"Hey bangun!" teriak Edward tepat di telinga Grace.
Gadis itu tertidur nyenyak di atas tempat tidur besar milik Edward, mengorok pula.
Edward lebih memilih tidur di atas sofa, semalaman dia tak tahan dengan dengkuran Grace yang mengganggu telinganya, sehingga memutuskan pindah ke sofa dan menjauh dari Grace.
Grace mengucek kedua matanya, kesadarannya belum pulih benar. "Begitu caramu membangunkan seorang tamu?"
Edward melotot, rahangnya mengeras, ditatapnya Grace dengan tajam dan berkata, "Heh, jadi kau mau tidur sampai kapan? Aku punya banyak urusan, aku antar kau pulang!"
"Ck, apa kau tak pernah bisa berbicara dengan lembut? Kurasa, di rumahmu semuanya tuli, ya?"
"Gadis tolol, cepat sebelum aku naik darah, pakai kembali bajumu. Tadi aku sudah menyuruh laundry apartemen untuk mencucinya untukmu."
Sebegitu perhatiannya Edward. Selama ini dia tak pernah peduli dengan yang namanya perempuan. Apalagi sampai rela menawarkan diri mengantar pulang, dan peduli dengan pakaian kotor grace sampai memaksa petugas laundry apartemen untuk mendahulukan mencuci beberapa potong pakaian milik Grace.
*
"Kau tinggal di tempat seperti ini?" tanya Edward ketika mobilnya berbelok ke arah lingkungan kumuh.
Semua bangunan tampak tak terawat, belum lagi beberapa gelandangan yang tidur di sembarang tempat beralaskan kardus menambah pemandangan yang tak layak dipandang.
"Iya, aku bukan orang kaya seperti kalian yang mampu berpindah-pindah apartemen jika merasa bosan di satu tempat. Tapi aku yakin suatu saat aku akan punya banyak uang."
Grace membuang pandangannya dan menatap sebuah papan nama yang sangat besar terpampang jelas 'RETRO CLUB HOUSE' sebuah bar ternama di Detroit.
"Aku mau melamar di sana." Grace menunjuk papan nama klub malam tersebut.
Edward meringis mendengar perkataan Grace, dia bilang dia ingin kerja di sana, untuk mendapatkan uang banyak?
"Hey, apa kau masih waras?" tanya Edward.
"Tentu saja, kenapa?"
"Kau tak punya cita-cita lain? Kau tahu kerasnya kehidupan malam. Mereka bersaing mendapatkan tamu, bahkan menggunakan cara licik, dan kau tak memiliki pengalaman sama sekali. Kau tak takut harus melayani om-om bertubuh besar dan sangar, yang kasar terhadap perempuan?"
"Buat apa aku takut?"
"Ah sudahlah, berbicara denganmu, sama saja berbicara dengan tembok."
Edward melirik dan memperhatikan wajah Grace dari samping. Jika memang benar dikatakan dia masih perawan, sungguh disayangkan jika dia harus bekerja di tempat seperti itu nantinya. Edward mengangkat satu tangan—hendak mengusap wajah Grace—kemudian diurungkan.
Tak lama kemudian keduanya tiba di sebuah pemukiman warga. Pemukiman itu terlihat berantakan. Orang-orang berkulit hitam terlihat asyik menari-nari di tepi jalan menggunakan jaket tebal, musim dingin tak terlalu berpengaruh, salju pun sudah mulai berkurang di bulan Januari, di sisi jalan lainnya, beberapa pemuda terlihat asyik mengisap ganja seolah tak peduli kalau mereka sedang diperhatikan.
"Itu rumahku, kau cukup mengantarku sampai di sini," ujar Grace seraya menunjuk sebuah rumah susun tua yang kelihatan kurang terurus, catnya sudah memudar, bahkan mengelupas, temboknya menghitam membentuk garis lurus dari atas hingga ke bawah, bekas rembesan air hujan.
"Aku laki-laki, aku yang membawamu, maka aku yang akan mengantarmu sampai di depan pintu!" jawab Edward setengah membentak.
"Hey, kau tak bisa ya, jika berbicara tanpa menarik urat?"
"Berisik, cepat tunjukkan tempatmu!"
*
Seusai mengerjakan pekerjaan kantor yang berhubungan dengan bisnis milik orangtua-orangtua mereka, keempat pemuda itu memilih sebuah tempat untuk makan siang.
