Home / Romansa / Fragmen di Bawah Hujan / Bab 5 Kenangan yang Menolak Tenggelam

Share

Bab 5 Kenangan yang Menolak Tenggelam

Author: Ey senja
last update Last Updated: 2025-10-21 12:20:35

Pagi datang dengan cahaya yang pucat. Langit masih basah, tapi hujan belum turun lagi. Aku terbangun dengan kepala berat dan tenggorokan kering, seperti baru selesai menelan mimpi yang terlalu panjang.

Di meja, buku catatan Rian masih terbuka. Huruf-hurufnya tak lagi bergerak, hanya diam, seperti menunggu sesuatu dariku.

Aku menatapnya lama.

Kalimat terakhir yang muncul semalam masih ada di sana: Aku di sini, Nara. Tapi kau harus berani mendengarkan diamnya hujan.

Entah kenapa, kalimat itu terasa seperti sebuah janji yang belum ditepati.

Aku menyentuh halaman itu, berharap sesuatu terjadi lagi. Tapi tak ada apa-apa.

Yang ada hanya keheningan, dan rasa kosong yang semakin dalam.

Aku berjalan ke jendela. Di luar, Lirona seperti enggan hidup. Jalanan sepi, toko-toko belum buka, dan kabut tipis menggantung rendah di antara gedung-gedung tua. Hanya satu hal yang terasa berbeda: aroma tanah basah pagi ini lebih kuat dari biasanya, seperti baru saja disiram hujan yang tak terlihat.

Aku memutuskan keluar. Ada sesuatu di dalam diriku yang mendorong, semacam dorongan halus yang tidak bisa kutolak.

Aku membawa buku Rian dalam tas kecil, lalu menuruni tangga penginapan. Pemilik penginapan menatapku dari balik meja resepsionis. Ia wanita tua dengan rambut putih kusut, tapi sorot matanya tajam seperti pisau.

“Ke mana pagi-pagi begini, Nona?” tanyanya.

“Aku hanya ingin jalan sebentar,” jawabku singkat.

Ia tersenyum samar. “Kalau kau melihat sesuatu yang tak seharusnya dilihat, jangan berhenti. Di kota ini, kadang yang menatap balik bukan manusia.”

Aku terdiam. Kata-katanya aneh, tapi nadanya terlalu datar untuk dianggap bercanda.

Aku hanya mengangguk, lalu melangkah keluar.

Udara di luar dingin, tapi segar. Langkahku membawa ke arah sungai kecil di belakang kota. Di sanalah dulu aku dan Rian sering duduk berjam-jam, berbicara tentang hal-hal remeh — tentang buku, hujan, dan mengapa kenangan selalu datang di saat paling tidak tepat.

Aku tak tahu kenapa aku datang ke sana sekarang. Mungkin karena tempat itu satu-satunya yang masih menyimpan sisa kehadirannya.

Air sungai mengalir tenang. Tapi di tepi batu besar tempat kami biasa duduk, ada sesuatu yang membuatku berhenti.

Sebuah kotak kecil, terbuat dari kayu, tergeletak di atas rumput basah. Tidak berdebu, tidak lapuk. Baru saja diletakkan.

Aku berjongkok, menyentuh permukaannya. Hangat.

Di bagian atasnya tertulis namaku — Nara.

Aku membuka perlahan. Di dalamnya ada sebuah foto lagi. Kali ini warna, bukan hitam-putih.

Aku dan Rian di tepi sungai ini. Tapi ada sesuatu yang aneh — foto itu jelas-jelas diambil pagi ini. Aku mengenakan pakaian yang sama, bahkan posisi dudukku sama persis seperti sekarang.

Dan di belakangku, Rian berdiri, menatap lurus ke arah kamera.

Aku menelan ludah, tubuhku gemetar.

Bagaimana mungkin?

Aku menatap ke arah sungai. Tidak ada siapa pun.

Tapi di permukaan air, aku melihat sesuatu bergerak. Bukan pantulan awan, bukan bayangan pepohonan — melainkan siluet seseorang berdiri di seberang, diam menatapku.

Aku memejamkan mata, berharap itu hanya ilusi. Tapi ketika kubuka lagi, siluet itu masih di sana, lebih dekat dari sebelumnya.

“Rian…” suaraku bergetar.

Angin berembus lembut, membawa aroma yang sama seperti dulu — wangi kopi dan hujan yang menempel di jaketnya. Aku tahu itu aroma dia.

Tapi yang kulihat bukan sosok yang sama.

Wajahnya kabur, nyaris larut dalam cahaya pagi.

Aku mundur selangkah, tapi kemudian sesuatu di dalam diriku menolak takut.

Aku sudah terlalu lama berlari dari bayangan ini. Jika benar dia ingin aku tahu sesuatu, maka aku akan mendengarkan.

Aku menatap siluet itu lama, lalu berkata pelan, “Aku di sini, Rian. Katakan apa yang belum selesai.”

Siluet itu tidak menjawab. Ia hanya mengangkat tangan, menunjuk ke arah tepi sungai, ke pohon besar di sebelah kanan.

