“Kamu yakin ini jalan ke kantin?” tanya Aisha datar, menatap Livia yang sibuk memegang peta kampus yang dicetak dari Google dua minggu lalu.Livia mengangguk mantap. “Yakin dong! Nih, katanya belok kanan, terus lurus sampai lihat pohon besar.”Aisha menghela napas panjang. “Itu pohon besar udah dari tadi kita lewatin, Liv. Kita muter-muter dari tadi. Kamu bawa peta yang zaman kerajaan mana sih?”Livia menatap peta dengan ekspresi bingung, lalu senyum malu-malu. “Ups, kayaknya aku salah print yang dari kampus sebelah...”Aisha memutar bola matanya, namun sudut bibirnya hampir tersenyum. Hampir. “Aduh, ya udahlah, ikut aku aja.”Mereka berjalan berdampingan, Livia sesekali bercerita asal-asalan soal bunga yang dilihatnya tumbuh di depan kelas, atau tentang mimpi anehnya semalam di mana Zayn berubah jadi gorila yang suka es krim.Aisha kadang hanya mengangguk, tapi matanya yang awalnya dingin mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan.“Eh, Sha, kamu suka kucing nggak?” tanya Livia tiba-tib
Mobil kembali melaju di jalanan ibu kota yang mulai sepi menjelang malam. Livia duduk dengan posisi menyamping, menatap wajah Zayn dari samping sambil sesekali mengunyah permen karet yang baru ia beli dari minimarket kampus. Wajahnya santai, tapi pikirannya masih tertinggal di interaksi aneh antara Aisha dan Zayn tadi.“Zayn,” gumamnya pelan, menyerempet manja.“Hm?”“Kamu tahu nggak? Kayaknya Aisha itu bukan tipe orang yang gampang temenan. Tapi anehnya… dia baik ke aku. Padahal waktu pertama ketemu, dia jutek banget. Kayak... kayak satpam yang lagi dighosting,” ujarnya polos.Zayn tak bisa menahan senyumnya yang tipis. “Satpam yang dighosting?”“Iya! Serius! Tatapannya tuh kayak... ‘lo siapa? Jangan sok kenal’,” Livia menirukan wajah jutek Aisha, sambil melotot kocak, membuat Zayn ingin tertawa tapi memilih tetap menjaga gengsi.Namun di balik lelucon Livia, Zayn menyimpan kekhawatiran. Tatapan Aisha tadi bukan tatapan orang sembarangan. Ada kecermatan, ada kewaspadaan yang tak waja
Langit malam benar-benar tenang malam itu. Bahkan angin pun seperti enggan bertiup terlalu kencang. Kota masih terlelap dalam tidur, dan begitu pula Livia, yang sudah tertidur pulas di dada Zayn setelah percakapan manis dan hangat yang membuat jantungnya seperti dilapisi cokelat leleh. Wajahnya begitu damai, bibirnya mengerucut sedikit, dan tangannya menggenggam erat baju tidur Zayn, seolah takut ditinggal.Zayn sendiri sudah nyaris tertidur. Kelopak matanya berat, pikirannya tenang—hingga...“TRAK!!”Bunyi kaca pecah mendadak membuat Zayn seketika duduk tegak, terlonjak dari posisi tidurnya. Livia pun ikut tersentak, matanya membelalak panik.“A-Apa itu?!” pekik Livia, menempel pada tubuh Zayn seperti cicak di dinding.Zayn langsung turun dari ranjang, bergerak cepat ke arah jendela. Salah satu kaca kamar mereka retak parah, dan di bawahnya, tergeletak sebuah batu dengan secarik kertas menempel. Ia mengambilnya, membuka kertas itu dengan rahang yang mulai menegang.Tulisan di sana ha
Gedung megah milik perusahaan Zayn tampak seperti biasa: elegan, sibuk, dan penuh dinamika. Namun di balik setiap langkah karyawan yang tergesa dan tumpukan berkas yang dibawa sekretaris, ada sisi gelap yang tak semua orang tahu sisi yang hanya diketahui oleh mereka yang cukup berani, atau cukup bodoh untuk terlibat.Zayn duduk di kursi kulit hitam kebanggaannya, kedua siku bertumpu di atas meja kerjanya yang rapi, satu tangan menopang dagu sementara matanya menatap tajam layar laptop. Di layar tersebut, tampak laporan keuangan perusahaan—tapi bukan itu yang membuat dahinya berkerut. Fokusnya tidak tertuju pada angka-angka yang berderet rapi, melainkan pada sebuah dokumen rahasia yang hanya diketahui oleh segelintir orang terpilih dalam organisasi gelapnya."Senjata dari pelabuhan timur terlambat dua hari. Ada yang mengendus gerakan kita," ucap Axel melalui speaker rapat virtual yang sengaja disambungkan ke sistem keamanan kantor pribadi Zayn.Zayn mengusap wajahnya. "Lacak siapa yang
