Share

Bab 5

Muhammad Ilham Thalib. Seorang lelaki yang senyumnya mampu menciptakan debaran dalam dada. Dia lelaki kedua yang singgah di hati setelah Qabil yang merupakan putra tunggal Kyai Sholeh, pengasuh salah satu pondok pesantren salafy di kampungku.

Aku mengenal Mas Ilham dari teman kuliah yang merupakan saudara sepersusuannya—Aisyah. Dia bilang Mas Ilham sedang mencari teman hidup dan ingin melakukan ta'aruf dengan perempuan mana saja yang siap menikah. Kala itu aku tidak begitu tertarik karena tahu kalau Mas Ilham selain tampan juga mapan. Akan tetapi, Aisyah terus meyakinkanku bahwa jodoh itu harus diusahakan bukan hanya dinanti tanpa usaha.

Dalam masalah ini aku sama sekali tidak menyalahkan Aisyah karena memang bukan inginnya sehingga lamaran ini batal. Bahkan ada kemungkinan dia tidak tahu karena perempuan itu sudah berangkat ke Mesir bulan desember kemarin. 

"Sudah minta Ilham ke sini?" tanya Mas Dika menepuk pundakku yang sedang memandang ke luar jendela.

"Belum, Mas. Masih trauma ketemu sama Mas Ilham. Bisa-bisa luka kembali terkuak." Aku tersenyum getir. Langit pun sedikit mendung.

Mas Dika beralih duduk ke tepi ranjang. Angin sepoi menembus masuk kamar melalui celah ventilasi dan jendela yang sedikit terbuka. Aku mengembus napas pelan, luka itu masih terpatri dalam hati. Enggan menepi padahal sudah berusaha kutepis.

"Kalau begitu mas saja yang telepon Ilham, kamu di kamar dan tidak usah keluar kalau masih trauma. Walau bagaimana pun, ayah yang meminta," tutur Mas Dika lembut.

Sekarang hari minggu, percetakan tempat Mas Dika bekerja tutup jadi bisa leluasa berada di rumah padahal biasanya akan menghabiskan waktu di luar bersama temannya. Bukan sekadar nongkrong, tetapi diskusi atau tepatnya saling mengeluarkan pendapat pada masalah yang dialami salah satu temannya.

Aku diam tanda setuju seraya menyerahkan ponsel yang tertera nomor Mas Ilham di sana. Tanpa ragu, Mas Dika langsung menelepon dan menyampaikan tujuan tanpa basa-basi. Kedengarannya ada penolakan sehingga pembicaraan mereka lumayan panjang.

"Masalah harus selesai hari ini. Kalau kamu mengaku orang berilmu, maka harus punya adab. Kami tidak memintamu datang melamar, jadi sudah menjadi tanggungjawab kalian untuk datang meminta maaf secara langsung," desak Mas Dika.

Beberapa menit kemudian, dia kembali membuka suara. Kali ini dengan penuh penekanan. "Jika kalian tidak datang, berarti aku harus mencari ustaz yang ikut hadir waktu itu. Ustaz Rasyid, bukan? Aku mengenalnya."

Mas Dika memutus sambungan telepon. Aku bertanya, "bagaimana, Mas? Apa mereka mau datang ke sini?"

"Awalnya Ilham menolak, katanya masalah sudah selesai dan lagi pula kita sudah tahu kalau yang kini menjadi calon istrinya itu Nurul Hafizah yang dia bawa ke sini kemarin. Mungkin mereka sengaja agar kamu berhenti berharap. Namun, mas tentu tidak membiarkan itu terjadi. Orangtua Ilham akan datang ke sini, sekarang."

"Oh, baiklah kalau begitu. Tentu masalah tidak akan serumit ini jika mereka datang mengklarifikasi atau meminta maaf. Para tetangga juga tidak akan terlalu menggunjing, daripada ditinggal tanpa jejak," gumamku, tetapi masih mampu didengar Mas Dika.

"Lelaki itu harus tegas dan punya tanggung jawab. Gimana, Yum? Mas bertanggung jawab, 'kan?" Aku mengangguk, lalu Mas Dika melanjutkan, "kira-kira Amel mau ndak ya sama mas?"

Aku mendelik kesal. Dalam situasi seperti ini bisa-bisanya Mas Dika melempar guyonan. Sebelum mendengar amukan, dia sudah lebih dulu keluar kamar dengan langkah seribu. Aku tertawa kecil, ada rasa bahagia karena dihibur walau tetap saja luka lebih berkuasa.

