Share

Dua

last update Last Updated: 2022-01-06 09:01:52

Sesaat kemudian Akira langsung duduk di jendela kamarnya dengan membuka asal sebuah buku yang hanya dilihatnya dengan tatapan kosong. Naisha berdiri di ambang pintu menyaksikan adiknya, dan memberanikan diri untuk mulai bicara.

"Aku tahu sakitnya kehilangan seorang ibu, bahkan aku belum pernah sekadar memeluknya, merasakan hangat kasih sayangnya, aku tidak pernah merasakannya, Kak..." Akira berbicara seakan tahu betul bahwa Naisha tepat berada di belakangnya. Naisha hanya diam, dan segera memeluk Akira yang mulai tenggelam dalam tangisannya.

"Aku mohon jangan selalu bersikap seperti ini, Ra."

"Bukankah aku sudah bilang berkali-kali sama Kakak, membahas tentang Mama selalu membuatku lebih sensitif. Dan aku selalu merasa kalian menyalahkanku akan hal itu." Akira memelankan suaranya pada kalimat terakhir.

"What nonsense, Akira?! Bagian mana yang aku menyalahkanmu?" Perlahan Naisha melepaskan pelukannya.

"Jawab. Bagian mana yang Kakak menyalahkanmu tentang Mama? Aku hanya ingin kita selalu mengenang Mama, mengingatnya, mendoakannya, bukan menjadi begini. Singkirkan pikiran-pikiran burukmu dalam memandang sesuatu. Tak selamanya apa yang kau pikirkan selalu benar." Naisha semakin meninggikan suaranya, sedang Akira tetap memalingkan wajahnya. Riza dan Sandhya datang menghampiri, namun Sandhya berisyarat biar dia saja yang menenangkan.

"Beginikah caramu berbicara pada Kakakmu?" Akira masih tetap terdiam dan mereka berdua saling menatap tanpa berbicara sedikitpun.

"Enough!" Naisha bergegas keluar dan Sandhya ikut duduk di hadapan Akira, dengan sifat keibuannya Sandhya memegang tangan Akira dan berkata dengan lembut, "Akira, tenangkan dirimu, istighfarlah... Itu syaitan yang menguasai ego-mu, Akira yang kita kenal tidak seperti ini. Dia kuat. Bahkan lebih kuat dari kakak-kakaknya. Iya, kan?" Sandhya tersenyum.

Akira menghela napas dan menganggukkan kepalanya, "Iya, Kak, maafkan aku. Astaghfirullah..." Akira mengusap wajahnya.

"Ck, tidak apa-apa, itu wajar, sekarang berwudhulah, kami tunggu di ruang makan, ya." Sandhya pun keluar dari kamar Akira dan mengatakan kepada yang lainnya bahwa Akira baik-baik saja. Lalu bagaimana dengan Naisha?

Tak disangka ternyata Naisha sudah duduk di meja makan bersama dengan ayahnya, dan bersikap seperti tak terjadi apa-apa. Sesaat kemudian Akira datang, dan di sana ekspresinya terlihat kikuk.

"Maafkan aku, tadi aku hanya... hanya sedikit terbawa emosi, dan Kak Nay malah jadi sasarannya, seharusnya aku tidak boleh begitu. Kak Nay, maafkan aku, maafkan ya?" Akira memegang tangan kiri Naisha.

"Hmm... Ya, baiklah, it's ok." Naisha membalas dengan memegang tangan Akira dan tersenyum manis padanya.

"Wow... It's so sweet.... Nah gitu dong. Haha..." Riza mencoba mencairkan suasana dan semuanya tertawa penuh dengan kebahagiaan. Makan bersama pun kembali dilanjutkan dengan obrolan keluarga kecil yang hangat ini.

*

Keesokan harinya, untuk menghangatkan kembali hubungan Naisha dengan Akira, Naisha pun berpikir untuk mengajak Akira jalan-jalan sambil mencari baju untuk dipakainya nanti saat wisuda. Meskipun Naisha tahu bahwa Akira bukanlah tipe perempuan yang antusias dengan sebuah acara atau semacamnya, karena dalam pandangan Akira bukanlah suatu keharusan menyiapkan sebegitu sibuknya hanya untuk sebuah acara yang hanya diselenggarakan sehari pun tidak. Sekitar jam 9 pagi, Naisha memaksa Akira agar mau pergi dengannya, dan Akira pun setuju untuk keluar hari ini.

