LOGINSuara langkah itu berhenti tepat di depan pintu. Aku menahan napas, mencoba mendengarkan. Tak ada suara lain, hanya detak jantungku yang bergemuruh di antara sunyi dan hujan yang menekan jendela.
“Siapa di luar?” tanyaku dengan nada gemetar. Tidak ada jawaban. Hanya bunyi petir yang tiba-tiba menggelegar, membuat lampu menyala redup sesaat, lalu padam lagi. Dalam kilatan cahaya singkat itu, aku sempat melihat bayangan seseorang di balik kaca jendela. Aku mundur satu langkah, menggenggam ponselku erat. Tapi ketika kudekati lagi, bayangan itu sudah tak ada. Hujan mulai reda. Udara dingin yang tersisa menempel di kulit seperti kenangan yang enggan pergi. Aku menyalakan senter dari ponsel, menyusuri lantai kamar. Kertas kecil yang tadi kutemukan kini sudah kering sebagian. Tulisan itu masih jelas: “Aku menunggumu di tempat yang sama, Nara.” Tempat yang sama. Kata-kata itu terus berputar di kepalaku. Aku mencoba mengingat—tempat apa yang dimaksudnya? Lirona bukan kota besar, tapi menyimpan begitu banyak kenangan yang ingin kulupakan. Dan di antara kenangan itu, hanya satu tempat yang kupastikan tak akan pernah bisa kuhapus: tepi danau di belakang Stasiun Lama. Tempat di mana kami dulu sering duduk diam, berbagi roti hangat sambil menghitung riak air. Tempat di mana ia terakhir kali mengucapkan selamat tinggal. Aku mengambil mantel, mengenakannya terburu-buru. Entah karena penasaran atau takut, kakiku melangkah sendiri. Lorong penginapan sepi. Lampu-lampu tua berkelip seperti hampir padam. Saat aku menuruni tangga, perempuan tua pemilik penginapan menatapku dari balik meja resepsionis. “Mau ke luar malam-malam begini, Nona?” tanyanya pelan. “Sebentar saja. Ada sesuatu yang harus kulihat.” Ia menatapku lama, lalu tersenyum samar. “Kalau begitu bawalah payung. Hujan Lirona tak pernah benar-benar berhenti.” Aku menerima payung itu dengan tangan dingin, berterima kasih, lalu melangkah keluar. Udara malam menyergap lembap, wangi tanah basah bercampur daun yang gugur. Jalan berbatu itu memantulkan cahaya lampu jalan, memandu langkahku menuju arah stasiun. Stasiun Lama berada di sisi utara kota, sudah tidak digunakan lagi sejak tahun lalu. Jalur keretanya berkarat, dan bangunannya ditinggalkan. Tapi aku masih hafal setiap tikungan menuju ke sana. Saat tiba di gerbangnya, aku melihat sesuatu yang membuat napasku tercekat. Di bangku tua dekat peron, seseorang duduk. Mantel abu-abu. Payung hitam. Sama seperti yang kulihat sore tadi. Aku mendekat perlahan, payungku bergoyang karena tangan bergetar. “Siapa kau?” tanyaku hampir berbisik. Sosok itu menoleh. Di bawah sinar lampu stasiun yang remang, wajahnya terlihat jelas. Wajah yang kutinggalkan dua tahun lalu. Wajah yang seharusnya tak mungkin kulihat lagi. “Rian…” namanya meluncur begitu saja dari bibirku. Ia tersenyum kecil. “Kau kembali juga, Nara.” “Tapi… bagaimana bisa?” suaraku pecah. “Kau sudah—” “Pergi?” potongnya tenang. “Ya. Tapi bukan berarti aku tak bisa kembali.” Aku mundur satu langkah. “Ini tidak mungkin. Aku melihat pemakamannya sendiri. Aku berdiri di sana.” Rian menunduk, jari-jarinya menyentuh bangku kayu basah itu. “Kadang, Nara, sesuatu tak berakhir seperti yang kita kira.” Hening. Hujan kembali turun pelan, menetes di antara jarak kami. “Kenapa kau menungguku?” tanyaku akhirnya. Ia menatapku lama, matanya lembut tapi menyimpan sesuatu yang dingin. “Karena ada yang belum selesai di antara kita.” “Apa maksudmu?” Rian berdiri. Air