Mag-log inHujan turun pelan, seakan tak ingin mengganggu langkah Aira ketika ia mendekati jembatan kecil itu—jembatan yang dulu pernah ia lewati dalam kenangan samar, jembatan yang beberapa waktu belakangan muncul dalam mimpinya seperti panggilan yang tak pernah selesai. Kota itu bergerak dengan lamban, seolah menahan napasnya, menunggu sesuatu yang mungkin tak pernah direncanakan siapa pun. Aira menggenggam pinggiran mantelnya. Angin malam menyentuh kulitnya dengan dingin yang berbeda—dingin yang mengandung sesuatu yang hampir mirip dengan peringatan.
Langkahnya berhenti tepat di tengah jembatan. Di bawahnya, sungai mengalir dengan suara rendah, seperti seseorang yang sedang berbisik namun menahan tangis. Cahaya kota memantul di permukaan air, pecah menjadi serpihan-serpihan kecil yang bergetar oleh arus. Dan di sanalah ia melihatnya—sesuatu yang tak boleh dilihat manusia pada dunia yang seharusnya hanya terdiri dari satu versi dirinya.Dirinya sendiri.Aira tidak bergerak. TubuhPagi itu tidak datang dengan cahaya, melainkan dengan detak—detak kecil yang seolah berjalan dari jauh, menembus kabut, mencari arah pulang.Aira membuka mata bukan karena ia terbangun,tetapi karena dunia seakan memanggilnya pelan,seakan berkata:“Sudah saatnya kau bangun, meski kau belum pulih.”Ia menoleh, dan di sana — ada aku.Duduk di sisi tempat peristirahatan itu, dengan jemari yang masih menggenggam jemarimu,seolah takut kau hilang ke celah di antara dua dunia yang semakin rapuh.“Bagaimana tubuhmu?” tanyaku lirih.Aira tersenyum letih, tapi matanya…mata itu seperti menampung fajar yang pecah menjadi ribuan serpihan lembut.“Aku masih sakit,” jawabnya jujur,“tapi… pelukanmu memperbaiki sesuatu yang tak bisa dijelaskan.”Aku memandangnya lama—tidak untuk mencari jawaban,tapi untuk memastikan dunia yang retak itu tidak kembali memisahkan kami.Pagi mulai menipis di balik horizon,seolah belajar men
Senja belum benar-benar turun ketika Aira menyadari bahwa jarak antara dirinya dan Rendra bukan lagi soal ruang, melainkan soal keberanian untuk menatap apa yang tersisa dari masa lalu yang berjalan sendirian. Mereka telah melewati retakan dunia, menyeberangi lorong yang memantulkan suara mereka sendiri, dan kini kota kembali menyambut dengan keheningan yang tidak sepenuhnya mereka kenali.Rendra berdiri beberapa langkah di depan Aira, menatap bayangan panjang yang membelah jalan kecil itu. Bayangan dirinya, tapi terasa seperti milik orang lain. Aira melihatnya pelan, merasakan sesuatu mengalir di dalam dada: rasa kehilangan yang aneh, seperti ada langkah yang tertinggal jauh di belakang, menunggu dipanggil pulang.“Rendra,” ucap Aira lirih.Laki-laki itu menoleh. Ada sesuatu di matanya, sesuatu yang seperti setengah cahaya dan setengah luka. “Bayanganku bergerak lebih dulu dari aku, Aira. Seolah dia tahu sesuatu yang belum kuberi izin untuk kuingat.”Aira mendekat,
Angin malam menyelinap masuk lewat celah jendela sempit di rumah tua itu, membawa aroma hujan yang baru saja reda, aroma tanah basah, dan sesuatu yang lebih halus—seperti jejak langkah seseorang yang pernah lewat di antara dua dunia dan kini kembali mencari pintunya.Aira berdiri mematung di tengah ruangan, masih merasakan getaran lembut yang tertinggal dari pertemuannya dengan Bayangan Kecil itu, suara lirih yang menyebut namanya, dan kenyataan pahit bahwa dunia yang ia tinggali mungkin bukan lagi satu-satunya tempat yang memanggilnya.Di sampingnya, Rendra—atau sosok yang menyerupai Rendra, yang memudar dan mengeras seperti kabut hitam di tepi cahaya—diam.Diam, tapi terasa seperti seseorang yang sedang menyembunyikan sesuatu yang terlalu berat untuk diucapkan.“Rendra…” suara Aira pecah pelan.“Dunia apa yang baru saja aku lihat…? Itu… itu dunia milik siapa?”Bayangan Rendra hanya bergerak sedikit, seolah menimbang-nimbang apakah ia masih pantas menjawab,
