Malam ini aku akan melancarkan aksiku selanjutnya. Setelah menemani Alta belajar dan bermain sebentar, aku mengantarkan Alta untuk tidur di kamarnya.
Jam sudah menunjukkan hampir jam sepuluh malam. Tak lama lagi Mas Ilham akan pulang sesuai dengan pesan w******p nya tadi. Malam ini aku juga harus melancarkan aksiku lagi. Sudah tidak tahan rasanya menghadapi hal seperti ini terus menerus.Baru tadi siang mereka asik-asikan indehoy di mobil, sekarangpun serasa tidak puas hingga sampai malam baru pulang. Ternyata Mas Ilham benar-benar sudah kepincut sama wanita murahan tersebut. Sampai-sampai tidak ingat lagi sama anak dan istri di rumah. Tunggu saja Mas, tunggu sampai aku tahu siapa sebenarnya wanita itu. Tak lama terdengar suara mobil dari halaman depan. Itu pasti Mas Ilham. Dengan mengumpulkan sedikit demi sedikit kesabaran, akhirnya aku membukakan pintu dengan senyuman termanisku. Dengan takzim aku mencium punggung tangannya, seolah-olah dia masih pantas untuk diperlakukan dengan hormat seperti itu. "Ini Mas, Nay buatin kopi," aku menyuguhkan secangkir kopi setelah melihatnya selesai mandi."Iya, terima kasih," jawabnya tenang. "Alta sudah tidur?""Ya sudah dari tadi lah, Mas. Mas saja yang pulangnya selalu terlambat. Makanya jarang sekali ketemu," aku mulai sewot.Ada perasaan heran di wajah Mas Ilham. Mungkin dia tahu dulunya kalau aku tak pernah sesewot ini. Selalu maklum kalau dia lembur sampai larut malam.Tapi ya itu dulu. Sebelum aku tahu bahwa dia punya wanita simpanan di luar sana. "Ya maklum lah, Nay. Mas kan lembur hampir setiap malam juga buat kamu dan Alta. Kalau kerja Mas bagus, siapa tahu nantinya di promosikan naik jabatan, kan kalian juga yang bangga," Mas Ilham beralasan sambil menyeruput kopinya. Buat aku dan Alta? Ndas mu itu, Mas. Kalau benar kamu lembur ya tidak apa-apa. Selain kerjamu dapat promosi, otomatis uang lembur bisa nambah-nambah tabungan. La kalau lemburnya hanya buat nabur bibit sana sini, ya buat apa? Buat jijik iya. Tak lama kulihat Mas Ilham sudah berbaring di ranjang. Matanya terpejam dan nafasnya juga teratur. Kulirik cangkir kopinya juga sudah kosong. Cepat juga obatnya bereaksi. Tidak sia-sia Ratna memberikanku obat tidur tadi siang. Dengan begini aku bisa bebas mengobrak abrik isi gawainya Mas Ilham."Mas. Mas sudah tidur?" aku menggoyang-goyangkan tubuhnya, untuk meyakinkan bahwa dia benar-benar sudah tertidur dengan lelap. Tak ada respon. Bergerakpun tidak. Baguslah, setidaknya dadanya masih naik turun menandakan bahwasanya dia masih hidup. Dengan cepat kuambil gawainya. Berkali-kali kucoba dengan nomor sandi yang lama. Ternyata gagal. Berarti Mas Ilham sudah mulai takut kalau aku akan mencoba membuka pesan darinya. Sejak kapan rupanya dia mulai sembunyi-sembunyi dariku. Sudah main rahasi-rahasian rupanya dia. Dasar laki-laki licik. Tapi kemudian aku teringat. Sandinya bisa saja diganti. Tapikan anunya tidak. Akhirnya kunci gawai terbuka setelah aku menempelkan anu, maksudnya ibu jarinya Mas Ilham. Selicik-liciknya kamu, ternyata masih ada juga sisi bloon nya. Dia menggunakan perlindungan ganda sekaligus. Tanpa dia sadari kalau hal itu yang membuatnya jadi semakin mudah diketahui. Kubuka satu persatu aplikasinya. Ternyata mereka jarang berinteraksi di aplikasi w******p. Apa karena chat mereka langsung dihapus begitu Mas Ilham sampai ke rumah? Mungkin memang seperti itulah adanya. Kalau tidak dari w******p, dari mana lagi mereka berkomunikasi?Setelah itu kulanjutkan dengan membuka