Share

Awal Pertemuan kita?

"Awassss ada lubang, please be careful!!" seru lelaki yang berada didekat pohon seakan menunggu sesuatu. Lelaki itu berteriak, teriakannya sangat nyaring terdengar oleh indra pendengaran Aida.

Aida yang mendengar teriakkan itu tersontak kaget dan memperhatikan objek yang dikatakan sebagai--lubang, oleh lelaki tadi.

"Inna lillahi wa inna ilayhi raji'un," ucapan Aida terlontar begitu saja saat kakinya hampir masuk kedalam lubang gorong-gorong yang tepat berada didepannya itu. Lubang yang disebabkan oleh aspal yang mulai tak bisa menahan apa yang dipikulnya. Lalu, menyebabkan lubang itu muncul ditengah jalan.

Aida mengucapkan 'Inna lillahi wa inna ilayhi raji'un, Karena itu merupakan sebuah musibah yang menimpanya. Ya, walaupun dia tidak terpelosok kedalamnya, tetapi itu tetap dianggap musibah olehnya.

"Makanya, kalau jalan itu perhatiin sekitarnya, jangan ngelamun." ucap lelaki itu lagi sambil mengetik sesuatu di layar smartphone nya tanpa melirik Aida sedikitpun.

Selang Beberapa menit lelaki itu mulai mendongak sekadar melihat wajah Aida seperti apa. Ia menarik sebuah senyuman kecil yang nyaris tak tampak seperti sebuah senyuman.

Aida yang mendengar ucapan lelaki itu hanya bisa mengatakan Terimakasih.

"Thank you for reminding me." Aida menjawabnya sangat datar. Seakan-akan tidak terjadi apapun pada dirinya.

Aida masih bergelayut dengan lamunanya tadi. Ia masih memikirkan ucapan Abinya akan 'Perjodohan dengan lelaki sholeh.' setiap mendengar perkataan itu, dirinya selalu beku. Detak jantungnya berhenti sejenak. Aida merasakan kalau dirinya itu tak bisa untuk dijodohkan.

Pernikahan itu tidak main-main. Tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan, karena ini menyangkut hal yang serius untuk kedepannya nanti.

Perjodohan? seperti zaman Siti Nurbaya saja.

Yasudahlah, apa boleh buat. Ini keinginan orang tuanya, tak mungkin Aida membantahnya. Aida masih berada pada tanggung-jawab mereka. Aida tak mungkin mau menjadi anak durhaka. Mungkin ini yang terbaik. Semua yang direncanakan Allah itu tidak akan sia-sia. Aida yakin itu.

Saat sudah tersadar dari lamunannya itu, Aida memberhentikan angkot yang tepat berada didepan matanya, untuk bergegas ke sekolahannya saat ini juga.

"Bang, berhenti." Aida berucap tanpa memperhatikan sosok dibelakangnya. Aida mulai memasuki angkot dan duduk di posisi kanan. Angkot yang Aida tumpangi ini, hanya terdapat dua orang anak kecil seusia anak SD.

Dua anak itu memakai pakaian panjang yang nampak lusuh, disertai kerudung putih polos yang menutupi dadanya. Disampingnya, ada sebuah baskom kecil berisi lontong sayur yang sudah dibungkus oleh plastik.

Saat itu juga, lelaki tadi masuk kedalam angkot dan menduduki posisi sebelah kiri.

Lelaki itu duduk bersampingan dengan dua orang anak kecil.

Lelaki itu tersenyum ramah pada dua anak kecil disampingnya. Lalu, dua anak kecil itupun tersenyum balik padanya.

Hening.

Tidak ada yang bicara sedikitpun di dalam angkot ini.

Detik berubah menjadi menit.

Akhirnya, salah seorang anak perempuan yang terduduk itu nyeletuk dan memulai pembicaraan.

"Kakak, itu pacarnya ya? cakep banget sih. Ada cahaya sholehahnya gitu, kakak juga ganteng. Semoga nanti kalian bisa sampai nikah ya!" perempuan kecil itu tersenyum bahagia saat melontarkan unek-uneknya yang tersemat dalam hati.

