Share

Fathan, mengapa kau begitu?

Seperti biasanya, jalan besar ini sangat dipenuhi banyak kendaraan, tak lupa polusi udara yang turut ikut menyertai.

Sungguh, polusi ini bagaikan abu vulkanik yang baru saja dimuntahkan oleh gunung meletus.

Klakson yang sangat nyaring membuat gendang telinga siapa saja yang mendengar akan menutup Indera pendengarannya rapat-rapat.

Fathan disini hanya bisa bersabar dan berharap keajaiban datang. Dia yang menunggu angkot sejak tadi tak kunjung datang hanya bisa mengelap peluh keringat yang sudah memenuhi dahinya dengan telapak tangan. sudah sejak pukul enam, Fathan mematung dipinggiran jalan hanya untuk menunggu sebuah angkot lewat. Dia melirik ke kanan juga ke kiri.

"Gak kaya biasanya"--gumamnya dalam hati.

Fathan menghembuskan nafasnya asal. "Hhhh, nunggu itu capek ya ..." ucapnya lirih.

Saat itu Fathan yang mulai letih untuk menunggu angkot, semangatnya seakan full lagi, keletihannya terbayarkan saat pandangannya menyapu ke seberang jalan.

Mata Fathan tak sedetik pun berkedip ketika melihat seorang wanita yang mulai dia kagumi belum lama itu. Wanita itu berjalan kearah Fathan, dia kearah sini hendak menunggu angkot juga sepertinya.

Fathan mulai membenarkan rambut juga seragamnya. Fathan harus tampil tampan didepannya. Ya, walaupun Wanita yang dikagumi tak akan pernah menaruh perasaan yang sama seperti Fathan.

"Aida!!" yang dipanggil hanya menatap Fathan datar. Tak lebih. Mungkin yang dipanggil sedang tak ingin banyak bicara.

Aida yang sudah sampai kearah Fathan hanya bisa mendengus.

"Lagi-lagi dia! Kenapa hidup Aida serumit ini Ya Allah?"--ujarnya dalam hati.

"Da, kalo gua boleh jujur nih ya, kenapa setiap dideket elu, gua selalu ngerasa tenang dan damai? elu pake pelet apaansih? jawab gua, Da." Fathan mengajukan pertanyaan seakan heran pada Aida. Sosok Aida itu bagaikan penenang jiwa Fathan disituasi apapun, bahkan saat dia mendadak kehilangan semangat untuk menunggu angkot, Aida yang hadir kehadapannya mulai merubah keadaan. Sungguh aneh, bukan?

"Mana aku tahu. Lagipula aku gapake pelet, ngarang aja." ucapan polos yang terlontar dari mulut Aida, sangat menggemaskan menurut Fathan. Kalau boleh mencubit pipi Aida karena sudah halal, akan Fathan cubit saat itu juga.

Tetapi, rasanya sangat mustahil hal itu terjadi.

"Da, gua boleh nanya gak?" tanya Fathan sambil memperhatikan wanita disampingnya itu.

"Nanya apa?" Sahut Aida yang masih fokus dengan jalan besar dihadapannya itu.

"Lu kemaren pulang sekolah sama siapa sih?" Fathan bertanya sangat antusias, Fathan menyatukan alisnya seakan meminta Aida menjawab jujur.

"Temen kajian di majelis As-Salam." balas Aida singkat.

"Kok gua kaya kenal dia ya? Siapa sih namanya?" dalam hati, Fathan mengharapkan jawaban Aida saat ini.

Aida berfikir dan menimang-nimang, apa harus dia jawab pertanyaan lelaki di sampingnya? Sepertinya tak perlu dia tahu.

"Gaperlu kamu tahu."

Ketika pertanyaannya itu tidak direspon baik, Fathan hanya bisa menyemangati dirinya agar tetap tenang.

Keadaan mulai dingin, seperti kutub es.

Di posisi itu, Fathan membuka suara lagi. Seakan tak menyerah oleh sifat dingin Aida. Fathan yakin bisa mencairkannya. Ya, entah kapan, semoga saja.

"Oh ya, kenalin, nama gua Fathan Rasyid." cetus Fathan disertai senyuman yang sangat tulus. Terlihat jelas dari kedua bola matanya dan tarikan senyuman yang dia buat. Lain halnya dengan Aida. Aida yang mendengar nama itu seketika shock. matanya membulat tak percaya. Apakah Aida sedang tidak bermimpi? Tetapi dia mencoba untuk biasa saja.