"Kau ingin memesan apa, Ed?" tanya Mark sambil menatap buku menu yang ada di tangannya. Sepertinya, Edward tak mendengar kata-kata Mark sama sekali. Mark kelihatan bingung, melihat Edward yang tersenyum-senyum sendiri.
"Dia senang, karena semalam dia bersama Grace di apartemen," ujar Vanes.
Edward langsung menoleh, kedua bola matanya mendelik, dia langsung berdiri dan menghampiri Vanes, kemudian membungkam mulut Vanes dengan kedua tangannya.
"Ka-kau jangan membuat gosip!"
"Tunggu, siapa Grace?" tanya Mark tak paham. Sepertinya dia dan Kevin melewatkan sebuah berita besar tentang semalam.
Bukan hanya para perempuan yang senang bergosip, laki-laki pun suka. Apalagi ketika bergosip tentang Edward, pemuda dingin, arogan, yang tak pernah bisa bersikap lembut kepada perempuan, bahkan tak segan memukul perempuan yang berusaha menyentuhnya.
Vanes melepas tangan Edward dari mulutnya dan melanjutkan kata-katanya tadi, "Gadis di toko kue yang semalam, gadis itu mabuk dan Edward membawanya ke apartemen."
"Wow, kau sudah begitu dengannya?" tanya Mark penasaran.
"Kau kira aku gila, meniduri perempuan yang sedang mabuk, sama saja mencuri kesempatan darinya!" jawab Edward jengkel.
"Ya, aku lupa sepertinya kau harus segera ke psikiater dan memeriksa kejiwaanmu. Siapa tahu kau sudah mulai tak normal. Seumur dirimu masih perjaka, itu sangat aneh," ejek Mark kemudian meraih sekaleng bir di atas meja dan meminumnya.
"Benar, bahkan Cathy saja tak bisa memaksamu untuk berkencan dengan anak dari relasi bisnisnya, kau ingat Adel? Gadis yang kau tinggal di restoran sendirian? Akhirnya hubungan bisnis itu gagal karena tingkah lakumu," sambung Vanes.
Mereka masih ingat kejadian tahun lalu, ketika Cathy—ibu dari Edward—memintanya untuk bertunangan, kemudian menyuruh Edward menemani Adel makan malam. Sesampainya di restoran, dengan seenak jidat Edward memesan semua menu kemudian meninggalkan Adel dan menyuruh gadis itu membayar semua tagihan.
"Aku tak bisa memaksa diri berkencan dengan orang yang tak kusukai," jawab Edward santai sambil mengisap sebatang rokok.
"Memangnya ada gadis yang kausukai?" tanya Kevin tiba-tiba yang sejak tadi hanya diam mendengarkan segala perdebatan yang tak berguna di antara ketiga orang itu.
"Hmmm ... entah," jawab Edward singkat.
"Mungkin, jika Valerie kembali ke Jepang, aku bisa mengencani Grace," ujar Kevin sekali lagi tanpa dosa, dan dia bisa melihat perubahan ekspresi pada wajah Edward, apalagi dia merasa Edward menatapnya dengan sinis.
"Silakan, dia juga masih perawan."
"JACKPOT!" teriak ketiga kawannya; Mark, Kevin, dan Vanes. Serigala-serigala tanpa bulu itu begitu senang mendengar kalimat yang baru saja diucapkan Edward. Mendengar kalimat itu, wajah dan kuping Edward memerah, dan menatap sinis ketiga kawannya. Kesal!
*
Grace berlari ke arah pintu, sejak tadi kupingnya merasa terganggu dengan bel rumah yang tak henti-hentinya berbunyi. Kedua orangtuanya pun sedang tak ada di rumah, hanya ada dia, Sean, dan Howard, kedua adik laki-lakinya yang brengsek.
"Kalian sibuk mengisap ganja, apa tak mendengar kalau bel pintu dari tadi berbunyi?!" bentak Grace yang tak diacuhkan sama sekali.
Grace tak peduli, dia mengintip dari lubang kunci, terlihat dua pria berbadan kekar dan berwajah sangar sedang berdiri di depan pintu, mereka memakai setelan jas, dan kacamata hitam. Tanpa ragu, Grace membukakan pintu.
"Tuan Frey ada?"
"Kalian siapa, dan mau apa mencari ayahku?"