menetes dari ujung mantel abu-abunya. “Malam itu, di tepi danau, aku berjanji akan menemuimu kembali—di tempat yang sama, ketika hujan pertama turun di Lirona.” Aku menggeleng cepat. “Rian, ini gila. Kau… kau bukan—” “Terkadang,” katanya sambil mendekat satu langkah, “rindu terlalu kuat bahkan untuk mati.” Seketika udara di sekitarku berubah dingin, begitu dingin hingga aku sulit bernapas. Aku melangkah mundur, tapi di bawah kakiku ada genangan air yang tiba-tiba memantulkan sesuatu—bayangan dua sosok: aku dan dia. Tapi hanya bayanganku yang bergerak. Aku menatapnya lagi. Matanya tetap sama, tapi kini tak memantulkan cahaya. “Nara,” bisiknya pelan. “Jangan takut. Aku hanya ingin menepati janji.” Aku ingin berteriak, tapi suaraku hilang. Hujan menelan segalanya. Dan dalam satu kedipan mata, Rian sudah lenyap—meninggalkan bangku basah dan payung hitam yang tergeletak di sana. Aku berdiri lama di bawah derasnya hujan, menggenggam kertas kecil itu erat. Tulisan di atasnya perlahan luntur, hingga akhirnya hanya tersisa satu kata samar: “Maaf.”Senja belum benar-benar turun ketika Aira menyadari bahwa jarak antara dirinya dan Rendra bukan lagi soal ruang, melainkan soal keberanian untuk menatap apa yang tersisa dari masa lalu yang berjalan sendirian. Mereka telah melewati retakan dunia, menyeberangi lorong yang memantulkan suara mereka sendiri, dan kini kota kembali menyambut dengan keheningan yang tidak sepenuhnya mereka kenali.Rendra berdiri beberapa langkah di depan Aira, menatap bayangan panjang yang membelah jalan kecil itu. Bayangan dirinya, tapi terasa seperti milik orang lain. Aira melihatnya pelan, merasakan sesuatu mengalir di dalam dada: rasa kehilangan yang aneh, seperti ada langkah yang tertinggal jauh di belakang, menunggu dipanggil pulang.“Rendra,” ucap Aira lirih.Laki-laki itu menoleh. Ada sesuatu di matanya, sesuatu yang seperti setengah cahaya dan setengah luka. “Bayanganku bergerak lebih dulu dari aku, Aira. Seolah dia tahu sesuatu yang belum kuberi izin untuk kuingat.”Aira mendekat,
Angin malam menyelinap masuk lewat celah jendela sempit di rumah tua itu, membawa aroma hujan yang baru saja reda, aroma tanah basah, dan sesuatu yang lebih halus—seperti jejak langkah seseorang yang pernah lewat di antara dua dunia dan kini kembali mencari pintunya.Aira berdiri mematung di tengah ruangan, masih merasakan getaran lembut yang tertinggal dari pertemuannya dengan Bayangan Kecil itu, suara lirih yang menyebut namanya, dan kenyataan pahit bahwa dunia yang ia tinggali mungkin bukan lagi satu-satunya tempat yang memanggilnya.Di sampingnya, Rendra—atau sosok yang menyerupai Rendra, yang memudar dan mengeras seperti kabut hitam di tepi cahaya—diam.Diam, tapi terasa seperti seseorang yang sedang menyembunyikan sesuatu yang terlalu berat untuk diucapkan.“Rendra…” suara Aira pecah pelan.“Dunia apa yang baru saja aku lihat…? Itu… itu dunia milik siapa?”Bayangan Rendra hanya bergerak sedikit, seolah menimbang-nimbang apakah ia masih pantas menjawab,
