Bianca duduk termenung di kursi taman, memandang air mancur yang jatuh ke kolam dengan ikan koi di dalamnya. Gadis itu merasa bingung, antara ingin pulang karena rindu sang ibu, juga rasa jijik mengingat kelakuan sang ayah tiri.
Rambutnya yang tergerai, sesekali melambai tertiup angin. Sebagian menutupi wajahnya yang cantik meski tanpa make up.
"Hei!" Sebuah suara menyadarkan lamunannya. Biancaca menoleh. Rey tersenyum sebelum mengempaskan tubuh di samping Bianca.
"Kenapa melamun?" tanya Rey sambil menatap gadis yang memandang kosong ke arah kolam.
"Aku ingin pulang, tapi ... bandot tua itu pasti akan menyerahkan aku lagi pada kakakmu. Jika aku kabur, kakakmu pasti tidak akan tinggal diam." Bianca menghentikan ucapannya lalu menoleh pada pemuda di sampingnya.
"Pilihanku hanya satu, aku harus bekerja pada kakakmu untuk melunasi hutang ayahku. Bukan demi dia, tapi demi ibuku." Bianca menghela napas panjang. Seolah ada sebuah beban berat di pundaknya.
"Kamu gadis yang kuat, Bianca. Aku akan bujuk Kak Danish agar mau mempertimbangkan permintaanmu. Seperti yang aku bilang, dia itu orang yang baik. Tapi, dia agak tertutup dan suka main perempuan.
"Dia orang yang baik, tapi bukan laki-laki baik. Sudah banyak perempuan yang jatuh ke pelukannya."
"Kecuali aku," potong Bianca.
"Ya, kamu memang berbeda, Bianca. Yang aku lihat, cuma kamu perempuan yang berani menolak Kak Danish. Biasanya perempuan-perempuan itu dengan senang hati berkencan dengan kakakku."
"Hei, ngomong-ngomong soal berbeda, apa benar Tuan Danish itu kakakmu? Kenapa kalian berbeda? Dia memiliki tubuh tinggi atletis dengan wajah seperti orang asing, kenapa kamu justru tidak tampak seperti itu?" tanya Bianca seraya melirik ke arah Rey. Pemuda itu tersenyum sekilas.
"Pasti beda, karena ibu kami berbeda. Ibuku orang Indonesia asli, sedangkan ibu Kak Danish berasal dari Turki."
"Oowh, jadi kalian hanya satu ayah?"
"Yes, tepat sekali. Tapi itu tidak menyurutkan kedekatan kami. Ibunya Kak Danish meninggal dalam suatu kecelakaan, lalu Ayah menikah lagi dengan ibuku. Setelah itu kamu pasti bisa menebaknya 'kan? Kak Danish dibesarkan oleh ibuku," jelas Rey.
"Kalian satu ayah, beda ibu, tapi bisa saling menyayangi. Tidak seperti aku dan adikku, Anis, kami tidak pernah cocok. Dia selalu dimanja oleh ayahnya. Sedangkan aku ... selalu jadi kambing hitam," ujar Bianca lirih. Matanya kembali menatap kosong ke depan.
"Kamu kambing hitam? Seputih ini masih merasa jadi kambing hitam?" goda Rey dengan tawanya yang renyah.
"Dih, kamu. Gak tahu peribahasa." Bianca mendelik. Rey masih saja terkekeh.
"Kamu ini, nyebut ayah kamu dengan bandot tua, terus nyebut diri sendiri dengan kambing hitam. Jangan-jangan adik dan ibu kamu adalah domba wol." Rey kembali tertawa. Mendengar itu Bianca mencubit lengan pemuda di sampingnya. Rey meringis.
"Iihh ... gak lucu, tau!" umpat Bianca. Rey malah semakin terbahak.
Bianca bangkit hendak meninggalkan pemuda yang terus saja menggodanya. Menyadari itu, Rey segera memanggil.