Hari ini kantor Zayn begitu tenang. Cahaya matahari menembus kaca jendela besar ruangannya, memantul di atas meja kerja yang dipenuhi dokumen dan laptop terbuka. Suara ketikan keyboard terdengar ritmis, namun Zayn sama sekali tidak fokus. Sejak Livia pamit ke kampus pagi tadi, pikirannya seolah tertinggal bersama gadis itu.Tiba-tiba, suara ketukan cepat terdengar dari luar.“Masuk,” seru Zayn datar tanpa mengalihkan pandangan.Salah satu pengawal pribadi masuk tergesa. “Tuan Zayn. Ada laporan dari salah satu anggota kita yang berjaga di sekitar kampus...”Zayn menoleh dengan cepat, nada suaranya berubah dingin. “Laporan apa?”“Nyony—eh, Nona Livia mengalami kecelakaan kecil saat praktik di laboratorium. Dia terkena cairan kimia ringan di tangan. Tidak terlalu parah, tapi—”BRAK!Zayn meninju meja kerjanya dengan kekuatan yang mengejutkan. Beberapa dokumen beterbangan, dan pengawalnya mundur setengah langkah, waspada. Rahang Zayn mengeras, matanya menggelap.“Kenapa aku baru tahu seka
Setelah kejadian itu, kampus seketika heboh. Kabar tentang CEO muda kaya raya yang datang mengamuk dan menjambak mahasiswi tersebar secepat angin. Beberapa mahasiswa sibuk mengunggah kejadian tadi ke media sosial, meski sebagian besar video hanya berhasil menangkap siluet Zayn yang tinggi dan berwibawa, sedang menyeret seseorang di taman. Tapi, bagi Livia, semua perhatian itu justru membuatnya makin ingin menghilang dari muka bumi.“Astaga... aku viral nggak ya? Gimana kalau dosenku lihat? Gimana kalau rektor juga lihat? Nanti aku dikeluarin karena pacarnya brutal,” gumam Livia panik sambil menggigit kuku.Di dalam mobil yang melaju pulang, Livia duduk bersila di kursi penumpang sambil terus merajuk. Tangannya sibuk memeluk tas ransel kecilnya, dan pipinya menggembung karena kesal.Sementara Zayn di sebelahnya hanya mengemudi dengan ekspresi datar, seolah tak terjadi apa-apa barusan.“Kamu tuh... seriusan deh, nyari ribut mulu,” omel Livia, mencoba mengintip wajah Zayn dari samping.“
Keesokan HarinyaLivia kembali menjalani rutinitasnya di kampus. Kali ini dengan dua pengawal tambahan yang dikirim oleh Zayn. Meski awalnya sempat protes, akhirnya ia menyerah karena takut Zayn benar-benar memasang CCTV di tiap sudut kampus.Di kampus, Aisha kembali muncul. Luka di bahunya tertutup perban, dan senyumnya sedikit dipaksakan.“Akudenger cowok kamu ngamuk ya kemarin?” tanya Aisha ketus saat menyusul Livia ke taman belakang kampus tempat mereka biasa duduk saat istirahat.Livia menggigit roti sandwich-nya perlahan, cengengesan. “Hehe... iya, agak serem sih... tapi dia baik kok. Kamu nggak apa-apa kan? Bahumu gimana?”Aisha menyipitkan mata.“Lucu ya kamu... masih bisa nanyain aku padahal udah jelas-jelas aku bikin kamu luka waktu praktik.”Livia langsung menegakkan duduknya. “Itu nggak sengaja kan? Aku tahu kok. Nggak usah merasa bersalah... aku juga sering jatuh sendiri, saking cerobohnya.”Aisha hanya mendecih kecil, kemudian menghela napas.“Kadang aku bingung deh... k
