Senja di pantai telah berlalu. Langit mulai menggelap, dihiasi semburat jingga terakhir yang tergurat di cakrawala. Suara ombak terdengar lebih dalam, bergulung perlahan seolah bernyanyi pelan menyambut malam. Aroma garam dan pasir masih melekat di udara, menyatu dengan suara kicauan jangkrik yang mulai mengambil alih tugas burung-burung siang. duduk sendirian di balkon kamar resort yang menghadap langsung ke laut. Kakinya dilipat di kursi rotan panjang, dengan handuk yang masih tersampir di bahunya. Angin malam membelai rambutnya yang belum sepenuhnya kering, membuat helaian-helaian lembut itu berterbangan membingkai wajahnya yang murung.Pikirannya melayang entah ke mana. Tadi siang terlalu aneh. Kedatangan Aisha yang tiba-tiba, raut wajah Zayn yang terlihat tajam sesaat setelah itu, dan… pertengkaran kecil dengan Serenity di dapur barusan tentang kenapa Livia masih terus bersikap terlalu "baik" pada orang seperti Aisha.Tapi bukan itu yang paling menghantuinya.Yang membuat hatiny
Mentari pagi menyapa dengan sinar keemasan yang hangat, memantul lembut di sela tirai kamar Livia dan Zayn. Angin berembus pelan dari jendela yang sengaja dibuka setengah, membawa aroma laut yang samar-samar mulai terasa sejak malam sebelumnya. Hari ini bukan hari kerja, bukan pula hari kuliah. Hari ini adalah hari yang Livia tunggu-tunggu dengan hati berdebar dan wajah berseri—hari Minggu, hari libur yang telah dijanjikan oleh Zayn sejak pertengkaran terakhir mereka.Liburan kecil ini seperti penawar luka, cara Zayn menebus luka-luka kecil yang mungkin belum sembuh sepenuhnya di hati Livia. Dan gadis itu dengan pakaian pantai yang sudah ia siapkan sejak dua hari lalu, lengkap dengan topi bundar lebar dan sunblock yang dibelinya secara impulsif karena "biar mirip cewek-cewek drama Korea" bangun lebih pagi dari biasanya, penuh semangat dan… berisik, seperti biasa."Zayn! Bangun! Kita bisa kena macet kalau telat!" teriak Livia sambil mengguncang-guncang tubuh pria itu yang masih berseli
Cahaya lampu tidur yang temaram membuat bayangan wajah Zayn dan Livia membaur di dalam keheningan kamar. Livia menatap lelaki di hadapannya itu dengan sorot mata yang masih menyimpan luka, namun juga penuh keraguan dan harapan. Sementara Zayn, duduk di tepi ranjang seolah menahan jarak agar tak semakin menyakiti gadis yang telah diam-diam mencuri tempat dalam hidupnya."Aku gak ngerti, Zayn…" suara Livia pecah, pelan, nyaris seperti bisikan, namun penuh tekanan batin. "Kadang kamu manis banget, perhatian kayak yang benar-benar peduli… tapi tiba-tiba kamu bisa berubah jadi orang asing yang dingin banget. Aku gak ngerti harus gimana."Zayn terdiam, tak langsung menjawab. Ia menatap jemarinya sendiri, lalu dengan pelan mengusap wajahnya, seakan mencoba menghapus topeng keras yang biasa ia kenakan.“Aku… bukan orang baik, Liv,” katanya akhirnya. “Duniaku bukan tempat yang layak buat seseorang sepertimu. Bahkan kadang aku sendiri takut… takut kamu suatu hari sadar dan pergi…”Livia mendeng
Langit sudah berubah warna ketika Livia kembali ke rumah. Matahari tenggelam dengan cepat, menyisakan jejak oranye pucat di langit. Ia memeluk tas belanjanya dengan riang, menyenandungkan lagu tidak jelas sembari melangkah masuk ke dalam rumah besar itu. Pipinya merah karena seharian tertawa, dan pikirannya masih penuh dengan tawa Aisha serta waffle cokelat yang tadi sempat dia tumpahkan ke rok barunya. Bahkan ia belum sempat menceritakan semuanya kepada Serenity atau Finnian.Namun begitu Livia membuka pintu dan masuk, suasana rumah itu terasa dingin. Terlalu dingin.Sepi.Tak ada suara Finnian yang biasanya menyambutnya dengan celotehan lucu. Tak ada Serenity yang biasanya duduk santai sambil menyeruput teh sore. Hanya ada suasana hening dan tekanan yang tiba-tiba membuat dada Livia sesak.Langkah kakinya pelan-pelan melewati ruang tamu, menuju lorong panjang yang menuju ruang kerja Zayn.Dan di sanalah Zayn berdiri. Tubuh tinggi dan tegapnya bersandar pada meja, setelan hitamnya ra
Setelah kelas berakhir, Livia dan Aisha langsung meluncur ke mall favorit di pusat kota. Aisha menyewa taksi premium, dan Livia tak henti-hentinya menatap ke luar jendela sambil bersenandung lagu anak-anak yang bahkan sopir taksi pun sempat tersenyum kecil karena tingkahnya. Dengan hati riang dan langkah ringan, Livia turun dari mobil sambil menggenggam erat dompet kelincinya, seakan bersiap memasuki surga duniawi penuh baju pastel dan pernak-pernik menggemaskan.“Aaaah! Ini dia surgaaaa!” pekik Livia sambil berlari kecil ke dalam lobby mall, membuat dua remaja cowok yang lewat sempat menoleh dengan ekspresi campuran antara heran dan geli.Aisha hanya mengikuti dari belakang dengan langkah anggun, matanya tak lepas dari tingkah Livia yang begitu polos. Ia menarik napas pelan. Semudah itu membuatmu ikut aku, Liv… Dan kamu bahkan nggak curiga sedikit pun. Kenapa kamu harus sepolos ini?Livia langsung menuju lantai dua yang penuh butik dan toko aksesoris. Matanya memindai seperti radar,
Pagi itu kampus terasa lebih hangat dari biasanya. Bukan karena cuacanya, tapi karena suasana hati Livia yang mendadak cerah ceria seperti bunga matahari yang baru disiram embun pagi. Ia melangkah ringan di sepanjang koridor gedung fakultas, dengan ransel mungil bergambar kelinci tergantung di punggungnya, dan wajah polos yang dihiasi senyum lebarnya. Pipinya yang sedikit chubby bersemu merah muda karena bersemangat, sementara matanya yang berbinar seolah lupa akan kekacauan semalam.Zayn sempat berpesan agar ia lebih berhati-hati dan tidak sembarangan keluar rumah, apalagi menanggapi telepon dari orang yang belum tentu jujur tapi semua wejangan itu entah bagaimana menguap begitu saja setelah Livia mencium aroma kopi kampus yang menggoda. Lagi pula, pagi ini langit terlalu cantik untuk diisi dengan pikiran murung. Dan seperti biasa, otaknya yang penuh warna pastel langsung melompat dari satu ide ke ide lain dengan kecepatan cahaya.Tadi pagi sebelum berangkat, Livia sempat melakukan s