"Kami ingin meminta pertanggungjawabannya."
"Huh? Memangnya dia melakukan apa?"
"Mana dia?" tanya laki-laki satunya yang bertubuh lebih tinggi, tanpa sopan santun dia melangkah masuk dan menyingkirkan Grace, "Katakan pada ayahmu, Nathan mencarinya."
"Eh, eh, kalian mau apa, masuk ke rumah orang seenaknya. Memangnya ayahku ada salah apa? Siapa itu Nathan?"
Lelaki satunya mengacak-acak seisi rumah, membuka laci, mengeluarkan isinya dan membuangnya ke lantai. "Nathan pemilik kasino dekat bar terkenal itu, suruh dia bayar hutangnya!"
"Hutang? Hutang apa?"
Seribu pertanyaan menggelayut di benak Grace, ayahnya berhutang? Jika memang berhutang, lalu uangnya untuk apa? Dia masih memiliki tabungan yang ditaruhnya di bawah kasur, memang tak banyak, tapi setidaknya bisa membuat dua laki-laki menyeramkan itu pergi dari rumahnya, begitu ayahnya pulang, dia akan menanyakan, kenapa harus berhutang.
"Ayahmu kalah judi, dan dia harus membayarnya."
"Tuhan, berapa besar hutangnya pada kalian?!"
"Sepuluh ribu dollar, apa kau punya uang sebanyak itu? Jika ya, lebih baik kauserahkan, setelah itu, kau tak perlu lagi melihat kami datang ke mari," jawab laki-laki yang bertubuh lebih tinggi tadi.
Sepuluh ribu dollar, Grace merasakan pening secara tiba-tiba, darimana mendapatkan uang sebanyak itu? Tabungannya hanya ada lima ratus dollar, tak akan mungkin cukup membayar kedua preman suruh orang bernama Nathan.
Grace yang saat itu mengenakan celana pendek dan kaos ketat, menjadi pusat perhatian mata-mata nakal kedua pria di hadapannya. Lelaki satunya mendekati Grace, "Thomas, mungkin hutangnya bisa lunas, jika—"
"Wohhoo, pikiran kalian kotor, aku sudah tahu maksud kalian. Aku lebih memilih membayar hutang tersebut, ketimbang harus menjadi jaminan. Jangan pernah berharap kalian bisa mendapatkan apa yang ada di otak kalian, sekarang pergi atau aku tak segan membunuh kalian berdua!"
"Lagi pula kau lumayan juga," kata lelaki yang bernama Thomas, dia berjalan mendekati Grace dan menyolek wajah Grace, membuat Grace bergidik ngeri dan jijik.
Merasa terancam, Grace tanpa segan melayangkan sebuah pukulan telak ke arah wajah Thomas, yang membuat Thomas bergerak mundur, dan mengusap wajahnya.
"Itu baru satu pukulan, kalau kalian masih di sini, aku berani jamin, kalian akan pulang tinggal nama."
"Dasar pelacur cilik!"
Tamparan yang cukup keras dari Thomas mengenai wajah Grace, membuat tepi bibir Grace terluka.
"Heh, apa pun sebutanmu untukku, aku tak peduli. Tapi kau dan si jelek satunya, seenaknya masuk dan mengacak-acak rumah orang. Sekarang kalian pergi atau aku akan berteriak sekuat tenaga supaya satu rumah susun menghajar kalian sampai mati!" bentak Grace, sorot mata Grace berubah, raut mukanya pun tak seperti biasanya, dia benar-benar sudah kehabisan sabar.
"Cih! Kalian yang berhutang, kalian yang lebih galak!"
Grace hanya diam ketika salah satu laki-laki itu meludahi wajah Grace.
