Share

Dua

Sesaat kemudian Akira langsung duduk di jendela kamarnya dengan membuka asal sebuah buku yang hanya dilihatnya dengan tatapan kosong. Naisha berdiri di ambang pintu menyaksikan adiknya, dan memberanikan diri untuk mulai bicara.

"Aku tahu sakitnya kehilangan seorang ibu, bahkan aku belum pernah sekadar memeluknya, merasakan hangat kasih sayangnya, aku tidak pernah merasakannya, Kak..." Akira berbicara seakan tahu betul bahwa Naisha tepat berada di belakangnya. Naisha hanya diam, dan segera memeluk Akira yang mulai tenggelam dalam tangisannya.

"Aku mohon jangan selalu bersikap seperti ini, Ra."

"Bukankah aku sudah bilang berkali-kali sama Kakak, membahas tentang Mama selalu membuatku lebih sensitif. Dan aku selalu merasa kalian menyalahkanku akan hal itu." Akira memelankan suaranya pada kalimat terakhir.

"What nonsense, Akira?! Bagian mana yang aku menyalahkanmu?" Perlahan Naisha melepaskan pelukannya.

"Jawab. Bagian mana yang Kakak menyalahkanmu tentang Mama? Aku hanya ingin kita selalu mengenang Mama, mengingatnya, mendoakannya, bukan menjadi begini. Singkirkan pikiran-pikiran burukmu dalam memandang sesuatu. Tak selamanya apa yang kau pikirkan selalu benar." Naisha semakin meninggikan suaranya, sedang Akira tetap memalingkan wajahnya. Riza dan Sandhya datang menghampiri, namun Sandhya berisyarat biar dia saja yang menenangkan.

"Beginikah caramu berbicara pada Kakakmu?" Akira masih tetap terdiam dan mereka berdua saling menatap tanpa berbicara sedikitpun.

"Enough!" Naisha bergegas keluar dan Sandhya ikut duduk di hadapan Akira, dengan sifat keibuannya Sandhya memegang tangan Akira dan berkata dengan lembut, "Akira, tenangkan dirimu, istighfarlah... Itu syaitan yang menguasai ego-mu, Akira yang kita kenal tidak seperti ini. Dia kuat. Bahkan lebih kuat dari kakak-kakaknya. Iya, kan?" Sandhya tersenyum.

Akira menghela napas dan menganggukkan kepalanya, "Iya, Kak, maafkan aku. Astaghfirullah..." Akira mengusap wajahnya.

"Ck, tidak apa-apa, itu wajar, sekarang berwudhulah, kami tunggu di ruang makan, ya." Sandhya pun keluar dari kamar Akira dan mengatakan kepada yang lainnya bahwa Akira baik-baik saja. Lalu bagaimana dengan Naisha?

Tak disangka ternyata Naisha sudah duduk di meja makan bersama dengan ayahnya, dan bersikap seperti tak terjadi apa-apa. Sesaat kemudian Akira datang, dan di sana ekspresinya terlihat kikuk.

"Maafkan aku, tadi aku hanya... hanya sedikit terbawa emosi, dan Kak Nay malah jadi sasarannya, seharusnya aku tidak boleh begitu. Kak Nay, maafkan aku, maafkan ya?" Akira memegang tangan kiri Naisha.

"Hmm... Ya, baiklah, it's ok." Naisha membalas dengan memegang tangan Akira dan tersenyum manis padanya.

"Wow... It's so sweet.... Nah gitu dong. Haha..." Riza mencoba mencairkan suasana dan semuanya tertawa penuh dengan kebahagiaan. Makan bersama pun kembali dilanjutkan dengan obrolan keluarga kecil yang hangat ini.

*

Keesokan harinya, untuk menghangatkan kembali hubungan Naisha dengan Akira, Naisha pun berpikir untuk mengajak Akira jalan-jalan sambil mencari baju untuk dipakainya nanti saat wisuda. Meskipun Naisha tahu bahwa Akira bukanlah tipe perempuan yang antusias dengan sebuah acara atau semacamnya, karena dalam pandangan Akira bukanlah suatu keharusan menyiapkan sebegitu sibuknya hanya untuk sebuah acara yang hanya diselenggarakan sehari pun tidak. Sekitar jam 9 pagi, Naisha memaksa Akira agar mau pergi dengannya, dan Akira pun setuju untuk keluar hari ini.

Mereka berdua pergi ke beberapa toko untuk membeli beberapa keperluan. Sudah hampir dua jam kurang, namun kakak beradik ini masih asyik memilih baju yang akan mereka pakai saat Akira wisuda nanti.

"Ra, kamu nyari dulu aja ya, ini aku ada telepon dulu." Naisha berlalu dengan handphone-nya yang masih berdering, dan Akira hanya mengangguk saja.

Dari kejauhan Naisha terlihat sibuk menerima panggilan telepon dari seseorang.

"Hallo, ada ap.."

"Ada yang ingin aku bicarakan. Apa aku bisa menjemputmu sekarang?" Suara seorang pria dari seberang sana.

"Ah gak usah, aku lagi sama adikku, dia kan gak tahu aku punya pacar. Emang ada hal apa?"

"Hmm.. aku gak bisa ngomong di telepon. Aku ingin langsung. It's not problem, dia kan gak tau aku pacar kamu. I'm on my way right now, share your loc, ok?"

