Olivia menyandarkan diri di balik pohon untuk waktu yang cukup lama. Hingga beranjak sore, mobil dan orang-orang itu belum beranjak dari tempatnya. Olivia tak tahu sampai kapan mereka berada di sana. Tapi gadis itu tak bisa menunggu lebih lama lagi.
Dengan kaki yang masih terasa pegal, Olivia bergerak menuju restoran tempatnya bekerja. Dengan mengendap-endap Olivia menuju pintu belakang, jalan masuk bagi karyawan.
Namun lagi-lagi pemandangan yang sama berada di sana. Olivia kembali bersandar di bak sampah besar, merasa kalau laki-laki bernama Ronan benar-benar berusaha menemukannya.
Oliva tak jadi masuk untuk mengambil tas yang berisi dompet dan juga ponselnya. Atau mungkin benda-benda pribadinya itu telah berpindah tangan pada pria-pria yang sedang menantikan kehadirannya.
Olivia lalu kembali bergerak ke tujuan terakhirnya. Meski merasa sangat lelah, dia tetap harus mencari tahu apa yang terjadi. David akan menemukan jalan untuknya.
*
"Apa begitu sulit menemukan gadis biasa seperti dia?" Ronan memekik kesal. Keadaannya bertambah pulih, dan dia sudah berada di kediamannya.
"Sepertinya dia tahu kita mencarinya ke semua tempat. Dia jadi lebih berhati-hati. Apa tidak sebaiknya kita biarkan saja dan fokus mencari gadis yang satunya?" Kim memberi usulan. Dia tahu gadis itu bukan masalah besar, namun majikannya berusaha mati-matian mencarinya hingga mengabaikan tujuan utama mereka selama ini.
"Apa kini kau yang mengambil keputusan?" Rahang kokoh Ronan mengeras mendengar kelancangan budak yang selama ini diberinya makan.
Kim tahu diri, lalu bergegas meminta maaf dan menyesali ucapannya. Terkadang dia memang bisa bersikap lancang, karena tahu pasti bagaimana sebenarnya watak dan perilaku majikannya selama ini.
"Keluar dan temukan dia!"
"Baik, Pak." Kim pamit.
"Kim__." Pria berwajah oriental itu mengentikan langkahnya saat mendengar Ronan berseru. "Hidup-hidup."
Kim mengangguk. Lalu melangkah pergi. Mengerti bahwa Ronan menginginkan pertemuan selanjutnya dengan gadis itu.
Di tempat lain, Olivia sampai pada kediaman David. Kekasihnya yang belum lama dia kencani. Kawasan kos-kosan itu terlihat aman. Orang-orang itu mungkin tak tahu menahu tentang David. Ternyata tidak semua data dan orang-orang yang berhubungan dengan Olivia mereka tahu.
Pintu kamar David tampak tertutup rapat. Mau menghubunginya pun Olivia sedang tak memegang ponsel. Gadis itu berulang kali mengetuk pintu dan memanggil David berulang. Dia butuh ponsel untuk berbicara pada Silvia.
"David sudah tidak tinggal di situ." Seorang pemuda berusia dua puluhan mendekati Olivia di depan pintu.
Olivia menatapnya heran.
"Aku Heru. Aku tinggal di kamar sebelah." Pemuda itu memperkenalkan diri.
"Apa maksudmu? Dua hari yang lalu aku masih bertemu dengannya." Dahi Olivia mengernyit.
"Dia pergi siang kemarin. Katanya akan menikah. Aku melihat gadis yang bersamanya membawa tas pakaian."
Olivia menelan ludah. Menikah, katanya? Sedang gadis yang diberi tahu Heru adalah kekasih David. Hanya saja Olivia baru beberapa kali berkunjung ke sini. Dia tak ingin berada dalam saru ruangan sempit pada pria yang jelas punya hasrat padanya.
"Me_menikah?" Olivia terbata.
"Itu yang dia katakan."
"Dengan siapa?" Olivia butuh informasi lebih banyak.
"Aku tak mengenalnya. Gadis itu sering datang kemari. Rambutnya dicat berwarna cokelat, sama sepertimu." Heru menjelaskan ciri-cirinya.
Perasaan Olivia mendadak tidak enak. Pikiran buruk kini sedang menyerangnya. Dia bersusah payah membuang prasangka, lalu kembali meyakinkan dirinya bahwa dia salah.
"Apa gadis itu memiliki tahi lalat kecil di samping dagunya?" Keluar juga kata-kata itu dari mulut Olivia. Berharap Heru menjawab 'tidak'.
Pemuda itu berpikir sejenak.
"Kurasa, ya."
Tungkai kaki Olivia mendadak lemas. Hampir terjatuh jika saja Heru tak dengan sigap menangkapnya.
"Kau tidak apa-apa? Kau kenapa?" Heru tampak cemas.
Bola mata Olivia bergerak liar untuk menahan air matanya. Dia tak mau terlihat menangis di hadapan orang yang baru saja bertemu dengannya.
