Share

Bab 4 : Jangan Pancing Emosiku!

Meski mukanya terlihat babak belur sehabis beradu otot dengan dua laki-laki setan, Grace tetap bekerja.

Natalie yang melihat wajah Grace berantakan tak karuan, mengerutkan keningnya, dan dengan hati-hati Natalie bertanya tanpa berani menatap wajah Grace. 

"By the way, kenapa dengan wajah dan bibirmu?"

Grace yang sedang memajang kue-kue display di showcase, menoleh, "Oh, ini maksudmu?" dia menunjuk pipi dan bibirnya,"Ada orang gila mengamuk di rumahku," lanjut Grace semaunya. 

"Ayolah Grace, kau dan aku bersahabat sudah lama, aku tahu ada yang kau sembunyikan dariku, ceritakan siapa yang memukulmu?"

"Ehm, dua penagih utang datang ke rumah. Aku bertengkar dengan mereka, lalu seperti ini jadinya."

“Wah, siapa yang berhutang?” tanya Natalie penasaran.

“Ayahku, tingkah lakunya memang konyol dan membuatku kesal. Sudahlah, tak perlu dibahas. Aku harus fokus mencari uang sebanyak sepuluh ribu dollar untuk mengganti uang tersebut. Kau pikir aku bisa hidup tenang?”

“Aku tak tahu, semangatlah. Aku yakin kau pasti bisa,” jawab Natalie sembari menepuk pundak Grace.

Dia tahu, sahabatnya itu sangat kuat, tak akan mudah menyerah. Terkadang memang Grace memperlihatkan sisi konyol dan tak pernah serius dengan hal-hal tertentu. Tetapi di sisi lain, Grace adalah gadis yang tahan banting, tak peduli dengan urusan orang lain, dan dia selalu membantu Natalie di situasi yang terkadang sangat menyebalkan.

*

Selesai jam kantor, keempat pemuda keren itu memutuskan untuk pergi menghibur diri.

Edward masih bertingkah laku aneh, di dalam mobil pun terkadang dia terlihat senyum-senyum tak jelas, entah apa yang ada di dalam pikirannya saat itu.

Cukup satu orang yang agak aneh yaitu Kevin, pemuda yang tak banyak bicara, senang menyendiri, tetapi memiliki otak yang paling cerdas di antara mereka semua. Dia bisa membuat rekan bisnis mengikuti apa yang diinginkannya melalui strategi-strategi bisnis yang dipresentasikannya.

Terkadang ketiga sahabatnya pun meminta pendapat padanya, dan ... voila! Kevin bisa memberikan solusi yang dibutuhkan. Tapi jangan meminta pendapat tentang masalah percintaan, atau kau hanya akan mendengar kalimat ‘terserah’ yang keluar dari mulutnya.

Vanes menyikut bahu Edward, “Apa yang kau pikirkan, seharian ini kau terlihat seperti orang gila. Tersenyum sendiri tanpa alasan. Apa kau sedang jatuh cinta?”

Edward menoleh perlahan, raut wajahnya seperti ingin mengatakan ‘kuhajar kau’ pada Vanes.

“Jatuh cinta? Aku ... Edward, tak mungkin jatuh cinta. Kalau sampai aku jatuh cinta pada seseorang, sampai ke ujung dunia atau diharuskan ke neraka sekalipun, aku tak akan melepasnya. Meski dia sudah ada yang memiliki, atau memilih orang lain, aku tak akan mengijinkannya, dia harus menjadi milikku, suka atau tidak,” jawab Edward dengan mimik serius.

“Wow, kau membuatku merinding. Apa kau benar-benar serius dengan ucapanmu, Ed?”

“Tentu saja, sejak kecil aku tak pernah tak mendapatkan apa yang kuinginkan. Jadi, jika aku menemukan gadis yang sesuai, aku tak akan pernah melepaskannya, tidak akan pernah.”

“Lalu ... jika memang seperti itu, kenapa dulu kau melepaskan Lesley?”

Lesley? Nama yang sangat dibencinya, bahkan untuk melihatnya lagi, Edward tak akan pernah sudi.

Gadis yang pernah dicintainya setengah mati, bahkan rela mati untuknya, begitu saja menginjak-injak harga diri seorang Edward dengan pergi bersama laki-laki lain lalu kedapatan bercumbu di apartemen miliknya, itu tak bisa dimaafkan.

Terlalu sakit untuk diingat. Lesley adalah cinta pertama Edward, gadis pertama juga yang menyakitinya sampai dia tak mau lagi merasakan yang namanya jatuh cinta. Jatuh cinta itu seperti sebuah penyakit, semakin digerogoti olehnya, maka lama-lama akan mati dengan sendirinya.

“Karena ... dia tak pernah mau kumiliki seutuhnya, dia selalu membantahku, selalu berkhianat meski berkali-kali pula aku memaafkannya. Kau tahu semua cerita tentangku dan Lesley. Tapi kali ini, jika aku menemukan gadis yang lebih istimewa, aku tak akan pernah melepaskannya sampai mati, mau dia mengejang dalam dekapanku, aku tak peduli!”

“Sepertinya kau tertarik dengan gadis semalam, Grace. Betul, kan?”

“Kau gila? Gadis itu jelas-jelas tak memenuhi semua kriteriaku, kau tahu apa cita-citanya?”

“Apa?”

“Menjadi wanita penghibur di klub malam, apa kau pikir aku mau hidup bersama dengan gadis semacam itu?”

“Hahaha ... tapi tak menutup kemungkinan, kan?”

“Aku akan berlari mengelilingi Roma, jika sampai aku mencintai gadis berkepala batu, dan tolol seperti dia. Aku bersumpah!”