Mereka berdua pergi ke beberapa toko untuk membeli beberapa keperluan. Sudah hampir dua jam kurang, namun kakak beradik ini masih asyik memilih baju yang akan mereka pakai saat Akira wisuda nanti.

"Ra, kamu nyari dulu aja ya, ini aku ada telepon dulu." Naisha berlalu dengan handphone-nya yang masih berdering, dan Akira hanya mengangguk saja.

Dari kejauhan Naisha terlihat sibuk menerima panggilan telepon dari seseorang.

"Hallo, ada ap.."

"Ada yang ingin aku bicarakan. Apa aku bisa menjemputmu sekarang?" Suara seorang pria dari seberang sana.

"Ah gak usah, aku lagi sama adikku, dia kan gak tahu aku punya pacar. Emang ada hal apa?"

"Hmm.. aku gak bisa ngomong di telepon. Aku ingin langsung. It's not problem, dia kan gak tau aku pacar kamu. I'm on my way right now, share your loc, ok?"

"Huft. Ok, take care."

Naisha tahu bahwa Zaidan, laki-laki yang barusan menelponnya adalah pacarnya yang sangat keras kepala, tapi justru sifat itulah yang membuat Naisha sangat mencintainya. Dan saat ini dia bingung harus bagaimana kalau sampai Akira tahu Naisha akan dijemput oleh Zaidan. Akhirnya Naisha berpikir untuk menyuruh Akira pulang lebih dulu, baru kemudian Naisha bersama Zaidan. Sebenarnya dia tidak mau berbohong seperti ini, tapi ini belum saatnya hubungan dengan Zaidan diketahui keluarganya, apalagi masih berpacaran.

"Ra, gimana bajunya ada yang kamu suka?"

"Duh, kayaknya gak ada yang cocok deh, kita nyari di toko lain, yuk?!" Naisha terlihat berpikir. "Hm, begini, Ra, barusan aku dapet telpon, ada urusan mendadak di kantor, nah mungkin besok aja ya kita lanjut nyarinya, atau bisa nanti lewat online aja." Naisha mencoba mencari alasan yang pas agar Akira tidak mencurigainya.

"Yaaah... Urusan apa sih? Aku temenin?"

"Aah, gak usah, ini cuma urusan biasa, gak lama kok." Naisha semakin tak tahan harus melanjutkan kebohongannya. Mereka berdua berjalan ke tempat parkir.

"Yaudah, kalau sebentar bisa aku temenin." Akira tetap bersikeras untuk menemani kakaknya.

"Udah, gini deh, kamu bawa motornya," Naisha menyerahkan kunci motor pada adiknya, "Dan aku nanti naik taxi aja, beneran deh gak papa, kamu pulang duluan aja, ya, lagian jam segini Papa pasti udah pulang dari sekolah." Naisha meyakinkan Akira agar dia pulang duluan. Sedang handphone-nya terus berdering. Tentu saja dari Zaidan.

"Iyalah, Papa kan hari ini cuma jadwal pagi doang, pasti udah pulang dari tadi juga. Itu siapa sih, angkat dulu napa, Kak?"

"Hm, iya ini temen Kakak..."

"Yaudah jawab dulu."

"Udah deh, Sayangku, sekarang kamu naik motor, pakai helmetnya." Naisha melihat ke arah belakang adiknya dan sekitar enam meter di sana sudah ada mobil Zaidan, tentu saja Zaidan melihat Naisha dengan mengisyaratkan untuk segera naik ke mobilnya.

'Kenapa sih dia mesti sampe ke parkiran segala.' Kesal batin Naisha melihat Zaidan.

"Kak? Kakakkk....! Yaudah aku duluan nih."

"Eh iya, hehe... Kamu hati-hati, ya!"

"Beneran gak mau aku temenin?" Akira masih belum yakin dengan tindakan kakaknya.

"Ishh.. beneran."

