Papa menutup teleponnya. Aku pun dengan cepat menanyakan siapa nama yang disebut olehnya."Pah, Danu itu siapa?" tanyaku menyelidik."Bukan siapa-siapa, udah kamu fokus pada Haris aja," jawab Papa.Tiba-tiba saja, ada yang datang mengetuk pintu. Ia diantar oleh petugas. Aku melihat raut wajah Papa yang seketika itu juga membulat."Fika, istriku," celetuknya membuatku mengernyitkan dahi.Laki-laki itu tiba-tiba datang dengan menyebut aku sebagai istrinya. Astaga, lelucon macam apa ini?"Astaga, kamu siapa?" Kagetnya aku saat melihatnya."Fika, kamu sudah bisa bicara?" tanyanya kegirangan. Sepertinya aku merasakan pernah dekat dengannya."Tolong jangan ganggu, Fika," cegah Haris tiba-tiba muncul dari balik pintu."Mas Haris, laki-laki ini siapa?" tanyaku kebingungan."Fika, aku ini suamimu!" ungkapnya kepadaku, dan mendadak kepalaku sakit sekali. Tiba-tiba bayangan laki-laki tadi muncul di kepalaku. "Argh, sakit. Mas, kepalaku sakit!" teriakku meremas baju Haris. Setelah itu aku tidak
"Fika, kamu itu kenapa sih?" tanya balik perempuan itu. Bisa-bisanya ia pura-pura bodoh, padahal aku tahu maksudnya menghubungi papa pasti karena ingin menggodanya.Aku tidak menjawab pertanyaan dari Syakila. Ya, aku memilih menutup panggilan telepon secara sepihak.Aku menghela napas kasar. Kemudian berusaha mengingat kembali siapa sebenarnya Syakila. Namun, keningku semakin sakit saat berusaha mengingat semuanya.Tok ... tok ... tok ....Tiba-tiba salah seorang suster datang membawakan obat-obatan, untuk mengganti perban yang akan diganti. Aku pun bersedia diganti semua sesuai dengan perintah suster. Papa datang bersama Haris. Ia meminta ponsel yang tadi berada di sebelahku."Tadi perempuan yang bernama Syakila nelpon Papa, aku marah padanya, karena sudah lancang menghubungi papaku. Pasti ia ingin merayu, ya kan?"Aku yang sulit bergerak karena tengah diganti perban pun hanya mampu meliriknya. Papa terlihat mengerutkan dahinya. "Syakila? Bicara apa dia?" tanya papa."Nggak bicara
"Apa aku dulunya bisu karena Mas Danu, Pah? Lalu dia kena karma," ucapku ngasal. Hilangnya ingatan membuatku seperti orang bodoh. Selalu banyak tanya di setiap apa yang aku cerna."Bukan begitu ceritanya, Fika," ucap papa."Jadi aku ini benar istrinya Mas Danu, dan shakila juga istrinya Mas Danu? Laki-laki itu membohongi kita berdua gitu kan, Pah?" Mungkin pertanyaanku membuat Papa bingung menjelaskannya. Sebab matanya hanya berkeliling ke ruangan."Papa doakan ingatanmu cepat pulih, biar kamu bisa ingat kembali siapa Danu sebenarnya, dia memang suamimu, tapi tidak pantas disebut suami. Foto prewedding yang kamu temukan di laci kerja suamimu, itu adalah awal dari bencana," papar papa.Tiba-tiba kepalaku mendadak sakit kembali. Setelah Papa menyebutkan foto prewedding di laci kerja suamiku. Ia sebut itu awal dari bencana."Awal bencana atau awal terkuaknya, Pah?" tanyaku padanya."Iya itu suatu awal terkuak dan kita seharusnya bersyukur. Bencana itu datang untuk mereka yang sudah menya
"Kamu serius, Fika? Jadi kamu benar-benar sudah pulih ingatannya?" Papa masih meragukan apa yang aku katakan."Sudah, Pah, aku ingat Syakila dan Mas Danu yang sangat jahat padaku.""Kalau begitu permintaanmu, Papa akan urus pengacara, Hendra akan urus semua bukti dulu, setelah kita kembali ke Indonesia, barulah memberikan pelajaran dengan melayangkan surat penangkapan," ungkap papa.Papa menghubungi pengacaranya sekitar lima belas menit. Ia bicara panjang lebar di hadapanku. Salah satunya meminta pengacara untuk menyita semua yang telah mereka kuras dariku.Setelah selesai bicara, papa kembali duduk dekat denganku. Ia menggenggam erat tangan ini dan mengecup keningku.Benar kata orang, suami itu ada bekasnya. Sedangkan orang tua tidak akan ada bekasnya. Mata ini tidak kuat menahan air mata, jadi kami berdua menangis sejadinya karena kebahagiaan ini. Tidak pernah dipungkiri, Mas Danu telah hadir di kehidupanku dan masa lalu. Tapi Mas Danu juga lah yang membuatku bersemangat untuk kemb