"Huft. Ok, take care."

Naisha tahu bahwa Zaidan, laki-laki yang barusan menelponnya adalah pacarnya yang sangat keras kepala, tapi justru sifat itulah yang membuat Naisha sangat mencintainya. Dan saat ini dia bingung harus bagaimana kalau sampai Akira tahu Naisha akan dijemput oleh Zaidan. Akhirnya Naisha berpikir untuk menyuruh Akira pulang lebih dulu, baru kemudian Naisha bersama Zaidan. Sebenarnya dia tidak mau berbohong seperti ini, tapi ini belum saatnya hubungan dengan Zaidan diketahui keluarganya, apalagi masih berpacaran.

"Ra, gimana bajunya ada yang kamu suka?"

"Duh, kayaknya gak ada yang cocok deh, kita nyari di toko lain, yuk?!" Naisha terlihat berpikir. "Hm, begini, Ra, barusan aku dapet telpon, ada urusan mendadak di kantor, nah mungkin besok aja ya kita lanjut nyarinya, atau bisa nanti lewat online aja." Naisha mencoba mencari alasan yang pas agar Akira tidak mencurigainya.

"Yaaah... Urusan apa sih? Aku temenin?"

"Aah, gak usah, ini cuma urusan biasa, gak lama kok." Naisha semakin tak tahan harus melanjutkan kebohongannya. Mereka berdua berjalan ke tempat parkir.

"Yaudah, kalau sebentar bisa aku temenin." Akira tetap bersikeras untuk menemani kakaknya.

"Udah, gini deh, kamu bawa motornya," Naisha menyerahkan kunci motor pada adiknya, "Dan aku nanti naik taxi aja, beneran deh gak papa, kamu pulang duluan aja, ya, lagian jam segini Papa pasti udah pulang dari sekolah." Naisha meyakinkan Akira agar dia pulang duluan. Sedang handphone-nya terus berdering. Tentu saja dari Zaidan.

"Iyalah, Papa kan hari ini cuma jadwal pagi doang, pasti udah pulang dari tadi juga. Itu siapa sih, angkat dulu napa, Kak?"

"Hm, iya ini temen Kakak..."

"Yaudah jawab dulu."

"Udah deh, Sayangku, sekarang kamu naik motor, pakai helmetnya." Naisha melihat ke arah belakang adiknya dan sekitar enam meter di sana sudah ada mobil Zaidan, tentu saja Zaidan melihat Naisha dengan mengisyaratkan untuk segera naik ke mobilnya.

'Kenapa sih dia mesti sampe ke parkiran segala.' Kesal batin Naisha melihat Zaidan.

"Kak? Kakakkk....! Yaudah aku duluan nih."

"Eh iya, hehe... Kamu hati-hati, ya!"

"Beneran gak mau aku temenin?" Akira masih belum yakin dengan tindakan kakaknya.

"Ishh.. beneran."

"Yaudah, aku lihat kakak naik taxi dulu." Naisha semakin bingung dengan desakan dari adiknya.

"Ini aku mau jawab telepon dulu, kamu duluan aja deh."

"It's weird, you know. Hm.. Oke, oke, aku jalan sekarang ya. Kak Nay juga hati-hati. Assalamu'alaikum.." Akira mencium pipi kakaknya.

"Iya, sippp. W*'alaikumsalaam..." Naisha melambaikan tangannya, setelah motornya sudah keluar dari parkiran, ia langsung menghampiri mobil yang sudah menunggunya dari tadi.

"Ayo, masuk!"

"Hampir saja." Naisha menghembuskan napasnya dengan lega. Zaidan akan membawa Naisha ke tempat biasa mereka bertemu untuk membicarakan hal yang sangat penting, yang tak lain adalah untuk membahas kelanjutan dari hubungan mereka.

"Sebentar lagi adzan dzuhur, kita berhenti dulu di masjid, ya." Naisha mengingatkan Zaidan yang sedari tadi hanya diam dengan ekspresinya yang dingin. Naisha bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi, apa yang ingin Zaidan bicarakan.

"Iya aku tahu." Zaidan menjawab singkat. Naisha semakin penasaran apa yang sebenarnya terjadi.

Akira sudah sampai di rumah, dan ayahnya sedang bersiap untuk ke masjid.

"Assalamu'alaikum, Papa."

"W*'alaikumsalaam... Eh kamu udah pulang, mana kakakmu?"

"Tadi katanya ada urusan mendadak. Papa, udah makan?" Akira menyiapkan air putih untuk ayahnya.

"Hm... Belum, nanti saja setelah shalat. Akira, hari ini Papa ada kabar baik untuk kamu dan Naisha."

"Alhamdulillah... Ada apa, Pa?" Akira bertanya dan penasaran kabar baik apa yang membuat ayahnya tersenyum dengan manisnya. "Sebentar lagi adzan. Papa ke masjid dulu, nanti kita bicarakan sambil makan. Assalamu'alaikum." Satya sangat bersyukur memiliki putri yang sangat menyayanginya, meski tanpa seorang istri.

"Hmm. Iya, Pa, w*'alaikumsalaam..."

Akira membereskan beberapa buku yang belum sempat dirapikan tadi pagi, dan menerka-nerka ada kabar baik apa? Apakah Papa akan menikah lagi? Akira pun segera menepis pikiran itu dan bersiap untuk menunaikan shalat dzuhur.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status