"Kita akan berangkat ke luar negeri dengan penerbangan siang ini. Jadi persiapkan dirimu!" Ronan memerintah saat mereka menikmati pemandangan taman di lantai tujuh belas, tempat mereka sarapan tadi.Ronan mengajak Olivia berkeliling setelah menyantap habis semangkuk salad. "Ke luar negeri? Untuk apa?" Olivia mengentikan langkah dan berdiri menghadap Ronan."Tentu saja berbulan madu. Kau lupa kalau kita masih pengantin baru?""Ayolah, Tuan. Anda tidak perlu membuang-buang uang untuk itu. Lagi pula aku harus kembali bekerja." Olivia kembali berjalan.Ronan kembali mengikuti langkahnya dengan pelan."Apa profesimu sebagai pelayan jauh lebih sibuk dari aku yang seorang pebisnis, hah? Kau baru saja menikah. Apa pemilik tempat itu ingin mati? Aku bisa saja meratakan tempat itu dengan tanah agar kau punya waktu bersenang-senang sembari menunggu mereka membangunnya kembali!" Ronan tak habis pikir. Kenapa wanita itu selalu saja membuatnya kesal dengan menolak tawarannya."Aku akan menganggap
Ronan masih menyaksikan istrinya yang nyaris tenggelam. Berulang kali pria itu menatap tangan kurus Olivia yang hilang timbul di tengah kolam. Dia sedikit menggeleng, tersenyum sinis melihat istrinya begitu kepayahan. Hatinya merasa puas dengan hukuman yang diterima gadis itu.Ronan mulai tak tega melihat Olivia kelelahan dan hampir menyerah. Pria itu kemudian melompat ke dalam air dan berenang mendekati istrinya yang hampir tenggelam.Ronan langsung menangkap pinggang gadis itu, lalu merapatkan ke tubuhnya. Menahan bobot tubuh mungil itu agar bisa mengapung dan tak jatuh ke dasar kolam.Olivia menarik napas panjang. Seperti baru terbebas dari kematian. Dia menggantungkan kedua tangannya ke leher Ronan agar pria itu tak bisa melepaskannya lagi."Anda benar-benar akan membunuhku, Tuan?" Napas Olivia terengah-engah.Ronan tergelak. Menatap wajah istrinya yang sudah memerah."Bagaimana? Kau masih mengantuk?" "Bawa aku ke tepi. Aku lelah sekali.""Tidak mau!""Kenapa anda memperlakukanku
Setelah selesai, Olivia mengunci pintu kamarnya kembali. Gadis itu benar-benar hanya membawa tiga potong seragam kerjanya saja. Dia tahu Ronan pasti sudah membuat persiapan dengan pakaian apa yang akan dia gunakan selama menjadi istrinya.Olivia melirik kamar di sebelahnya. Jendela kamar Heru sedang terbuka. Menandakan bahwa ada penghuninya di dalam sana. Olivia memutuskan untuk menyapanya. Olivia mengetuk pintu kamar Heru. Tak lama sepasang mata menatapnya saat pintu terbuka. Olivia tersenyum melihat wajah Heru yang tampak terkejut."O_Oliv? Kau di sini?" "Selamat pagi, Heru. Kau libur hari ini?""Ah, tidak. Hari ini aku mendapat jadwal sore." Heru tersenyum memandang Olivia. "Oh, iya. Selamat atas pernikahanmu." Heru mengulurkan tangan pada gadis itu.Dengan senang hati Olivia menyambut baik uluran tangan dari teman baiknya itu."Terima kasih, Heru. Aku sekalian ingin berpamitan padamu. Aku hanya mengambil beberapa barang dan akan tinggal bersama suamiku."Ada raut kecewa di wajah
Melihat Ronan muncul, bibi Tina langsung membungkuk hormat. Melihat tuannya sedang tersenyum pada istrinya, membuat pelayan wanita itu tak ingin mengganggu mereka."Aku permisi, Nyonya Olivia. Jika anda butuh sesuatu, jangan sungkan untuk memanggilku."Bibi Tina kemudian keluar melewati majikannya, kemudian menutup pintu."Kenapa tak tanyakan saja padaku? Apa kau merasa malu karena ketahuan diam-diam menggali informasi tentangku?" Ronan kembali menyeringai.Wajah Olivia mendadak memerah. Harusnya dia tak pernah bertanya hal bodoh yang hanya mempermalukannya saja di hadapan pria angkuh itu."Ti_tidak. Bukan seperti itu." Olivia tampak salah tingkah.Ronan tergelak. Menunjukkan gigi putihnya yang berderet rapi. "Jawaban apa yang ingin kau dengar? Kau senang, seandainya aku bilang suka berganti-ganti wanita? Atau kau ingin menjadi satu-satunya?" Olivia menelan ludah. Siapa pun di dunia ini, sebagai seorang istri pasti ingin menjadi satu-satunya wanita di kehidupan suaminya. Juga di