“Ingat, jangan sembarangan mengeluarkan kata-kata, atau suatu saat akan menjadi bumerang bagimu,” ledek Vanes.

Entah kenapa bayangan tentang Grace kali ini menari-nari di kepala Edward, tingkah konyol, genit, dan ceplas-ceplos seakan melekat tak mau pergi.

*

Mereka memilih sebuah tempat bermain billiard untuk meredakan jenuh yang melanda setelah seharian berkutat dengan dokumen yang terus memperkaya diri.

Sekali lagi mereka menjadi pusat perhatian di sana, bahkan beberapa perempuan tak segan menghampiri dan meminta untuk berfoto, hanya Edward yang menolak.

Di luar gedung, Natalie dan Grace pun menuju ke tempat yang sama seperti Edward, dkk. Grace ingin melupakan sebentar saja masalah yang sekarang sedang dihadapinya, dia hanya ingin setelah pulang nanti tak ada lagi beban menumpuk di dalam kepalanya.

Grace memasang headset lalu memutar lagu dengan volume maksimal, tanpa disadarinya beberapa pasang mata tertuju padanya ketika dia menggerakkan tubuhnya mengikuti irama lagu yang didengarnya.

Kepalanya mengangguk-angguk, kedua tangannya bergerak dengan lincah bahkan ketika membuka pintu dia masih menari-nari. Natalie tak bisa menahan kebiasaan gadis satu itu.

“Hey, James!” teriak Grace dari kejauhan memanggil James, seorang bartender gay yang sangat dikenalnya.

“Grace!” James membalas lambaian tangan Grace.

“Kencangkan suara musiknya seperti biasa!” teriak Grace lagi.

Tanpa harus diminta berulang kali, James menyalakan sound system, memutar lagu berirama R&B, dan atraksi gila Grace dimulai, dia melepaskan headset, memasukkan handphone ke dalam tas, meminta Natalie memegangnya.

Vanes, Mark, dan Kevin menatap Grace dengan kagum, tapi Edward sibuk dengan handphonenya membalas pesan dari relasi-relasi bisnisnya, tanpa menyadari bahwa Grace ada di tempat yang sama dengannya saat itu.

Bukan tarian erotis yang dibawakan Grace saat itu, melainkan sebuah gerakan breakdance.

“Kev, Mark, ayo,” ajak Vanes yang juga menyukai dance.

Mereka bertiga maju ke depan, dan mengikuti gerakan Grace. Grace tak peduli dia hanya tertawa dan melanjutkannya.

Edward yang baru menyadari ketiga temannya tak lagi duduk di sampingnya, melihat ke arah di mana Grace berada.

Wajah Grace yang berkeringat terlihat seksi di mata Edward. Rambut coklat dan panjang milik Grace yang bergerak mengikuti irama musik seakan memaku tatapan Edward tanpa berkedip.

Setiap gerakan dan keringat yang terus mengalir membasahi wajah, leher, dan pakaian Grace, membuat Edward menelan ludah. Gadis itu menghipnotis semua orang di sana. Tiba-tiba Edward melihat bekas luka di bibir Grace, matanya memang jeli.

Edward berjalan  ke arah Grace, menarik tangan Grace dengan kasar, dan membawanya masuk ke dalam dekapannya.

“Jangan diteruskan,” ujarnya sambil menarik Grace keluar dari kerumunan yang semakin lama semakin ramai.

Grace berusaha melepaskan tangan Edward, tapi tangan itu terlalu kuat untuk dilawan.

“Ed, lepas!”

“Duduk!”

“Wow, apa-apaan kau?”

“Kau menari seperti itu, apa kau ingin diperhatikan satu gedung? Kau ingin membuat mereka menari sambil menggodamu?!”

Grace dengan jahilnya menepuk jidat Edward dan berkata, “Hallo Tuan Muda yang kaya raya, apa kau sedang mengigau? Memangnya kenapa kalau mereka menggodaku?”

“A-aku ...,” Edward gelagapan tak tahu mau menjawab apa.

Kevin, Mark, dan Vanes yang sudah kelelahan menghampiri Edward dan Grace, diikuti oleh Natalie di belakangnya.

“Hey, temanmu ini sudah gila, ya?” tanya Grace kepada tiga orang yang sudah berada di depannya.

“Kenapa?” tanya Kevin.

Grace tak langsung menjawab, mulutnya menganga melihat wajah Kevin dari dekat, pemuda yang kemarin diperhatikannya secara diam-diam, kini berbicara padanya dan menatapnya.

“Ehem!” Edward berdehem membuyarkan lamunan Grace.

“Eh, apa-apaan temanmu ini, menarikku dengan kasar, dan melarangku untuk menari di sana!”

Mark dan Vanes saling melempar tatapan, Mark mengangkat satu alisnya memberi kode kepada Vanes. Vanes berjalan ke arah James, dan membisikkan sesuatu, dalam sekejap irama lagu berubah menjadi lagu romantis, mengubah tempat itu menjadi sebuah lantai dansa. Vanes menghampiri Grace seraya mengulurkan tangan, tanpa segan Grace menyambut tangan Vanes.

Edward menarik napas dalam-dalam, kedua matanya menyalang menatap tajam ke arah Vanes dan Grace yang mulai menjauh, kedua tangannya mengepal di samping, giginya mengetat, ingin rasanya dia memukul kepala Vanes, kalau bisa sampai pingsan dan tak sadarkan diri.

Selesai berdansa dengan Vanes, Kevin mengambil giliran, tak peduli dengan tatapan Edward yang semakin menjadi-jadi, dia merasa ketiga temannya sedang mengejek.

“Awas kalian, jadi begini caranya,” gumam Edward kesal.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Wiro Sableng
kelihatan jadi seru nih
goodnovel comment avatar
Kikiw
gass gak nieh trio? wkwk
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status