Home / Romansa / Fragmen di Bawah Hujan / Bab 4 Saat Hujan Belajar Diam

Share

Bab 4 Saat Hujan Belajar Diam

Author: Ey senja
last update Last Updated: 2025-10-21 12:20:25

Malam itu hujan berhenti mendadak, seolah seseorang menekan tombol pause di langit. Udara jadi aneh — terlalu tenang untuk kota sekecil Lirona. Hanya bunyi tetes air dari atap genting yang memecah hening, jatuh satu-satu ke talang berkarat, seperti waktu yang menetes dari jam rusak.

Aku belum berani mematikan lampu. Pesan tanpa nama itu masih tersimpan di ponselku, menatapku dengan dingin lewat satu kalimat yang tak mau hilang: Aku tidak suka kau kembali ke stasiun, Nara.

Aku sudah mencoba menghapusnya tiga kali. Tapi setiap kali layar ponsel padam, dan aku menyalakannya lagi, pesan itu muncul kembali. Waktu pengirimnya sama — 00:01.

Tepat saat hujan reda.

Aku duduk di kursi dekat jendela, memandangi kota yang perlahan tertidur. Di seberang jalan, ada bangunan tua yang dulu pernah menjadi perpustakaan. Kini hanya tersisa dinding kusam dan jendela yang pecah. Namun malam ini, ada cahaya samar di sana.

Seseorang menyalakan lampu.

Jantungku berdetak lebih cepat. Tidak ada alasan logis untuk itu. Perpustakaan itu sudah ditutup dua tahun lalu — sejak kebakaran yang menelan dua nyawa. Salah satunya Rian.

Aku bangkit. Entah apa yang mendorongku, tapi aku harus tahu. Aku mengambil payung hitam itu lagi, payung yang entah mengapa tetap kering walau sempat kubiarkan di lantai berjam-jam.

Ketika aku membuka pintu, angin lembab menyergap wajahku. Jalanan sepi, tapi langkahku bergema jelas.

Lirona setelah hujan selalu tampak seperti lukisan yang belum selesai — warna-warnanya memudar, tapi menyimpan sesuatu di baliknya. Aku berjalan menyeberangi jalan sempit, menatap kaca jendela perpustakaan tua itu. Lampu di dalam berkelap-kelip, seolah menantangku masuk.

Pintu kayunya tak terkunci. Aku mendorong pelan, dan deritnya menggema panjang. Bau kayu basah dan debu menyambutku. Semua rak buku masih di tempatnya, tapi sebagian besar terbakar setengah, menyisakan bekas hitam di dinding.

Namun di tengah ruangan, di meja baca yang masih utuh, ada satu buku yang terbuka.

Kertasnya menguning, tapi tulisan di halamannya jelas:

“Rian Karsa, catatan terakhir. 12 November.”

Tanganku bergetar. Itu tanggal dua tahun lalu — malam kebakaran. Aku duduk perlahan, menatap halaman berikutnya. Di sana, kalimat terakhirnya ditulis dengan tinta hitam yang

sudah luntur:

“Jika aku tak sempat kembali, biarkan hujan menyampaikan semuanya pada Nara.”

Suara langkah kaki terdengar di belakangku. Pelan, namun nyata.

Aku menoleh cepat. Tidak ada siapa pun.

Hanya bayangan dari lampu yang berkelip di langit-langit, menari-nari di dinding seperti hidup. Aku berdiri, memeluk payungku erat-erat, lalu berlari keluar. Udara malam dingin menusuk kulit. Aku menatap ke langit, berharap hujan turun lagi — setidaknya agar suara tetes air bisa menutupi suara detak jantungku yang terlalu keras.

Tapi langit diam.

Tidak ada hujan malam itu.

Bahkan angin pun berhenti.

Aku tahu sesuatu berubah di Lirona. Seolah waktu berhenti bekerja dengan cara yang sama. Setiap kali aku berpikir semua ini hanya kebetulan, selalu ada tanda kecil yang membuatku ragu. Seperti sekarang — ketika aku membuka telapak tangan, ada setitik air yang menetes dari langit yang kosong.

Satu tetes saja. Tapi jatuh tepat di atas payung hitam itu, membentuk lingkaran sempurna.

Ketika aku menyentuhnya, air itu tak terasa dingin. Malah hangat. Seperti sisa napas seseorang.

Aku kembali ke penginapan dengan langkah limbung. Di depan pintu kamar, ada amplop putih tergelincir di lantai. Tidak ada nama penerima, tidak ada perangko. Hanya sebuah kalimat di depan amplop, ditulis dengan tulisan tangan yang sangat kukenal:

“Saat hujan belajar diam, kau akan tahu semuanya.”

