Share

Tiga

Flashback on

Naisha's POV (Point of View)

Pagi ini terasa berbeda. Ya, setelah kemarin ada pertengkaran kecil dengan Akira. Aku menjadi serba salah, sekarang saja aku sedang mencuci piring dan Akira sedang membereskan meja makan, kita berdua sama-sama terdiam saja, tanpa bertegur sapa. Di sisi lain dia adikku, di sisi lain aku kadang kesal dengan sikapnya yang seperti itu. Tapi aku tahu Akira bukanlah tipe pedendam, dia tidak begitu, dan bagaimana pun juga dia adalah adikku satu-satunya yang selalu ada untukku dan sifatnya yang humble membuatku bangga memiliki adik seperti Akira. Sebagai kakak sudah seharusnya aku bisa memberikan contoh yang baik untuknya, baiklah, kurangi ego-mu, Nay. Aku berencana akan mengajak dia keluar jalan-jalan.

"Ra, tolong siapkan air minum untuk Papa."

"Iya, Kak." Akira langsung gerak cepat melakukan apa yang kuperintahkan. Dan kupikir dia baik-baik saja. Ternyata hanya perasaanku saja yang 'berbeda', sikap Akira memang biasa saja.

Kulihat handphone-ku dan tak ada notifikasi sama sekali dari Zaidan. Kemana dia, biasanya habis sarapan dia langsung chat dan pamitan berangkat kerja. Huft, pria ini memang sulit ditebak dia sedang apa saat ini.

"Papa berangkat sekarang." Itu suara Papa dari ruangan depan, jam 6.45 sudah menjadi kebiasaannya berangkat ke sekolah dan dijemput Kak Riza. Aku berlari ke depan dan mencium tangan Papa, begitupun Akira.

"Hati-hati di rumah. Assalamu'alaikum."

"Yes, Sirw*'alaikumsalaam." Jawab kami berdua serentak, diiringi tawa.

"Hati-hati, Kak Riza." Kami berdua melambaikan tangan dan perlahan mobil putih Kak Riza semakin pergi menjauh.

"Ra, nanti siang jam 9-an kita jalan-jalan keluar, yuk, nyari baju buat kamu wisuda nanti."

"Hm. Baju yang kemarin habis acara wisuda Kakak-pun masih ada kan?" Tak kusangka Akira malah menanyakan baju yang kemarin waktu aku wisuda S2.

"Ra, itu kan waktu wisuda Kakak, sekarang kamu yang wisuda."

"Sama aja, ah. Sayang uangnya. Mending buat keperluan lain. Aku ke dalam dulu." Akira melenggang masuk ke rumah.

Huft, dia memang bukan orang yang antusias pada hal semacam ini, padahal kan tiap perempuan biasanya senang sekali kalau sudah diajak shopping. Ah, yasudahlah. Nanti saja pas mau berangkat aku paksa dia buat ikut.

Matahari mulai keluar malu-malu dengan menyemburkan cahaya hangat di pagi hari. Aku duduk di ayunan kursi depan rumah sambil menikmati cahaya pagi. Sekali lagi, kulihat handphone dan Zaid masih belum ada kabar. Aku iseng saja membuka galeri HP dan kulihat foto-fotoku bersama Zaid. Hm, dia memang pria yang tampan. Zaid has a nice-looking beard. I love it.

Tiap aku ingat Zaid, aku pun selalu ingat dengan apa yang Papa nasihatkan pada anak-anaknya, Papa bilang jangan pernah berpacaran, dan aku justru malah melakukannya. Aku berkali-kali meminta Zaid untuk segera datang ke rumah dan meminangku, tapi alasannya tetap sama dia ingin istikharah dan sampai sekarang belum ada jawabannya, lebih tepatnya belum merasa ada jawabannya. Padahal, menurutku kalau Zaid mau sedikit berusaha dan yakin serta benar-benar mencintaiku dia pasti berani datang dan bilang pada Papa, dan mungkin Allah akan menjawab istikharah-nya.

