Share

Bab 6

Author: Siti_Rohmah21
last update Last Updated: 2022-12-28 20:54:21

Syakila tiba-tiba datang mengejutkanku, sudah memakai jaket juga membawa kunci motor. Ia hendak ingin membeli makanan. Sangat kebetulan, saat Syakila pergi aku akan geratak seisi kamar, mencari bukti-bukti yang akan menguatkanku nanti.

"Kamu mau ke mana?" Gerakan tangan ini sudah membuatnya mengerti.

"Aku beli nasi goreng dulu, kamu mau ikut?" tanya Syakila sembari menutup resleting jaket yang ia pakai. 

"Aku di rumah aja, khawatir Mas Danu datang," jawabku. Ia pun tersenyum ketika melihat tanganku menjawabnya.

"Oke, kamu hati-hati ya di rumah!" ujar Syakila dengan suara keras dan aku tersenyum padanya. Kemudian ia bergegas ke luar rumah.

'Semoga lama perginya. Aku akan kirim pesan ke papa terlebih dulu, agar memberikan perintah pada Mas Danu untuk ke rumahnya,' ucapku dalam hati.

[Pah, suruh Mas Danu ke rumah papa. Jangan sampai ia datang ke rumah Syakila. Tadi ia bilang akan bermalam di sini untuk menemaniku, tolong ya, Pah. Entah bagaimana caranya, Mas Danu tidak boleh ke sini. Aku sengaja nginap untuk mencari buku nikah mereka.]

Pesan terkirim dan tidak lama kemudian papa membalas. Cepat sekali papaku dalam membalas chat anaknya. Sengantuk apapun, sesibuknya beliau, jika aku yang mengirim pesan, pasti langsung ada balasan.

[Itu soal gampang, kamu hati-hati di sana, ya.]  Ia tak lupa memberi emoticon penuh cinta di akhir kata.

Aku menyegerakan mencari apa pun itu yang akan memberatkan mereka. Hati ini yakin sekali, ada foto prewedding berarti ada juga buku nikah. Apalagi jelas sudah tertera tanggal di fotonya.

Aku membuka lemari, itu hal pertama yang kulakukan. Di dalamnya ada laci kecil yang tidak terkunci. Sebaiknya aku langsung tarik saja lacinya. Hatiku berkata, bahwa di dalam laci lemari itu ada sesuatu yang di rahasiakan.

Setelah membuka laci tersebut pelan-pelan. Ternyata tidak ada apa pun yang menjadi bukti. 'Astaga, aku pikir diletakkan di sini buku nikahnya, laci ini kecil jadi bisa untuk mengelabuhi orang lain untuk tidak mencari ke sini,' batinku sambil berdecak kesal. Tangan pun aku banting seraya melampiaskan.

Dengan mengembuskan napas panjang, aku coba mencari lagi, masih di area lemari pakaian. Firasatku ada di lemari ini. Entah ia letakkan di bagian mananya. Aku juga belum bisa menemukan apa pun.

Aku melirik ke arah baju yang tertata rapi, ditumpuk dengan lepitan yang sudah disetrika tentunya. Di sana aku coba intip satu persatu baju paling bawah. 

Tumpukan pertama, ada secarik kertas yang berisikan kepemilikan rumah ini, atas nama Syakila. 'Ah, pasti Mas Danu yang membelikan ia rumah ini dan dengan memakai uang papaku,' gerutuku kesal.

Saat ini tujuanku hanya mencari bukti agar bisa menuntut keduanya, untuk itu aku buka tumpukan paling bawah,

Ternyata ada suatu surat, secarik kertas berisikan perjanjian. Di situ terpampang jelas nama Mas Danu dan Syakila sebagai penandatangan kertas tersebut. Sandiwara macam apa ini? Aku jadi lebih serius untuk membaca isinya.

[Dengan ini kami berjanji tidak akan mengusut siapa pun. Jika pemalsuan data yang kami lakukan ketahuan. Saya, Syakila dan Danu, akan menanggung sendiri akibatnya. Tanpa menyalahkan orang lain. Kami melakukan ini karena terpaksa. Ingin membahagiakan seseorang wanita yang bisu. Hanya dengan cara ini kami bisa membahagiakannya.]

