LOGINHujan turun deras begitu kereta berhenti di Stasiun Lirona. Udara dingin menyambutku seperti teman lama yang sudah lama menunggu. Tapi yang membuat jantungku bergetar bukanlah hawa dingin itu, melainkan sepasang mata yang kutemui di peron, menatapku dengan tatapan yang nyaris tak mungkin kulupakan.
Aku berhenti di bawah atap logam yang berkarat, mencoba memastikan apa yang kulihat. Tapi orang itu—sosok yang berdiri di ujung peron dengan mantel abu-abu dan payung hitam—berbalik, lalu menghilang di balik kerumunan. “Tidak mungkin…” gumamku lirih. Aku tahu wajah itu. Aku tahu sorot matanya. Tapi bagaimana mungkin dia ada di sini? Bukankah dia sudah— “Permisi, Nona?” Suara petugas stasiun memecah pikiranku. Ia menatap koperku yang belum kuambil. “Oh, iya. Maaf.” Aku buru-buru menarik koper kecil itu, menunduk agar ia tak melihat kegugupanku. Langit menitikkan air lebih deras saat aku keluar dari gerbang stasiun. Kota Lirona tampak sama seperti terakhir kali kulihat—kecil, sunyi, dengan jalan berbatu yang licin dan toko-toko tua berderet di sepanjang sisi. Tapi yang berbeda hanyalah aku; kini aku pulang bukan sebagai gadis dua puluh tahun yang berlari dari sesuatu, melainkan sebagai seseorang yang kehilangan arah pulang. Aku membuka ponselku, layar bergetar oleh pesan baru: “Selamat datang kembali, Nara.” Tidak ada nama pengirim. Tidak ada nomor terdaftar. Hanya kalimat itu—dan entah kenapa, seluruh tubuhku tiba-tiba terasa dingin. “Tidak mungkin,” bisikku. “Tidak mungkin dia tahu aku kembali.” Langkahku cepat, menembus derasnya hujan. Penginapan kecil di ujung jalan menjadi tempat pertama yang kulihat terbuka. Bel berbunyi lembut ketika aku masuk, disambut oleh perempuan tua dengan senyum ramah. “Kau butuh kamar, Nona?” “Iya, satu malam saja… atau mungkin lebih lama,” jawabku pelan. Ia menyerahkan kunci besi dengan gantungan kayu bertuliskan angka tujuh. “Kamar di lantai atas. Tapi hati-hati, lantainya agak licin kalau hujan.” Aku mengangguk. Lantai kayu tua berderit di bawah langkahku saat menaiki tangga. Di kamar, jendela terbuka, membiarkan udara lembap masuk bersama suara hujan yang seperti bisikan. Aku menatap ke luar—ke jalan tempat seseorang tadi berdiri. Tidak ada siapa-siapa. Hanya hujan. Kupandangi layar ponselku lagi. Pesan itu masih di sana, membeku, seolah menungguku membalas. Aku mencoba menghapusnya, tapi jari-jariku berhenti tepat sebelum menyentuh tombol “hapus.” “Kalau ini benar dia,” gumamku pada diri sendiri, “berarti dia tahu aku kembali. Tapi kenapa sekarang?” Lalu suara langkah terdengar dari lorong. Pelan, ritmis, mendekat ke arah kamarku. Aku membeku. Tok… tok… tok… Ketukan tiga kali. “Siapa?” tanyaku, suaraku nyaris tak terdengar. Tidak ada jawaban. Hanya suara hujan yang makin keras, seperti ingin menelan semuanya. Aku membuka pintu perlahan, tapi lorong itu kosong. Tak ada siapa pun di sana. Namun, di bawah pintu, ada secarik kertas kecil yang basah. Aku menunduk, membukanya dengan tangan gemetar. Tulisan di atasnya samar, tintanya sudah luntur. Tapi satu kalimat masih terbaca jelas: “Aku menunggumu di tempat yang sama, Nara.” Aku menatap kertas itu lama, sementara angin menerpa jendela hingga berderak. Tempat yang sama? Apakah itu stasiun tadi? Atau sesuatu yang lain? Kertas itu tergenggam di tanganku, tapi sebelum sempat kupikirkan lebih jauh, lampu kamar berkelap-kelip—lalu mati. Gelap. Dan di tengah gelap itu, samar-samar terdengar suara langkah lagi. Lebih dekat. Lebih pelan. Seolah seseorang berdiri tepat di depan pintu.Kota Lirona kini bagai potret yang buram. Jalanan yang dulu dipenuhi tawa sore dan aroma roti panggang dari toko kecil di sudut timur, kini hanya menyisakan angin dingin yang berhembus dari lorong-lorong kosong. Nara berjalan di antara bayangan lampu jalan yang bergetar, seakan setiap cahaya enggan menyentuh tubuhnya. Langkahnya pelan, tapi mantap seolah masih ada sesuatu yang menunggu di ujung perjalanan, meski ia tak lagi tahu apa.Hujan baru saja reda, namun langit masih kelabu. Nara berhenti di depan gedung tua perpustakaan yang dulu menjadi rumahnya kedua. Atapnya hangus sebagian, dindingnya retak, tapi papan namanya masih tergantung: Perpustakaan Kota Lirona. Ia menatap huruf-huruf itu lama, seperti sedang membaca ulang bab yang seharusnya sudah ia tutup.“Lucu ya,” gumamnya lirih. “Bahkan gedung ini pun lebih kuat mengingatku daripada manusia.”Suara langkah lain terdengar pelan dari belakang. Seorang pria tua dengan tongkat logam mendekat perlahan. Wajahnya samar
