Share

Bab 7

'Buku nikah?' batinku bertanya-tanya.

'Astaga.' Sambil mengusap dada aku membatin sendiri.

Ini dia yang aku cari sejak tadi. Buku nikah mereka. Dengan menghela napas panjang, aku coba buka segera isi dari buku nikah tersebut.

Aku memejamkan mata lalu membukanya kembali. Berharap perkiraanku salah. Ya Tuhan, foto suamiku juga sahabat yang telah menikah sejak tiga tahun silam. Mereka benar-benar sudah terikat dalam status pernikahan. Foto prewedding itu bukan editan semata tapi benar adanya, bukan hanya sekadar berprasangka.

Kini bukti telah aku pegang, aku harap ia tidak mengetahui akan hal ini. Kemudian, aku mengambil gambar bagian depan buku nikah, bagian di mana ada foto mereka.

'Aku sudah dapat bukti foto-foto buku nikah asli mereka,' gumamku sambil tersenyum semringah.

Kemudian, aku masukkan kembali buku nikah tersebut. Lalu merapikan baju-baju yang sudah berantakan. Setelah sudah rapi semuanya, aku segera mengirim bukti-bukti kepada papa. Agar ia mengetahui bahwa menantu yang sedang bersamanya adalah penjilat.

[Pah, ini bukti-bukti pernikahan mereka. Laki-laki yang masih berstatus suami Syakila telah memalsukan identitas, bisa papa jerat hukuman pada mereka. Tapi, Pah, hatiku sudah teramat sakit. Bisakah papa membalasnya lebih dulu? Dengan cara tanpa menyentuh mereka! Justru kita berpura-pura sebagai penolongnya nanti.]

Aku mengirimkan ke kontak papa. Air mata yang sejak tadi aku tahan, kini mulai banjir. Namun, aku hapus dengan tangan ini. Lalu menghela napas panjang supaya tenang. Aku harus kuat menghadapi mereka.

Balasan dari papaku pun masuk. Kuusap layar ponsel yang sempat redup tadi.

[Papa akan membalas rasa sakit hatimu, kamu fokus pada pita suara saja. Agar Danu menyesal telah mempermainkan perkawinan hanya demi harta semata. Papa juga tidak terima anak kesayangan dipermainkan.]

Balasan papa cukup menguatkanku. 'Tidak akan aku biarkan kalian berbahagia di atas penderitaanku. Akan aku pastikan mereka menyesal telah melakukan ini padaku,' batinku dengan tangan mengepal.

Setelah beberapa saat kemudian, Syakila telah kembali, ia sudah membawa dua bungkus nasi goreng.

"Kok cuma dua?" Aku menggunakan isyarat lagi padanya.

"Oh kan kita doang, emang Danu nggak kasih kabar?" Syakila sedikit salah tingkah, ia mengusap rambutnya sendiri.

Aku menggelengkan kepala, kemudian menatapnya nanar. Mas Danu sudah lebih dulu memberikan kabar pada Syakila. Bahwa ia tidak bisa bermalam di rumahnya. Di sini aku agak sedikit sesak. Sebab suami sendiri sangat perhatian dengan wanita lain, yang tidak lain adalah istrinya juga.

"Kamu beli hanya 2 bungkus? Nanti suamiku datang, lapar gimana?" Aku pura-pura tidak mengetahui bahwa Mas Danu tidak jadi bermalam di rumah Syakila. Sebab, memang Mas Danu belum memberi kabar padaku.

"Nggak jadi, suamimu nggak jadi nginep di sini!" ungkap Syakila dengan wajah lesu. Aku melihat raut mukanya, ia seperti tidak bersemangat. Bahunya ia turunkan seraya kesal.

"Kok kamu bisa lebih tahu dari aku? Mas Danu belum memberi kabar itu padaku, istrinya!" timpalku dengan menggunakan bahasa isyarat. Wajah terkejut sontak terlihat. Syakila tiba-tiba mematung dengan ekspresi wajah kebingungan. Matanya berputar ke sembarang arah, aku yakin ular seperti Syakila mampu menepis pertanyaan ini dengan seribu alasannya.

"Fika, kamu apa-apaan sih? Kok nanya seperti itu? Tadi, aku hendak menanyakan mau nasi goreng atau tidak! Suamimu bilang nggak jadi ikut bermalam di sini!" Aku mendengarnya dengan seksama, agar tidak ada yang terlewatkan dari pendengaran ini. Ternyata ia bisa membuat alasan lagi.

"Aku pamit aja ya, nanti Mas Danu bagaimana di rumah sendirian, besok sulit bangun pagi saat hendak ke luar negeri!" Tangan ini terus mengayun supaya Syakila paham dengan apa yang aku katakan.

Tidak lama kemudian, kabar dari Mas Danu melalui pesan singkat masuk. Aku membacanya meskipun sudah tahu. Senyuman miring pun aku lontarkan ke arah layar ponsel.

[Aku tidur di rumah Papa, ada arahan untuk kerjaan besok di luar.] Begitulah isi pesan darinya. Padahal ini semua adalah satu dari seribu rencana papaku.

"Danu tidur di rumah Papamu," kata Syakila dengan ketusnya. Mungkin kesal tidak jadi bercinta dengan suaminya.

"Mas Danu sudah chat aku barusan, jadi aku tetap berada di sini." Tanganku memperagakan bahasa isyarat padanya.

Kemudian kami menyantap nasi goreng yang Syakila beli, setelah itu kami beranjak ke kasur. Diiringi dengan obrolan-obrolan.

"Aku boleh lihat foto calon suamimu?" Seketika mata Syakila membulat, ia menatapku dengan pandangan penuh. Namun, tiba-tiba ia turun dari ranjang, lalu pamit sebentar.

Ternyata Syakila mengambil ponsel yang ada di meja. Kemudian menyodorkan benda pipih yang sudah masuk ke galeri foto.

"Ini, Fika. Ganteng kan?" ungkapnya sembari menunjukkan sebuah foto dari ponselnya.

Aku pun tersenyum lalu bergerak untuk mengatakan sesuatu padanya. Meskipun aku bisu, mataku masih awas dalam melihat sesuatu.

"Syakila, itu namanya Jerry, bukan?" tanyaku membuat Syakila melongo.

Rasanya aku ingin menertawakan dirinya yang mengaku sebagai calon istri dari Jerry.

"Kok kamu tahu?" tanya Syakila sambil mengambil ponselnya kembali. Lalu aku jelaskan dengan bahasa isyarat.

"Ia teman SMP ku, kamu mau dijadikan istri kedua?" tanyaku membuatnya tak berkutik. Melihat wajahnya yang kini kebingungan, rasanya sulit menahan gelak tawa di dalam dada.

"Maksud kamu apa, Fika?" tanyanya lagi, berati dia benar tidak tahu bahwa foto yang ia comot adalah seorang laki-laki yang sudah beristri.

"Ia sudah menikah dua bulan lalu, kalau kamu dinikahinya setahun lagi, jadi istri kedua Jerry, gitu kan?" Mata Syakila semakin membuka lebar ketika aku mengungkapkan hal itu.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status