Pagi hari itu, matahari bersinar malu-malu dari balik tirai kamar yang setengah terbuka. Udara masih segar, sedikit dingin, dan aroma harum dari diffuser lavender masih melayang di udara. Namun, alih-alih disambut dengan ceria seperti biasa, pagi ini Livia terbangun dengan nyut-nyutan di pergelangan tangannya yang masih dibebat perban.“Ugh… kenapa rasanya kayak habis tinju sama Iron Man…” gumamnya pelan, memeluk guling dengan ekspresi meringis.Sebenarnya, lukanya tidak terlalu parah—cuma sedikit memar dan tergores karena kecelakaan kecil di lab praktek kemarin. Tapi tentu saja, bagi seorang Zayn Vanderbilt, itu sudah sama saja seperti Livia baru saja selamat dari kecelakaan pesawat.Belum sempat Livia bangkit dari tempat tidur, pintu kamarnya terbuka pelan. Zayn masuk, membawa nampan sarapan dengan ekspresi datar—yang artinya dia sedang menahan marah dalam kadar medium. Seperti biasa, gaya CEO-nya tetap terpancar dari rambut sampai ujung kaki, padahal cuma pakai kaus lengan panjang
Di sudut kota tua Milan yang penuh arsitektur klasik, cahaya lampu malam menyinari bangunan kuno yang kini telah disulap menjadi sebuah aula pelelangan mewah. Di sinilah, di antara tamu-tamu berdasi dan gaun gemerlap, dunia bawah tanah bertemu dengan kemewahan permukaan.Zayn Vanderbilt berdiri tegak di antara kerumunan elite. Mengenakan setelan hitam Armani yang membentuk tubuh tegapnya dengan sempurna, tatapannya tajam menelusuri suasana. Di sampingnya, Axel berdiri dengan kedua tangan disilangkan di depan dada, waspada terhadap segala gerak-gerik mencurigakan.“Target kita adalah peti nomor 17,” bisik Axel, suaranya nyaris tak terdengar. “Isinya senjata prototipe yang hanya muncul sekali di pasar gelap dalam dua dekade.”Zayn mengangguk tanpa memalingkan wajah. Ia menyapu ruangan dengan matanya—dan saat itulah, langkah seorang wanita menarik perhatian banyak mata.Wanita itu melangkah anggun, dengan gaun merah menyala membelah ruangan yang dipenuhi dominasi hitam dan emas. Rambut p
Pintu gerbang rumah Vanderbilt terbuka perlahan, menampakkan halaman luas dan bangunan megah bercat putih bersih. Mobil merah mewah itu melaju pelan, seperti pangeran yang baru pulang dari medan perang—tapi isinya justru dua wanita cerewet dan satu bocah super heboh.Begitu mobil berhenti, Finnian langsung membuka pintu belakang.“Yesss! Aku duluan yang sampe!” serunya sambil berlari ke dalam rumah seperti sedang lomba lari estafet.“FINNIAN! Sepatunya lepas! Eh—YA AMPUN, dia bawa boneka kucingnya masuk juga!” Serenity turun dengan rambut sedikit berantakan karena tertiup AC mobil, lalu menoleh ke Livia yang masih tertawa di dalam mobil.“Welcome to my chaotic life, sayang,” ujarnya dramatis.Livia menutup pintu dan berjalan beriringan dengan Serenity.Begitu masuk, suasana rumah yang biasanya hening karena aura misterius Zayn, kini berubah. Suara tawa Finnian menggema, disusul dengan suara Serenity yang berteriak, “Jangan lompat di sofa, Nak! Itu harganya bisa bayar SPP kuliah kamu s
Sore itu, mentari mulai condong ke barat, membentuk bayangan panjang di sepanjang terminal penjemputan. Livia berdiri dengan ransel mungilnya, topi bulat berwarna pastel menutupi sebagian rambutnya yang terurai manis. Dia memandangi layar ponselnya yang, entah sudah berapa kali, dicek untuk melihat apakah ada kabar dari Zayn."Nggak ada juga… dia bener-bener lupa, ya?" gumam Livia sambil mengerucutkan bibir. Meski wajahnya tampak cemberut, ada seulas manis yang tetap membuat siapa pun yang melihatnya ingin menyubit pipinya. Ia berdiri kikuk, sendiri, seperti anak ayam kehilangan induk.Namun tiba-tiba—"BRAAAAK!" suara pintu mobil mewah yang terbuka dari arah jalan mengagetkannya. Mobil berwarna merah menyala, dengan velg hitam elegan dan jendela kaca gelap yang baru saja menepi, benar-benar menarik perhatian banyak pasang mata.Livia melongo. Matanya melebar.“Eh? Itu… Lamborghini?” gumamnya, ragu. Tapi sebelum sempat dia memastikan, jendela di bagian penumpang depan turun perlahan.
