Home / Romansa / Fragmen di Bawah Hujan / Bab 3 Tentang Bayangan yang Tertinggal

Share

Fragmen di Bawah Hujan
Fragmen di Bawah Hujan
Author: Ey senja

Bab 3 Tentang Bayangan yang Tertinggal

Author: Ey senja
last update Last Updated: 2025-10-21 12:20:13

Aku tidak tidur malam itu. Suara hujan seperti berputar-putar di kepalaku, menolak pergi bersama cahaya. Setiap kali aku memejamkan mata, bayangan Rian muncul di antara percik hujan—mantel abu-abu, tatapan yang tak lagi hidup, dan payung hitam yang ia tinggalkan di bangku kayu dekat stasiun.

Aku menatap benda itu sekarang, tergeletak di lantai kamar. Payung itu kuyup, tapi anehnya tidak berbau apek. Seolah-olah baru saja dijemur di bawah matahari. Aku memungutnya, memutar gagangnya perlahan. Ada inisial kecil terukir di sana: R.K. — Rian Karsa.

Aku teringat dulu, ia sering mencoret-coret inisial itu di mana pun kami duduk bersama. Di meja, di buku catatanku, bahkan di cangkir kopi di tepi danau. Katanya, itu bukan tanda kepemilikan, tapi pengingat bahwa sesuatu pernah ada.

Tapi malam ini, pengingat itu justru terasa seperti kutukan.

Aku menatap jendela. Hujan belum berhenti. Setiap tetes air seperti mengetuk-ngetuk kaca, memanggil dengan suara lirih yang nyaris seperti bisikan. Aku tak tahu kenapa, tapi rasanya aku harus kembali ke sana—ke Stasiun Lama.

Namun kali ini, bukan karena ingin. Tapi karena aku harus tahu.

Pagi datang tanpa cahaya. Kabut turun, menyelimuti kota seperti tirai abu-abu. Lirona di musim hujan selalu tampak rapuh, seolah setiap bangunannya siap runtuh jika disentuh terlalu keras. Aku berjalan menyusuri jalan setapak menuju stasiun.

Langkahku berhenti di dekat kios tua yang sudah tutup bertahun-tahun. Di kaca etalase yang pecah, ada goresan samar seperti tulisan: Kau tidak sendiri, Nara.

Tanganku gemetar. Aku melangkah mundur, menatap tulisan itu dengan jantung berdetak cepat. Tulisan itu baru—masih berembun, seolah ditulis dengan jari seseorang dari luar. Tapi siapa? Tidak ada seorang pun di jalan itu.

Aku berlari menuju peron. Bangku tempat Rian duduk malam tadi kini kosong. Payung yang semalam kutinggalkan sudah tidak ada. Yang tersisa hanya genangan air, memantulkan bayangan kusam dari papan nama stasiun yang nyaris rubuh.

Aku menunduk, dan di genangan itu, sesuatu tampak bergerak. Bayanganku… tapi tidak persis bayanganku. Ia tersenyum, padahal aku tidak.

“Rian… apa kau di sini?” suaraku hampir tenggelam oleh hujan.

Tidak ada jawaban, hanya suara roda kereta yang bergemuruh pelan dari kejauhan. Tapi Lirona tak lagi punya kereta yang lewat sejak dua tahun lalu.

Aku memejamkan mata. Dada terasa sesak. Semua ini tidak masuk akal. Mungkin aku hanya lelah. Mungkin bayangan Rian hanya sisa dari luka yang belum sembuh. Tapi mengapa semua terasa begitu nyata?

Aku berbalik, hendak pergi, namun langkahku terhenti ketika seseorang berdiri di ujung peron.

Bukan Rian.

Seorang lelaki tua dengan jas panjang, wajahnya tersembunyi di balik kabut. Ia menatapku lama, lalu menunjuk ke arah rel yang berkarat.

“Dia tidak pergi sendirian,” katanya lirih.

Aku tertegun. “Apa maksud Anda?”

“Yang menemuinya malam itu bukan hanya hujan.”

Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi saat aku berkedip, lelaki itu sudah menghilang bersama kabut.

Aku memeluk tubuhku sendiri, mencoba menahan gemetar. Kata-kata itu bergema di kepala—dia tidak pergi sendirian.

Di perjalanan pulang, aku berhenti di jembatan kecil dekat penginapan. Di bawah sana, air sungai mengalir deras membawa ranting dan daun. Lalu mataku menangkap sesuatu: secarik kertas yang tersangkut di batu. Aku meraih dengan ujung payung, menariknya perlahan.

