LOGINDari kejauhan, aku masih mengamati Shira yang tampak mengenakan selendang merah di kepalanya. Angin sore menyapu rambutnya, memberi kesan anggun saat ia melangkah di jalan rayat itu dan kembali naik ojol. Aku merasa jantungku berdetak lebih cepat, ada rasa penasaran yang mendalam menggigit setiap detik. Dengan hati-hati, aku mengikuti langkahnya. Tak ingin dia tahu, aku memastikan bahwa jarak kami tidak terlalu dekat.
Shira naik motor ojek online itu dengan tenang, hingga akhirnya ia berhenti di sebuah minimarket yang tampaknya tidak terlalu ramai. Ia turun dan masuk ke dalam minimarket, dan aku memutuskan untuk mengikutinya. Begitu aku masuk ke dalam minimarket, Shira tampak sedang memilih beberapa bahan makanan di rak. Aku merasa sedikit canggung dan segera menyembunyikan diri di balik deretan barang-barang yang dijual, memastikan bahwa dia tidak melihatku. Setelah beberapa menit, Shira selesai berbelanja dan menuju kasir. Aku melihatnya membayar dengan uang tunai, tidak ada yang mencurigakan. Aku mulai merasa bodoh, semua kecurigaan tadi ternyata hanya perasaan paranoid saja. Shira keluar dari minimarket, berjalan menuju ojol yang sudah menunggu. Aku terpaksa mengikuti, sedikit kesal dengan diriku sendiri. Apa yang sebenarnya aku pikirkan? Sesampainya di rumah, aku bergegas mendahului Shira, memilih jalan pintas yang agak lebih cepat. Aku ingin kembali ke rumah lebih dulu supaya dia tidak curiga jika aku baru saja mengikutinya. Tiba-tiba, aku mendengar suara deru mesin motor ojol tadi yang datang, diikuti dengan pintu rumah yang terbuka. Shira sudah pulang. Aku pura-pura sibuk dengan ponsel di teras, menikmati udara sore yang agak sejuk. Shira masuk dan langsung mencium tanganku, seperti biasa. “Mas Panji, aku belanja sebentar di minimarket. Mau masak makan malam,” katanya sambil tersenyum. Aku mengangguk dan menyuruhnya masuk ke dapur. Semua terasa normal. Aku berusaha menenangkan diri, tak ada yang mencurigakan. Kecuali perasaan yang terus-menerus menggangguku, perasaan bahwa sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di luar sana. Setelah Shira masuk dapur, aku membuka aplikasi hijau itu dan mengirim pesan pada Dira. [Dira, gimana kabarmu? Baik kan?] Tak ada balasan. Aku merasa jantungku berdebar, dan meskipun tahu dia mungkin sibuk, aku tetap mengirim pesan kedua. [Kenapa tadi kamu buru-buru pergi? Aku bahkan belum melihat wajah kamu.] Aku menunggu, dan menunggu lebih lama dari biasanya. Hingga akhirnya ada balasan dari Dira yang membuat hatiku sedikit berbunga. [Maaf, Panji. Aku sedang banyak masalah. Kapan-kapan kita akan bertemu lagi. Booking saja hotelnya.] Aku tak bisa menahan senyum. Jantungku kembali berdegup kencang. Segera aku menyimpan ponsel di saku, berusaha menenangkan diri meski aku merasa seperti sedang menantikan sesuatu yang besar. Hari itu, semuanya tampak biasa. Shira masuk tidur seperti biasa, dan aku berpura-pura tidak ada apa-apa. Kami tidur berdampingan, tapi pikiranku terus mengawang pada Dira. Entah kenapa, tapi aku seperti seorang remaja yang sedang dimabuk cinta. *** Pagi harinya, seperti biasa aku berpamitan dengan Shira. Dia menyiapkan bekal, memberikan senyum manisnya yang membuatku berpura-pura merasa tenang. Aku pergi dengan alasan kerja, padahal sebenarnya, aku tak bekerja sama sekali. Aku berangkat menuju rumah Bowo, ingin melupakan sejenak segala masalah yang menyesakkan dada. Setibanya