persatu berkas yang masih berserak di meja. Isinya berkas-berkas kantor dan mini market. Tak ada berkas yang berkaitan dengan kecurangan Mas Ibram. Namun, aku menemukan ada lima buah buku tabungan deposito atas nama Mas Ibram yang disimpan
"Vi, ada apa?" tanya Tania dengan suara terdengar panik.Sementara aku masih mematung dengan jemari gemetaran. Mataku menatap kosong ke depan dengan bibir setengah terbuka.Tania berusaha mengambil ponsel Mas Ibram yang kujatuhkan. Dari sudut mata aku bisa melihat mata lebar Tania bergantian memandangku dan juga ponsel Mas Ibram yang kini di tangannya.Kemudian Tania membuka ponsel Mas Ibram. Kedua mata lebarnya fokus di sana."Tan, tolong antar aku pulang sekarang juga!" pintaku pada Tania.Gemuruh di dadaku sudah seperti gulungan ombak yang siap menerjang karang. Aku akan tendang penipu itu sekarang juga. Tak ada ampun untuk manusia hina sepertinya.Tania buru-buru menaruh ponsel Mas Ibram di pangkuannya. Kemudian dengan lincah, memacu mobil ke arah rumahku."Sampai rumah kamu mau gimana?" tanya Tania sembari menyetir."Aku akan usir dia langsung, Tan. Dia bukan manusia. Aku akan kembalikan dia ke tempat asalnya!" tekadku. Aku tak menangis, bersedih atau perasaan galau lainnya. Yan
Langkahku tak selebar tadi. Kuseret kakiku mendekati sofa dengan nyali tinggal separuh. Sejak dulu aku memang takut dengan Papa. Aku tak pernah berani melawan laki-laki itu. Papa terlalu keras untuk dijadikan lawan. Ucapannya tak terbantahkan."Viona bisa jelasin, Pa!" ucapku masih berusaha tenang."Duduk!" titah Papa.Sembari duduk, aku bertanya-tanya. Ada apa? Kenapa Papa terlihat begitu marah? Tak mungkin hanya karena aku pulang malam Papa semarah itu."Pa, Viona habis ....""Diam!" bentak Papa sembari kedua bola matanya melotot. "Dengar baik-baik! Sampai kapanpun, Papa enggak akan setuju kamu cerai dengan Ibram!"Mataku melebar mendengar itu. Aku menatap tak percaya pada wajah lelaki yang masih berdiri di depanku. Apa maksud Papa berkata begitu? Aku bahkan belum mengatakan apa-apa. Apalagi tentang perceraian."Maksud Papa?" Aku menuntut penjelasan kepada lelaki berkac
Aku terperangah menatap Ibram tak percaya. Aku benar-benar tidak menyangka, selama delapan tahun ternyata aku hidup dengan penipu licik seperti Ibram. Ya, dia lebih pantas langsung dipanggil nama saja. Tak pantas ia dipanggil dengan sebutan Mas. Terlalu sopan untuk seorang penipu. Lelaki itu tersenyum penuh kemenangan. Dia pikir, aku akan menyerah karena tak berhasil mengusirnya? Aku punya banyak cara, Ibram! Sampai mati aku tak ikhlas manusia rubah sepertimu menjadi parasit di rumah ini."Oke, kalau itu mau kamu, aku akan tempuh jalur hukum," ucapku dengan berusaha tenang pada lelaki tak tahu diri itu.Sebenarnya, aku tak ingin melakukan ini. Mengingat, bagaimanapun dia papa Cahaya. Namun, tak ada pilihan lain. Aku tak akan membiarkan lelaki sepertinya mendapatkan apa yang diinginkan."Silahkan, kalau kamu pikir bisa memperkarakan ini," sahut Mas Ibram sembari tersenyum meremehkanku."Kita lihat saja." Pak Sarno tergopoh memasuki ruang tamu. Lelaki paruh baya berbadan kekar itu ta
Setelah menghubungi Alvin, aku menghubungi Tania. Aku minta rekomendasi pengacara yang bagus darinya. Karena dulu Tania pun pernah menjalani apa yang akan aku jalani. Sesuatu yang dihalalkan, tetapi juga dibenci oleh Allah. Tania merekomendasikan seorang pengacara muda. Dia bernama Pak Wildan. Segera saja kuhubungi nomor telepon yang Tania berikan. Meskipun sudah cukup malam, tetapi pengacara tersebut masih mau membalas pesanku. Dia memintaku menyiapkan segala sesuatu yang besok diserahkan ke kantor polisi.Ibram masih tak tahu malu memintaku untuk mengurungkan niat melapor polisi. Segala bujuk dan rayu ia ucapkan. Dia pikir aku akan luluh?Tidak akan!Keesokan paginya saat aku membuka pintu, kutemukan Ibram tertidur di lantai persis di depan pintu kamar. Memang pantasnya dia tidur di situ.Aku hanya melewatinya begitu saja tanpa berniat membangunkannya. Di ruang makan, sudah ada Cahaya yang bersiap sarapan dengan Mbak Susi. An
Aku pasrah saat merasakan kesakitan luar biasa. Tak hanya di leherku saja, tetapi juga dada, kepala dan bagian tubuh lainnya. Bahkan perutku terasa mulas tiba-tiba.Namun, tak kusangka tiba-tiba Ibram melepas cengkeraman tangannya di leherku. Kedua jemari yang tadi mencekikku dengan kuat terlihat gemetar."Maafin aku, Ma! Maafin aku! Aku ...." Ucapannya terpotong saat melihat tubuhku luruh ke halaman berpaving sembari terus terbatuk-batuk. Dadaku masih sangat sesak. Bahkan aku masih kesulitan bernafas."Ma, maaf ...," ucapnya lagi. "Aku tadi sangat emosi. Tolong, maafin aku!"Aku masih tak merespon ucapannya. Sekedar untuk bernafas saja masih tersengal-sengal bagaimana aku bisa bicara.Diraihnya tubuh lemasku dalam gendongan Ibram. Sorot mata lelaki itu tampak begitu khawatir.Apakah Ibram berkepribadian ganda?Ah, entahlah. Aku tak peduli. Yang jelas aku tak sudi hidup bersama laki-laki ini.Ibram tergopoh membopongku memasuki rumah. Begitu berada di ruang tamu, dia berteriak memangg
Semakin ke bawah, ia mengancam Ibram. Ia akan mengungkap kebenarannya kepadaku kalau sampai tak segera mengirim uang tersebut. Lalu ia juga mengancam akan menghubungi nomor Ibram yang satunya. Berbagai kata kotor dan sumpah serapah Rena kirim untuk Ibram yang dia pikir tak juga mengaktifkan ponselnya.Mungkin karena Rena, tadi Ibram sampai nekat mencekikku. Tuntutan dan Tekanan Rena pada Ibram luar biasa. Lelaki itu pasti kalang kabut karena semua akses keuangan telah aku blokir."Mbok, tolong pijat kakiku!" pintaku saat menyadari Mbok Sar sejak tadi hanya berdiri memandangiku."Oh, iya, Bu."Setelah membaca pesan dari Rena, aku menghubungi Pak Sarno. Aku ingin tahu dia tadi ada dimana. Sekalian aku juga akan memintanya mengamankan rekaman CCTV halaman rumah. Karena tindakan Ibram tadi bisa untuk menambah barang bukti.Aku yakin, Ibram tak akan bisa lolos dari hukuman.Kulepas dahulu jilbab yang masi