Aku membuka perlahan. Di dalamnya, hanya selembar foto hitam-putih. Aku dan Rian, duduk di depan perpustakaan Lirona, tersenyum. Tapi sesuatu membuatku menggigil — di belakang kami, di jendela yang pecah, ada bayangan samar seseorang yang menatap lurus ke arah kamera.

Aku tidak tahu siapa dia. Tapi entah kenapa, aku merasa dia sedang tersenyum.

Aku menjatuhkan foto itu. Nafasku tercekat, lututku lemas. Semua rasa takut yang kutahan sejak awal kini menyeruak sekaligus. Tapi di antara detak jantung yang kacau, ada sesuatu yang lebih kuat dari ketakutan itu — rasa ingin tahu.

Karena di sudut bawah foto itu, ada tulisan kecil nyaris tak terlihat:

“Lanjutkan halaman yang kubuka.”

Aku menatap buku yang tadi kubawa pulang dari perpustakaan. Masih terbuka di halaman yang sama, tinta hitamnya mulai pudar karena lembab. Aku menyentuhnya pelan, dan saat jariku menyentuh tinta itu, huruf-hurufnya seperti bergerak.

Satu kalimat baru muncul di bawahnya, meski aku tahu aku tak menulis apa pun:

“Aku di sini, Nara. Tapi kau harus berani mendengarkan diamnya hujan.”

Lampu kamar berkedip. Bayangan di jendela bergerak pelan. Dan untuk pertama kalinya sejak aku kembali ke kota ini, aku merasa hujan benar-benar hidup — bukan sebagai cuaca, tapi sebagai sesuatu yang mengingat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Fragmen di Bawah Hujan   Bab 8 Saat Tak Lagi Mengenal Namamu

    Kota Lirona kini bagai potret yang buram. Jalanan yang dulu dipenuhi tawa sore dan aroma roti panggang dari toko kecil di sudut timur, kini hanya menyisakan angin dingin yang berhembus dari lorong-lorong kosong. Nara berjalan di antara bayangan lampu jalan yang bergetar, seakan setiap cahaya enggan menyentuh tubuhnya. Langkahnya pelan, tapi mantap seolah masih ada sesuatu yang menunggu di ujung perjalanan, meski ia tak lagi tahu apa.Hujan baru saja reda, namun langit masih kelabu. Nara berhenti di depan gedung tua perpustakaan yang dulu menjadi rumahnya kedua. Atapnya hangus sebagian, dindingnya retak, tapi papan namanya masih tergantung: Perpustakaan Kota Lirona. Ia menatap huruf-huruf itu lama, seperti sedang membaca ulang bab yang seharusnya sudah ia tutup.“Lucu ya,” gumamnya lirih. “Bahkan gedung ini pun lebih kuat mengingatku daripada manusia.”Suara langkah lain terdengar pelan dari belakang. Seorang pria tua dengan tongkat logam mendekat perlahan. Wajahnya samar

  • Fragmen di Bawah Hujan   Bab 7 Jejak di Atas Abu

    Pagi di kota Lirona selalu datang lambat setelah hujan. Langit masih menggantungkan sisa mendung, dan udara membawa aroma kayu hangus dari sisa perpustakaan yang terbakar malam tadi. Jalanan di sekitar sana masih dipenuhi pita kuning dan abu yang menempel di batu. Orang-orang lewat dengan langkah cepat, menunduk seolah takut menatap reruntuhan masa lalu yang masih mengepulkan asap dingin.Aku berdiri di seberang jalan, menatap puing-puing itu. Di tanganku, liontin perak yang hangus semalam masih kugenggam erat. Tak ada yang bisa menjelaskan kenapa benda sekecil ini bisa selamat dari api sebesar itu. Tapi aku tahu, itu bukan kebetulan.Aku menarik napas panjang, membiarkan udara dingin memenuhi paru-paruku. Rasanya aneh—seperti meneguk sisa kenangan yang sudah lama membusuk.“Nona, kau tidak apa-apa?” suara itu datang dari arah belakang. Aku menoleh. Seorang pria muda berdiri di sana, mengenakan jaket abu dan celana hitam yang sedikit kotor oleh debu. Wajahnya kukenal sam