Sejak melihat kedatangan lelaki dan perempuan bersamaan selang beberapa detik ke dalam angkot, dia menyimpulkan, kalau--perempuan dan lelaki dihadapannya--berpacaran.

Jderrr!!!

Seperti bunyi petir yang Aida rasakan saat ini, tetapi tidak dengan lelaki itu. Lelaki yang masih bisa tersenyum, saat mendengar ucapan yang terlontar begitu saja dari mulut perempuan kecil yang kiranya masih berusia sembilan tahunan.

"Dek, kakak boleh cerita sedikit, nggak?" Aida membenarkan posisi duduknya sambil menepuk bangku kosong disebelahya, seakan-akan mengajak dua anak itu duduk disampingnya.

"Boleh kok, kak." dua anak itu mulai berpindah posisi tempat duduknya, tak lupa membawa baskom yang berisi lontong sayurnya itu. Mereka berdua menampilkan senyum terindahnya dan bersiap untuk mendengarkan cerita Aida saat itu juga.

"Di islam ngga ada dek yang namanya pacaran," ucap Aida sambil merendahkan intonasi suaranya pada mereka berdua.

Mereka berdua mencerna ucapan Aida dengan saksama. Memahami arti dari ucapan yang terlontar dari sosok perempuan muda yang duduk disampingnya itu.

"Oh gitu ya kak, tapi aku lihat sinetron di tv-tv, ceweknya islam pakai kerudung terus dia pacaran," cetus perempuan kecil itu sangat polos. Mungkin, anak perempuan yang bertanya itu tidak paham Bagaimana pandangan Islam tentang pacaran. Sedangkan, Anak perempuan yang satunya hanya diam mendengarkan cerita temannya itu.

"Islam nggak ngajarin itu dek, itu hanya akal-akalan orang kafir yang ingin membuat rakyat Indonesia melanggar perintah Allah. Pacaran itu dilarang dalam Al-Qur'an." Aida menekankan kata 'Pacaran dilarang dalam Al-Qur'an' agar mereka paham akan arti pacaran yang sebenarnya tidak ada dalam agama islam ini.

"Uhm ... gitu ya kak," balas anak itu sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya ke pipi kanannya. Seakan-akan menangkap apa yang di dengarnya barusan.

"Tetapi, kalau sudah tertulis di al-qur'an sejak beribu-ribu tahun yang lalu, kenapa manusia masih melakukannya sih kak?" cetus temannya yang sejak tadi hanya diam.

"Karena manusia sekarang itu,

Sami'na Wa Ashoyna (Kami dengar dan kami tetap bermaksiat)" Aida menjawab sambil mengulum senyumnya, karena ia sungguh prihatin terhadap akhlak remaja jaman sekarang.

"Kak, kata guru agamaku disekolah, umat muslim itu sebenernya kalau dengar hal itu harus Sami'na Wa Atho'na (Aku dengar dan aku taat) bukannya terbalik. Apalagi itu perintah Allah dari al-qur'an, kan? ya wajib dong ditaati, iya nggak kak?" tanya nya seakan penasaran dengan jawaban Aida.

"Benar dek. Oiya, kakak punya contoh nih, semoga kamu paham ya. Ada penceramah saat kajian islami sekitar seminggu yang lalu. Tepatnya, di masjid istiqlal. Kakak masih inget kalo dia bilang gini," Aida

menghirup udara sebanyak-banyaknya untuk melanjutkan ucapannya lagi.