"Aida Kharisya Hanum" Aida membuka suara.

Saat menunggu sejak tadi, ada sebuah angkot yang lewat. angkot itu seakan mengatakan; naiki aku ...

Aida dan Fathan yang mendapat kesempatan itu, tak ingin melewatkannya. Ia berdua memasuki angkot. Tetapi, yang menginjakkan kaki terlebih dahulu adalah Aida. Lalu mulai diikuti oleh Fathan.

Tunggu dulu! Aida terkejut saat melihat dua anak kecil yang ia jumpai beberapa hari yang lalu. Dua anak itu?! anak yang mempunyai hati seperti malaikat ia jumpai untuk kedua kalinya di angkot ini. Aida tak ingin melewatkan moment nya terhadap dua anak kecil dihadapannya itu, Aida mulai mencairkan suasana.

"Adikku, gimana kabarnya? Kakak kangen kamu ..." Aida sangat merindukannya, terlihat jelas pada manik matanya. Padahal baru beberapa hari saja tak bertemu dua anak itu, seakan tidak bertemu bertahun-tahun.

"Baik kok kak." balasnya sumringah. Aida memperhatikan mereka berdua dari ujung kaki hingga kepala. Tapi, ada yang mengganjal menurut Aida. Mereka berdua tidak membawa baskom lontong sayurnya, ya? Pertanyaan itu hendak memenuhi pikiran Aida.

"Kamu gak jualan lagi?" Aida bertanya disertai raut wajah yang bingung.

"Tidak jualan dulu kak. Memang kenapa?" ucap anak yang memiliki tahi lalat di sudut matanya dengan wajah imutnya. Menggemaskan!

"Kangen mau beli nih hehehe" ucap Aida tak lupa tawa kecilnya membuat wajahnya sangat manis berkali-kali lipat.

Fathan yang bisa melihat itu hanya bisa bergumam dalam hati. "Enak banget bisa lengket plus di care-in sama wanita jutek. Mommy! Fathan mauuuu ..."

Aida sepertinya mempunyai dua sisi. Sisi saat bertemu lelaki juteknya tak terhingga.

Tetapi bila bertemu sahabatnya yang perempuan, serta anak kecil, mempunyai sifat sayang yang tulus berkali-kali lipat. Ada apa dengan Aida? mungkin, itulah cara memberi batas untuk dirinya dengan lelaki yang bukan mahram.

"Ah, kakak bisa aja. Oiya kak, Fatimah dan Aisyah punya sesuatu untuk kakak." ucap Fatimah, anak kecil yang mempunyai tahi lalat kecil disudut matanya.

"Wah apaan tuh?" tanya Aida heran. Sambil memperhatikan dua anak itu sejenak.

"Taraaa..!!! Ini untuk kakak, semoga suka yaa!" ucap Fatimah dan Aisyah serentak.

"Wah, indahnya!! terimakasih ya." balas Aida antusias terhadap gantungan itu. Fathan yang melihat itu, hanya bisa tersenyum kecil. Dia senang bila Aida juga senang.

"Oiya nama kakak siapa sih?" kini Aisyah yang mulai bertanya, dia mulai menyatukan kedua alisnya.

"Duh, kita belum sempat kenalan ternyata, ya?" Aida berucap seakan merasa bersalah pada dua anak itu.

"Aida Kharisya Hanum, nama kamu berdua siapa?" tanya Aida dengan senyum hangatnya yang mulai terukir indah.

"Aku Aisyah Mulki"

"Aku Fatimah Mulki"

Kompak.

Mereka berucap disertai mengangkat tangan kanannya masing-masing, agar namanya mudah dikenali dan tidak tertukar. Karena wajah yang mirip itu sangat susah dibedakan. Menurut Aida, hanya tahi lalat di sudut mata yang bisa membedakannya.

"Nama kalian bagus banget!" Ujar Aida sumringah sambil memperhatikan manik mata anak itu.

Aida menunduk lalu memperhatikan gantungan itu lekat-lekat, "Sungguh indah gantungan ini!"--batinnya berucap kagum.

Ternyata disisi lain Fatimah dan Aisyah sedang mengacungkan jempolnya pada Fathan. Seakan mengatakan-misi kita berhasil kak!--Fathan yang melihatnya, hanya bisa menatap kagum.

