Share

Siapa kau

"Sia... pa kau?" Aku memainkan jari lentikku, menunggu jawaban yang tak kunjung ada. Perasaan cemas semakin berkecamuk. Aku berusaha melonggarkan dekapannya, aku ingin melarikan diri. Tapi yang kudapat, dia mencengkram keras pergelangan tanganku. Diamnya membuatku takut.

"Aku tahu kau Xiloe. Lepaskan aku!" Ucapku sedikit membentak. Lagi-lagi tak ada jawaban. Ruangan ini begitu gelap, aku tak bisa melihat apapun. Hembusan napas yang kian terasa. Tuhan siapa dia. Kutarik sekuat tenaga tanganku, lalu aku berusaha mendorongnya. Tapi sia-sia.

"Kau pikir, kau mampu lolos dariku?" Pertanyaan sekaligus penekanan. Sungguh nada bicaranya membuat nyaliku menciut. Ia berbisik tepat di kuping kanan ku.

"Ka...u," Aku ingin melontarkan kata- kata, tapi kurasa ini bukan waktu yang tepat. Bisa- bisa nyawa dan keperawananku yang jadi taruhannya. Tentu saja aku tak ingin lelaki busuk ini menyentuhku. Ah, apa aku berpikir terlalu jauh? Tapi tak salah jika aku berprasagka seperti itu. Mengingat Rani yang hampir saja di gilir oleh orang- orang Xiloe, dan mungkin saja itu bisa terjadi padaku.

"Apa mau mu?" Tanyaku pada lelaki yang ku pikir Xiloe.

Mendengar pertanyaanku dia tertawa terbahak- bahak seperti orang gila. Dia memang gila, jadi aku tak perlu mengherankan itu.

Beberapa saat  setelah dia tertawa bising di hadapanku, dia mulai melepaskan cengkramannya dan berlalu pergi meninggalkanku.

Cklek... brakk!!!

Suara pintu tertutup cukup keras.

Aku merasa ada yang aneh dengannya. Tapi sudahlah, kakiku sudah sangat lemas. Aku berjalan pelan menuju ke arah ranjang sambil meraba- raba. Biarlah gelap, aku tak perduli itu.

***

Aku terbangun dalam lelapku. Entah pukul berapa ini, yang jelas kondisi kamar masih sangatlah gelap. Aku merasa lapar, tenggorokanku terasa kering. Rani, kenapa dia tidak mengantarkan makanan untukku? Apa sesuatu terjadi padanya? Pikiranku mulai tak karuan. Aku mulai berdiri dan turun dari ranjang, menyusuri pelan, meraba berjalan menuju saklar lampu dekat pintu.

Tak!

Lampu menyala menerangi kamar ini. Sekarang pandanganku teralihkan dengan pintu yang selalu di kunci. Seperti halusinasi, tapi apa salahnya? Aku mendekat dua langkah dari posisi sebelumnya. Kupegang lalu ku coba memutarnya, dan ternyata pintu ini tak terkunci. Aku menelan salvinaku. Takut dan khawatir menyelimuti pikiranku. Apa aku harus keluar? Ini kesempatan bagiku? Ini yang kunantikan. Haruskah aku? Kumantapkan kaki melangkah keluar setelah pintu terbuka. Berusaha tenang dan terus waspada.

Aku menuruni anak tangga satu persatu.  Sepi, seperti itulah kondisi rumah ini sekarang. Aku harus segera kabur dari tempat terkutuk ini, tapi bagaimana dengan Rani? Langkahku terhenti kala mengingat gadis remaja itu.

Harus kemana aku? Rumah ini begitu asing dan begitu besar. Aku tidak tahu harus kemana. Langkahku kian pasti menuruni anak tangga. Sekarang aku berada di dapur. Biasanya kamar para pekerja terletak di area-area seperti ini. Kususuri hingga aku sampai di hadapan lorong yang sepertinya menuju ke suatu ruangan. Hawa dingin semakin terasa, mencekam. Ku beranikan diri untuk melengkah. Lorong ini sedikit panjang. Ku rasa aku menghampiri tempat yang salah. Tapi tubuh ini seakan terus ingin berjalan menuju tempat itu. Sebenarnya tempat apa itu?

Deg!

Bayangan gelap terlihat jelas di dinding putih. Jantungku berdebar hebat, kakiku terasa semakin melemas. Aku memberanikan diri untuk menoleh kebelakang. Apa? Aku tak percaya ini? Kutelan salvinaku berulang kali.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status