Share

Bab 4

Gemericik hujan membasahi bumi. Aku yakin langit sedang berduka atas seorang perempuan yang ditinggal setelah diberi harapan. Tentang seorang perempuan yang melambungkan harapan dan mimpi terlalu tinggi sehingga ketika jatuh teramat sakit. Pun karena seorang perempuan yang harus menjahit lukanya seorang diri.

Perempuan itu adalah aku. Luka sebenarnya sudah sering aku rasakan, tetapi ini berbeda. Aku bisa saja tersenyum walau perih, tetapi ayah dan ibu sampai menangis setelah kepergian Mas Ilham dua hari yang lalu. Lelaki itu sungguh tidak memikirkan berapa banyak hati yang terluka karena sikapnya.

"Bagaimana kalau kamu kejar beasiswa buat ke Mesir, Yum?" tanya Mas Dika ketika mendapatiku memeluk lutut di sudut kamar.

Aku mengembus napas kasar. "Gak bisa, Mas. Aku gak ada sesuatu yang bisa diandalkan buat ke sana. Ngejar beasiswa itu tidak mudah."

"Tidak usah disembunyikan, Yum. Mas tahu kamu sudah hafal 27 juz al-qur'an dan bisa baca kitab. Itu aktivitas rutin kamu setiap pulang kuliah, 'kan?"

"Mas?" Aku menganga.

"Amel yang cerita, makanya tahu. Tadi mas tidak sengaja ketemu sama dia dan ceritain masalah kamu. Mas cerita karena percaya sama Amel."

Amel memang sahabat yang paling dekat denganku. Kami sering berbagi cerita bahkan dia tahu tentang Mas Ilham yang melamar. Sebenarnya sebelum pesan singkat itu aku baca, kami mau ke majelis Ustaz Hasan untuk menyetor hafalan al-qur'an dan melanjutkan belajar fiqih. Aku jadi merasa bersalah karena tidak memberi kabar padanya.

"Dan sekarang Amel ada di sini. Dia menunggumu di ruang tamu," lanjut Mas Dika.

Mendengar itu aku gegas meraih jilbab rabbani dan melangkah cepat ke luar kamar. Benar saja ada Amel dengan kerudung birunya. Aku tersenyum getir, duduk di depannya dengan mata bengkak karena terus menangis merutuki diri yang mendapat takdir buruk.

Amel tidak berbasa-basi, tetapi langsung mengingatkan bahwa apa pun yang terjadi itu sudah diatur sama Allah. Baik itu rezeki, ajal bahkan jodoh. Lelaki yang baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah dan kita harus patuh pada ketetapan-Nya. Bersabar atas segala cobaan yang Allah beri dengan kesabaran yang indah.

"Apa kamu lupa, Yum? Andai sabar itu seorang lelaki, maka?"

"Pastilah ia lelaki yang mulia," sambungku tersenyum pahit.

"Lalu, apa yang membuatmu sedih, Yum? Seharusnya bersyukur karena Allah sudah menunjukkan sifat asli dari Mas Ilham. Jika saja kalian menikah, boleh jadi sebulan kemudian sudah mendapat adik madu atau bahkan jadi janda." Ucapan Amel membuatku tertegun sesaat. "Itu karena kamu sudah jatuh cinta, lalu melabuhkan harapan padanya. Iya, 'kan?" lanjut Amel lagi. Dia tersenyum walau ada linangan di mata indah itu.

"Aku tidak mencintainya," elakku menunduk. 

Amel tertawa kecil, lalu berucap jujur bahwa ketika tahu sekelumit kisah yang menyakitkan ini dari Mas Dika, dia langsung naik pitam dan minta nomor telepon Mas Ilham untuk memberi pelajaran dengan harapan lelaki PHP itu sadar kalau tindakannya melukai hati banyak orang. Namun, Mas Dika melarang Amel dengan dalih perempuan bukan lawannya laki-laki, juga khawatir ikut terluka.

Aku hanya tersenyum mendengar cerita itu. Jujur saja hati ini tahu kalau Amel datang ke sini untuk menghibur, tetapi apa daya luka itu masih sangat membekas. Aku tidak tahu harus melakukan apa agar pikiran bisa menghapus tentangnya. Nomor Whats*pp Mas Ilham saja masih tersimpan rapi di kontak telepon tanpa ada niat menghapusnya. 