di rumah Bowo, aku melihat pintu rumahnya terbuka lebar. "Apa Bowo punya tamu? Tumben?" batinku. Aku masuk dengan hati-hati, dan terkejut begitu melihat Bowo yang terbaring di sofa, hanya mengenakan celana pendek dan bertelanjang dada. Aku melangkah lebih dekat, bingung dengan apa yang kulihat. "Apa yang Lo lakukan, Bowo? Kenapa lo tiduran di sini?" tanyaku, suara agak bergetar. Bowo tersenyum lebar, dengan senyuman yang terasa aneh di mataku. Ia melihatku dan menyeringai. “Semalaman ... aku baru saja menghabiskan malam dengan Dira. Kami bermain di semua tempat, dan pagi ini berakhir di sofa ini," jawabnya dengan santai. Pikiran aku langsung kosong. Segala sesuatu terasa melambat. Aku menatap Bowo, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia katakan. "A ... Apa? Dira?" Hatiku rasanya remuk mendengar itu.Entah itu mimpi atau bukan, aku tak bisa membedakannya. Tapi yang aku tahu, tubuhku terasa sangat berat saat aku terbangun. Mataku yang terpejam membuka secara perlahan, dan saat itu juga aku langsung disambut oleh wajah cantik yang sangat familiar.Dira.Dia sedang berada di atas tubuhku dan mengguncang tempat tidurku. Rambut panjangnya tergerai indah, dan matanya yang kecoklatan itu tampak menatapku dengan intens."Dira, ini ... Ini benar kamu?" tanyaku dengan suara terbata-bata.Mataku tak berkedip menatap sosok wanita cantik yang kini sedang berada di atas tubuhku itu."Panji." Suaranya lembut, memanggil namaku seperti sebuah bisikan yang menenangkan, namun membuat jantungku berdebar tak karuan.Dia sangat cantik, jauh lebih cantik dibandingkan foto-fotonya di aplikasi hijau yang sering aku kunjungi hanya untuk berkirim pesan padanya. Wangi tubuhnya menyusup ke indera penciumanku, membuatku merasa seolah-olah aku hanyut dalam lautan aroma yang begitu menenangkan."Dira, apa yang k
Begitu pintu hotel terbuka dengan suara berderit, aku menoleh dengan cepat, berharap jika itu adalah Dira yang akhirnya datang. Namun, yang kulihat justru membuatku semakin terkejut bukan main.Sosok yang datang ke kamar itu bukanlah Dira, dan malah Bowo, sahabatku. Sama halnya seperti aku, dia juga tampak bingung saat melihat keberadaanku di sini. Ia berdiri di sana dengan ekspresi yang tak kalah terkejut. Aku pun buru-buru berdiri dengan raut wajah kebingungan."Loh, Bowo! Kenapa lo bisa ada di sini?" tanyaku kaget, suaraku tak bisa menyembunyikan rasa heran.Bowo tampak terkejut, matanya membelalak, seolah tidak percaya dengan apa yang dia lihat."Gue ... gue juga yang seharusnya nanya! Kenapa lo ada di sini, Panji?" tanyanya terbata-bata.Aku merasa ada yang aneh. Aku berjalan mendekatinya dengan mata memicing."Gue kesini karena mau ketemu sama Dira, di kamar ini. Jadi lebih baik Lo keluar aja sekarang, Bowo. Sepertinya Lo salah masuk masuk." Aku berkata dengan baik-baik padanya
Aku masih terdiam, mataku terkunci pada foto model cantik dan seksi yang menghiasi sampul majalah dewasa di layar ponsel Bowo. Foto itu begitu mencolok dengan pose menggoda dan gaya yang luar biasa. Namun, semakin lama aku menatapnya, semakin aku yakin bahwa ini adalah foto Shira, istriku."Itu ... Itu kan foto Shira?" tanyaku, suaraku sedikit bergetar, tidak bisa menyembunyikan kegelisahanku.Bowo yang tadinya tertawa terhenti mendengar ucapanku. Dia menatapku dengan mata terbuka lebar, tampak kaget. Lalu dia melirik layar ponselnya dan mengernyitkan dahi."Lo serius? Gue kira ini foto Dira," jawabnya dengan nada yang agak menyesal, kemudian tertawa canggung.Aku makin tercengang. Foto itu jelas wajah Shira, dan aku tidak bisa salah. Tapi kenapa ada gaya dan aura yang berbeda? Kulitnya yang glowing dan pose menggoda itu lebih mirip Dira. Ah! Aku semakin bingung.Bagaimana bisa Dira dan Shira begitu mirip? Perasaan campur aduk muncul di dadaku. Aku harus tahu lebih banyak."Lo yakin i