Hujan turun tanpa suara malam itu—bukan rintik yang menimpa kaca, bukan gemuruh yang memecah langit—melainkan semacam kabut tipis yang jatuh dari tempat yang tidak jelas, mungkin dari celah antara dua dunia yang masih enggan menyatu. Aira berjalan perlahan, tubuhnya seakan ikut menjadi bayangan yang dilupakan oleh jalanan.Langkahnya menelusuri lorong kecil yang dulu tidak pernah ada di peta. Lorong itu seperti terbuat dari waktu yang retak: dindingnya memudar, lantainya berkilau basah, tapi cahaya yang jatuh di sanalah yang membuatnya justru tampak tidak nyata.“Mengapa kau membawaku ke sini lagi?” bisik Aira pada udara yang dingin.Tidak ada jawaban.Namun udara berubah.Dari retakan di dinding—yang semula hanya garis tipis seperti guratan yang dibuat anak kecil—tiba-tiba muncul cahaya lembut, seperti napas seseorang yang pernah ia kenal, tetapi sudah lama hilang. Cahaya itu membesar sedikit, lalu terbelah, dan perlahan-lahan menjadi sebuah bentuk.Siluet k
Aira selalu tahu bahwa ada bagian dari dirinya yang tidak pernah benar-benar kembali sejak malam ketika kota itu terpecah menjadi dua dunia. Sejak ia melihat dirinya sendiri berdiri di balik retakan waktu—sejak ia mendengar suara yang seharusnya miliknya sendiri tetapi datang dari tempat yang tidak bisa dijangkau oleh kaki manusia. Semuanya seperti gema yang terlalu jauh, tapi terlalu akrab untuk diabaikan.Malam itu, hujan turun lembut di luar gedung arsip yang sudah lama ditinggalkan. Aira berjalan perlahan, tubuhnya seakan mengingat luka-luka yang tidak tertulis. Rendra mengikutinya dari belakang, langkahnya seperti bayangan yang menolak hilang. Ia memperhatikan Aira yang tampak rapuh, seolah setiap tetes hujan adalah pengingat dari masa yang tak selesai.“Aira,” panggil Rendra pelan. “Kau yakin ingin masuk ke ruangan itu lagi?”Aira tidak menjawab. Ia hanya meletakkan tangannya pada gagang pintu besi yang berkarat. Udara di sekelilingnya berubah, seperti ada sesuatu
Hening selalu datang lebih cepat di kota yang tidak tahu jam. Di Lirona yang retak ini, cahaya lampu jalan merembes seperti air yang kehilangan tempat pulang. Dan Aira… berjalan di tengahnya, di antara dingin yang tidak pernah mengaku berasal dari hujan.Setelah percakapan aneh dengan sosok dirinya yang lain—Aira yang tinggal di retakan dunia—kakinya terasa lebih berat dari sebelumnya. Seolah setiap langkah menyimpan gema dari seseorang yang mengikutinya, tapi tidak sepenuhnya hadir.Ia berhenti di sebuah persimpangan yang tampak sama seperti puluhan persimpangan lain di kota ini, namun entah mengapa… tempat itu terasa mengenal namanya.“Aku pernah berdiri di sini,” gumamnya pelan.Tapi kapan? Bersama siapa?Tidak ada jawaban yang datang dengan pasti. Hanya bayangan samar yang berlari di pinggir ingatannya, seperti siluet yang setengah basah oleh hujan.Angin malam bergerak pelan, membawa suara yang tidak seharusnya ada—lirih, patah, seperti ucapan seseorang