"Sesungguhnya orang yang berpacaran itu memiliki 3 sebutan,"

"Yang pertama, mereka termasuk orang-orang yang lebih hina dari pada binatang. Kenapa begitu? bayangkan, ketika seekor kucing jantan ingin mengawini/menyentuh seekor kucing betina. Pasti si kucing betina akan berlari menjauh dari si kucing jantan. Sedangkan manusia? terutama wanita, ketika mereka didekati oleh laki-laki bukannya berlari menjauh, mereka malah semakin mendekat,"

"Yang kedua, orang yang berpacaran itu adalah orang-orang yang lebih hina dari seorang pelacur (wanita malam). Bayangkan, seorang wanita malam saja jika ada laki-laki yang ingin menyentuhnya pasti mereka harus bayar terlebih dahulu! Sedangkan wanita-wanita yang bukan seperti wanita malam itu, memberikan tubuhnya secara gratis kepada laki-laki untuk disentuh. Naudzubillah ...,"

"Ketiga, mereka termasuk orang-orang yang sombong terhadap Allah Swt. Bayangkan, ketika mereka sedang asik berpacaran kemudian tiba-tiba mereka melihat orang tuanya yang memergoki mereka sedang asik berpegangan tangan, mereka pasti langsung melepaskan semua itu, dengan alasan 'TAKUT DIMARAHI.' padahal, tanpa mereka sadari, sebelum itu Allah sudah lebih dulu memergoki mereka, tapi mereka tidak takut sama sekali dengan amarah Allah,"

DEG

Lelaki yang duduk di bangku penumpang merasa tertampar saat mendengar penjelasan perempuan dihadapannya itu. Lelaki itu menyadari, kalau dia pernah berpacaran setahun yang lalu dan masih mengingat jelas wajah mantannya yang sangat dia sayangi itu.

"Naudzubillah, kak. sekarang aku paham tentang pacaran menurut pandangan islam."

"Iya dek, sama-sama. Oiya, kakak mau tanya, kalian berdua jualan lontong sayur? Kakak beli dong. Satunya berapa?" Aida mulai memperhatikan dagangan yang dijajakan oleh dua anak perempuan itu.

Setelah Aida sibuk memperhatikan lontong sayur yang dijual itu, Aida memperhatikan wajah penjualnya, penjual kecil dengan wajah yang sangat mungil. Ternyata, mereka berdua kembar. Matanya sama, hidungnya sama, bedanya yang satu ada tahi lalat di sudut kanan matanya, sedangkan yang satu tidak.

"Buat kakak mah gratis deh ..." seru mereka berdua dengan kompak. Tak lupa, senyum manis yang menghiasi wajah mungilnya.

Anak itu memberikan satu plastik lontong sayurnya pada Aida, tak lupa satu plastik pada lelaki disebrangnya. Entahlah, apa maksud mereka berdua itu.

Kata anak itu gratis? Aida mana mau bila tak membayarnya.

Anak kecil yang Aida lihat sangat hebat. Masih kecil sudah berjualan dengan sangat semangat, entah faktor ekonomi ataupun apa, Aida pun tak tahu.

"Dek, ini uangnya. Anggap saja sebagai ucapan terimakasih" Aida memberikan uang lima puluh ribuan pada anak itu. Tak lupa senyuman hangat yang sejak tadi sudah menghiasi wajah cantiknya.

"Terimakasih untuk apa, kak? aku mau menerima uang berkat kerja kerasku sendiri. Lagipula, kami ikhlas kok," ujar anak itu sambil menolak secara halus.

Temannya mulai membuka suara hendak menyahuti.

"I-iyaa kak, kami tidak mau menerima uang kalau bukan dari hasil kerja keras kami." sahut perempuan yang satunya santun.

Jiwa malaikat yang sudah tertanam sejak kecil membuat hati Aida mencair, Allah menciptakan jiwa yang mulia untuk dua anak dihadapannya. Betapa bersyukurnya kedua orang tua mereka memiliki anak seperti ini.

"Syutt, gapapa terima aja. Lagipula, kamu sudah kerja keras kok menurut kakak. Jadi apa salahnya? rezeki gak baik di tolak sayang. Terima ya ... kakak bukan mengasihani kalian. Tapi, kakak menghargai perjuangan kalian," balas Aida sambil membuka pelukannya agar anak itu masuk kedalam dekapannya.

Anak itu memeluk Aida dengan rasa sayang. Walaupun baru bertemu beberapa menit saja, seperti sudah akrab sejak lama.

Kehangatan menjalar dari tubuh dua anak itu.