Tulisan di atasnya samar, tapi masih bisa kubaca:

“Jangan cari aku di tempat lama. Karena di sana, waktu berhenti menunggu.”

Aku menggigit bibir, mencoba menahan perasaan yang tiba-tiba menyesak. Angin berhembus dingin, membawa aroma tanah basah dan sesuatu yang tak asing—aroma parfum Rian yang dulu sering menempel di leherku setiap kali ia memelukku.

Aku tahu aku tidak berhalusinasi. Sesuatu sedang terjadi di Lirona. Sesuatu yang menghubungkan hujan, kenangan, dan kematian yang belum selesai.

Malamnya, aku kembali ke kamar dengan langkah lunglai. Ponselku bergetar di meja, ada pesan masuk tanpa nama pengirim.

Hanya satu kalimat:

“Aku tidak suka kau kembali ke stasiun, Nara.”

Aku terdiam. Jari-jariku membeku di atas layar.

Hujan di luar makin deras.

Kutatap bayangan diriku di jendela yang berembun, dan untuk sesaat, aku melihat sosok lain berdiri di belakangku. Mantel abu-abu. Payung hitam.

Aku menoleh cepat. Tidak ada siapa-siapa.

Hanya kesunyian yang menatap balik.

Dan di tengah kesunyian itu, aku sadar:

Rian tidak sekadar kenangan yang datang bersama hujan. Ia adalah hujan itu sendiri—turun untuk mengingatkan bahwa sesuatu belum selesai di kota ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Wilham Rizqi
wahh menarik banget
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Fragmen di Bawah Hujan   Bab 52 Langkah yang Tertinggal di Belakang Bayangan

    Senja belum benar-benar turun ketika Aira menyadari bahwa jarak antara dirinya dan Rendra bukan lagi soal ruang, melainkan soal keberanian untuk menatap apa yang tersisa dari masa lalu yang berjalan sendirian. Mereka telah melewati retakan dunia, menyeberangi lorong yang memantulkan suara mereka sendiri, dan kini kota kembali menyambut dengan keheningan yang tidak sepenuhnya mereka kenali.Rendra berdiri beberapa langkah di depan Aira, menatap bayangan panjang yang membelah jalan kecil itu. Bayangan dirinya, tapi terasa seperti milik orang lain. Aira melihatnya pelan, merasakan sesuatu mengalir di dalam dada: rasa kehilangan yang aneh, seperti ada langkah yang tertinggal jauh di belakang, menunggu dipanggil pulang.“Rendra,” ucap Aira lirih.Laki-laki itu menoleh. Ada sesuatu di matanya, sesuatu yang seperti setengah cahaya dan setengah luka. “Bayanganku bergerak lebih dulu dari aku, Aira. Seolah dia tahu sesuatu yang belum kuberi izin untuk kuingat.”Aira mendekat,

  • Fragmen di Bawah Hujan   Bab 51 Satu Dunia Lagi yang Menyebut Namamu

    Angin malam menyelinap masuk lewat celah jendela sempit di rumah tua itu, membawa aroma hujan yang baru saja reda, aroma tanah basah, dan sesuatu yang lebih halus—seperti jejak langkah seseorang yang pernah lewat di antara dua dunia dan kini kembali mencari pintunya.Aira berdiri mematung di tengah ruangan, masih merasakan getaran lembut yang tertinggal dari pertemuannya dengan Bayangan Kecil itu, suara lirih yang menyebut namanya, dan kenyataan pahit bahwa dunia yang ia tinggali mungkin bukan lagi satu-satunya tempat yang memanggilnya.Di sampingnya, Rendra—atau sosok yang menyerupai Rendra, yang memudar dan mengeras seperti kabut hitam di tepi cahaya—diam.Diam, tapi terasa seperti seseorang yang sedang menyembunyikan sesuatu yang terlalu berat untuk diucapkan.“Rendra…” suara Aira pecah pelan.“Dunia apa yang baru saja aku lihat…? Itu… itu dunia milik siapa?”Bayangan Rendra hanya bergerak sedikit, seolah menimbang-nimbang apakah ia masih pantas menjawab,