Haris tidak mengetahui masa lalu ku dengan Mas Danu. Makanya ia tidak tega terhadapnya. Kalau tahu keburukannya Mas Danu, mungkin ia bisa tega juga terhadapnya."Mas Haris, jadi Mas Danu dan Syakila itu suami istri. Mereka sengaja membohongi aku dengan berharap mereka bisa menguasai harta Papa. Untungnya sudah tertangkap basah saat aku menemukan foto mereka. Biarkan mereka menerima ganjarannya, Mas," jelasku menjelaskan pada Haris.Aku jadi terbiasa memanggilnya dengan sebutan Mas pada Haris. Sebab, awal mula aku sadar yang dikenalkan oleh papa adalah dirinya."Oh, kasusnya ia menipu dengan cara memalsukan identitas. Lalu bagaimana tentang pencurian mobil, Pak Wijaya? Apa berniat balas dendam?" tanya Haris penasaran. Sepertinya Haris tidak suka dengan balas membalas keburukan."Ya, awalnya ingin memberikan mereka pelajaran agar tidak sembarangan mempermainkan hati orang lain!" sahut papa."Anda seorang Ayah yang hebat, Pak Wijaya. Saya salut pada Pak Wijaya. Kalau begitu, saya akan ba
Aku muak mendengar Syakila bicara, jadi lebih baik aku matikan saja sambungan teleponnya. Daripada kesehatanku yang jadi imbasnya. Ya, aku harus mengingat kembali kesehatan yang sudah hampir pulih ini.Kuletakkan ponsel milik papaku kembali, lalu berbaring ke arah kanan. Kemudian, Papa datang bersama Haris."Papa," sapaku setelah melihat papa melangkah."Laki-laki itu masih beruntung diberikan kesempatan untuk bicara. Seharusnya Tuhan azab saja dia!" Papa nampak kesal saat baru saja datang."Mungkin kasihan Pah, Syakila pun berniat meninggalkannya," jawabku."Biar tahu rasa Danu itu. Biar melek mata, salah sendiri menipu wanita demi perempuan brengsek kayak Syakila. Coba setelah ini dia sadar nggak!" Papa semakin emosi ketika membicarakan Syakila dan Mas Danu."Pak, sabar. Jangan emosi ya," pesan Haris menasehati. Papa terlihat menghela napas kasar, ia berdecak kesal juga sambil mengambil kursi dan mendudukinya."Kata Rasul memang gitu, Pah. Jika kita marah, maka duduklah untuk mered
"Gimana kondisimu?" Aku bertanya hanya sekadar basa-basi."Ya begini, tenggorokan masih ada rasa serat-serat gitu." Ada saja kelakuannya, menenggak alkohol untuk membersihkan luka. Mas Danu aneh."Bagus masih bisa bicara, Mas. Kalau tiba-tiba kami bisu seperti aku dulu, bagaimana? Apa Syakila akan menemani kamu?" Pertanyaan yang aku lontarkan sedikit mengejutkannya. Itu terlihat dari caranya menelan ludahnya."Iya, maafkan aku ya, Dek." Dia menggunakan nama panggilan saat masih bersama dulu. Mungkin berusaha mengingatkan masa lalu."Rasanya sudah tidak pantas, kamu memanggilku seperti itu. Mas, aku harap kamu segera urus perceraian, dan jangan memelas lagi!" ancamku ketus."Iya Dek, padahal Mas sudah memiliki keputusan sebelumnya, untuk lebih memilihmu dibandingkan Syakila," timpalnya membuatku terkekeh. Rupanya urat malunya sudah putus, sampai berani bicara seperti itu."Aku bukan pilihan, Mas. Laki-laki memang berhak memilih, tapi tidak untuk laki-laki yang mau dijadikan robot oleh
"Iya, apa Siska ada hubungannya dengan Danu dan Syakila?" Papa malah bertanya balik. "Alah, sudah mendingan kita pulang, daripada urusin yang nggak penting," tambah papa sambil mengibaskan tangannya dan mengajakku untuk naik ke mobil.Akhirnya kami telah sampai di rumah, rasanya rindu sekali dengan suasana rumah ini. Si Mbok yang tidak mengetahui bahwa aku telah bisa bicara, pun menghampiri dengan mengajakku bicara memakai bahasa isyarat."Non, alhamdulilah Non sehat ya sekarang? Mbok kaget, dengar Non Fika kecelakaan! Cuma bisa nangis di sini," ungkap Mbok memakai bahasa isyarat. Papa yang melihatnya hanya bisa tersenyum. Aku apalagi, rindu dengan Mbok. Akhirnya aku peluk tubuh wanita setengah tua itu. Lalu mengatakan sesuatu di telinganya."Terima kasih, Mbok. Ini berkat do'a Mbok juga," bisikku membuat Mbok melepaskan pelukannya. Ia tampak terkejut dan bahagia."Non, alhamdulilah ya Allah. Non Fika sudah bisa bicara!" Mbok bicara dengan setengah berteriak, raut wajahnya tampak baha