Dua anak itu mengecup pipi kanan serta mengecup pipi kiri Aida secara bergantian.

"Aduh Kakak sayang kalian karena Allah deh," Aida tertawa kecil. Lalu, disahuti mereka berdua dengan anggukan. "Kita juga sayang kakak karena Allah" balasnya lembut.

Bola mata Aida dan dua anak itu bertemu, merasakan tidak ada secuil kebohongan dari manik matanya itu. Jujur, anak itu mengatakan apa adanya.

Aida memberhentikan tukang angkot yang dia naiki. "Bang, kiri." Lalu, Aida mengucap salam untuk berpamitan pada dua anak kecil yang ia temui didalam angkot.

Setelah itu, Aida turun untuk membayar angkot sesuai tarif.

Dua Anak itu berkata, "Kakak, semoga laki-laki yang duduk dekat kita tadi jadi jodoh kakak ya!" ucapnya dengan teriak. Aida hanya memberikan senyum pada mereka. Karena Aida tak tahu harus berucap apa. Aida melambaikan tangannya seakan berkata--dadah, sampai bertemu lain kali ya.

Saat diperjalanan, lelaki itu mulai membuka tas punggung yang dia bawa itu. Ia hendak mencari-cari sesuatu didalamnya. Saat menemukan yang dicari, lelaki itu mulai memberikan tiga buah gantungan kecil yang tertulis Allah dalam bahasa arab pada dua anak kecil dihadapannya.

Gantungan itu dibeli ketika berada di italia, sekedar oleh-oleh sederhana untuk orang terdekatnya. Anak yang diberikan gantungan itu seakan tidak percaya, gantungan itu seperti permata. Indah, berkilau!

"Untuk kita berdua kak?" tanya dua perempuan kecil itu dengan sangat kompak. Mereka menampakkan raut wajah yang berbinar, tak percaya.

"Gantungannya kan ada tiga, yang satu untuk kakak perempuan tadi. kalau kalian bertemu lagi dengannya, berikan ya. Kakak percaya pada kalian" kata lelaki itu pada dua perempuan kecil dihadapannya dengan hangat.

"Wah kakak jangan-jangan ehm-ehm ... Kalau nanti kita bertemu lagi dengan kakak itu, kita berikan kok, tenang aja. Makasih banyak ya, kak. Oh iya kak, Kakak jangan-jangan habis berkelana dari negara italia ya?" tanya Anak itu dengan raut penasaranya.

"Kok kalian tau sih?" lelaki itu menatap keduanya dengan tatapan menyelidik.

"Iya, jadi kan ada teman sekelas kami, namanya Hana, papahnya tinggal disitu. Papahnya memberikan gantungan seperti ini padanya. Katanya, gantungan seperti ini langka. Hanya ada di pusat-pusat tertentu yang berada di italia saja kak. Sama percis kok gantungan yang Hana tunjukkan ke kita, seperti gantungan yang kakak kasih ini,"

"Wah bisa kebetulan gitu ya? Kamu emang pengen banget gantungan ini sebelumnya?" tanya lelaki itu.

"Iya kak, sampe setiap malam kita berdoa, sholawat agar bisa kesana suatu saat, biar bisa membelinya langsung ke negara italia." balas Anak itu sambil memikirkan mimpinya yang belum sempat terwujud.

Tapi, sekarang Allah mengabulkan permintaannya. Ya walaupun baru mendapatkan gantungannya saja, tapi dia yakin kalau suatu saat dia dan saudaranya bisa kesana sekedar melihat indahnya ciptaan Allah yang keren.

"Betul apa kata Aisyah Kak,"

"Amazing!!! Keren ya, doa kalian bisa terkabul." lelaki itu tertegun mendengar cerita anak kecil dihadapannya.

"Ya itu sebenarnya berkat kekuasaan Allah kak." anak itu masih menampakkan senyum manisnya.

Lelaki itu juga menjawabnya dengan sebuah senyuman. Anak itu memberinya sebuah pelajaran hari ini, termasuk pula perempuan tadi. Lelaki itu memberhentikan lamunannya sebentar. Dia ingin menanyakan nama anak itu, yang belum dia ketahui sejak pertemuannya tadi.