"Yaudah, aku lihat kakak naik taxi dulu." Naisha semakin bingung dengan desakan dari adiknya.

"Ini aku mau jawab telepon dulu, kamu duluan aja deh."

"It's weird, you know. Hm.. Oke, oke, aku jalan sekarang ya. Kak Nay juga hati-hati. Assalamu'alaikum.." Akira mencium pipi kakaknya.

"Iya, sippp. W*'alaikumsalaam..." Naisha melambaikan tangannya, setelah motornya sudah keluar dari parkiran, ia langsung menghampiri mobil yang sudah menunggunya dari tadi.

"Ayo, masuk!"

"Hampir saja." Naisha menghembuskan napasnya dengan lega. Zaidan akan membawa Naisha ke tempat biasa mereka bertemu untuk membicarakan hal yang sangat penting, yang tak lain adalah untuk membahas kelanjutan dari hubungan mereka.

"Sebentar lagi adzan dzuhur, kita berhenti dulu di masjid, ya." Naisha mengingatkan Zaidan yang sedari tadi hanya diam dengan ekspresinya yang dingin. Naisha bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi, apa yang ingin Zaidan bicarakan.

"Iya aku tahu." Zaidan menjawab singkat. Naisha semakin penasaran apa yang sebenarnya terjadi.

Akira sudah sampai di rumah, dan ayahnya sedang bersiap untuk ke masjid.

"Assalamu'alaikum, Papa."

"W*'alaikumsalaam... Eh kamu udah pulang, mana kakakmu?"

"Tadi katanya ada urusan mendadak. Papa, udah makan?" Akira menyiapkan air putih untuk ayahnya.

"Hm... Belum, nanti saja setelah shalat. Akira, hari ini Papa ada kabar baik untuk kamu dan Naisha."

"Alhamdulillah... Ada apa, Pa?" Akira bertanya dan penasaran kabar baik apa yang membuat ayahnya tersenyum dengan manisnya. "Sebentar lagi adzan. Papa ke masjid dulu, nanti kita bicarakan sambil makan. Assalamu'alaikum." Satya sangat bersyukur memiliki putri yang sangat menyayanginya, meski tanpa seorang istri.

"Hmm. Iya, Pa, w*'alaikumsalaam..."

Akira membereskan beberapa buku yang belum sempat dirapikan tadi pagi, dan menerka-nerka ada kabar baik apa? Apakah Papa akan menikah lagi? Akira pun segera menepis pikiran itu dan bersiap untuk menunaikan shalat dzuhur.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • From Mecca With Love   Tiga Puluh Satu

    Tiga tahun berlalu, banyak cerita dan peristiwa terlewati mendewasakan diri. Kini anak kecil bernama Zafran Athar telah dibawa Aaliya pergi ke luar kota karena ia telah hidup mapan bersama suaminya, Harry. Mahesh Athar semarah dan sekeras apapun rasa kecewa pada Aaliya, ia tetap sadar bahwa Aaliya adalah putrinya yang dulu sangat dirindukan kehadirannya. Mahesh telah memaafkan dan merestui pernikahan Aaliya dengan Harry.Akira dan Zaidan masih terus berusaha dan ikhtiar agar segera diamanahi malaikat kecil anugrah terindah dalam keluarga kecil mereka. Mereka berdua rutin memeriksakan diri ke dokter spesialis kandungan, dan keduanya tidak ada, masalah apapun. Akira dan Zaidan hanya perlu bersabar biarkan waktu yang menjawab. Akhir tahun ini, Zaidan telah merencanakan liburan berdua selama dua minggu ke Eropa. Seperti impian Akira yang ingin menjelajahi langsung peradaban Eropa yang semasa kuliah menjadi salah satu mata kuliah favoritnya. Studi S2 Akira pun telah selesai. J