Mereka melakukan pemalsuan data? Untuk menikahi seorang wanita yang bisu? Astaga, bisa-bisanya mereka menjadikan kekurangan yang ada pada diriku sebagai alasan. Di bawahnya tertera sangat jelas mereka bertanda tangan di atas materai.

Sebaiknya aku foto surat ini dan kirim ke papa. Saat hendak mengirimkan foto yang telah aku jepret barusan. Tiba-tiba terlihat buku berwarna hijau tampak dalam selipan baju. Itu buku apa? Apakah buku nikah mereka? Aku letakkan secarik kertas tadi, kemudian jari jemari ini segera menarik buku yang terlihat berwarna hijau ujungnya.

Tanganku bergetar, aku merasa takut tidak bisa menerima kenyataan. Buku itu pun aku tarik perlahan meski dengan mata terpejam. Setelah berhasil menariknya, mata ini kubuka kembali pelan-pelan.

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Foto Prewedding di Laci Kerja Suamiku    Bab 54. Akhir Kebahagiaan Fika

    Seorang pria berhasil membawa maling tersebut bersama dengan Ari dan Haris. Mereka berdua diseret ke mobil dan diperintahkan masuk olehnya."Udah jebloskan aja ke penjara, kalau sudah berani kabur sih artinya sangat berani," ucap Haris.Kemudian, kami memutuskan untuk membuat laporan ke kantor polisi atas penjambretan tadi. Namun, sebelumnya, aku menghubungi papa melalui pesan singkat untuk sekadar memberikan informasi padanya.[Pah, aku ke kantor polisi ya. Ada jambret tadi.]Setelah mengirimkan pesan, aku duduk kembali ke mobil dan menuju kantor polisi.***Setibanya di kantor polisi dan selesai membuat laporan, pihak kepolisian pun sangat berterima kasih terhadap kami, sebab ternyata orang yang menjambret adalah buronan. Jadi ini justru sangat memudahkan kami juga dalam membuat laporan."Ayo, Fik, pulang!" ajak Haris. "Ri, kami pamit, terima kasih bantuannya, sudah membantu menangkap maling tadi.""Iya, sama-sama. Kalian hati-hati," ucap Ari sembari meninggalkan kami yang masih mem

  • Foto Prewedding di Laci Kerja Suamiku    Bab 53. Detik-detik Ending

    Kemudian Tante Siska membicarakan perihal dokter yang memanggil Mas Danu dan dirinya. Ia bilang bahwa Syakila menitip pesan pada dokter, bahwa akan mendonorkan matanya untukku.Lagi-lagi ini hal yang tidak masuk akal, Syakila tengah memperjuangkan hidupnya tapi ia malah ingin menyerahkan matanya untukku.Aku terharu mendengarnya, sekaligus ingin menolak apa yang menjadi niat baik Syakila."Maaf Tante aku tolak mentah-mentah, ini tidak adil jika aku menyetujuinya," ucapku dengan tegas.Aku pun meminta apa-apa untuk melarang Tante Siska membujukku. Ini semua demi kebaikan bersama, seharusnya Syakila juga sembuh, bukan malah ingin mendonorkan matanya untukku."Tante paham betul, tapi ini keinginan Syakila," jawab Tante Siska lagi."Aku tolak, Tante," ucapku lagi."Kenapa tolak?" tanya Tante Siska.Aku hanya menggelengkan kepala dan tidak berkomentar apa-apa lagi."Baiklah, tapi Syakila sudah meninggal dunia, Fika," ucap Tante Siska membuatku spontan melotot. Mata ini benar-benar membuka l

  • Foto Prewedding di Laci Kerja Suamiku    Bab 52

    Mereka semua berhamburan keluar. Hanya aku yang tersisa di dalam. Papa pun ikut karena aku yang menyuruhnya.Aku merebahkan tubuh sambil menunggu kedatangan mereka. Dalam hati kecil ini berharap ada kabar baik yang dokter katakan pada mereka semua.Kecemasan yang aku alami memang terbilang berlebihan, Syakila bukan siapa-siapa, hanya seorang sahabat yang pernah menghancurkan hidupku. Namun, justru saat ini aku menginginkan dia bisa bertahan hidup.Selang beberapa menit kemudian, papa datang bersama dengan Haris dan Ari. Namun, tidak dengan Tante Siska juga Mas Danu, ia masih menemani Syakila. Setidaknya bukan kabar buruk yang aku terima, sebab tidak ada yang papa ucapkan saat mereka masuk ke dalam ruangan."Kok cepat? Nggak ada sepuluh menit," tanyaku seakan menyecar."Iya, Syakila tadi sadar, dan dokter ingin bicara dengan Danu dan Siska," kata papa sambil menarik kursi lalu duduk di dekatku."Syukurlah, ternyata Syakila masih berjuang untuk hidup," timpalku dengan disertai helaan na