Setelah keluar dari kantin dengan perut kenyang dan hati riang, Livia berjalan sambil bersenandung kecil menuju taman kampus. Di sebelahnya, Aisha melangkah santai dengan tangan dimasukkan ke dalam saku jaket. Angin siang yang sejuk menyapu rambut mereka, sementara cahaya matahari menerobos sela dedaunan, menciptakan bayangan teduh di sepanjang jalur setapak.“Dosen nggak masuk, tumben banget ya,” ucap Livia riang, tangannya mengayun ke depan dan ke belakang seperti anak kecil.Aisha hanya mengangguk malas. “Mungkin beliau sakit kepala lihat tugas-tugasmu,” gumamnya pelan.Livia melotot pelan, tapi hanya beberapa detik sebelum ia tertawa. “Kau jahat, tahu nggak?”Ketika mereka tiba di taman, Livia langsung mengenali sosok yang sedang duduk di bangku panjang, tak jauh dari kolam. Mahasiswa itu tengah membuka novel dengan tatapan serius, namun senyumnya langsung muncul ketika melihat Livia datang.“Reyhan!” seru Livia sembari melambai, seperti anak TK yang baru melihat teman TK-nya juga
Langit siang di atas gedung Vanderbilt Corporation tampak mendung, seakan meramalkan badai yang tak hanya akan melanda kota, tetapi juga dunia bisnis kelam yang selama ini Zayn sembunyikan rapat-rapat di balik jas dan dasi mahalnya.Zayn Vanderbilt tengah duduk di ruang kerjanya yang luas dan minimalis. Layar laptop di depannya menampilkan laporan proyek dari salah satu anak perusahaan di luar negeri, namun pikirannya jelas tidak sepenuhnya tertambat pada angka-angka itu. Sejak pagi, rasa gelisah samar mengganggu fokusnya. Perasaan yang tak bisa ia jelaskan, tetapi cukup kuat untuk membuat alisnya terus berkerut.Tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka tanpa ketukan. Zayn tak perlu menoleh untuk mengetahui siapa pelakunya. Hanya ada satu orang yang cukup berani dan cukup penting untuk melanggar etika formal seperti itu.Axel Reinhardt. Tangan kanan sekaligus sahabat lamanya, yang lebih banyak menghabiskan waktu di dunia bawah tanah dibanding ruang rapat."Sudah kuduga kau belum meninggalk
Finnian duduk di kursi dengan kaki yang belum menyentuh lantai, sibuk memindahkan telur ke atas pancake dan menyebutnya "roket makanan ke bulan."Livia duduk di sebelahnya, tertawa kecil sambil membantu Finnian mengoleskan madu. Ia terlihat lebih segar pagi ini. Luka di lengannya sudah mulai mengering, dan semangatnya mulai kembali setelah beberapa hari rehat dari kampus.Serenity duduk di seberang Zayn sambil menyeruput kopi, lalu membuka suara, “Jadi, hari ini aku mau nganter Finnian ke sekolah Montessori yang kamu rekomendasikan itu. Semoga anak ini bisa duduk tenang lebih dari dua menit.”Finnian langsung protes, “Aku bisa duduk! Tapi kalau kursinya empuk!”Semua tertawa.Zayn yang sejak tadi diam, akhirnya bicara, “Aku sudah kirim berkasnya ke kepala sekolah. Mereka akan bantu proses pendaftaran hari ini.”Serenity mengangkat dua jempol. “Good. Aku nggak tahu mesti mulai dari mana. Banyak sekolah lihat aku sebelah mata. Ya, you know… single mom dengan sejarah drama.”Livia yang d