"Oh, iya nama kamu siapa?" lelaki itu mulai menanyakan dengan senyum pepsodentnya.

"Aku Aisyah kak," kata Aisyah sambil membenarkan baju yang ia kenakan

"Kalau kamu?" lelaki itu bertanya pada Anak yang satunya.

"E-eh. Fa ... Fatimah kak" Fatimah sedikit tersentak karena dirinya kaget akan pertanyaan kakak yang berada dihadapannya saat ini.

"Wah, namanya bagus-bagus sekali ya. Siapa yang memberi nama seperti itu?" lelaki itu melanjutkan pertanyannya lagi sambil menatap keduanya.

"Hmm makasih ya kak. Ibu kita yang memberikan nama itu." ucapan Fatimah disusul oleh anggukan Aisyah.

"Oh Ibu kamu." Lelaki itu manggut-manggut mengerti.

"Kakak suruh kita ngenalin diri, tapi kakak belum. Nama kakak siapa?" tanya Aisyah ingin tahu.

"Fathan Rasyid." Fathan tersenyum kikuk, karena belum sempat memperkenalkan dirinya sejak tadi.

"Namanya keren, seperti orangnya. Oh iya kak, kami ingin menjajakan lontong sayur ini. maaf ya kak, dikit lagi kami turun di situ," Fatimah menunjuk tempat yang ramai akan orang berlalu lalang.

"Hati-Hati ya," Fathan melambaikan tangan kanannya. Mereka berdua mengangguk dan membalas lambaian Fathan.

Seakan berkata--dadah kak Fathan, semoga kakak selamat sampai tujuan.

*****

Tap..tap..tap

Aida tersenyum hangat pada seorang satpam yang sedang berjaga-jaga. Lalu, satpam itu membalas senyuman Aida tak kalah hangat. Senyum satpam itu seakan mengatakan--selamat datang, neng.

Walaupun ini hari libur, sekolahan Aida tetap dibuka.

Aida menapaki sekolahnya sambil melirik kanan-kiri. Ia melihat lapangan besar tempat bermain bola basket, bola sepak, atau olahraga semacamnya. Aida melirik sekilas penunjuk waktu di lengan kirinya, ternyata sekarang sudah pukul sembilan pagi.Tetapi, udara di sini tak menunjukkan kalau sekarang pukul sembilan. Masih sejuk. Sekolah Aida terbebas dari banyak polusi, karena pohon di sekolahnya sangat banyak dan menyebabkan polusi kotor bisa diatasi.

Daun yang berada dipohon melambai kesana-kemari. Burung yang ada di sekolahan pun masih hendak berkicau bersenandung ria. Aida tak lupa banyak mengucap syukur pada Tuhan semestasnya karena masih bisa merasakan bernafas, menikmati indahnya dunia pagi.

Aida mulai berlari-lari kecil. Dia mulai mengarahkan langkah kakinya lurus kedepan hingga kakinya terhenti didepan masjid at-taqwa.

Masjid yang mempunyai kubah dengan warna gold pekat dan tembok masjid ini berwarna coklat susu. Tiang-tiang nya yang kokoh seakan membuat masjid ini sangat indah dipandang. Mempunyai empat lantai. Lantai satu sampai dua untuk salat ikhwan, sedangkan lantai tiga untuk salat akhwat. Satu lantai tersisa hendak dibuat tempat khusus tadarus Al-Qur'an. Tetapi ingat, tidak boleh ikhwan memasuki lantai yang ini. Karena lantai yang tersisa ini hanya untuk tempat bertadarus akhwat. Ikhwan cukup bertadarus di lantai satu maupun dua.

"Zalfaaa," teriak Aida lantang yang nyaris membuat telinga Zalfa berdengung.

"Cempreng banget, si. Gak teriak-teriak berapa, Da?" Zalfa menjawabnya dengan mengarahkan pandangannya yang sangat tajam, pada sosok sahabatnya itu.