"Hei, Bianca! Kak Danish sudah menyiapkan sebuah kamar untukmu di lantai atas. Dan sebentar lagi kita akan makan malam. Persiapkan dirimu secantik mungkin!" teriak Rey. Bianca mengacuhkan panggilan pemuda itu. Dia terus melangkah menuju ruang tengah.
Sesampainya di sana, Bianca merasa bingung harus berbuat apa.
"Duh, sepertinya aku butuh bantuan si Rey itu." Walaupun malas, Bianca akhirnya berbalik kembali ke taman.
"Hey, Rey! Bisa tolong tunjukkan kamarku?" pinta Bianca, dibalas cengengesan dari mulut Rey.
"Tadi, saja, kau tidak mau mendengarku. Ah, baiklah. Ayo kuantar ke sana," jawab Rey yang bangkit dari duduknya.
"Ngomong-ngomong, ke mana kakakmu?" tanya Bianca sambil memindai sekeliling.
"Dia ... pergi tadi. Ada urusan penting, katanya. Sebentar lagi juga dia pulang untuk makan malam. Kenapa? Kamu kangen?" goda Rey.
"Ish, apaan, sih. Justru aku bersyukur kalau dia tidak ada di sini. Pikirannya mesum terus."
Mereka berhenti tepat di depan sebuah pintu berwarna putih.
"Kamu beneran, gak suka sama Kak Danish?" tanya Rey sebelum membuka pintu.
"Lelaki mesum macam itu? Oh come on, aku tidak akan pernah tertarik. Yang ada, aku mual melihatnya," jawab Bianca seolah mau muntah. Melihat itu, Rey tertawa pelan.
"Sepertinya pamor Kak Danish mulai menurun. Ok, silakan kamu bersiap. Aku pergi dulu, ya. Bye!"
Setelah kepergian Rey, Bianca segera masuk. Matanya terbelalak saat melihat interior kamar itu. Sebuah kamar yang begitu girly. Bianca seperti ada di sebuah kamar dalam drama korea yang sering ditontonnya. Semua perabotan terbuat dati kayu yang dicat putih. Ranjang berukuran sedang dengan sprei dan bed cover berwarna pink lembut. Kasurnya tampak begitu empuk.Sebuah pintu lagi ada dipojok. Saat Bianca membukanya, tampak kamar mandi dengan bathtub putih terdapat di sana.Bianca memang sudah merasa tidak nyaman, karena belum mandi lagi sejak datang tadi pagi. Dia segera membuka pakaiannya dan berendam dalam air hangat.Lima belas menit berlalu, Bianca bangkit dan meraih handuk yang sudah tersedia di sana. Dia keluar dari kamar mandi tepat saat pintu kamarnya pun terbuka. Dua pasang mata itu bertemu."Aaaaww!" Bianca refleks menjerit saat sadar siapa yang masuk. Dia ceroboh dengan tidak mengunci pintu kamar itu."Pergi kau! Dasar mesum!" teriak Bianca.Danish tersenyum sinis. Sebuah pape
Bianca berinisiatif untuk ikut membersihkan rumah. Sebuah vacum cleaner dia tenteng dan mulai menyedot debu di setiap inci ruangan itu. Walaupun pelayan yang lain memakai seragam sedangkan dia hanya memakai terusan selutut, tapi tidak menyurutkan semangatnya."Peduli amat yang punya rumah ini otaknya keruh kaya air comberan, aku tetap harus berpikiran waras," gumam Bianca sambil membungkuk dan terus menggerakkan alat penyedot itu ke sana sini.Duk!Ujung penyedot itu bertabrakan dengan ujung sepatu canvas putih. Bianca sontak menghentikan gerakannya, lalu tubuhnya dia tegakkan sempurna. Pandangannya mendarat pada senyuman manis yang tersungging di bibir Rey."Hai, rajin amat. Udah dikasih tugas tambahan sama Kak Danish?" celotehnya dengan wajah manis. Bahu Bianca mengendur."Aku kira si Tuan Mesum," ujar Bianca. Mendengar itu Rey tertawa renyah."Apa? Siapa Tuan Mesum? Kamu, lagi. Apa yang kamu tertawakan?!"Sebuah pukulan pelan mendarat di kepala belakang Rey. Melihat siapa yang data
