Share

RAGU UNTUK BERTERUS TERANG

  1. RAGU TUK BERTERUS TERANG

Sultan bima Syailendra

Terpaku di depan pintu kamar. Keraguan menyelimuti hati untuk menemui istri yang sangat kucintai. Walau tak ada celoteh anak dalam pernikahan kami, kehidupan kami diliputi oleh kebahagiaan.

Tigabelas tahun usia pernikahan, tak ada sedikitpun keinginan dalam hati untuk menikah lagi hanya demi mendapatkan momongan. Walau Marina berkali-kali menyuruhku, tak pernah aku memenuhi permintaan gilanya itu.

Dalam kondisinya yang sakit karena beberapa jari di kakinya harus di amputasi, aku tetap setia kepadanya. Penyebabnya adalah penyakit diabetes yang di idapnya. Meskipun usianya sepuluh tahun di atasku, bagiku dia tetap terlihat sempurna.

Sudah dua tahun dia harus beraktifitas dengan kursi roda. Diusianya yang ke empatpuluh delapan tahun, harus menjalani ujian hidup seberat ini. Walau kini bobot tubuhnya mengecil dan tidak proporsional bagiku dia tetap terlihat menarik. Begitu besarnya cintaku kepadanya hingga tak pernah sedikitpun terlintas dalam benak untuk menghianatinya.

Namun kini, kesetiaanku telah lumpuh. Dengan sadar aku sudah menghianatinya. Ya Tuhan, bagaimana bisa aku melakukan perbuatan yang terkutuk. Bagaimana harus menjelaskan kepada istriku. Tak mungkin membohonginya. Selama aku menjadi suaminya, belum pernah sekalipun membohonginya. Kami selalu berbagi suka dan duka bersama. Dan kini, tak mungkin aku berterus terang. Membohonginya juga bukan hal yang mudah. Marina selalu tahu ketika aku tak jujur.

Aku menyandarkan tubuh di pintu. Tak berani untuk masuk ke dalam kamar. Tanpa terasa airmataku luruh. Sekuat mungkin menahan suara tangisan hingga membuat tubuh berguncang.

Aku terdiam dalam kebingungan. Dua dosa dalam satu perbuatan membuat dadaku terasa sesak. Aku memukuli dadaku dengan penuh penyesalan. Kenapa bisa sampai kehilangan kendali. Seharusnya aku tak melakukan hal menjijikkan itu. Otakku benar-benar sudah tidak waras hingga tak bisa berpikir panjang.

“Bodoh. Benar-benar bodoh!” aku memukuli keningku dan tanpa sengaja mengeluarkan suara. Tersadar lalu membekap mulutku. Semoga saja istriku tak mendengar.

“Sayang. Kamu sudah pulang?” terdengar suara istriku. Belum sempat aku menyadari apa yang harus kulakukan, puntu kamar sudah terbuka dari dalam. Istriku sudah berdandan sangat cantik. Dia mengenakan lipstik merah menyala senada dengan dress yang di pakainya. Walau sehari-hari mengandalkan kursi roda, istriku tipe wanita yang mandiri. Selagi mampu mengerjakan sendiri, dia akan melakukannya. Tidak manja dan tak suka dianggap lemah.

Istriku menguntai senyuman manis. Selalu menyejukan. Hilang lelah seketika saat melihat senyumannya. Namun dosa yang kurasa dalam dada ini, tak bisa membuatku membalas senyum manisnya. Sebentar lagi senyum diwajahnya pasti sirna saat melihat wajahku yang bersimbah airmata.

Benar saja, dalam hitungan detik, kedua ujung bibir yang terangkat tinggi, kini di tarik kembali. Kekhawatiran muncul pada wajahnya seketika.

“Sayang, kau kenapa?” tanyanya sembari meraih jemariku.

Bagai anak kecil yang butuh perlindungan,  langsung menangis di pangkuannya. Tak tahu apalagi yang harus kulakukan. Haruskah berterus terang. Aku takut dengan reaksinya. Bagaimana kalau Marina syok dan penyakitnya tambah parah. Atau mungkin dia akan meninggalkanku. Tidak. Aku tak mau ini terjadi. Aku belum siapa. bahkan takkan pernah siap ditinggal oleh wanita yang sangat kucintai.

Tubuhku terasa hangat berada dalam pelukannya. Ada rasa tenang dan damai. Namun gejolak itu muncul kembali. Terus dihantui rasa bersalah.

Rasa bersalah seperti meledak dalam dada. Dengan penuh kelembutan dia mengusap kepala dan berusaha menenangkan lelaki yang sudah menghianati cintanya.