"Luka itu akan sembuh kalau kita berusaha untuk mengobati, bukan dibiarkan." Amel menghela napas panjang. "Kata Maulana Jalaluddin Rumi, segala sesuatu menunggu pada waktunya."

"Tak ada mawar yang mekar sebelum waktunya, matahari juga tidak terbit sebelum waktunya. Apa yang menjadi milikmu pasti akan datang kepadamu," sambungku meneruskan kalimat indah itu.

Amel mendekat, dia duduk di sampingku dan memeluk erat. "Kalau saja kamu izinkan aku untuk memberi Mas Ilham pelajaran, sekarang juga dia akan kuhajar."

"Tidak, Amel. Aku yakin Mas Ilham akan sadar pada waktunya," balasku tersenyum.

***

Malam hari biasanya kami kumpul menonton televisi di ruang keluarga setelah makan dan salat isya. Sekarang pun sama, tetapi aku duduk sedikit jauh dari mereka bertiga. Ada rasa sungkan untuk mendekat terutama ayah dan ibu.

Sungguh, mereka sama sekali tidak menyalahkanku, tetapi Mas Ilham. Hanya saja aku yang malu karena melakukan ta'aruf tanpa sepengetahuan mereka. Ini juga merupakan kesalahan terbesar yang aku lakukan. Namun, sebenarnya merahasiakan ta'aruf itu murni agar mereka tidak kecewa jika saja batal. Pada kenyataannya salah.

"Yumna," panggil ayah tanpa memandangku.

"Iya, Ayah?"

"Demi nama baik keluarga kita, besok minta Ilham datang ke sini atau orangtuanya. Tadi ayah ditanya tetangga, kapan acara pernikahanmu."

Aku menunduk, luka kembali menganga. Dari suara ayah sangat ketahuan beliau terluka. Hal yang paling menyakitkan adalah bayangan ketika ayah sibuk menelepon paman untuk datang ke acara lamaranku. Saat itu aku merasa lembaran baru akan dibuka, tetapi tidak. 

Takdir memang tidak selalu indah dan kini sangat enggan berpihak kepadaku. Jika bersabar dan terus memperbaiki diri karena Allah, apakah akan mendapat jodoh paling baik? Sementara Mas Ilham telah memilih Nurul Hafizah. Bisa jadi dalam waktu dekat mereka akan menikah.

"Iya, Ayah." Akhirnya aku menjawab setelah diam sesaat. Lidah terkunci rasanya.

"Ayah cuma minta kamu untu melupakannya. Biar saja Ilham bersama dengan perempuan tadi. Namun, dia harus melepasmu dengan cara yang baik."

"Kalian bukan orang pacaran yang bisa putus-nyambung begitu saja. Hubungan kalian sudah melibatkan keluarga, tentu mengirim pesan singkat itu sangat tidak beretika," sambung Mas Dika.

Suasana kembali hening. Pandangan mereka tetap mengarah pada televisi. Aku memeluk kedua lutut sambil menangis dalam diam. Pikiran kalang kabut mencari jawaban sebenarnya tentang alasan Mas Ilham membatalkan pinangannya.

Apakah mungkin karena Nurul dari keluarga terpandang? 

"Tidak usah banyak pikiran, masuk kamar dan istirahatlah!" titah ibu.

Aku tidak menjawab melainkan langsung berdiri dengan langkah gontai masuk kamar. Malam ini aku berharap luka dalam hati kian pulih. Aku khawatir pikiran buruk merajai hati sampai tidak bisa lagi membedakan mana yang boleh dan dilarang agama. Misalnya saja bunuh diri.

"Astagfirullah," gumamku.

Dengan cekatan aku meraih ponsel dan melihat story Mas Ilham. Sebuah undangan digital bahwa dia dan Nurul akan menikah tanggal 20 Maret depan. 

Aku : Masya Allah tabarakallah, semoga dilancarkan sampai hari H, Mas. Insya Allah, Nurul adalah perempuan salihah.

Sengaja aku swap dan mengirim pesan itu sebagai kalimat sindiran. Tidak butuh waktu lama, Mas Ilham sudah membaca dan mengirim balasan yang mengejutkan. 

Ilham : Terimakasih doanya.

"Ya, seolah tidak ada apa-apa di antara kita, Mas," gumamku tersenyum getir sebelum akhirnya mematikan ponsel.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status