Livia menempelkan ponsel Zayn ke telinganya dengan penuh semangat, jari kakinya berjinjit-jinjit tak sabar menunggu suara Eleanor di ujung sana.
Tuuut… Tuuut… Tak lama kemudian, suara seorang wanita terdengar. "Halo?" "MAMA!" Livia langsung berteriak seperti anak hilang yang baru ketemu orang tuanya. "INI LIVIA! AKU BAIK-BAIK SAJA! JANGAN KHAWATIR!" Di seberang sana, Eleanor jelas hampir kena serangan jantung. "Livia?! Sayang, kamu di mana?! Kamu kenapa pakai nomor orang lain?!" Livia menoleh ke Zayn dengan ekspresi dramatis. "Mama bertanya kenapa aku pakai nomor orang lain," bisiknya pelan, seolah sedang membisikkan rahasia negara. Zayn menatapnya malas. "Bilang saja ponselmu aku sita." Livia menempelkan ponsel lagi. "Mama, HP Livi disita!" Zayn nyaris tersedak napasnya sendiri. "APA?! SIAPA YANG BERANI MENYITA PONSEL ANAKKU?! BIAR MAMA GUGAT!" Livia menoleh lagi ke Zayn. "Mama nanya siapa yang berani nyita HP-ku," katanya dengan wajah super polos. Zayn memijit pelipisnya. "Sialan, bilang saja semuanya baik-baik saja." Livia menempelkan ponsel lagi. "Mama, semuanya baik-baik saja!" "APA YANG BAIK?! KAMU DITAHAN ORANG! KASIH HP-NYA KE ORANG ITU! MAMA MAU BICARA!" Livia dengan patuh menyodorkan ponsel ke Zayn. "Mama mau bicara." Zayn benar-benar tidak habis pikir. Dengan malas, ia mengambil ponsel itu dan menempelkannya ke telinga. "Eleanor, jangan panik. Putrimu aman." "AMAN?! KAU MENCULIKNYA, DASAR LELAKI TIDAK PUNYA HATI!" Zayn menarik ponsel itu menjauh dari telinganya, karena volume suara Eleanor hampir memecahkan gendang telinga. Livia menatapnya dengan ekspresi penuh harap. "Mama marah, ya?" "Apa menurutmu?" balas Zayn dingin. Livia menatap kosong ke depan, lalu tiba-tiba menggigit ujung kukunya. "Mungkin aku harus bikin surat wasiat…" gumamnya pelan. Zayn mencubit pangkal hidungnya. Astaga. Gadis ini benar-benar… Saat itu, Livia tiba-tiba menarik jasnya. "Oh iya! Aku lupa sesuatu!" Zayn menatapnya dengan curiga. "Apa lagi?" Livia langsung berlari ke arah ruang tamu. Zayn hanya bisa mengikutinya dengan tatapan penuh tanda tanya. Gadis itu jongkok di depan sofa, memasukkan tangannya ke sela-sela bantal, lalu mengeluarkan sebuah benda kecil berwarna pink. Zayn menyipitkan mata. "Apa itu?" Livia tersenyum sangat polos. "Permen yang aku sembunyikan semalam!" Zayn benar-benar ingin pingsan. "…Kau menyembunyikan permen di sofaku?" tanyanya dengan nada penuh penderitaan. Livia mengangguk bangga. "Iya! Kalau nanti aku kelaparan tengah malam, aku tinggal cari di sini!" Zayn benar-benar kehilangan kata-kata. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa ingin menangis. Zayn menatap gadis polos di depannya dengan ekspresi hampa. Jadi selama ini, di tengah semua drama penculikan dan tangisan, Livia masih sempat menyembunyikan permen di sofanya? Luar biasa. "Jadi…" Zayn menghela napas panjang, berusaha keras menahan keinginannya untuk melempar gadis itu keluar jendela. "Kau menganggap rumahku sebagai tempat penyimpanan darurat permen?" Livia mengangguk sangat bangga. "Tentu saja! Aku harus selalu siap! Bagaimana kalau aku kelaparan tengah malam? Harus ada stok darurat!" Zayn kehabisan kata-kata. Ini pertama kalinya dalam hidupnya ia menghadapi seseorang yang sama sekali tidak takut padanya. "Kau tahu, aku bisa saja membunuhmu karena ini." Livia langsung memasukkan permen ke dalam mulutnya dan tersenyum sangat lebar. "Sekarang sudah kumakan! Jadi kau tidak bisa menyita!" Zayn memijit pelipisnya. "Astaga…" Ia melirik jam tangannya. Sial. Gara-gara gadis ini, ia hampir terlambat ke kantor. "Baiklah, aku harus pergi." Livia mendongak cepat. "Kemana?" "Ke Mars," jawab Zayn sinis. Livia memiringkan kepala. "Hah? Kenapa harus jauh-jauh? Mau nitip permen?" Zayn hampir tersedak