'Silvia. Sejak kapan?'
~~~
Pikiran Olivia penuh tanda tanya. Apa yang sebenarnya terjadi. Ada apa dengan saudara dan kekasihnya saat ini. Sejak kapan mereka menusuk Olivia dari belakang. Dan kenapa tiba-tiba memutuskan menikah secepat ini.Olivia meneguk air putih dengan sekali tegukan hingga tandas. Lalu mengembalikan gelas pada Heru yang mempersilakannya duduk di dinding teras."Maaf, aku tak tahu kalau kata-kataku tadi ada yang salah." Heru merasa tidak enak telah membuat Olivia menjadi seperti itu."Tidak. Justru aku berterima kasih padamu. Aku hanya tak menyangka. Ini benar-benar tidak masuk akal." Olivia mencoba menenangkan diri.Heru mengangguk, mengusap tengkuknya. Memiliki firasat, bahwa ini adalah tentang cinta segitiga."Kau bilang, gadis itu sering kemari? Dia masuk ke kamar David?""Ya. David selalu di dalam tiap kali gadis itu datang."Olivia kembali merasakan jantungnya teremas. Dia tak habis pikir, apa saja yang mereka lakukan di dalam sana. Sementara selama ini Silvia bersikap acuh tak acuh saa
Setelah Heru mendapatkan alamat David dari teman dekatnya, Olivia pamit.Olivia sangat berterima kasih pada Heru karena telah berbaik hati mengizinkannya menginap tanpa berbuat yang macam-macam padanya. Olivia sangat menghargai itu. Ditambah lagi, Heru dengan tenang meminjaminya uang, meski mereka baru kenal tiga hari ini."Setelah urusanku selesai, aku berjanji akan membayarmu kembali." Olivia bersungguh-sungguh.Setelah mendapatkan jawaban dari Silvia, dia akan kembali menemui pria yang dipukulnya waktu itu. Lalu kembali membayar Heru. Dia bahkan tak bisa meminta gajinya bulan ini ke restoran. Orang-orang itu pasti masih mengawasi. Hingga dia tidak bisa bebas kembali ke mana pun. Baik ke tempat kerja, ataupun tempat tinggalnya.Olivia memesan tiket kereta untuk keberangkatan pagi ini. Air matanya tak berhenti mengalir memikirkan nasibnya saat ini. Bahkan ketakutannya pada pria bernama Ronan dapat dikalahkan oleh pengkhianat saudara dan juga kekasihnya.Dan Olivia menangis karena itu
David dengan cepat menarik tangannya dari Pak tua. Lalu berdiri dan menghampiri Olivia. Silvia juga sama. Seperti melihat hantu, keduanya tampak memucat. Hingga para keluarga dan tamu menatap heran."Aku bisa jelaskan, Oliv." Suara David tercekat. Dia tampak menyesali perbuatannya. "Apa yang ingin kau jelaskan? Bahwa selama ini kalian menertawakanku dari belakang?" Olivia terlihat santai. Berusaha tidak berapi-api di hadapan mereka. Padahal hatinya kini remuk redam melihat sepasang pengantin yang belum sah itu."Olive, maaf...." David seperti tak mampu mengucapkan apa pun. "Silvia... hamil."Olivia melirik Silvia yang tertunduk. Ingin sekali rasanya dia mencekik leher gadis itu. Dan juga membunuh David dengan tangannya sendiri. Selama berbulan-bulan Olivia menjaga dirinya dari pria itu. Dan David tak pernah memaksanya. Lalu kini dia bilang Silvia hamil. Benar-benar Olivia tak bisa mempercayainya."Kau yakin dia anakmu, David?" Olivia sedikit bermain-main dan berusaha mempermalukan k
Tubuh Olivia sedikit limbung. Tapi dia berusaha untuk tetap terlihat tidak takut. Apa yang pria itu inginkan sudah dia dapatkan. Silvia telah muncul di hadapannya. Kesalahpahaman akan segera berakhir.Mata Ronan melirik ke arah dada Silvia. Kerah baju dengan model rendah itu jelas memperlihatkan leher jenjangnya yang putih bersih. Olivia tidak lagi merasa heran dengan tatapan itu. Pria seperti Ronan tak akan puas jika tak melucuti semuanya.Ronan tampak mengangguk pada Kim yang berada di sebelahnya. Kim mengerti. "Bawa gadis itu!" Kim memerintah bawahannya."Apa yang kalian lakukan? Lepaskan aku." Silvia tampak ketakutan. Sepertinya dia juga tahu siapa orang-orang itu dan kenapa mereka menangkapnya.Silvia diseret keluar. Para tamu merasa heran, namun tak bisa berbuat apa-apa."David, tolong aku. Suruh mereka melepaskan aku." Silvia berteriak pada David. David hanya terdiam. Dia telah mendengar dari salah satu orang asing itu, bahwa Silvia melarikan uang dari majikan mereka sebelum