Aku tercengang di ruang tamu, dan menatap pada Bowo yang masih tiduran di sofa. Aku berusaha mencerna apa yang baru saja dikatakan Bowo."Apa? Dira? Dia datang kesini dan melayani Lo?" Pertanyaan itu terus berputar di kepalaku.Aku merasa seolah ada batu besar yang menghempaskan dadaku. Perasaan cemburu dan marah datang begitu cepat, tak terkendali. Bagaimana bisa, Dira-wanita yang selama ini kurindukan-melakukan hal itu dengan Bowo?Bowo, yang tampaknya tak melihat ekspresi kesalku, malah tersenyum lebar dan berdiri dari sofa. Dengan santai dia mengenakan kaos hitamnya, lalu menepuk bahuku pelan."Lo nggak usah panik gitu, Panji. Dira itu bukan milik Lo! Dia itu emang jualan di aplikasi Michat itu. Jadi dia milik siapa aja yang mampu beli dia. Lo nggak perlu merasa tersakiti," katanya sambil terkekeh, seolah ini cuma masalah sepele.Aku hanya bisa diam. Pikiranku bergejolak, rasa cemburu membakar hatiku, tapi di sisi lain, aku tahu apa yang dikatakannya ada benarnya. Dira bukan siapa
Dari kejauhan, aku masih mengamati Shira yang tampak mengenakan selendang merah di kepalanya. Angin sore menyapu rambutnya, memberi kesan anggun saat ia melangkah di jalan rayat itu dan kembali naik ojol. Aku merasa jantungku berdetak lebih cepat, ada rasa penasaran yang mendalam menggigit setiap detik. Dengan hati-hati, aku mengikuti langkahnya. Tak ingin dia tahu, aku memastikan bahwa jarak kami tidak terlalu dekat.Shira naik motor ojek online itu dengan tenang, hingga akhirnya ia berhenti di sebuah minimarket yang tampaknya tidak terlalu ramai. Ia turun dan masuk ke dalam minimarket, dan aku memutuskan untuk mengikutinya.Begitu aku masuk ke dalam minimarket, Shira tampak sedang memilih beberapa bahan makanan di rak. Aku merasa sedikit canggung dan segera menyembunyikan diri di balik deretan barang-barang yang dijual, memastikan bahwa dia tidak melihatku.Setelah beberapa menit, Shira selesai berbelanja dan menuju kasir. Aku melihatnya membayar dengan uang tunai, tidak ada yang me
"Selendang ini ... Kenapa bisa ada di sini?Aku berdiri terdiam di depan lemari pakaian, menggenggam selendang merah yang baru saja jatuh dari tumpukan baju. Jantungku berdebar kencang.Ini … ini persis selendang milik Dira. Selendang yang tadi aku lihat di kamar hotelnya, yang sempat tertinggal saat dia keluar meninggalkan aku. Kenapa sekarang selendang itu bisa ada di sini, di rumahku?Aku berusaha menenangkan diri. Mungkin hanya kebetulan, pikirku. Tapi, semakin lama aku memandangi selendang itu, semakin banyak pertanyaan yang muncul di kepalaku."Apakah Dira dan Shira punya hubungan? Apakah mereka saling kenal?"Lagipula foto profil Dira di aplikasi Michat itu ... sangat mirip dengan Shira. Mungkin terlalu mirip. Meskipun aku belum melihat wajah Dira dengan jelas, tapi aku yakin jika mereka berdua memang sangat mirip.Hanya saja, Dira jauh lebih cantik, glowing, seksi, dan berkelas. Berbeda dengan Shira yang kumal, dekil, dan hanya mengenakan daster usangnya sebagai fashion sehari