Zayn memasuki rumahnya dengan langkah tegap dan ekspresi kaku yang sudah menjadi ciri khasnya. Setelah seharian dikejar rapat dan laporan dari jaringan bawah tanah yang mencurigakan, ia hanya ingin memeriksa kondisi Livia, memastikan luka gadis itu tidak kambuh dan pikirannya tetap aman.Namun baru saja membuka pintu utama, alisnya langsung bertaut saat mendengar…“TEMBAK DINO KUNINGNYA, FINN! TEMBAKKK!!”Suara Livia.“BUNYI SIRINEEE!! DINONYA LEMES!! AAAAKK!”Dan... suara kakaknya?Zayn mendecak pelan dan mempercepat langkahnya. Sampai akhirnya ia berhenti di ambang ruang keluarga.Pemandangan yang ia lihat sukses membuatnya nyaris kehilangan kata.Di tengah ruangan mewah bergaya modern itu, Livia duduk bersila di lantai, memakai bando kelinci, sambil memegang joystick mainan game dinosaurus yang diproyeksikan ke layar besar. Di sebelahnya, Finnian berdiri di atas meja kopi, berteriak heboh sambil menggenggam boneka t-rex yang matanya menyala.Dan di ujung sofa, Serenity—kakaknya yan
Pagi hari itu, matahari bersinar malu-malu dari balik tirai kamar yang setengah terbuka. Udara masih segar, sedikit dingin, dan aroma harum dari diffuser lavender masih melayang di udara. Namun, alih-alih disambut dengan ceria seperti biasa, pagi ini Livia terbangun dengan nyut-nyutan di pergelangan tangannya yang masih dibebat perban.“Ugh… kenapa rasanya kayak habis tinju sama Iron Man…” gumamnya pelan, memeluk guling dengan ekspresi meringis.Sebenarnya, lukanya tidak terlalu parah—cuma sedikit memar dan tergores karena kecelakaan kecil di lab praktek kemarin. Tapi tentu saja, bagi seorang Zayn Vanderbilt, itu sudah sama saja seperti Livia baru saja selamat dari kecelakaan pesawat.Belum sempat Livia bangkit dari tempat tidur, pintu kamarnya terbuka pelan. Zayn masuk, membawa nampan sarapan dengan ekspresi datar—yang artinya dia sedang menahan marah dalam kadar medium. Seperti biasa, gaya CEO-nya tetap terpancar dari rambut sampai ujung kaki, padahal cuma pakai kaus lengan panjang
Keesokan HarinyaLivia kembali menjalani rutinitasnya di kampus. Kali ini dengan dua pengawal tambahan yang dikirim oleh Zayn. Meski awalnya sempat protes, akhirnya ia menyerah karena takut Zayn benar-benar memasang CCTV di tiap sudut kampus.Di kampus, Aisha kembali muncul. Luka di bahunya tertutup perban, dan senyumnya sedikit dipaksakan.“Akudenger cowok kamu ngamuk ya kemarin?” tanya Aisha ketus saat menyusul Livia ke taman belakang kampus tempat mereka biasa duduk saat istirahat.Livia menggigit roti sandwich-nya perlahan, cengengesan. “Hehe... iya, agak serem sih... tapi dia baik kok. Kamu nggak apa-apa kan? Bahumu gimana?”Aisha menyipitkan mata.“Lucu ya kamu... masih bisa nanyain aku padahal udah jelas-jelas aku bikin kamu luka waktu praktik.”Livia langsung menegakkan duduknya. “Itu nggak sengaja kan? Aku tahu kok. Nggak usah merasa bersalah... aku juga sering jatuh sendiri, saking cerobohnya.”Aisha hanya mendecih kecil, kemudian menghela napas.“Kadang aku bingung deh... k