Istriku sangat pengertian. Saat aku ada masalah dan belum mau bercerita, dia tidak akan banyak bertanya. Cukup diam dan menunggu hingga aku memulai pembicaraan. Seperti saat ini. Dia bergeming dan hanya belaian lembutnya yang kurasa di kepala.

“Sayang. Kau baik-baik saja?” tanyanya kepadaku.

‘Tidak, sayang. Aku sedang tidak baik-baik saja. Kau pasti mengerti arti dari tangisanku ini.” Aku mengangkat kepala dan memberanikan diri menatap wajahnya yang masih diliputi kecemasan. Walau dia berusaha tersenyum, tapi guratan kecemasan tergambar jelas pada wajahnya.

“Kau mau bercerita kepadaku?” tanyanya kemudian.

“Marina. Aku ... aku ....”

“Iya. Aku .... ayo tarik nafas panjang, lalu hembuskan perlahan. Supaya keadaanmu lebih baik.” Marina mengelus dadaku.

Aku mengikuti arahannya. Benar saja setelah menarik nafas panjang keadaanku lebih membaik. Setidaknya nafas ini tidak begitu sesak.

“Kau perlu minum atau ....”

‘Tidak. Aku hanya ingin bercerita dengan memelukmu.” Pintaku padanya. Kembali kurebahkan kepala di atas pangkuannya.

“Baiklah. Kita masuk dan aku akan menyangga kepalamu di atas ranjang.” Seperti inilah istriku. Dia selalu bisa membuatku tenang. Seperti seekor kerbau yang di cucuk hidungnya, aku menuruti perkataannya.

Menutup pintu lalu mendorong kursi roda menuju ranjang. Aku bersiap untuk menggendongnya. Namun seperti biasa dia melarangku. Dia tak ingin merepotkan siapapun selagi bisa melakukannya sendiri. Sebenarnya dia masih bisa bertumpu dengan satu kaki. Awalnya hanya tiga jari yang di amputasi, lama kelamaan dua jari lainnya menghitam dan harus kembali di amputasi. Kini dia harus sangat berhati-hati karena telapak kakinya samgat rentan. Itulah kenapa dia harus menggunakan kursi roda.

Untuk jatah malamku. Jangan tanyakan itu. Semenjak Marina sakit aku tak pernah lagi memikirkan tentang hal itu. Tak tega rasanya untuk meminta hakku.

Seperti biasa saat aku akan menggendong tubuhnya naik ke atas ranjang, istriku selalu menolak. Dia berusaha sendiri dengan sangat berhati-hati.

Kurebahkan kepala pada pangkuan istriku. Hati ini terasa tenang. Kembali Marina mengelus kepalaku dengan lembut.

“Ungkapkan apa yang ada di hatimu, sayang. Supaya tenang.”  Ucap Marina dengan lembut.

Dadaku terasa makin sesak. Bukannya mulut yang berbicara, tapi air mata yang memulai pembicaraan. Mengalir deras bagai anak sungai yang tak bermuara. Tak tahu harus memulai darimana. Saat ingin mulai bercerita, tiba-tiba lidahku kelu.

“Sebegitu beratkah beban yang kau tanggung suamiku? Kau tak pernah menangis seperti ini sayang. Kecuali saat kau kehilangan orangtuamu. Apakah ini ....”

“Aku sudah berbuat dosa yang sangat besar, Marina. Bahkan banyaknya air di samudera takkan bisa membersihkan dosa yang telah kulakukan. Ampuni aku, Marina. Ampuni aku.” Aku tak bisa berbohong lagi. Semakin lama menyimpan sendiri, semakin membuatku tersiksa. Dadaku seperti mau meledak.

“Apa maksudmu?!” tanya istriku dengan nada tinggi. Dia bahkan mengangkat kepalaku lalu menggeser tubuhnya. Kini kepalaku bertumpu pada ranjang.

Aku tetap pada posisi semula dan  memejamkan mata. Tak berani melihat gelombang kemarahan pada wajah cantiknya.

“Sultan! Katakan dengan jelas!” tak ada panggilan sayang seperti biasa. Saat istriku hanya memanggil namaku, itu artinya dia benar-benar marah.

Perlahan, aku mengangkat wajah dan memberanikan diri menatap wajah istriku yang terlihat tegang.

“Danisa. Demi adikku, aku sudah berbuat dosa. Aku sudah membalaskan dendam kepada kekasih yang sudah menodai adikku.”

“Apa maksudmu, Sultan?! Apa kau juga melakukan hal yang sama?! Jawab pertanyaanku?!” Marina mengguncang bahuku dengan keras. Ada getaran dalam nada suaranya.  Buliran bening mulai mengalir deras di pipi tirusnya. Bagaimana ini. Belum jujur saja, keadaanya sudah syok seperti ini. Apa yang harus kulakukan. Aku tak ingin terjadi apapun dengannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status