Pagi di kota Lirona selalu datang lambat setelah hujan. Langit masih menggantungkan sisa mendung, dan udara membawa aroma kayu hangus dari sisa perpustakaan yang terbakar malam tadi. Jalanan di sekitar sana masih dipenuhi pita kuning dan abu yang menempel di batu. Orang-orang lewat dengan langkah cepat, menunduk seolah takut menatap reruntuhan masa lalu yang masih mengepulkan asap dingin.Aku berdiri di seberang jalan, menatap puing-puing itu. Di tanganku, liontin perak yang hangus semalam masih kugenggam erat. Tak ada yang bisa menjelaskan kenapa benda sekecil ini bisa selamat dari api sebesar itu. Tapi aku tahu, itu bukan kebetulan.Aku menarik napas panjang, membiarkan udara dingin memenuhi paru-paruku. Rasanya aneh—seperti meneguk sisa kenangan yang sudah lama membusuk.“Nona, kau tidak apa-apa?” suara itu datang dari arah belakang. Aku menoleh. Seorang pria muda berdiri di sana, mengenakan jaket abu dan celana hitam yang sedikit kotor oleh debu. Wajahnya kukenal sam
Api itu datang tanpa peringatan. Hanya ada bau kayu terbakar yang samar ketika aku baru saja menuruni tangga batu di ujung timur kota Lirona. Hujan berhenti sejak sore, menyisakan udara yang pekat dan langit berwarna abu-abu tua. Tapi kini, cahaya oranye mulai menembus kabut tipis—dan aku tahu, itu bukan cahaya senja. Itu nyala api.Aku berlari, menembus jalan-jalan sempit di antara bangunan tua. Di ujung sana, tempat yang dulu menjadi bagian dari hidupku, berdiri perpustakaan kota yang kini dilalap api. Atapnya runtuh sebagian, kaca jendela meledak satu per satu, menghamburkan debu dan kertas yang terbakar. Orang-orang berteriak, sebagian berlari membawa ember, sebagian lagi hanya berdiri menatap tanpa daya.“Padamkan! Cepat padamkan!” suara seorang lelaki paruh baya menggema di tengah kekacauan. Tapi air yang mereka siram hanya menimbulkan desis pelan di pinggiran kobaran, sementara api terus melahap isi bangunan.Aku terpaku. Di tengah hiruk pikuk itu, langkahku berhe
Suara langkah itu berhenti tepat di depan pintu. Aku menahan napas, mencoba mendengarkan. Tak ada suara lain, hanya detak jantungku yang bergemuruh di antara sunyi dan hujan yang menekan jendela.“Siapa di luar?” tanyaku dengan nada gemetar. Tidak ada jawaban. Hanya bunyi petir yang tiba-tiba menggelegar, membuat lampu menyala redup sesaat, lalu padam lagi. Dalam kilatan cahaya singkat itu, aku sempat melihat bayangan seseorang di balik kaca jendela.Aku mundur satu langkah, menggenggam ponselku erat. Tapi ketika kudekati lagi, bayangan itu sudah tak ada.Hujan mulai reda. Udara dingin yang tersisa menempel di kulit seperti kenangan yang enggan pergi. Aku menyalakan senter dari ponsel, menyusuri lantai kamar. Kertas kecil yang tadi kutemukan kini sudah kering sebagian. Tulisan itu masih jelas: “Aku menunggumu di tempat yang sama, Nara.”Tempat yang sama. Kata-kata itu terus berputar di kepalaku. Aku mencoba mengingat—tempat apa yang dimaksudnya? Lirona bukan kota bes
Hujan turun deras begitu kereta berhenti di Stasiun Lirona. Udara dingin menyambutku seperti teman lama yang sudah lama menunggu. Tapi yang membuat jantungku bergetar bukanlah hawa dingin itu, melainkan sepasang mata yang kutemui di peron, menatapku dengan tatapan yang nyaris tak mungkin kulupakan. Aku berhenti di bawah atap logam yang berkarat, mencoba memastikan apa yang kulihat. Tapi orang itu—sosok yang berdiri di ujung peron dengan mantel abu-abu dan payung hitam—berbalik, lalu menghilang di balik kerumunan. “Tidak mungkin…” gumamku lirih. Aku tahu wajah itu. Aku tahu sorot matanya. Tapi bagaimana mungkin dia ada di sini? Bukankah dia sudah— “Permisi, Nona?” Suara petugas stasiun memecah pikiranku. Ia menatap koperku yang belum kuambil. “Oh, iya. Maaf.” Aku buru-buru menarik koper kecil itu, menunduk agar ia tak melihat kegugupanku. Langit menitikkan air lebih deras saat aku keluar dari gerbang stasiun. Kota Lirona tampak sama s
Pagi datang dengan cahaya yang pucat. Langit masih basah, tapi hujan belum turun lagi. Aku terbangun dengan kepala berat dan tenggorokan kering, seperti baru selesai menelan mimpi yang terlalu panjang. Di meja, buku catatan Rian masih terbuka. Huruf-hurufnya tak lagi bergerak, hanya diam, seperti menunggu sesuatu dariku. Aku menatapnya lama. Kalimat terakhir yang muncul semalam masih ada di sana: Aku di sini, Nara. Tapi kau harus berani mendengarkan diamnya hujan. Entah kenapa, kalimat itu terasa seperti sebuah janji yang belum ditepati. Aku menyentuh halaman itu, berharap sesuatu terjadi lagi. Tapi tak ada apa-apa. Yang ada hanya keheningan, dan rasa kosong yang semakin dalam. Aku berjalan ke jendela. Di luar, Lirona seperti enggan hidup. Jalanan sepi, toko-toko belum buka, dan kabut tipis menggantung rendah di antara gedung-gedung tua. Hanya satu hal yang terasa berbeda: aroma tanah basah pagi ini lebih kuat dar







