Hari itu, akhirnya aku memutuskan untuk tidak berangkat ke kampus. Aku bahkan tidak melakukan panggilan balasan pada Kina dan hanya kirim pesan bahwa aku sedang sakit, jadi tidak bisa kuliah.
Padahal nyatanya, aku memiliki perlu lain.Dan keperluanku hari itu adalah, mengurus Saverio yang sedang demam namun tidak mau ke rumah sakit."Kakak hanya ingin disini", begitu katanya untuk yang kesekian kali setiap aku membujuknya untuk ke rumah sakit."Tapi kalau demamnya sudah sampai tiga hari, Kakak harus ke rumah sakit untuk tes darah," kataku tegas.Saverio tidak menjawab, hanya berbalik memunggungiku seperti kucing merajuk, kemudian bergumam tidak jelas.Aku menghela napas menatap punggung lebarnya, tidak mengerti lagi kenapa dia harus datang kembali di saat sakit seperti ini. Karena sejujurnya, aku tidak pernah bisa melihat Saverio sakit.Kali itu, aku hanya bisa mengusap punggungnya yang sudah berbalut piyama yang kSudah tiga hari ini aku menemani Saverio di rumah sakit. Aku selalu kesini sepulang kuliah, selalu memastikan kondisinya berangsur membaik setelah insiden dimana dia tidak mau dirawat kalau aku tidak ada. Saverio memang manja merepotkan kalau sakit. Tapi pada satu titik, segala sikapnya itu membuatku merasa... berarti. Merasa dibutuhkan. Dan itu membuatku senang karena memang seharusnya seperti itulah dia padaku. Di antara kami ada hubungan saling ketergantungan seperti itu. Yeah, setidaknya itu dulu. Sekarang, entahlah. Aku bingung bagaimana menjabarkan perasaanku. Aku hanya... prihatin, mungkin. "Aku akan menelepon Bunda? Bunda pasti khawatir dan aku hanya akan memberi tau kalau Kakak sudah dirawat di rumah sakit," usulku, berbaik hati agar Saverio tidak perlu sendirian lagi kalau aku balik ke kehidupanku semula. Namun laki-laki itu hanya menghela napas keras. "Tidak usah," katanya pendek. "Tidak perlu menghubun
Pada akhirnya, aku mengurai pelukan itu usai menampar kuat pikiranku dengan kenyataan bahwa kami sudah tidak boleh seperti ini lagi. Tidak bisa. Ada jurang yang amat besar di antara kami sekarang. Jurang yang sudah tidak mungkin lagi kami arungi hanya demi legalitas dari sebuah pelukan. Oh. Bahkan keberadaanku disini pun amat jauh dari kata legal. Yang itu berarti, tidak seharusnya aku berada disini. Tapi lagi-lagi hatiku menghendaki hal lain. Kalau logikaku tidak mengizinkan aku menikmati kembali saat Saverio memelukku, maka hatiku menghendaki agar setidaknya aku tidak pergi begitu saja saat ini. "Kakak istirahatlah, aku akan belanja sebentar agar bisa masak dan menyiapkan makan malam," ujarku akhirnya. "Delivery order saja," pinta Saverio sebagai bentuk protes karena aku mengurai pelukan kami. Aku bisa membayangkan wajah merengutnya sebelum aku menggeleng, menjawab, "Tidak baik terus menerus beli makan di luar."
"Markus temanku," jawabku setelah mengumpulkan secuil keberanian yang entah sempat hilang kemana. Karena dari dulu Saverio selalu terlihat tenang, melihatnya semarah ini terus terang membuatku agak menciut. Saverio masih menatapku penuh amarah, padahal berdiri saja ia masih harus bersangga pada kursi. "Lalu apa maksudnya kamu akan jadian dengan Markus?" tanyanya lagi dengan nada menuntut. Dia juga masih tidak menampakkan niat akan mengembalikan ponselku dalam waktu dekat. "Kalau kakak ingat, aku kan memang selalu bicara ngawur dengan Maxi." "Jadi kamu juga masih dekat dengan Maxi?!" "Tentu saja," jawabku tanpa rasa bersalah. Karena, memang ada yang salah dari kedekatanku dengan Maxi? Kan tidak. Apalagi aku dan Maxi sudah seperti dua anak kembar yang sulit dipisahkan. Lagipula, karena aku dan Maxi sering meributkan banyak hal, aku bahkan tidak tau hal apa yang bakal membuat kami bermusuhan. Saverio lantas
Selanjutnya aku kembali menjalani hari-hariku seperti biasa.Kuliah, main, nonton. Dan nongkrong, tentu saja. "Bagaimana kalau Sabtu nanti makan all you can eat? Mumpung akhir pekan," usul Kina dengan semangat selagi kami jalan kaki menuju gerbang kampus. Dan tentu saja Kina tidak hanya bertanya padaku, melainkan--"Memang kenapa kalau akhir pekan?" Ada Maxi juga yang berjalan di sebelah kanan Kina. Kina berdecak. "Kalau akhir pekan seperti itu suka ada promo untuk mahasiswa. Kamu ini tidak pernah update ya?" Maxi mengendikkan bahu. "Aku kan makan tanpa lihat promo. Makan ya makan." "Astaga!" Kina menyenggolku yang jalan di sebelah kirinya. "Temanmu ini banyak gaya sekali." Aku tersenyum tipis. Begitulah. Maxi terkekeh. "Asal kamu tau, Lyra lah yang mengajariku banyak gaya seperti ini. Mentang-mentang sering ditraktir Kak Saverio, dia jadi orang yang kalau makan suka tidak lihat harga."