Aku mengikuti arah itu. Di antara akar yang menonjol keluar dari tanah, ada sesuatu yang setengah terkubur — sebuah kaleng logam tua. Aku menggali pelan, membuka tutupnya dengan jari gemetar.

Di dalamnya, ada surat yang dibungkus plastik.

Tulisan di amplopnya sudah pudar, tapi masih bisa kubaca: Untuk Nara, jika kau kembali.

Aku duduk di tanah, membuka surat itu dengan hati-hati. Isinya hanya beberapa baris:

“Aku tahu aku tak bisa menjelaskan semuanya. Tapi percayalah, kebakaran itu bukan kecelakaan. Jika aku tak pulang malam itu, carilah kebenaran di bawah perpustakaan lama. Di sana, hujan tidak pernah berhenti.”

Tanganku lemas. Surat itu basah, tapi bukan karena air sungai — melainkan air mata.

Aku tak tahu kapan mulai menangis.

Semua kenangan itu kembali, deras dan menyakitkan: malam kebakaran, sirene yang meraung, api yang melahap jendela, dan aku yang berlari terlambat.

Aku memeluk lututku, menunduk dalam.

Seandainya saja aku kembali lebih cepat malam itu, mungkin segalanya tidak seperti ini.

Hujan mulai turun perlahan, akhirnya. Butir airnya jatuh lembut di atas surat yang masih kugenggam.

Tapi kali ini, hujan tidak dingin.

Ia terasa hangat, seolah mencoba menghapus sisa luka yang menempel di pipiku.

Aku menatap sungai lagi. Siluet Rian sudah hilang, hanya menyisakan riak kecil di permukaan air. Tapi aku tahu dia belum benar-benar pergi.

Dia menunggu aku menyelesaikan sesuatu.

Aku berdiri perlahan, menatap langit yang mulai kelabu.

“Baiklah, Rian,” bisikku. “Aku akan ke perpustakaan. Jika memang di sana semua dimulai, mungkin di sanalah juga harus diakhiri.”

Hujan semakin deras. Tapi aku tidak berlari.

Kali ini, aku membiarkan setiap tetesnya jatuh dan menyatu dengan langkahku. Karena mungkin benar — ada kenangan yang menolak tenggelam hanya agar seseorang belajar berani melangkah lagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Fragmen di Bawah Hujan   Bab 8 Saat Tak Lagi Mengenal Namamu

    Kota Lirona kini bagai potret yang buram. Jalanan yang dulu dipenuhi tawa sore dan aroma roti panggang dari toko kecil di sudut timur, kini hanya menyisakan angin dingin yang berhembus dari lorong-lorong kosong. Nara berjalan di antara bayangan lampu jalan yang bergetar, seakan setiap cahaya enggan menyentuh tubuhnya. Langkahnya pelan, tapi mantap seolah masih ada sesuatu yang menunggu di ujung perjalanan, meski ia tak lagi tahu apa.Hujan baru saja reda, namun langit masih kelabu. Nara berhenti di depan gedung tua perpustakaan yang dulu menjadi rumahnya kedua. Atapnya hangus sebagian, dindingnya retak, tapi papan namanya masih tergantung: Perpustakaan Kota Lirona. Ia menatap huruf-huruf itu lama, seperti sedang membaca ulang bab yang seharusnya sudah ia tutup.“Lucu ya,” gumamnya lirih. “Bahkan gedung ini pun lebih kuat mengingatku daripada manusia.”Suara langkah lain terdengar pelan dari belakang. Seorang pria tua dengan tongkat logam mendekat perlahan. Wajahnya samar

  • Fragmen di Bawah Hujan   Bab 7 Jejak di Atas Abu

    Pagi di kota Lirona selalu datang lambat setelah hujan. Langit masih menggantungkan sisa mendung, dan udara membawa aroma kayu hangus dari sisa perpustakaan yang terbakar malam tadi. Jalanan di sekitar sana masih dipenuhi pita kuning dan abu yang menempel di batu. Orang-orang lewat dengan langkah cepat, menunduk seolah takut menatap reruntuhan masa lalu yang masih mengepulkan asap dingin.Aku berdiri di seberang jalan, menatap puing-puing itu. Di tanganku, liontin perak yang hangus semalam masih kugenggam erat. Tak ada yang bisa menjelaskan kenapa benda sekecil ini bisa selamat dari api sebesar itu. Tapi aku tahu, itu bukan kebetulan.Aku menarik napas panjang, membiarkan udara dingin memenuhi paru-paruku. Rasanya aneh—seperti meneguk sisa kenangan yang sudah lama membusuk.“Nona, kau tidak apa-apa?” suara itu datang dari arah belakang. Aku menoleh. Seorang pria muda berdiri di sana, mengenakan jaket abu dan celana hitam yang sedikit kotor oleh debu. Wajahnya kukenal sam