Tetapi, sebisa mungkin, Zalfa tidak menjawab dengan nada membentak.

"Astaghfirullahal'adzim. Maaf, aku ga maksud." Aida berucap sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal sedikitpun.

Zalfa membuka suaranya dengan mengajukan sebuah pertanyaan pada Aida. Mencoba untuk serius, agar Aida pun menjawab dengan serius.

"Da, kamu tahu Rasyid kan?" Zalfa masih Fokus dengan tatapannya kearah manik hitam Aida.

"Hmm ... iya, memangnya ada apa dengan dia?" Aida menjawabnya sambil menunjukkan ekspresi penasaran untuk pembicaraan mereka selanjutnya.

"Rasyid ingin dijodohkan oleh kedua orang tuanya, Da. A-aku gak sanggup." Zalfa hendak Mengeluarkan Air matanya saat itu juga.

"Lebih baik ditinggal Rasyid karena perjodohannya, atau ditinggal Allah yang sangat sayang padamu?"

SKAK.

"G-gak dua-duanya lah." Zalfa berucap pelan, tetapi ucapan sahabatnya itu masih Aida tangkap dengan jelas.

"Semua yang Allah hadirkan di hidup kita ada hikhmahnya, coba berbaik sangka dulu sama Allah." Aida menasehatinya dengan lembut sambil mengusap punggung Zalfa agar dia tenang.

Karena, Aida yakin sahabatnya ini sedang terpuruk. Karena lelaki yang dicintainya ingin dijodohkan.

Saat disamping Aida, Zalfa melamun terus akan sosok Rasyid. Aida menerawang sosok Rasyid, sosok yang dia kenali. Rasyid itu sosok Hafidz 30 Juz. Mempunyai wajah tampan, Ramah terhadap sesama, kecuali pada kaum wanita, dia sangat cuek. Mungkin itu alasan Zalfa masih tidak bisa melepaskan sosok Rasyid dalam ingatannya.

Aida memberhentikan ingatanmya sejenak tentang sosok Rasyid. Dan mulai membuka percakapan dengan sahabatnya.

"Zalfa, kamu sudah makan?" Aida membuyarkan lamunan Zalfa saat itu juga. Zalfa yang masih menatap lurus kedepan enggan untuk menengok sedikitpun ke arah Aida.

"Zal, sadar!" seru Aida.

"Kamu masih Punya Allah. Gak baik kalau kamu kaya gini." Aida menasehati Zalfa agar menghilangkan sosok Rasyid secara perlahan-lahan.

"Maaf ya, Da. Aku paham. Apa kamu nanyain aku sudah makan?" Zalfa dengan tatapan kosongnya melirik Aida yang sudah membuka plastik lontong sayurnya dengan hati-hati. Aida mulai menuangnya kedalam kotak bekal yang dibawanya dari rumah tadi.

"Nih, Aku yakin. pasti kamu belum sarapan, kan? True or not?" Aida berucap dengan tawa kecilnya sambil mengusap khimar Zalfa agar dia tenang.

"Hehehehe bener kamu Da. Aku belum makan," balas Zalfa disertai tawa kikuknya

"Nih sendoknya Fa." Aida menyerahkan sendok yang dia bawa tadi. Aida membawa sendok dua, karena, Ia yakin Zalfa belum sarapan. Ternyata benar dugaan Aida. Sahabatnya memang belum makan.

Selesai makan, mereka berdua melaksanakan salat Duhanya dimasjid.

Menurut Zalfa, Aida sosok yang sangat tenang dalam mengeluarkan pendapat maupun memberi nasehat pada orang lain. Penyampaiannya yang mudah di pahami membuat orang-orang banyak menyukai sikapnya itu.

"Terimakasih Ya Allah ... telah mempertemukan kami berdua."

--gumam Zalfa di dalam hati.

-----------------------------------------------------------

Please be careful : Tolong berhati-hatilah

Thank you for reminding me : Terima kasih sudah mengingatkan aku.

Amazing : Mengagumkan.

-----------------------------------------------------------

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status