Meski mukanya terlihat babak belur sehabis beradu otot dengan dua laki-laki setan, Grace tetap bekerja. Natalie yang melihat wajah Grace berantakan tak karuan, mengerutkan keningnya, dan dengan hati-hati Natalie bertanya tanpa berani menatap wajah Grace. "By the way, kenapa dengan wajah dan bibirmu?" Grace yang sedang memajang kue-kue display di showcase, menoleh, "Oh, ini maksudmu?" dia menunjuk pipi dan bibirnya,"Ada orang gila mengamuk di rumahku," lanjut Grace semaunya. "Ayolah Grace, kau dan aku bersahabat sudah lama, aku tahu ada yang kau sembunyikan dariku, ceritakan siapa yang memukulmu?" "Ehm, dua penagih utang datang ke rumah. Aku bertengkar dengan mereka, lalu seperti ini jadinya." “Wah, siapa yang berhutang?” tanya Natalie penasaran. “Ayahku, tingkah lakunya memang konyol dan membuatku kesal. Sudahlah, tak perlu dibahas. Aku harus fokus mencari uang sebanyak sepuluh ribu dollar untuk mengganti uang terse
Setelah selesai berdansa dengan ketiga pemuda tampan itu, Grace kembali ke meja di mana Edward hanya mendiamkan Natalie tanpa mengajaknya mengobrol sama sekali. Di meja terlihat satu botol bir yang sudah kosong, ditenggak habis sendiri oleh Edward. “Hey, Ed. Kenapa kau tak mau berdansa tadi?” “Apa urusannya dengan kalian?” jawab Edward tanpa menoleh sedikit pun. Kevin duduk di sebelah Grace, dan mengajak Grace ke meja billiard. Grace sama sekali tak menolak. Justru dia merasa senang, harapannya untuk berlama-lama dengan Kevin akhirnya terkabul. “Sepertinya Kevin lupa kalau dia sudah memiliki Natalie,” sindir Mark. Sindiran mengena tepat pada Edward. Edward tak bisa berkutik, perasaannya campur aduk, tak mungkin dia menyukai Grace hanya dalam beberapa hari. Mereka pun belum mengenal satu sama lain dengan baik, belum lagi keduanya berasal dari latar belakang yang berbeda. Kevin agak terkejut ketika menyadari tepi bibir Grace memiliki luk
Kampus besar dan megah milik keluarga Mark terlihat lain dari kampus pada umumnya. Kampus itu benar-benar luas, bisa membawa mobil mengitari seluruh areanya. Kampus itu memiliki sebuah danau di tengah-tengah, lapangan golf, kolam renang, dan fasilitas lainnya. Keempat pemuda yang menamatkan kuliah dan menerima gelar dari kampus itu, terlihat berjalan beriringan masuk ke dalamnya. Semua mata tak lepas memandang keempat pemuda tampan dan keren itu. "Kenapa kau tiba-tiba mengajakku ke kampus?" tanya Mark yang tak mengerti jalan pikiran sahabatnya yang satu ini. "Aku mau mendaftar," jawab Edward singkat. "Kau mau menjadi mahasiswa lagi?" "Mark, orangtuamu pemilik kampus ini, kan? Aku mau memasukkan seseorang di kampus ini, dan aku akan membayar semua biayanya sampai orang itu selesai menamatkan pendidikannya." "Maksudmu siapa?" "Nanti kau akan tahu, yang jelas orang itu sudah kehilangan otaknya, dan sudah ta
Setelah kejadian di Beacon Park, Edward tak mau menemui Kevin sama sekali. Kevin yang mengundangnya untuk datang ke resital piano tunggal miliknya di hari Sabtu ditolak oleh Edward mentah-mentah. Dia memilih sibuk dengan urusannya sendiri. “Jadi, Valerie kembali dari Jepang?” tanya Mark. “Ya, dia juga akan datang sebentar lagi menghadiri resital piano, berikan dia tempat khusus,” jawab Kevin lalu berlalu menuju ke belakang panggung. “Permisi, hai Mark, Van, maaf aku datang terlambat.” Seorang perempuan cantik, dengan rambut panjang berwarna hitam yang dibiarkan tergerai bebas, mengenakan gaun panjang berwarna merah maroon, mengambil tempat duduk kosong—yang memang sudah disediakan—di tengah ke dua pemuda itu. “Kau terlambat lima belas menit, Valerie,” ujar Vanes yang duduk di samping Valerie tanpa menoleh. Perempuan itu adalah seseorang yang selalu dipuja-puja Kevin, dia adalah guru piano Kevin, seorang pianis muda terkenal yang namanya selalu terpamp