"Bianca, tolong pilah setiap sayuran yang baru saja kau beli. Cuci lalu kau masukan ke wadah-wadah seperti biasanya. Jangan lupa langsung masukan ke kulkas," pinta sang juru masak saat melihat kedatangan Bianca dari pasar moderen. Gadis itu tersenyum dan mengangguk.Bianca segera duduk dan menaruh aneka sayuran itu di meja. Tangannya begitu cekatan memilah. Tak perlu waktu lama semuanya sudah selesai dipilah dan dicuci."Bianca, bisa minta tolong?" panggil Yuni. Bianca yang baru menutup kulkas langsung menoleh."Ya, Mbak?""Tolong masukan baju-baju Tuan Rey juga Tuan Danish ke lemari mereka. Baju-bajunya ada di ruang laundry. Tolong, ya, aku ada perlu dulu," jelas Yuni."Siap, Mbak!" jawab Bianca.Yuni melenggang, meninggalkan Bianca yang tampak malas harus memasuki kamar sang tuan walaupun mereka belum kembali dari kantor.Bianca mengambil setumpuk kaos dalam, celana dalam juga baju-baju yang biasa dipakai di rumah. Gadis itu menaruh ke dalam box agar lebih mudah membawanya."Ini sep
"Hei, aku bisa mendengar nada cemburu dari kalimatmu!" ujar Danish. Bianca melengos."Cemburu apanya? Aku justru merasa jijik!" sergah Bianca.Danish meraih bahu gadis itu dan memutar agar menghadapnya."Hei, kau menangis?" tanyanya lirih. Jempol kanannya mengusap air yang tanpa sadar berjatuhan di sudut mata Bianca. Gadis berseragam pelayan itu menunduk dalam, merasa malu. Seperti seorang maling yang kepergok sekuriti.Danish mengangkat dagu gadis itu dengan ujung jarinya."Lihat aku!" pintanya. Perlahan dua pasang mata itu bertemu. Danish seolah ingin menyelam ke dalam palung hati gadis di depannya, melalui sorot mata itu.Tangan Danish meraih tubuh mungil itu ke dalam dekapannya. Dia hirup puncak kepala Bianca dalam-dalam."Maaf, jika aku membuatmu terluka," bisik Danish lirih.Entah mengapa, dekapan itu begitu menenangkan hati Bianca.Beberapa saat Bianca mulai bisa menguasai diri. Dia dorong tubuh jangkung lelaki yang mendekapnya."Hei, kau jangan coba-coba mengambil kesempatan d
Danish menghampiri Bianca yang sedang asyik membersihkan kaca jendela kamarnya. Seragam putih dengan aksen renda di ujungnya begitu pas menempel di tubuh mungil gadis itu. Danish menutup pintu yang tadinya terbuka. Suaranya membuat Bianca kaget dan menoleh. Gadis berkuncir kuda itu kembali menghadap jendela dan menghela napas panjang, menyadari masalah apa yang akan segera dihadapinya. "Bianca." Terdengar suara berat agak serak dari lelaki yang selalu saja menghantuinya. Gadis itu bergeming. Dia menatap ke luar. Langkah kaki terdengar mendekatinya. Jantung gadis itu berdebar tak karuan. 'Ya Tuhan, tolong kuatkan imanku menghadapi mahlukmu yang satu ini,' batin Bianca. Sebuah sentuhan terasa di pundaknya. Bianca memejamkan matanya hingga kelopaknya tampak mengerut. Tangan itu berusaha memutar tubuhnya. Tak bisa menolak, Bianca hanya bisa menunduk untuk menghindari tatapan lelaki itu. "Kau marah?" tanyanya yang membuat gadis itu mengernyit bingung. Wajahnya perlahan terangkat. Ma