Perempuan seusiaku sudah banyak yang menikah bahkan memiliki anak, sedangkan aku masih saja terjebak dalam pacaran. Aku tahu ini salah, tapi aku mencintai Zaidan. Tidak, hubunganku bukan hubungan pacaran yang 'liar', aku dengannya tetap berkomitmen untuk saling menjaga, tapi tetap saja, aku ingin segera menikah, dengannya tentu saja. Memikirkan hal itu memang tak akan ada ujungnya. Sudahlah, lebih baik aku beres-beres rumah.

āˆž

Semua pekerjaan rumah sudah selesai, aku sudah mandi, dan hari ini aku gak ke kantor hanya untuk bisa mengajak adikku keluar.

"Ra, kamu lagi ngapain?" Aku menghampiri dia yang sedang duduk di jendela, as usual, di kamarnya.

"Kakak gak ke kantor? Yaa... Apa lagi? Baca buku."

"Nggak. Ra, ayolah, ikut Kakak keluar, kita jalan-jalan. Kakak memaksa. Please... Mau ya? Anggap ini permintaan maaf Kakak setelah kemarin 'itu'." Aku memelas dan lebih tepatnya

memaksa Akira untuk mau keluar dan beli baju buat wisuda-nya nanti.

"Ishh... Kakak jangan begitu, aku gak papa kok. Yaudah, Baiklah. Ayo."

"Yeay, you're my bestie." Aku memeluknya dengan girang.

"You're the boss. Hehe. Eh Kak, tapi Papa sebentar lagi pulang." Akira mengingatkanku bahwa Papa memang hanya jadwal pagi saja hari ini.

"Kakak udah minta izin kok."

"Oh... Oke."

Aku dan Akira berangkat dengan sepeda motor kesayanganku.

Flashback off

*

Zaidan's POV

Saat ini aku masih bertanya-tanya dan tak percaya dengan apa yang sudah Ayah lakukan, apa dia sadar telah mengambil keputusan yang besar untuk masa depanku? Aku tak bisa berkonsentrasi di kantor, bahkan sebelumnya tak terpikir untuk menghubungi Naisha. Kulihat HP-ku dan ternyata dia mengirimkan pesan, bahwa dia tidak masuk kerja hari ini, dia sedang keluar bersama adiknya. Tapi tetap kuputuskan aku harus bertemu dengannya. Hari ini juga. Kucoba meneleponnya dan suara panggilan tersambung masih terus berbunyi.

"Hallo. Ada ap.." Akhirnya dia mengangkat teleponku.

"Ada yang ingin aku bicarakan. Apa aku bisa menjemputmu sekarang?'

"Ah gak usah, aku lagi sama adikku, dia kan gak tahu aku punya pacar. Emang ada hal apa?"

"Aku gak bisa ngomong di telepon. Aku ingin langsung. It's not problem, dia kan gak tau aku pacar kamu. I'm on my way right now, share your loc, ok?" Aku tak bisa basa-basi lagi, yang kupikirkan adalah bagaimana caranya hari ini aku bisa bertemu dengannya.

"Huft. Ok, take care."

Notifikasi pesan masuk berbunyi dan dia mengirimkan lokasinya, ternyata dia sedang di mall, cukup dekat dari kantorku. Aku putuskan untuk pergi dan menyuruh Vishal mengawasi kantor selama aku keluar. Dalam keadaan seperti ini pun, aku berusaha untuk tetap tenang.

Kenangan-kenangan bersama Naisha terus saja berkelebat dalam benakku. Terus terang saja, aku sudah lebih dari empat tahun berpacaran dengan Naisha. Meskipun aku sudah kenal dirinya sejak tingkat dua di perkuliahan, saat itu kami mengikuti komunitas yang sama. Berawal dari sana, aku mulai mengaguminya. Cara dia berbicara dan bersikap itu yang kukagumi.

Sebagai anak Teknik Sipil, aku cukup popular di kampusku dulu, maklum lah jurusanku penghuninya memang sedikit. Bukan, bukan karena tidak diminati, tapi karena memang sangat sulit untuk memasukinya, sehingga kami yang lolos di jurusan ini ya terbilang memiliki nilai plus tersendiri, selain memang pembawaan dari masing-masing pribadi, termasuk diriku. Sudahlah itu tentang jurusanku. Lalu apa hubungannya dengan Naisha? Ya, ada hubungannya, yaitu aku cukup pantas mendapatkan perempuan seperti Naisha. Baiklah itu terdengar berlebihan. Tentang Naisha, meskipun aku tak pernah berpacaran dengan perempuan manapun, tapi entahlah saat mengenal Naisha dan kami sering terlibat dalam kegiatan yang sama, aku semakin menyukainya. Perempuan cantik dari jurusan Psikologi, sangat mengagumkan.