  • Foto Prewedding di Laci Kerja Suamiku    Bab 51

    Dikarenakan teriakan Kau sangat kencang, Papa yang tadi berada di luar pun panik dan masuk ke dalam.Begitu juga dengan Haris dan Ari yang masuk mengekor di belakang papa."Ada apa, Fika? Kenapa kamu teriak?" tanya papa."Tadi aku dengar di kamar mandi suara kran mengalir, Pah, Aku takut Coba lihat ke sana!" Aku ketakutan sambil memegang selimut dan meremasnya."Aku akan melihat!" Itu suara Haris ia yang bersedia memantau toilet.Berselang kemudian Haris pun datang. "Nggak ada siapa-siapa dan kran pun masih tertutup." Ucapannya membuatku terdiam.Telingaku ini sudah berfungsi kembali seperti orang normal. Tadi jelas-jelas aku mendengar suara air mengalir dari keran kamar mandi."Mungkin kamu lelah, Fika, lebih baik kamu tidur ya, jangan mikirin macam-macam. Apalagi halusinasi tentang Syakila lagi, doakan aja dia mendapatkan yang terbaik untuk kesembuhannya," pesan papa.Kemungkinan besar halusinasiku ini terjadi karena terlalu takut. Ya, aku merasa sebagai penyebab kehancuran Syakila.

  • Foto Prewedding di Laci Kerja Suamiku    Bab 50

    "Tapi, Syakila di ruangan ICU, Fik," ucap Haris."Iya, katanya kritis lagi," susul Ari."Jadi aku halusinasi?" Aku bertanya sambil menutup seluruh wajah dengan kedua telapak tangan."Fika, kamu istirahat ya, jangan sampai cemas berlebihan hingga membuat kamu jadi berpikiran tentang Syakila," tambah papa.Aku terdiam, bukankah ada suaranya tadi? Ya, suara raungan wanita bisu. Aku dapat mengetahuinya, sebab pernah berada di posisi Syakila dulu. "Aku yakin itu Syakila, apa dia ingin bicara denganku?" "Fika, biar aku dan Ari yang lihat kondisi Syakila ya," pesan Haris.Aku mengangguk senang, senyumku melebar ketika ia melakukan hal itu. Sebab, memang dari tadi aku menunggunya menawarkan diri setelah aku suruh.Setelah mereka pergi, aku pun ditemani papa. Ia duduk di sebelahku sambil mengusap lembut jari jemari ini."Kamu itu lelah, kepikiran sana sini, jadilah mikirin Syakila lagi, padahal sudah tidak ada yang perlu kamu cemaskan, dia sudah ditangani oleh dokter, Papa rasa dokter juga p

  • Foto Prewedding di Laci Kerja Suamiku    Bab 49

    Aku merasa ini semua tidak adil jika harus kehilangan indera yang sangat penting, yaitu penglihatan. Seandainya mata ini tak bisa melihat dunia, aku pasti merasa orang yang paling buruk sedunia. Sebab, musibah yang ku terima tidak ada ujungnya.Dokter mulai melepaskan perban yang mengelilingi kepala dan mata ini. Kemudian, setelah lilitan terakhir ia menyuruhku untuk membuka mata.Perlahan aku buka mata yang biasa memandang indahnya dunia. Namun, setelah membukanya, aku malah menelan pil pahit. Semua berbayang, bahkan samar-samar. Untuk mengenali wajah papa saja aku tak mampu."Pah, mataku kenapa begini?" Aku bertanya sambil berteriak. Sebab, aku takut salah apakah yang berdiri di sebelahku persis itu papa atau dokter?"Nak, kamu yang sabar. Kamu pasti kuat, dokter bilang masih ada harapan dengan donor mata," ungkap papa.Papa memelukku, kemudian mengelus rambut ini."Kenapa aku tidak pernah merasakan bahagia, Pah? Baru sembuh dan bisa bicara, kini harus menerima kenyataan bahwa matak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status