  • From Mecca With Love   Tiga Puluh

    Akira sudah dipindahkan ke ruang inap pasien. Selepas shalat dhuha, Zaidan menunggu Vishal membawa beberapa baju untuknya dan sekaligus membawa sarapan. Zaidan memperdengarkan Akira bacaanmurottalAl-Quran. Ia menunggu Akira siuman dari anestesinya.Perawat yang memeriksa Akira menginformasikan bahwa Akira sudah bangun dan sudah boleh diajak berbicara.Zaidan memegang lembut tangan Akira. Dia membisikkan sesuatu padanya."Assalamu'alaikum,Istriku." Diciumnya kening dan tangan Akira. Seketika Akira menangis."Wa'alaikumsalaam...Maafkan aku." Butiran air mata membasahi wajahnya yang pucat."Ssttt... Kita akan lalui semuanya bersama. Kam

  • From Mecca With Love   Dua Puluh Sembilan

    Apakah ini ujian atau teguran?Sakit rasanya, menyadari bahwa ia tak bisa kusapa di dunia ini.Dan ia tak bisa menyapaku.Tapi aku sesekali merasakan gerakannya yang aktif di waktu-waktu yang tak menentu.Maaf, karena Bundamu tak mampu menjagamu sebagaimana mestinya.Tunggu Bunda di sana, ya.Allah begitu menyayangimu dan Bunda.~Akira ElfaruqZaidan melaksanakan shalat maghrib dan kembali memeriksa keadaan istrinya. Proses kuretase berjalan dengan lancar, meski sebelu

  • From Mecca With Love   Dua Puluh Delapan

    Naisha telah melahirkan dengan lancar dan selamat. Naisha juga dalam keadaan sehat. Rencananya esok baru bisa pulang ke rumah. Vishal terharu, pria yang selalu terlihat ceria, kini tampak menangis haru tatkala menggendong bayinya untuk pertama kalinya. Ia sendiri langsung mengadzani anaknya. Akan ada seorang tuan putri di rumah Vishal dan Naisha. Tak diragukan bayi Vishal akan sangat disayangi oleh Maula, neneknya, karena ia begitu menantikan kehadiran cucunya ini.Mahesh menyuruh Zaidan untuk pulang duluan bersama Akira, ia begitu perhatian kepada menantunya agar tidak terlalu kelelahan. Zaidan menuruti perkataan ayahnya. Setiap langkah Zaidan akan dengan sigap menggandeng istrinya, memastikan bahwa Akira dan bayinya selalu aman.Zaidan menyadari terdapat mobil Harry Fawaz di sana. Seketika pikiran negatif muncul menghinggapinya. Menga

  • From Mecca With Love   Dua Puluh Tujuh

    Akira merekam proses syukur-anaqiqahkeponakannya melalui videocall, sehingga dapat dilihat oleh keluarga besarnya yang tak bisa hadir secara langsung. Sandhya dan Riza mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian dan doa yang diberikan. Semua kiriman hadiah yang dipaketkan pun sudah diterima oleh Riza. Sambil videocallitu berlangsung, Riza dan Sandhya membuka satu per satu hadiahnya. Sedangkan Zaidan menggendong bayi mereka. Mereka semua hangat sekali berbicara satu sama lain.Puas melakukan videocalldua jam lamanya. Akhirnya Riza meminta izin mengakhiri obrolan mereka ini, karena akan membagi-bagikan makanan kepada warga sekitar dan anak yatim, dibantu Zaidan.Sementara Akira membereskan rumah, Sandhya justru melarangnya, karena ia sudah menyewa jasa orang

  • From Mecca With Love   Dua Puluh Enam

    Akira dan Zaidan sampai di rumah Riza dengan aman dan selamat. Rumah yang cukup sederhana namun nyaman ini diberikan oleh perusahaan tempat Riza bekerja, sebagai tempat tinggal sementara selama kontraknya berlangsung.Cuaca yang tak kalah panasnya dengan Jakarta membuat mereka berdua tak tahan ingin segera membersihkan diri. Sembari menunggu Zaidan selesai mandi, Akira membereskan barang bawaannya, menyiapkan pakaian untuk Zaidan, kini ia sudah tak terlalu marah lagi pada Zaidan, meskipun rasa kesal masih ia rasakan.Akira tak tahan merasakan sakit kepala yang teramat sangat. Ia berpikir sepertinya ini hanyalah efek perjalanan saja, Akira tak terlalu mempedulikan hal itu. Akira berbaring mencoba meredakan rasa sakit."Sayang? Kamu kenapa?"

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status