Bianca berusaha mencari tahu. Namun, Danish hanya menggeleng."Tidak apa-apa, aku hanya terluka sedikit," ucap Danish datar. "Coba aku lihat, Tuan." Bianca menarik paksa lengan Danish. Namun, yang dipaksa enggan memberikan tangannya. Danish mundur untuk menghindari Bianca. Akan tetapi gadis itu tetap memaksa ingin melihat luka tuannya. Karena gerakan mereka yang saling menarik, tanpa sengaja handuk yang dipakai Danish terlepas. Bianca yang sedang berusaha menarik tangan Danish, refleks menjerit dan menutup matanya saat melihat sesuatu yang tabu. "Sudah kubilang aku tidak apa-apa. Kenapa kau malah memaksa." Danish menggerutu sambil meraih handuknya dan memakainya kembali. Sepintas Bianca bisa melihat luka di jari tangan Danish yang masih mengeluarkan darah. "Tanganmu berdarah, Tuan. Tunggu sebentar akan aku ambilkan plester dan obat merah," ujar Bianca. Dia berlari ke ruang tengah di mana terdapat peralatan P3K. Setelah didapat, dia segera kembali ke kamar Danish. Di sana Danish
"Memangnya siapa yang rambutnya acak-acakan?" tanya Danish dingin. Bianca terlihat salah tingkah. "Eh, itu ... ish aku lagi ngomongin Lee Min Ho. Dia kan penampilannya memang rapi," jawab Bianca kikuk. Danish menyunggingkan seulas senyum sinis kemudian berlalu ke kamarnya. "Rey, kakakmu seperti tersinggung," ujar Bianca dengan wajah menyesal. Rey hanya tertawa kecil. "Kak Danish emang selalu serius. Gak usah diambil pusing. Aku mandi dulu ya." Rey bangkit dan berlalu ke kamarnya. Bianca mengangguk sembari tersenyum. ****** Keesokan harinya, saat sore menjelang Bianca mengganti sprei di tiap kamar. Sengaja dilakukan sore, agar saat pemilik kamar tiba sprei-nya terlihat masih bersih. Lagu Pretty Boy dari M2M mengalun merdu dari ponsel gadis itu. I lie awake at night See things in black and white I've only got you inside my mind You know you have made me blind I lie awake and pray That you will look my way I have all this longing in my heart I knew it right from the start
"Astaga! Tuan, Anda baik-baik saja?" tanya Bianca makin mendekat. Dia sentuhkan punggung tangannya ke kening Danish."Panas sekali, Tuan," ujar Bianca seraya menarik tangannya, "Anda sakit. Tunggu sebentar saya ambilkan kompresan." Bianca segera berlari ke arah dapur dan mengambil air es. Kemudian, sebuah handuk kecil dia ambil dari ruang laundry. Tak lama, gadis itu kembali ke kamar Danish. Dia bahkan tidak menghiraukan pertanyaan dari Rey yang heran melihat Bianca bolak-balik.Bianca mengambil sebuah kursi dan menempatkannya tepat di samping tempat tidur. Dia segera memeras handuk dalam wadah air es dan menempelkannya di kening Danish. Lelaki itu tampak mengernyitkan dahinya. Sepertinya dia tidak nyaman dengan rasa dingin yang tiba-tiba terasa. Tubuhnya menggeliat. "Dingiin," rintihnya pelan. "Tapi Anda panas sekali, Tuan." Bianca menempelkan kembali handuk yang sempat terjatuh. "Minum obat dulu ya? Atau saya panggilkan dokter?" Danish menggeleng. "Aku hanya pusing setelah mem