aplikasi mesenger. Ya Allah, rasanya jantung ini mau copot saat membaca percakapan demi percakapan mereka. Banyak sekali obrolan-obrolan mesum yang membuatku jijik. Belum lagi foto-foto tidak pantas yang dikirimkan oleh wanita itu. Astagfirullah alaziim. Sakit sekali rasanya hatiku melihat ini semua. Aku sama sekali tidak menyangka kalau lelaki baik yang sudah empat tahun hidup bersamaku ini bisa menjadi pria mesum dan mampu mengeluarkan kata-kata menjijikkan seperti itu.'Mas, kapan kamu menceraikan istri kampungmu itu,' isi salah satu dari ratusan bahkan ribuan chat mereka. 'Jangan buru-buru sayang, nanti siapa yang mau mengurus Alta? Memangnya kamu mau?''Kalau ngurus Mas sih aku mau-mau saja.' itulah beberapa hal yang membuatku semakin membenci Mas Ilham. Viona Cantika. Itu nama akun sosial media wanita tersebut. Ku telusuri akunnya satu persatu. Banyak sekali foto-foto yang tidak pantas dia pajang di akunnya. Wanita seperti inikah yang membuat Mas Ilham berpaling dariku?Kamipun sampai di sebuah klinik yang tidak jauh dari rumah aku bersama Mas Rafi. Sengaja aku tak ingin pergi ke rumah sakit besar, selain malas untuk mengantri, kurasa penyakitku ini tidak terlalu parah dan juga berbahaya."Selamat ya, buat Ibu dan juga Bapak," seru seorang Dokter setelah tadi memeriksaku dengan senyuman."Selamat apa ya, Dok?" Mas Rafi bergantian memandangi kami."istri Bapak saat ini sedang mengandung. Usia kandungan sudah memasuki usia lima minggu. Selamat, karena sebentar lagi Bapak akan menjadi seorang Ayah."Kulihat binar matanya memancarkan kebahagiaan. Matanya berkaca-kaca, merasa antara percaya dan tidak percaya. Di tatapnya wajahku secara seksama, kemudian kembali ke arah Dokter itu."Benar Dokter? Istri saya hamil?" dia meyakinkan. Dokter muda itu pun mengangguk sambil tersenyum."Alhamdulillah... " ucap aku dan Mas Rafi bersamaan..Mas Rafi tak henti-hentinya menggenggam tanganku. Merasa berbahagia karena telah berhasil mengandung dari buah cinta kami. Kin
Aku duduk di sofa ruang tamu lantai dua. Ruangan ini menjadi lebih luas setelah menyelesaikan renovasi. Bangunan yang tadinya bersekat tembok yang tinggi, kini telah menyatu dan menjadi luas. Karyawan di lantai bawah pun sudah bertambah dua orang lagi, sehingga mengurangi lelahnya Ibu dalam mengurus toko."Ibu masak bubur kacang hijau lho, Nay," ujar Ibu. "Pakai durian lagi. Sengaja Ibu buatkan makanan kesukaan kamu," lanjutnya lagi."Nanti Nay ambil sendiri saja, Bu," ucapku yang agak malas untuk bangkit, tanpa kutahu tiba-tiba saja Ibu sudah berjalan membawa nampan berisi mangkuk.Mendadak aku pusing, tenggorokanku rasanya penuh, hingga memaksaku untuk bergegas ke kamar mandi untuk mengeluarkan segala yang kumakan pagi tadi."Nay, kamu kenapa?" kudengar panggilan Ibu sambil mengetuk pintu. Aku terus saja memuntahkan apa yang ada, hingga tubuh ini jadi seperti tak bertenaga."Tidak tahu, Buk. Mungkin masuk angin," aku berjalan kembali ke sofa setelah membukakan pintu. Kulihat Ibu ber
Akhirnya hari bahagia itu datang juga. Seperti sebuah mimpi, kini aku benar-benar telah mengakhiri masa kesendirianku. Status yang masih menjadi momok yang menakutkan bagiku itu, terlepas sudah. Entah bagaimana caraku mengungkapkannya.Pagi tadi, dengan menggenggam erat tangan Bapak, Mas Rafi mengucapkan lafaz dengan begitu lantang, hanya dengan satu tarikan nafas saja. Membuat semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dengan begitu antusias dan bersemangat.Sebuah pesta sederhana dilanjutkan dengan sebuah hiburan berupa musik dari orkestra yang biasa diadakan di kampung kami.Aku tidak perduli bagaimana dengan tanggapan keluarga Mas Rafi nantinya, yang selalu terbiasa dengan musik-musik nan elegan yang sering aku lihat di pesta-pesta kalangan orang kaya. Itupun aku tonton dari infotainment para artis.Tapi, sempat kulihat tangan Papa mertua ikut bergoyang juga, menikmati musik dangdut yang dinyanyikan sang biduan.Para sanak famili dan juga sahabat hampir semuanya hadir. Tak terkecu