"Kamu pulang..." Saverio kembali bergumam lirih, seolah memastikan bahwa apa yang dikatakannya benar. Bahwa mau berapa kali pun dia mengatakan bahwa aku pulang, maka tidak ada yang membantahnya. Termasuk aku. Yang terisak keras di pelukannya. "Iya, aku pulang," sahutku tersedu. Saverio membawa langkah kami memasuki apartemennya dan menutup pintu di belakangku dengan mudah. Laki-laki itu lantas mengurai pelukan kami dan menatap wajahku lekat. Kedua tangan lebar dan hangat Saverio menangkup wajahku. Kedua ibu jarinya mengusap air mata yang masih bercucuran di pipiku. "Kamu disini," gumamnya. Matanya tampak berkaca-kaca. Tapi kemudian kusadari bahwa mataku-lah yang berkaca-kaca lagi. "Kamu tidak akan pergi lagi kan?" "Tidak." "Kamu tidak akan meninggalkan Kakak lagi kan?" Bertanya, seolah untuk memastikan bahwa kami bertemu bukanlah untuk berpisah lagi. Aku menggeleng, menangis lagi. "Aku mau disini... bers
Mata kuliah Ilmu Gizi pagi ini selesai, kemudian berlanjut ke Dasar Boga sampai siang. Selama dua kelas itu aku berpisah dengan Kina karena dia mengambil mata kuliah yang berbeda. Namun tidak urung, Maxi mengirimiku pesan. 'Ayo makan siang di warung bebek bakar belakang kampus,' ketiknya. Aku menepi sebentar di tangga agar mahasiswa lain di belakangku bisa lewat, kemudian membalas, 'Lain kali saja, aku mau mengambil laptop untuk mengerjakan tugas' 'Kan bisa sambil makan siang,' balasnya. Aku buru-buru mengetik, 'Memangnya kamu bisa membiarkan mengerjakan tugas? Kamu kan selalu mengajakku nonton' 'Benar juga. *Lol* Ya sudah, kapan-kapan saja kalau begitu' 'Oke' Dan aku segera memesan ojek online untuk mengantarku ke kost yang banyak sekali mahasiswa keluar masuk dengan bebas. Mereka bahkan tidak akan peduli kalau aku tidak pulang ke tempat ini selama berhari-hari. Bahkan mungkin mereka tidak men
Hari ini, sudah hampir sepuluh hari Saverio pemulihan di apartemen pasca rawat inap karena thypus dan tampaknya dia sudah mulai bosan setengah mati.Selama dua hari terakhir, Saverio hanya duduk di sofa dengan gurat bosan yang dia tunjukkan kalau ada aku, sembari fokus dengan layar iPad yang jadi teman setianya selama beberapa hari ini. Aku juga menyaksikan apa saja kegiatannya itu, yang tidak jauh-jauh dari laporan kantor dan kabar dari panti asuhan.Karena dia tidak punya kerjaan, Saverio seringkali menyibukkan dirinya untuk mengirim sesuatu ke panti selama setiap hari. Pagi hari dia mengirim susu, siang hari mengirim buah, dan sore hari mengirim puding.Tentu saja. Menghabiskan uang untuk anak panti yang jumlahnya bahkan tidak sampai sepuluh anak itu memang tidak berpengaruh sama sekali buat Saverio. Lalu karena fisik Saverio tampaknya sudah mulai prima lagi, maka aku juga sudah membolehkannya kembali ke kantor. Tentu
Nanti malam tidak perlu memasak. Kita akan makan di luar. Kakak berhasil dapat tempat untuk kita.'Begitulah isi pesan teks Saverio saat sebelumnya aku bilang kalau aku perlu belanja untuk menyiapkan makan malam. Sejenak, aku mendiamkan pesan itu dan menatap piring batagorku. Rasanya ada yang mengganjal di hatiku mengenai isi pesan itu."Nanti malam bagaimana?" Kina bertanya tiba-tiba di antara keriuhan kantin fakultas yang agak ramai karena jam makan siang. Aku mengalihkan atensi dari sepiring batagor yang isinya tinggal separuh sekaligus memecah lamunanku tentang Saverio, dan juga mematikan ponselku, kemudian menatap Kina dengan kening berkerut. "Apanya yang nanti malam?" Kina berdecak, dia menyodorkan ponsel yang sedari tadi diperhatikannya. "Tentu saja nonton, apalagi? Yang kita bahas di kelas sejak tadi.""Aku tidak bisa," sahutku tanpa berpikir panjang, kemudian menyuap batagorku dengan cuek. Tentu saja, aku mau berpikir apal