Tak terasa angkot sudah mengantarkan Aida dan Fathan ke SMA-nya, Fatimah dan Aisyah sudah pamit terlebih dahulu saat turun dari angkot.

Aida membayar angkot dengan senyuman ramahnya.

Lalu, Aida membiarkan Fathan turun duluan dari angkot. Saat Fathan sudah turun, Fathan membayar angkot yang dia tumpangi.

Fathan masih mematung untuk menunggu Aida keluar. Yang ditunggu itu ternyata malah meninggalkan Fathan. Fathan yang merasa sedang diuji hanya bisa tersenyum. Tak semudah yang Fathan bayangkan. Aida sangat cuek padanya.

"Susah juga ya deketin elu, Hahaha." Fathan berucap pelan disertai tawanya sambil menatap punggung Aida yang mulai menjauh.

Bel beberapa menit lagi akan berbunyi. Saat melewati lorong kelasnya, semua wanita menatap Fathan kagum. Wanita-wanita disitu seakan memuji Fathan akan ketampanannya lewat pandangan mata. Fathan yang ditatap seperti itu menghiraukannya tak peduli.

Setelah melihat Ferdi di depan kelas '12 Ipa 4', Fathan hendak mengurungkan niat untuk masuk kelasnya. Dia merasa lebih baik bila berada dekat Ferdi, sahabat sejak SMP nya itu.

"Eh Fer, kantin yok" ucapan Fathan membuyarkan lamunan Ferdi. "Eh Fath, udah kaya setan aja lu." Ferdi berucap dengan sinisnya. Sedangkan Fathan terbahak.

"Hahahaa" Fathan tak menggubris ucapan Ferdi, dia malah menaikan volume tawanya. Dia tertawa di Telinga Ferdi tanpa merasa bersalah sedikitpun. Amarah Ferdi sudah menggebu-gebu nampaknya.

"Woy Fath, elu sarap apa gila si? ini kuping bisa conge gara-gara tawa lu yang nyaringnya kaga ketulungan. Kalo gua udah conge, elu mau bayarin ke tempat THT emangnya?" amarah Ferdi Mulai terluapkan saat itu juga.

"Berapa si, berapa ke THT? Gua bayarin." sahut Fathan seakan meremehkan Ferdi.

"Ah, tau ah, capek gua ngomong sama orang sarap. Kayanya tempat elu bukan disini dah Fath," ucapan Ferdi seakan membuat Fathan bingung.

Fathan yang mendengar itu hanya bisa mengerutkan keningnya. "Maksud lu?"

"Ya elu cocoknya di RSJ, pea. Bukan disini" balas Ferdi sinis.

"Udah ah capek debatnya. Cabut ayo ah elah," Fathan berucap dengan nada memohon pada Ferdi.

Ferdi yang mendengar itu hendak menimang-nimang ucapan Fathan.

"Bagus juga kayanya, guru gua killer sih kalo jam pertama."--gumam Ferdi dalam hati lalu tersenyum kegirangan.

"Ayo dah" Ucap Ferdi disertai anggukan pertanda menyetujui ucapan Fathan.

Mereka berdua sudah terduduk di bangku dekat pohon mangga. Fathan hendak memesan minuman pada penjualnya. Kerongkongannya sudah kering kerontang karena kebanyakan ngoceh gajelas, gak manfaat, dan yang terakhir, gak ada gunanya sedikitpun dengan Ferdi.

"Mbak, es lemon dua ya" ucapan Fathan diangguki oleh--Mbak Sumi--Pemilik warung es yang sudah berjualan sejak 6 tahun yang lalu.

"Nih mas, esnya" ucap Mbak Sumi sambil menyodorkan dua gelas es lemon itu dengan nampan kayunya.

"Makasih ya Mbak, nih uangnya" sahut Fathan sambil memberikan dua lembar uang lima ribuan pada wanita dihadapannya itu.

"Thanks bro." Ucapan terimakasih untuk Fathan terlontar dari mulut Ferdi karena sudah mentraktirnya. Fathan hanya menjawab dengan acungan jempol sambil menunjukan deretan giginya yang rapih.

"Eh Fer, gua mau nanya deh ama elu" Fathan berucap. Sedangkan Ferdi menunjukan raut penasaraannya sambil menyesap es lemon dihadapannya itu.

"Nanya apaan?" Ferdi seakan bingung dengan Pertanyaan yang Fathan ajukan, Fathan selalu saja membuatnya penasaran.