udara. Gadis ini benar-benar… Dengan sisa kesabaran yang ada, ia meraih jasnya dan berjalan ke arah pintu. Tapi baru saja ia hendak melangkah keluar— "Zayn!!!" Livia langsung menghadangnya di depan pintu dengan ekspresi dramatis. Zayn menatapnya dengan tatapan dingin. "Apa lagi?" Livia mengulurkan tangannya seperti anak kecil yang minta uang jajan. "HP-ku!" Zayn benar-benar ingin membenturkan kepalanya ke tembok. "Kau masih memikirkan itu?" Livia mengangguk kuat. "IYA! Aku harus chat Mama! Aku harus mengirim emoji peluk biar Mama tidak panik!" Zayn menatapnya lama sekali. Sungguh. Ia pernah menghadapi berbagai jenis orang dalam hidupnya para pengkhianat, penipu, bahkan pembunuh bayaran. Tapi menghadapi gadis polos yang terobsesi dengan coklat dan emoji peluk ini terasa lebih melelahkan. "Baik," kata Zayn akhirnya. "Kau bisa memakai ponselku." Livia mengerjapkan mata. "Tapi nomor Mamaku tidak ada di HP-mu!" Zayn menatapnya dengan tatapan kosong. "Kau bisa menelponnya, bukan?" Livia berpikir sejenak. "Tapi aku mau kirim emoji peluk, bukan telepon…" DEMI TUHAN. Zayn benar-benar merasa ingin menyerah. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia langsung berbalik dan keluar rumah, tak peduli teriakan protes Livia di belakangnya. "ZAYN! AKU MAU HP-KU BALIK!!!" DOR! Zayn menutup pintu keras-keras. Di dalam, Livia mengerucutkan bibirnya dengan wajah super kesal. Dasar CEO jahat! Sungguh, kalau bukan karena coklat panas yang mungkin ada di dapur rumah ini, Livia sudah kabur sejak tadi.Mobil hitam mewah itu akhirnya memasuki kawasan perumahan elit tempat tinggal Zayn. Setelah seharian menghabiskan waktu di pantai, senyap perlahan mengambil alih kabin mobil. Finnian yang semula ramai dan penuh celoteh kini tertidur pulas di pangkuan Serenity, dengan pipi merah merona karena terbakar matahari dan jemari mungilnya masih menggenggam ember kecil berisi kerang hasil tangkapannya.Livia duduk tenang di sebelah Zayn. Tidak banyak bicara, tapi dari raut wajahnya terpancar kepuasan dan ketenangan. Angin pantai masih terasa seolah membuntuti mereka, dan aroma laut entah mengapa masih menempel lembut di kulitnya.Zayn menoleh sekilas. Ia melihat Livia sedang menyandarkan kepala ke jendela, tersenyum kecil. “Kamu kelihatan puas banget,” gumamnya sambil menurunkan sedikit kaca jendela agar udara segar masuk.Livia menoleh, mengangguk pelan. “Hari ini kayak mimpi… kayak dunia itu cuma ada aku, kamu, Finnian, dan Serenity.”“Jangan lupa, Aisha juga sempat muncul seperti film horor,
Pagi merekah perlahan, menyusup masuk lewat celah tirai resort yang sedikit terbuka. Sinar matahari menyentuh lembut kulit Livia yang masih terlelap, membentuk pola cahaya hangat di pipinya yang merona. Di luar, ombak menyapa pasir pantai dengan suara tenang, seolah ikut menjaga tidur nyenyaknya.Zayn sudah lebih dulu bangun. Ia duduk bersandar di tepi ranjang, mengenakan jubah handuk yang menggantung santai di tubuhnya. Rambutnya masih sedikit basah, dan secangkir kopi hangat mengepul di tangan. Tatapannya tertuju pada Livia yang masih meringkuk seperti anak kucing dalam selimut, bibirnya sedikit terbuka, sesekali bergumam tak jelas dalam tidur.Senyum kecil mengembang di bibir Zayn. Entah sejak kapan gadis polos ini menjadi pusat gravitasi dalam hidupnya. Yang jelas, pagi itu terasa berbeda. Lebih ringan. Lebih hidup. Lebih... berarti.Perlahan, ia membungkuk dan menyibakkan sedikit anak rambut yang menutupi wajah Livia. “Bangun, sleepyhead,” bisiknya lembut di telinga gadis itu.Li