Hujan turun tanpa suara malam itu—bukan rintik yang menimpa kaca, bukan gemuruh yang memecah langit—melainkan semacam kabut tipis yang jatuh dari tempat yang tidak jelas, mungkin dari celah antara dua dunia yang masih enggan menyatu. Aira berjalan perlahan, tubuhnya seakan ikut menjadi bayangan yang dilupakan oleh jalanan.Langkahnya menelusuri lorong kecil yang dulu tidak pernah ada di peta. Lorong itu seperti terbuat dari waktu yang retak: dindingnya memudar, lantainya berkilau basah, tapi cahaya yang jatuh di sanalah yang membuatnya justru tampak tidak nyata.“Mengapa kau membawaku ke sini lagi?” bisik Aira pada udara yang dingin.Tidak ada jawaban.Namun udara berubah.Dari retakan di dinding—yang semula hanya garis tipis seperti guratan yang dibuat anak kecil—tiba-tiba muncul cahaya lembut, seperti napas seseorang yang pernah ia kenal, tetapi sudah lama hilang. Cahaya itu membesar sedikit, lalu terbelah, dan perlahan-lahan menjadi sebuah bentuk.Siluet k
Aira selalu tahu bahwa ada bagian dari dirinya yang tidak pernah benar-benar kembali sejak malam ketika kota itu terpecah menjadi dua dunia. Sejak ia melihat dirinya sendiri berdiri di balik retakan waktu—sejak ia mendengar suara yang seharusnya miliknya sendiri tetapi datang dari tempat yang tidak bisa dijangkau oleh kaki manusia. Semuanya seperti gema yang terlalu jauh, tapi terlalu akrab untuk diabaikan.Malam itu, hujan turun lembut di luar gedung arsip yang sudah lama ditinggalkan. Aira berjalan perlahan, tubuhnya seakan mengingat luka-luka yang tidak tertulis. Rendra mengikutinya dari belakang, langkahnya seperti bayangan yang menolak hilang. Ia memperhatikan Aira yang tampak rapuh, seolah setiap tetes hujan adalah pengingat dari masa yang tak selesai.“Aira,” panggil Rendra pelan. “Kau yakin ingin masuk ke ruangan itu lagi?”Aira tidak menjawab. Ia hanya meletakkan tangannya pada gagang pintu besi yang berkarat. Udara di sekelilingnya berubah, seperti ada sesuatu
Hening selalu datang lebih cepat di kota yang tidak tahu jam. Di Lirona yang retak ini, cahaya lampu jalan merembes seperti air yang kehilangan tempat pulang. Dan Aira… berjalan di tengahnya, di antara dingin yang tidak pernah mengaku berasal dari hujan.Setelah percakapan aneh dengan sosok dirinya yang lain—Aira yang tinggal di retakan dunia—kakinya terasa lebih berat dari sebelumnya. Seolah setiap langkah menyimpan gema dari seseorang yang mengikutinya, tapi tidak sepenuhnya hadir.Ia berhenti di sebuah persimpangan yang tampak sama seperti puluhan persimpangan lain di kota ini, namun entah mengapa… tempat itu terasa mengenal namanya.“Aku pernah berdiri di sini,” gumamnya pelan.Tapi kapan? Bersama siapa?Tidak ada jawaban yang datang dengan pasti. Hanya bayangan samar yang berlari di pinggir ingatannya, seperti siluet yang setengah basah oleh hujan.Angin malam bergerak pelan, membawa suara yang tidak seharusnya ada—lirih, patah, seperti ucapan seseorang
Retakan itu bukanlah sebuah garis. Ia lebih mirip napas yang tertahan terlalu lama, lalu pecah menjadi cahaya yang menghanguskan batas antara yang nyata dan yang pernah ada. Aira berdiri di tengahnya—atau tepatnya, di antara dua dirinya. Di satu sisi, Aira yang selama ini berjalan mencari jawaban. Di sisi lain, Aira yang memandangi dunia dengan mata yang seperti menyimpan seluruh hujan yang pernah jatuh di Kota Tanpa Nama.Cahaya di sekitar mereka berdenyut pelan, seperti denyut jantung bumi yang tersesat. Langit menggantung rendah, membentuk cekungan seperti mangkuk kusam yang menampung bisikan-bisikan yang tak pernah selesai diucapkan. Waktu tidak bergerak. Hanya bayangan yang saling menatap, menunggu mana dari keduanya yang berani membuka kalimat pertama.Aira yang datang dari perjalanan panjang menelan udara dengan hati-hati. “Jadi… kau adalah aku,” katanya, tidak bertanya, tapi membiarkan kata-kata itu jatuh seperti batu kecil ke kolam sunyi.Aira yang lain—yang bay