  • Fragmen di Bawah Hujan   Bab 6 Di Bawah Perpustakaan yang Terbakar

    Api itu datang tanpa peringatan. Hanya ada bau kayu terbakar yang samar ketika aku baru saja menuruni tangga batu di ujung timur kota Lirona. Hujan berhenti sejak sore, menyisakan udara yang pekat dan langit berwarna abu-abu tua. Tapi kini, cahaya oranye mulai menembus kabut tipis—dan aku tahu, itu bukan cahaya senja. Itu nyala api.Aku berlari, menembus jalan-jalan sempit di antara bangunan tua. Di ujung sana, tempat yang dulu menjadi bagian dari hidupku, berdiri perpustakaan kota yang kini dilalap api. Atapnya runtuh sebagian, kaca jendela meledak satu per satu, menghamburkan debu dan kertas yang terbakar. Orang-orang berteriak, sebagian berlari membawa ember, sebagian lagi hanya berdiri menatap tanpa daya.“Padamkan! Cepat padamkan!” suara seorang lelaki paruh baya menggema di tengah kekacauan. Tapi air yang mereka siram hanya menimbulkan desis pelan di pinggiran kobaran, sementara api terus melahap isi bangunan.Aku terpaku. Di tengah hiruk pikuk itu, langkahku berhe

  • Fragmen di Bawah Hujan   Bab 2 Tempat yang Sama

    Suara langkah itu berhenti tepat di depan pintu. Aku menahan napas, mencoba mendengarkan. Tak ada suara lain, hanya detak jantungku yang bergemuruh di antara sunyi dan hujan yang menekan jendela.“Siapa di luar?” tanyaku dengan nada gemetar. Tidak ada jawaban. Hanya bunyi petir yang tiba-tiba menggelegar, membuat lampu menyala redup sesaat, lalu padam lagi. Dalam kilatan cahaya singkat itu, aku sempat melihat bayangan seseorang di balik kaca jendela.Aku mundur satu langkah, menggenggam ponselku erat. Tapi ketika kudekati lagi, bayangan itu sudah tak ada.Hujan mulai reda. Udara dingin yang tersisa menempel di kulit seperti kenangan yang enggan pergi. Aku menyalakan senter dari ponsel, menyusuri lantai kamar. Kertas kecil yang tadi kutemukan kini sudah kering sebagian. Tulisan itu masih jelas: “Aku menunggumu di tempat yang sama, Nara.”Tempat yang sama. Kata-kata itu terus berputar di kepalaku. Aku mencoba mengingat—tempat apa yang dimaksudnya? Lirona bukan kota bes

  • Fragmen di Bawah Hujan   Bab 1 Hujan Pertama di Kota Lirona

    Hujan turun deras begitu kereta berhenti di Stasiun Lirona. Udara dingin menyambutku seperti teman lama yang sudah lama menunggu. Tapi yang membuat jantungku bergetar bukanlah hawa dingin itu, melainkan sepasang mata yang kutemui di peron, menatapku dengan tatapan yang nyaris tak mungkin kulupakan. Aku berhenti di bawah atap logam yang berkarat, mencoba memastikan apa yang kulihat. Tapi orang itu—sosok yang berdiri di ujung peron dengan mantel abu-abu dan payung hitam—berbalik, lalu menghilang di balik kerumunan. “Tidak mungkin…” gumamku lirih. Aku tahu wajah itu. Aku tahu sorot matanya. Tapi bagaimana mungkin dia ada di sini? Bukankah dia sudah— “Permisi, Nona?” Suara petugas stasiun memecah pikiranku. Ia menatap koperku yang belum kuambil. “Oh, iya. Maaf.” Aku buru-buru menarik koper kecil itu, menunduk agar ia tak melihat kegugupanku. Langit menitikkan air lebih deras saat aku keluar dari gerbang stasiun. Kota Lirona tampak sama s

  • Fragmen di Bawah Hujan   Bab 5 Kenangan yang Menolak Tenggelam

    Pagi datang dengan cahaya yang pucat. Langit masih basah, tapi hujan belum turun lagi. Aku terbangun dengan kepala berat dan tenggorokan kering, seperti baru selesai menelan mimpi yang terlalu panjang. Di meja, buku catatan Rian masih terbuka. Huruf-hurufnya tak lagi bergerak, hanya diam, seperti menunggu sesuatu dariku. Aku menatapnya lama. Kalimat terakhir yang muncul semalam masih ada di sana: Aku di sini, Nara. Tapi kau harus berani mendengarkan diamnya hujan. Entah kenapa, kalimat itu terasa seperti sebuah janji yang belum ditepati. Aku menyentuh halaman itu, berharap sesuatu terjadi lagi. Tapi tak ada apa-apa. Yang ada hanya keheningan, dan rasa kosong yang semakin dalam. Aku berjalan ke jendela. Di luar, Lirona seperti enggan hidup. Jalanan sepi, toko-toko belum buka, dan kabut tipis menggantung rendah di antara gedung-gedung tua. Hanya satu hal yang terasa berbeda: aroma tanah basah pagi ini lebih kuat dar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status