Keinginan Grace untuk bekerja di sebuah klub malam sudah sangat bulat, beberapa bulan kemudian Grace mengajukan resign. Melalui bantuan James yang kebetulan kenal dengan salah satu manager klub tersebut, Grace bisa dengan sangat mudah masuk dan bekerja di sana. Grace melamar penjadi penari pool dance. Perihal hutang dengan Nathan—pemilik kasino—masih belum juga beres, dan kedua bodyguard bertampang jelek dan menyeramkan itu sesekali masih datang mengganggu Grace saat Grace ada di rumah. Bel rumah berbunyi berkali-kali, dan Grace yakin, pasti kedua orang itu lagi. Karena hanya mereka berdua yang sangat barbar menekan tombol bel semaunya. “Sudah kubilang—“ Grace terdiam tak melanjutkan kata-katanya ketika yang dilihatnya di depan pintu bukan kedua orang gila tersebut melainkan Edward. Edward terlihat tampan dengan pakaian casual. Musim dingin sudah berlalu beberapa bulan yang lalu, dan sudah beberapa bulan pula dia masuk ke dalam lingkara
Di tempat lain, di tepi sebuah danau. Kevin sedang berdiri, kedua matanya serius menatap ke tengah danau. Kevin berjalan menuju jembatan, kemudian duduk bersandar pada tiang. Dia merasa sepi, hampa, dan kosong. Memang tak selamanya uang mampu memberi kebahagiaan, sebetulnya dia iri dengan kebebasan dan keceriaan yang dimiliki Grace. Andai dia bisa memilih, dia memilih dilahirkan sebagai orang biasa. "Hey." Kevin agak terkejut melihat kemunculan Mark di dekatnya. "Sedang apa kau di sini?" "Sedang apa? Kau lupa? Aku pemilik tempat ini berikut danau yang menjadi tempat lamunan jorokmu," jawab Mark sekenanya. "Oh, kau pasti sedang mengecek sesuatu, sampai datang ke universitas, hal yang jarang sekali kau lakukan, Mark." "Tepat sekali, lelaki arogan berwajah tampan itu menyuruhku mengurus segala keperluan Grace, aku sendiri baru tahu kalau dia ingin memasukkan Grace ke sini. Entah apa yang ada di otaknya, aku benar-benar tak pah
“Hi, ternyata ini kau, Grace,” sapa Kevin. Tak bisa disangkal, Kevin pun terpesona melihat perubahan Grace. Diperhatikannya Grace dari ujung kaki sampai ujung kepala, entah kenapa Grace terlihat sangat cantik di mata Kevin. “Kevin,” ujar Grace dengan nada gembira. Yes, ksatria tanpa kuda pujaan hatinya berdiri di hadapannya dan mengulurkan tangan, tanpa ragu Grace menyambut uluran tangan Kevin. Vanes menepuk dahinya sendiri. “Tidak untuk yang kesekian kali, baru tadi dia mengatakan bahwa dia sangat mencintai Valerie, dan sekarang naluri laki-lakinya tak bisa menahan godaan ketika melihat Grace,” kata Vanes sembari menyikut lengan Mark yang berdiri di sampingnya. Edward mengernyitkan dahi, tatapan matanya seperti tatapan ingin membunuh Kevin. Bagaimana bisa, Kevin membawa Grace ke mejanya tanpa permisi kepada Edward, itu benar-benar menginjak harga dirinya! Kali ini Edward tak banyak basa-basi, sembari melepas jas dan dasi—dilemparnya ke sofa—k
Kevin, Mark, dan Vanes, ketiganya berada di rumah Edward, dan Edward tak ada di sana. Sudah pukul tiga pagi dini hari. Edward masih belum menampakkan batang hidungnya sama sekali. Terdengar suara langkah kaki menuju ke arah mereka yang sedang duduk di bar dalam rumah Edward. “Ke mana Ed?” Kevin menoleh perlahan, seorang pria tua berwajah mirip dengan Edward sedang berdiri sembari berkacak pinggang. Betul sekali, dia adalah Jason, ayah dari Edward. “Tadi dia pamit untuk pergi ke suatu tempat, sebentar lagi dia pasti kembali,” jawab Kevin berusaha menutupi, sedangkan dia sendiri tak tahu ke mana Edward saat itu. “Dua orang anak laki-laki yang kumiliki, semuanya berkepala batu. Untung saja mereka tidak tinggal bersama saat ini, jika tidak akan setiap hari aku mencemaskan keduanya,” ujar Jason. “Oh ya, bagaimana kabar Ethan, Mr. Jas?” Jason menatap Kevin dengan gayanya yang angkuh dan dingin, “Dia baik-baik