"Banyak rekan-rekan yang sudah melapor sama Mas, kalau akun Mas diretas orang. Mas curiga itu Viona.jadi, kamu jangan sampai terkecoh jika ada pesan-pesan seperti itu, ya. Mas tidak akan mungkin tega meminta uang sama kamu dengan jalan seperti itu. Melihat kamu menjaga Alta sebaik ini saja, Mas sudah sangat berterima kasih." Ucapannya terdengar tulus dan tidak mengada-ada. Alhamdulillah, ternyata jawaban dari semua beban pikiranku sudah terjawab tuntas tanpa aku menanyakannya.Ternyata Mas Rafi benar juga, bahwa mimpi itu cerminan dari hati dan pikiran..Mobil kembali melaju pelan. Kulihat Alta sudah kembali akrab dengan Mas Rafi. Seakan-akan kejadian malam tadi tidak pernah terjadi. Atau mungkin dia bahagia karena sudah bertemu dengan ayahnya."Mas, tadi Mas Rafi ngomong apa saja sama Mas Ilham, kok jadi akrab?" Aku memberanikan diri untuk bertanya. Sebelum pulang tadi, kulihat Mas Rafi berbicara empat mata dengan Mas Ilham dan diakhiri dengan berjabat tangan dan... berpelukan. Ane
Aku menceritakan semua apa yang kulihat dalam mimpi tersebut. Tentang semua kejadian yang erat sekali berkaitan dengan dirinya. Mas Rafi terlihat serius dalam mendengarkan ceritaku. Malu juga sebenarnya.tapi, karena Mas Rafi terus memaksa, akhirnya aku bersikap jujur saja. Lagipula, kami sudah sepakat akan terbuka satu sama lain seperti janji kami tempo hari. Mas Rafi tersenyum sambil meraih jemariku. Menggenggamnya dengan berusaha untuk menenangkan. "Itu artinya, kamu takut kehilangan Alta dan juga Mas. Iya, kan?" senyumnya semakin mengembang. Terlihat manis dan juga mendebarkan. Eh? Kenapa pipiku jadi panas?"Mas Rafi ge er, ya!" Aku berusaha mengelak dengan menepiskan genggamannya. Mencoba menyamarkan rasa gugup dan debaran di dada. "Biasanya mimpi itu cerminan dari hati, Nay. Saat hati kita bersih, maka mimpi baiklah yang kita lihat. Tapi saat hati kita kotor dan ketakutan, maka mimpi buruk lah yang akan datang. Bukankah hati itu seperti cermin?" Mas Rafi terlihat serius. Tak b
Hari masih terlalu pagi, Ibu sudah menggedor-gedor pintu kamarku. Jantung ini rasanya mau copot saja, bertanya-tanya apa gerangan yang sedang terjadi di luar sana. Bergegas aku beranjak dari tempat tidur, dan segera membukakan pintu untuknya. "Nay, Nak Rafi sedang menunggu di bawah itu. Katanya mau mengajak kamu dan Alta ke pantai." Sejenak aku berpikir. Masih pagi begini, Mas Rafi datang dan tiba-tiba mengajak pergi. Ada apa gerangan. "Ouh, Iya, Buk. Sebentar lagi, Nay turun." Aku menghela nafas. Baru ingat pesan whatsapp yang dikirimkan Mas Rafi malam tadi. Aku hanya sempat membaca, belum ada niatan untuk membalas dan mengiyakan ajakannya. "Memangnya kalian sudah janjian mau kepantai?" terlihat wajah Ibu sedikit cemas.Mungkin merasa khawatir kalau aku tidak sedang baik-baik saja untuk saat ini. Apalagi dia belum menanyakan mimpi apa yang menghantuiku malam tadi. "Nay sendiri lupa, Buk. Mungkin Mas Rafi mau bayar janjinya kemarin sama Alta," terangku yang hanya menduga-duga sa