  • Fragmen di Bawah Hujan   Bab 6 Di Bawah Perpustakaan yang Terbakar

    Api itu datang tanpa peringatan. Hanya ada bau kayu terbakar yang samar ketika aku baru saja menuruni tangga batu di ujung timur kota Lirona. Hujan berhenti sejak sore, menyisakan udara yang pekat dan langit berwarna abu-abu tua. Tapi kini, cahaya oranye mulai menembus kabut tipis—dan aku tahu, itu bukan cahaya senja. Itu nyala api.Aku berlari, menembus jalan-jalan sempit di antara bangunan tua. Di ujung sana, tempat yang dulu menjadi bagian dari hidupku, berdiri perpustakaan kota yang kini dilalap api. Atapnya runtuh sebagian, kaca jendela meledak satu per satu, menghamburkan debu dan kertas yang terbakar. Orang-orang berteriak, sebagian berlari membawa ember, sebagian lagi hanya berdiri menatap tanpa daya.“Padamkan! Cepat padamkan!” suara seorang lelaki paruh baya menggema di tengah kekacauan. Tapi air yang mereka siram hanya menimbulkan desis pelan di pinggiran kobaran, sementara api terus melahap isi bangunan.Aku terpaku. Di tengah hiruk pikuk itu, langkahku berhe

  • Fragmen di Bawah Hujan   Bab 2 Tempat yang Sama

    Suara langkah itu berhenti tepat di depan pintu. Aku menahan napas, mencoba mendengarkan. Tak ada suara lain, hanya detak jantungku yang bergemuruh di antara sunyi dan hujan yang menekan jendela.“Siapa di luar?” tanyaku dengan nada gemetar. Tidak ada jawaban. Hanya bunyi petir yang tiba-tiba menggelegar, membuat lampu menyala redup sesaat, lalu padam lagi. Dalam kilatan cahaya singkat itu, aku sempat melihat bayangan seseorang di balik kaca jendela.Aku mundur satu langkah, menggenggam ponselku erat. Tapi ketika kudekati lagi, bayangan itu sudah tak ada.Hujan mulai reda. Udara dingin yang tersisa menempel di kulit seperti kenangan yang enggan pergi. Aku menyalakan senter dari ponsel, menyusuri lantai kamar. Kertas kecil yang tadi kutemukan kini sudah kering sebagian. Tulisan itu masih jelas: “Aku menunggumu di tempat yang sama, Nara.”Tempat yang sama. Kata-kata itu terus berputar di kepalaku. Aku mencoba mengingat—tempat apa yang dimaksudnya? Lirona bukan kota bes

  • Fragmen di Bawah Hujan   Bab 1 Hujan Pertama di Kota Lirona

    Hujan turun deras begitu kereta berhenti di Stasiun Lirona. Udara dingin menyambutku seperti teman lama yang sudah lama menunggu. Tapi yang membuat jantungku bergetar bukanlah hawa dingin itu, melainkan sepasang mata yang kutemui di peron, menatapku dengan tatapan yang nyaris tak mungkin kulupakan. Aku berhenti di bawah atap logam yang berkarat, mencoba memastikan apa yang kulihat. Tapi orang itu—sosok yang berdiri di ujung peron dengan mantel abu-abu dan payung hitam—berbalik, lalu menghilang di balik kerumunan. “Tidak mungkin…” gumamku lirih. Aku tahu wajah itu. Aku tahu sorot matanya. Tapi bagaimana mungkin dia ada di sini? Bukankah dia sudah— “Permisi, Nona?” Suara petugas stasiun memecah pikiranku. Ia menatap koperku yang belum kuambil. “Oh, iya. Maaf.” Aku buru-buru menarik koper kecil itu, menunduk agar ia tak melihat kegugupanku. Langit menitikkan air lebih deras saat aku keluar dari gerbang stasiun. Kota Lirona tampak sama s

  • Fragmen di Bawah Hujan   Bab 5 Kenangan yang Menolak Tenggelam

    Pagi datang dengan cahaya yang pucat. Langit masih basah, tapi hujan belum turun lagi. Aku terbangun dengan kepala berat dan tenggorokan kering, seperti baru selesai menelan mimpi yang terlalu panjang. Di meja, buku catatan Rian masih terbuka. Huruf-hurufnya tak lagi bergerak, hanya diam, seperti menunggu sesuatu dariku. Aku menatapnya lama. Kalimat terakhir yang muncul semalam masih ada di sana: Aku di sini, Nara. Tapi kau harus berani mendengarkan diamnya hujan. Entah kenapa, kalimat itu terasa seperti sebuah janji yang belum ditepati. Aku menyentuh halaman itu, berharap sesuatu terjadi lagi. Tapi tak ada apa-apa. Yang ada hanya keheningan, dan rasa kosong yang semakin dalam. Aku berjalan ke jendela. Di luar, Lirona seperti enggan hidup. Jalanan sepi, toko-toko belum buka, dan kabut tipis menggantung rendah di antara gedung-gedung tua. Hanya satu hal yang terasa berbeda: aroma tanah basah pagi ini lebih kuat dar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status