Malam menggulung langit dalam gelap yang pekat, hanya dihiasi bintang-bintang kecil yang bertaburan bagai serpihan kristal. Suara ombak masih terdengar dari kejauhan, namun kini terdengar lebih lembut seolah ikut meredakan badai di dada Livia dan Zayn. Mereka memasuki kamar resort yang hangat. Livia masih menggenggam tangan Zayn, namun langkahnya lambat, seolah masih ragu apakah suasana damai ini akan bertahan lama. Zayn tahu itu. Ia bisa merasakannya lewat sentuhan jari Livia yang gemetar halus, seolah masih menimbang apakah ia benar-benar aman bersandar padanya malam ini. Zayn menutup pintu perlahan, kemudian membimbing Livia duduk di tepi ranjang yang empuk. Lampu kamar redup, menciptakan bayangan lembut di dinding. Angin laut masih menyelinap masuk lewat jendela balkon yang sedikit terbuka, membawa aroma asin yang khas, bercampur dengan harum tubuh Livia yang baru mandi. “Aku mau kamu tidur nyenyak malam ini,” ucap Zayn, duduk di sebelah Livia dan menyentuh pelipis gadis itu
Senja di pantai telah berlalu. Langit mulai menggelap, dihiasi semburat jingga terakhir yang tergurat di cakrawala. Suara ombak terdengar lebih dalam, bergulung perlahan seolah bernyanyi pelan menyambut malam. Aroma garam dan pasir masih melekat di udara, menyatu dengan suara kicauan jangkrik yang mulai mengambil alih tugas burung-burung siang. duduk sendirian di balkon kamar resort yang menghadap langsung ke laut. Kakinya dilipat di kursi rotan panjang, dengan handuk yang masih tersampir di bahunya. Angin malam membelai rambutnya yang belum sepenuhnya kering, membuat helaian-helaian lembut itu berterbangan membingkai wajahnya yang murung.Pikirannya melayang entah ke mana. Tadi siang terlalu aneh. Kedatangan Aisha yang tiba-tiba, raut wajah Zayn yang terlihat tajam sesaat setelah itu, dan… pertengkaran kecil dengan Serenity di dapur barusan tentang kenapa Livia masih terus bersikap terlalu "baik" pada orang seperti Aisha.Tapi bukan itu yang paling menghantuinya.Yang membuat hatiny
Mentari pagi menyapa dengan sinar keemasan yang hangat, memantul lembut di sela tirai kamar Livia dan Zayn. Angin berembus pelan dari jendela yang sengaja dibuka setengah, membawa aroma laut yang samar-samar mulai terasa sejak malam sebelumnya. Hari ini bukan hari kerja, bukan pula hari kuliah. Hari ini adalah hari yang Livia tunggu-tunggu dengan hati berdebar dan wajah berseri—hari Minggu, hari libur yang telah dijanjikan oleh Zayn sejak pertengkaran terakhir mereka.Liburan kecil ini seperti penawar luka, cara Zayn menebus luka-luka kecil yang mungkin belum sembuh sepenuhnya di hati Livia. Dan gadis itu dengan pakaian pantai yang sudah ia siapkan sejak dua hari lalu, lengkap dengan topi bundar lebar dan sunblock yang dibelinya secara impulsif karena "biar mirip cewek-cewek drama Korea" bangun lebih pagi dari biasanya, penuh semangat dan… berisik, seperti biasa."Zayn! Bangun! Kita bisa kena macet kalau telat!" teriak Livia sambil mengguncang-guncang tubuh pria itu yang masih berseli
Cahaya lampu tidur yang temaram membuat bayangan wajah Zayn dan Livia membaur di dalam keheningan kamar. Livia menatap lelaki di hadapannya itu dengan sorot mata yang masih menyimpan luka, namun juga penuh keraguan dan harapan. Sementara Zayn, duduk di tepi ranjang seolah menahan jarak agar tak semakin menyakiti gadis yang telah diam-diam mencuri tempat dalam hidupnya."Aku gak ngerti, Zayn…" suara Livia pecah, pelan, nyaris seperti bisikan, namun penuh tekanan batin. "Kadang kamu manis banget, perhatian kayak yang benar-benar peduli… tapi tiba-tiba kamu bisa berubah jadi orang asing yang dingin banget. Aku gak ngerti harus gimana."Zayn terdiam, tak langsung menjawab. Ia menatap jemarinya sendiri, lalu dengan pelan mengusap wajahnya, seakan mencoba menghapus topeng keras yang biasa ia kenakan.“Aku… bukan orang baik, Liv,” katanya akhirnya. “Duniaku bukan tempat yang layak buat seseorang sepertimu. Bahkan kadang aku sendiri takut… takut kamu suatu hari sadar dan pergi…”Livia mendeng