David kembali masuk dan mendapati Olivia sedang terduduk lemas di lantai. David tahu, ketegaran kekasih yang masih dia cintai di depan orang-orang itu hanyalah kepalsuan. Olivia begitu bersedih.David begitu merasa bersalah. Dia tak menyalahkan Olivia jika gadis itu kini membencinya. Tapi dia masih berharap Olivia masih mau memaafkan dan menerimanya kembali."Jangan bermimpi!" Olivia mencebik saat David mengutarakan harapannya."Aku akan bersabar menunggumu, Oliv. Aku tidak minta sekarang. Kau bisa menanangkan dirimu. Tak perlu menjawabnya saat ini juga.""Sampai mati pun aku tidak akan pernah kembali padamu!" Ingin sekali rasanya Olivia meludahi wajah pengkhianat itu. Mati-matian dia mempertahankan kehormatan, meski dengan mengorbankan keselamatannya sendiri. Hal itu hanya demi bisa memberikan kesucian pada pria yang akan menikahinya kelak. Tentu saja pada David yang saat itu sangat dia cintai.Tapi kini, perasaan itu benar-benar telah lenyap. Yang ada hanya rasa benci dan juga amar
Pagi harinya Olivia mengunjungi Heru setelah menghubunginya. Kebetulan pemuda yang bekerja sebagai buruh di pabrik yang sama dengan David itu mendapat shift malam. Sehingga dia dapat menemui Olivia di pagi hari."Kau mengembalikannya terlalu cepat." Heru dengan segan menerima amplop coklat dari Olivia."Aku sudah mendapatkan gajiku. Tak ada alasan menahan uangmu lebih lama lagi. Terima kasih banyak atas bantuanmu, Heru." Olivia berkata tulus."Ya. Katakan kalau kau butuh yang lain. Aku akan berusaha membantumu.""Benarkah?" Olivia berpikir sejenak. "Apa kamar di sebelahmu masih kosong?"Olivia berpikir dia harus pindah. Rumah yang dia sewa saat ini cukup besar utuk dia tempati seorang diri. Lagi pula dia tak punya teman lagi untuk berbagi biaya sewa bulanan. Dia hanya butuh kamar yang lebih kecil dan juga murah.Heru tersenyum senang."Ya. Kurasa kau bisa pindah ke sana."*Olivia tak lupa dengan janjinya pada Ronan. Lebih tepatnya perintah dari pria itu agar urusan mereka cepat seles
Olivia memegang dadanya sendiri. Kepalanya terasa begitu pusing. Gadis itu berpikir bahwa Ronan sengaja menyuruhnya menemui Roy untuk melihat apa yang sudah pria itu lakukan.Ronan hanya ingin menunjukkan bahwa ancamannya tidak main-main. Kata-katanya bukan sekedar kiasan untuk menakut-nakuti. Tiba-tiba saja Olivia teringat akan ancaman Ronan dengan membelah kepala.Dia memegangi keningnya sendiri. Tempat yang sama saat darah mengalir hingga mengotori wajah pria menakutkan itu. Ingin sekali rasanya gadis itu mematahkan tangannya sendiri karena telah lancang membuat kepala pria itu berakhir dengan dua jahitan.Olivia kembali ke rumah. Dia akan memikirkan apa yang akan dilakukannya untuk Ronan nanti.*"Gadis itu belum datang?" Ronan mengisap cerutu di ruang kerja di kediamannya."Anda memberinya waktu tiga hari, Pak." Kim menjawab apa adanya.Dia merasa ada yang tidak beres dengan majikannya. Dia bahkan tak pernah merasa tidak sesabar ini saat menandatangani kontrak bernilai milyaran.
"Anda mempermainkanku, Pak. Anda tahu uang itu tidak ada padanya. Anda hanya ingin membuatku melihat betapa kejamnya anda." Olivia berhasil menghafal dengan baik apa yang ingin dia katakan.Ronan tertawa sumbang."Kau bilang aku kejam? Bukankah harusnya kau merasa senang karena pria yang menjualmu mendapat hukuman?""Roy juga dijebak. Silvia melarikan diri dan menunjukku sebagai gantinya tanpa persetujuan. Anda bahkan sudah menangkapnya. Anda sudah berhasil mendapatkannya. Uang itu juga ada pada Silvia. Kenapa masih melibatkanku dalam transaksi kalian? Urusan kita hanya soal melukai anda. Itu pun karena tindakan membela diri. Harusnya anda juga tahu soal itu."Olivia sejenak terdiam. Dia bahkan tak berani bertanya bagaimana keadaan Silvia. Apakah setelah tidur dengannya, Ronan membuang atau mungkin memeliharanya. Angka dua puluh lima terlalu besar untuk wanita penghibur sekelas Silvia. Olivia berpikir, pria itu pasti begitu tergila-gila pada saudari angkatnya."Kau banyak bicara rupan