"Gua denger-denger elu sering banget ya Fer, gangguin anak kelas." Fathan hanya menggelengkan kepalanya sambil mengeluarkan cengiran khasnya. Ia mulai mengaduk-aduk es lemonnya dengan sedotan lalu meneguknya hingga tersisa setengah.

"Emang lu tau? tau darimana?" Sahut Ferdi sambil menatap Bola mata milik Fathan.

"Semalem temen gua ngasih tau. Dia dateng kerumah mau maen. Eh terus gua nanya deh kelakuan elu kalo disekolah"

"Kelakuan gua yang mana? sebutin contohnya coba." ucapan Ferdi dibuat seakan-akan ingin tahu untuk ke percakapan selanjutnya.

"Kata temen gua itu, elu tuh suka nyopetin pulpen Qiya tiap hari. terus elu cemplungin ke dalem wc kamar mandi. Sampe tuh anak kejer kaga mau sekolah besoknya." Fathan melirik Ferdi sekilas.

"Terus lu tau apa lagi?" Ferdi seakan menikmati pembicaraan itu.

"Lu suka nukerin tali sepatu temen-temen lu kalo lagi di lab. Terus tali sepatunya elu sangkutin di pohon kelapa yang ada di luar gerbang."

"Terus?"

"Yang buat gua heran sama elu, Elu pernah naro bubuk cabe banyak banget di kue ulang tahun putri, tanpa sepengetahuan temen-temen sekelas lu. Sampe temen-temen lu yang dikelas mencret-mencret bolak-balik toilet," Fathan menjeda ucapannya sejenak.

"malahan saking nunggu lama dikelas gara-gara toilet penuh, ampe ada yang mencret didalem kelas. Fer, ganyangka gua. Mentang-mentang gua tinggal beberapa tahun doang ke Italia,

Kelakuan elu bisa seganas itu kalo didalem kelas?" lanjut Fathan lagi.

"Gua ga ganas kaya singa kok. Lagian,  si Putri kaga ngasih gua contekan, gua kesel kan. Gua kaga ngerjain pr kimia, waktunya udah mepet banget, lah Bu Terry terus marah. Gua disuruh piket toilet sampe bersih, mana bau banget. Bayangin aja, lima mata pelajaran kelewat gara-gara disuruh bersihin semua toilet. Coba aja elu diposisi gua Fath."

"Nah, pas jam terakhir ada pelajaran Seni Budaya, tapi sayang, gak ada guru. Si Putri ternyata dirayain ulang tahunnya ama anak sekelas. Gua sebagai temennya ya harus menghargai. dalem hati, gua akan memberikan kado istimewa dihari ulang tahunnya itu."

"Dengan otak yang cemerlang bin jenius, gua beli bubuk cabe ke tukang otak-otak di kantin belakang, yang pedesnya bukan maen. Nah gua taro tuh di kuenya, tanpa sepengetahuan temen sekelas gua."

"Gua abisin bubuknya semua, sampe gak kesisa sedikitpun. Mantep, mantep dah. Kue aroma bubuk cabe-cabean. Hahaha" ujar Ferdi sambil mengingat moment mencret teman-teman sekelasnya lalu diabadikan dalam akun i*******m miliknya, ditambah dengan caption yang super duper unik. "Hari ulang tahun yang sangat awkward. thanks for today, friend. kurang pedes gak? Besok ditambah lagi deh kalo mau."

"Serius lu?! Terus pas naburin tuh bubuk bisa ga ketauan gimana?" tanya Fathan pada Ferdi dengan raut wajah yang tak percaya. Fathan Kaget bukan main sepertinya, apalagi saat mendengar penjelasan sahabatnya itu.

"Gua bilang aja, WOY LARI!! BANYAK KECOA TERBANG!! Disitu posisinya kecoa lagi gua terbangin satu plastik, ya total sepuluh ekor. Gua udah nangkep dari malem. buat bercandaan pas gua dikelas. Eh akhirnya berguna juga. Ya, walaupun udah ada beberapa yang mati, Seenggaknya bermanfaat dah."

"Pas gua terbangin tuh kecoa, Seketika satu kelas teriak histeris ngeliat kecoa. Kaga cowok kaga cewek, semuanya kabur. Terus pas mereka kabur gua taroin deh tuh bubuk di kuenya Putri. Selesai gua taburin, gua cuman bisa keluar ruangan kelas sambil cari udara segar. Abisan perut gua jadi sakit gara-gara tawa mulu ngeliat muka anak kelas sampe kelabakan gitu."