Setiap minggu komunitas kami selalu mengadakan rapat internal, tentu saja itulah kesempatanku dapat bersua dengannya. Dia sering sekali mengenakan kerudung merah muda, dan itu membuatnya terlihat sangat cantik, sampai sekarang dia masih menjadi Naisha-ku yang cantik, yang kucintai.

Setelah sekitar lima menit di perjalanan, kumasuki ruangan parkir mall itu, dan kulihat di depanku ada motor Naisha dengan seorang perempuan yang sudah naik di atas motornya, mungkin itu adiknya. Jujur, aku belum pernah bertemu dengan keluarganya. Sama sekali belum pernah, begitu pun Naisha dengan keluargaku. Aku bukan tidak gentle. Tapi ada banyak alasan mengapa kami tidak saling mengenalkan keluarga kami masing-masing, salah satunya adalah karena keluarga kami sangat menentang hubungan yang tidak halal, istilah lainnya pacaran. Berpacaran tidak ada dalam kamus keluarga kami. Itulah salah satu alasannya mengapa selama empat tahun ini kami belum saling mengenalkan keluarga masing-masing, dan saat ini aku sadar, komitmen yang dibangun atas dasar kebohongan memang akan menimbulkan masalah, seperti yang sedang terjadi padaku kali ini, lebih tepatnya pada hubunganku dengan Naisha.

Aku sudah tidak sabar menunggu adiknya pergi, mereka sedang apa? Masihkah mengobrol dalam keadaan seperti ini. Women.

Akhirnya gadis itu sudah pergi dengan sepeda motornya, dan Naisha segera menghampiriku.

"Ayo masuk!" sambil kubukakan pintu mobil dari dalam untuknya. Naisha masuk dan menghela napas sembari berkata, "Hampir saja."

Dan entah kenapa dalam perjalanan aku sama sekali tak ingin berbasa-basi dengannya, atau maksudku untuk sekadar bertanya apa kabarnya, entahlah yang kupikirkan adalah masalah yang akan kami hadapi mulai saat ini.

"Sebentar lagi adzan dzuhur, kita berhenti dulu di masjid, ya." Naisha mengingatkanku dan aku hanya diam sampai aku berpikir untuk menjawab saja. "Iya aku tahu". Aku mencari sebuah masjid, dan kami berdua istirahat sekaligus shalat berjamaah di sana.

Kami selesai menunaikan shalat dan melanjutkan perjalanan ke tempat di mana biasanya kami bertemu.

Aku pesan dua minuman saja tanpa bertanya pada Naisha. Aku sadar, kenapa aku bersikap menjadi begitu dingin padanya. Tapi aku tak tahu. Saat ini perempuan yang sangat kucintai memberikan tatapannya yang seakan-akan berkata, bicaralah apa yang terjadi. Dan aku benar.

"Zaid, ada apa? Bicaralah. Apa yang terjadi? Kenapa kamu berbeda hari ini? Kenapa..."

"Bisakah kamu bertanya satu-satu padaku?!"

"Ohaha. Oke, sorry." Apa yang lucu? Kenapa dia tertawa, aku sendiri bahkan tak bisa tersenyum saat ini.

"Oke, baiklah. Katakan, apa yang terjadi?" Sepertinya Naisha tampak serius kali ini.

"Hmm..." aku menghela napasku dengan kasar sebelum mulai berbicara.

"Tadi pagi aku bertengkar hebat dengan ayahku. Jadi aku tak bisa mengabarimu."

"It's ok. Tapi apa yang menjadi masalahnya?"

Aku bingung harus memulai dari mana, tapi harus secepatnya aku katakan.

"Jadi tadi pagi...." Aku akan ceritakan semuanya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status