  • Fragmen di Bawah Hujan   Bab 50 Senandung yang Dilahirkan dari Retakan

    Hujan turun tanpa suara malam itu—bukan rintik yang menimpa kaca, bukan gemuruh yang memecah langit—melainkan semacam kabut tipis yang jatuh dari tempat yang tidak jelas, mungkin dari celah antara dua dunia yang masih enggan menyatu. Aira berjalan perlahan, tubuhnya seakan ikut menjadi bayangan yang dilupakan oleh jalanan.Langkahnya menelusuri lorong kecil yang dulu tidak pernah ada di peta. Lorong itu seperti terbuat dari waktu yang retak: dindingnya memudar, lantainya berkilau basah, tapi cahaya yang jatuh di sanalah yang membuatnya justru tampak tidak nyata.“Mengapa kau membawaku ke sini lagi?” bisik Aira pada udara yang dingin.Tidak ada jawaban.Namun udara berubah.Dari retakan di dinding—yang semula hanya garis tipis seperti guratan yang dibuat anak kecil—tiba-tiba muncul cahaya lembut, seperti napas seseorang yang pernah ia kenal, tetapi sudah lama hilang. Cahaya itu membesar sedikit, lalu terbelah, dan perlahan-lahan menjadi sebuah bentuk.Siluet k

  • Fragmen di Bawah Hujan   Bab 49 Lorong Tempat Nama Kita Pernah Dipanggil

    Aira selalu tahu bahwa ada bagian dari dirinya yang tidak pernah benar-benar kembali sejak malam ketika kota itu terpecah menjadi dua dunia. Sejak ia melihat dirinya sendiri berdiri di balik retakan waktu—sejak ia mendengar suara yang seharusnya miliknya sendiri tetapi datang dari tempat yang tidak bisa dijangkau oleh kaki manusia. Semuanya seperti gema yang terlalu jauh, tapi terlalu akrab untuk diabaikan.Malam itu, hujan turun lembut di luar gedung arsip yang sudah lama ditinggalkan. Aira berjalan perlahan, tubuhnya seakan mengingat luka-luka yang tidak tertulis. Rendra mengikutinya dari belakang, langkahnya seperti bayangan yang menolak hilang. Ia memperhatikan Aira yang tampak rapuh, seolah setiap tetes hujan adalah pengingat dari masa yang tak selesai.“Aira,” panggil Rendra pelan. “Kau yakin ingin masuk ke ruangan itu lagi?”Aira tidak menjawab. Ia hanya meletakkan tangannya pada gagang pintu besi yang berkarat. Udara di sekelilingnya berubah, seperti ada sesuatu

  • Fragmen di Bawah Hujan   Bab 48 Langkah yang Tersisa di Antara Dua Bayangan

    Hening selalu datang lebih cepat di kota yang tidak tahu jam. Di Lirona yang retak ini, cahaya lampu jalan merembes seperti air yang kehilangan tempat pulang. Dan Aira… berjalan di tengahnya, di antara dingin yang tidak pernah mengaku berasal dari hujan.Setelah percakapan aneh dengan sosok dirinya yang lain—Aira yang tinggal di retakan dunia—kakinya terasa lebih berat dari sebelumnya. Seolah setiap langkah menyimpan gema dari seseorang yang mengikutinya, tapi tidak sepenuhnya hadir.Ia berhenti di sebuah persimpangan yang tampak sama seperti puluhan persimpangan lain di kota ini, namun entah mengapa… tempat itu terasa mengenal namanya.“Aku pernah berdiri di sini,” gumamnya pelan.Tapi kapan? Bersama siapa?Tidak ada jawaban yang datang dengan pasti. Hanya bayangan samar yang berlari di pinggir ingatannya, seperti siluet yang setengah basah oleh hujan.Angin malam bergerak pelan, membawa suara yang tidak seharusnya ada—lirih, patah, seperti ucapan seseorang

  • Fragmen di Bawah Hujan   Bab 47 Percakapan di Tetapkan Dunia

    Retakan itu bukanlah sebuah garis. Ia lebih mirip napas yang tertahan terlalu lama, lalu pecah menjadi cahaya yang menghanguskan batas antara yang nyata dan yang pernah ada. Aira berdiri di tengahnya—atau tepatnya, di antara dua dirinya. Di satu sisi, Aira yang selama ini berjalan mencari jawaban. Di sisi lain, Aira yang memandangi dunia dengan mata yang seperti menyimpan seluruh hujan yang pernah jatuh di Kota Tanpa Nama.Cahaya di sekitar mereka berdenyut pelan, seperti denyut jantung bumi yang tersesat. Langit menggantung rendah, membentuk cekungan seperti mangkuk kusam yang menampung bisikan-bisikan yang tak pernah selesai diucapkan. Waktu tidak bergerak. Hanya bayangan yang saling menatap, menunggu mana dari keduanya yang berani membuka kalimat pertama.Aira yang datang dari perjalanan panjang menelan udara dengan hati-hati. “Jadi… kau adalah aku,” katanya, tidak bertanya, tapi membiarkan kata-kata itu jatuh seperti batu kecil ke kolam sunyi.Aira yang lain—yang bay

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status