"Terus, pas kuenya dibagi-bagi, gua dikasih kuenya, cuman gua tolak. Ya gua takut lah kalo ikutan mencret."

"Good, iam proud of you Fer!" Fathan kagum pada sahabatnya itu, seakan-akan, dia sangat mendukung apa yang diucapkan Ferdi. Entahlah otak mereka berdua sepertinya sudah mulai korslet. Sahabat berbuat jahat seperti itu malah didukung, dasar sinting.

"Of course, sahabat siapa dulu nih?" tanya Ferdi sambil melirik Fathan.

"My BestFriend and My enemy forever Fathan" balas Fathan pada Ferdi dengan sikap antusiasnya itu.

*****

"Fathan!!!" Seru Aida berlari-lari kecil sambil tergesa melihat Fathan yang sedang duduk dikantin. Yang dipanggil tersentak kaget. Apa? apa Fathan tidak salah dengar? Aida memanggilnya seperti orang khawatir?! Dunia seakan terbalik saat ini juga.

"Ada apa, Da? duduk dulu disini." ucap Fathan tenang sambil menepuk bangku yang ia tempati itu.

"Aku cuman nyampein, kalo papah kamu kecelakaan. Tadi abang kamu ke kelas, terus ngasih tau ke aku. Kamu izin gih. Papah kamu kritis banget. Oiya hampir lupa, rumah sakitnya Hasanah Center, gajauh kok dari sini." ucapan Aida bagaikan badai buruk yang hendak menghempaskan diri Fathan saat itu juga.

Mata kosong milik Fathan menerawang jauh sosok Daddy nya itu. Daddy yang dulu sangat sayang padanya, sangat peduli terhadapnya, selalu ada untuknya, tetapi sekarang berbanding terbalik hingga 180°. Walaupun waktu mengubah sayang Daddy Anto pada Fathan, perhatiannya juga mulai berkurang, dan hal kecil lainnnya. Fathan tetap sayang padanya.

"Lu anterin gua ya. Please ..." Fathan memohon, dan berharap agar Aida mau.

"Maaf, gak bisa" Aida berlari ke kelasnya lagi tanpa memperdulikan Fathan.

Aida bergegas memasuki kelasnya.

Dari belakang, dia hanya melihat sesorang yang mengikutinya dengan berlari kecil.

Aida sudah menutup pintu kelasnya.

Beberapa menit kemudian,

Bunyi dobrakan terdengar dari balik pintu.

"Brak"

"Fathan, kemana jam pertama tadi kamu?" tanya bapak berkumis tebal sambil memperhatikan Fathan dari ujung rambut hingga kaki. Ternyata Fathan tidak menggunakan tas sama sekali.

"Nih anak mau sekolah apa mau main sih? sekolah saja tidak membawa tas"--gumam bapak Haryono--guru Bahasa inggris--dalam hati.

"Dikantin, maaf pak." Ucap Fathan jujur. Matanya melirik pak Haryono sekilas, tatapan mautnya membuat Fathan bergidik ngeri. Fathan memalingkan wajahnya ke sembarang arah.

Pelajaran bahasa inggris sedikit lagi selesai, pelajaran ini akan digantikan oleh pelajaran lain.

Fathan dihukum untuk berlari hingga jam pelajaran inggris habis. Fathan yang mendegarnya hanya bisa mengangguk pasrah.

Wanita yang sejak tadi termenung di pojok tak sedikitpun memperhatikan pelajaran Pak Haryono. Ia masih bergelut dengan pemikirannya itu.

"Fathan, ku kira engkau sosok yang cuek terhadap wanita."

"Pertemuan kita saat diriku hendak jatuh ke lubang jalan."

"Seperti mengatakan kalau kau tipe yang cuek dan berbeda."

"Tetapi aku salah menilaimu."

"Kau tidak bisa menjaga pandanganmu."

"Bahkan, kau selalu memperhatikanku."

"Kau membuatku risih."

"Aku tidak suka lelaki manapun menatapku sedemikian rupa."

"Aku akan semakin menjauh bila kau terus seperti ini."

"Bisakah, kau menghilangkan sifatmu yang buruk itu?"

"Fathan, mengapa kau begitu?"--Gumam Aida Dalam lubuk hatinya yang terdalam.

------------------------------------------------------

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status