"Berani sekali, kau!" Silvia semakin emosi."Tapi Tuan Ronan hanya memperbolehkan pelayan yang bertugas saja, Nona.""Kalau begitu tutup saja mulutmu itu dan jangan mengadu, bodoh!"Pelayan itu merasa kesal karena Silvia terus saja mengatakan dirinya bodoh. Sejak Silvia tinggal di rumah itu, hampir semua pelayan tidak menyukainya. Sikapnya yang arogan dan kasar membuat semua orang muak. Bahkan Nyonya besar di rumah itu tak pernah memperlakukan mereka sekasar yang Silvia lakukan."Apa anda tidak melihat cctv di sana, Nona?" Pelayan itu menoleh ke arah atas sudut ruangan. Membuat Silvia melotot dan langsung menjauh dari pintu."Dasar pelayan bodoh!" Silvia tak punya apa pun lagi untuk dia ucapkan. Dia merasa sangat malu, lalu meninggalkan tempat itu dengan sangat kesal. Padahal gadis itu ingin sekali berbaring di atas ranjang Ronan. Merasakan bau tubuhnya yang hanya bisa dia hirup dari jarak jauh.*Olivia dan Ronan tiba di kediaman Ellyas. Olivia terkejut karena ada banyak orang yang
Silvia tampak panik. Dia merasa seperti seorang pencuri yang baru saja ketahuan. Saat Ronan memperkenalkan Olivia sebagai calon istrinya, Silvia hanya mengaku mengenal Olivia sebatas rekan kerja saja. Berharap tak satu pun dari keluarganya yang berpikir bahwa dia dan Olivia tumbuh bersama.Namun perkataan Ronan tadi membuat Silvia tak bisa berkutik lagi. Silvia berpikir bahwa Olivia sudah menceritakan semuanya pada suaminya. Silvia khawatir, suatu saat Olivia juga pasti akan bercerita tentang ibunya dan juga kalung giok itu.“Tapi kurasa Silvia tidak terlalu senang melihat kehadiranku di sini, Sayang!” Olivia memandang Silvia dengan tatapan menantang.Darah silvia semakin mendidih mendengar kedua orang di hadapannya saling menyapa dengan panggilan 'sayang'. Membuat hatinya lagi-lagi terbakar api cemburu. Namun demi menjaga harga diri dan kehormatannya, dia mencoba menahan rasa itu. Seolah tak ada satu orang pun yang menyadari perasaannya pada Ronan. Selain Martin tentu saja.“Apa yang
“Apa aku tidak salah dengar, Silvia? Bukankah tempat itu adalah tempat bekerjamu dulu? Apa kalian berteman?” Anne yang tadi begitu mengagumi Olivia berubah dengan cepat dengan tatapan merendahkan.“Ayolah, Silvia. Kau pasti iri dengan Olivia, bukan? Kau hanya mengarang cerita karena Olivia terlihat begitu sempurna.”“Kenapa tidak kalian tanyakan saja langsung padanya? Agar kalian tahu apa aku berbohong atau tidak!” Silvia mendengus kesal karena ketiga gadis itu masih juga memojokkan dirinya.“Katakan kalau itu tidak benar, Olivia. Tentu saja kau bukan seorang pelayan, bukan? Atau mungkin tempat itu adalah milikmu?” Elsa bertanya dengan wajah serius.Olivia yang dari tadi terdiam dan hanya menjadi pendengar, menarik sudut bibirnya. Dia tersenyum penuh percaya diri.“Silvia benar. Aku bekerja sebagai pelayan di sana. Bahkan aku sudah harus masuk bekerja esok hari. Datanglah! Aku akan mentraktir kalian sebagai salam perkenalan. Aku akan mulai bekerja pada shift sore!”Gadis-gadis itu ter
Mata Olivia membesar melihat tatapan nakal suaminya. Namun wanita itu tak bisa menunjukkan sikap aslinya yang selalu saja protes dan marah-marah pada Ronan di hadapan kedua mertuanya.Olivia hanya melotot sambil komat-kamit tanpa suara. Membuat Ronan semakin geli melihat sikap lucunya."Kau tidak keberatan kan, Sayang?" Ronan semakin menggoda.Olivia mengeluarkan senyum terpaksanya."Kenapa aku tidak diberi tahu, Sayang?" Olivia berusaha bertanya semanis mungkin. Tentu saja dengan merapatkan gigi-gigi kecilnya agar Ronan tahu kalau dia tidak setuju akan hal itu.Ronan semakin tersenyum. Bahkan hampir tertawa melihat tingkah konyol wanita itu."Bukankah di mana pun kita menginap akan sama saja, Sayang?" Ronan tidak mau kalah dalam bersandiwara. "Bukankah kau juga harus melihat kamar di mana suamimu menghabiskan masa kecilnya, hem?" Ronan memiringkan kepalanya untuk menggoda wanita yang tengah gelisah itu."Kalau begitu naik dan beristirahatlah! Sampai bertemu besok!" Laura seperti tak