***

Pukul sebelas siang, sebuah mobil agya merah terparkir di depan rumah. Dari warnanya sudah bisa ditebak itu milik orangtua Mas Ilham. Aku yang sejak tadi berdiri di jendela langsung masuk ke ruang tengah dan mendapati ibu sedang mengupas bawang di depan televisi.

"Bu, orangtua Mas Ilham sudah datang."

Ibu gegas berdiri; melangkah menuju dapur, sementara aku masuk kamar berusaha menguasai diri. Jika hati sudah lebih baik, aku akan menguping pembicaraan mereka. Hari ini lebih dibuat deg-degan dibanding ketika lamaran. Dulu ada senyum yang terukir indah, sedangkan kini ada luka yang merebak cepat.

Lima menit berlalu, ibu mengetuk pintu memintaku ke luar membawa minuman. Dengan berat hati aku melangkah, membuka daun pintu dan meraih baki yang berisi kopi hitam pekat. Namun, kenapa ada lima gelas?

"Ilham juga datang, tapi kamu harus bersikap santai. Dia saja santai," cerocos ibu seakan bisa membaca pikiranku.

Aku menelan saliva, lalu menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan hingga tujuh kali. Setelah debar di dada sudah normal, aku mulai melangkah ke luar. Perlahan, luka kembali terbuka sehingga hati merasakan perih yang luar biasa.

Langkahku terhenti ketika tidak sengaja beradu pandang dengan Mas Ilham. Tidak ada lagi bunga-bunga cinta. Sekarang saja aku ingin menangis dan bercerita pada dunia bahwa ada hati yang berdarah-darah. Namun, raut wajah lelaki itu terlihat biasa saja.

"Kenapa berhenti di situ, Yum?" tegur Mas Dika.

Aku sedikit terperanjat dan hampir menumpahkan kopi. Tanpa menjawab, aku langsung meletakkan gelas itu di depan mereka. Gelas-gelas kaca yang terluka, tanpa mampu dia ungkap. Ah, aku mulai tidak waras.

"Yumna ke dalam dulu, Bu," pamitku dengan suara parau sambil memeluk baki bergambar bunga mawar yang juga aku pakai ketika acara lamaran. Sakit sekali.

Akan tetapi, sebenarnya bukan niat masuk ke dapur. Ya, aku berdiri di balik tirai untuk menguping pembicaraan mereka. Rasa penasaran yang begitu mengusik. Perempuan memang seperti itu, terus mencari tahu walau sudah pasti hanya akan menoreh luka.

Namun, sampai detik ini belum terdengar suara dari siapa pun. Aku jadi semakin penasaran bahkan berharap ini hanya bercanda karena tahu hari kelahiranku. Bosan menunggu, baki aku bawa ke dapur, lalu minum air putih untuk menenangkan diri yang mulai merasakan sesak.

Setelah itu, dengan langkah seribu aku kembali ke tempat semula untuk menguping. Rupanya pembicaraan mereka sudah dimulai. Aku menajamkan pendengaran dan ternyata itu suara ummi.

"Kami tidak bisa berbuat banyak karena Ilham sudah dewasa. Jadi, keputusan ada di tangannya. Apa pun itu, kami harus setuju karena dia yang menjalani pernikahannya. Benar, bukan?"

"Ilham memang usia sudah bisa dikata dewasa, tetapi melamar anak orang dan meninggalkan hanya dengan pesan aksara itu tidak dibenarkan. Kalian sebagai orangtua harusnya bisa mendidik anak untuk tidak memperlakukan perempuan seperti itu. Bagaimana jika adik Ilham merasakan hal yang sama? Apa kalian akan diam dan membiarkan lelaki itu–"

"Cukup, Dik. Biar kami yang bicara dulu!" tegur ayah pada Mas Dika.

"Tidak perlu memperpanjang masalah." Mas Ilham ikut membuka suara. "20 Maret nanti aku akan menikah dengan Nurul Hafizah. Jadi, tidak akan ada solusi. Intinya kami meminta maaf. Masalah selesai."

Aku terkejut bukan main. Bisa-bisanya Mas Ilham bicara seperti itu di depan ayah. Jika saja boleh, aku ingin ke luar dan menghajarnya langsung. Sudah buaya, tidak punya adab pula. Aku geram. "Jaga bicaramu, Mas!" teriakku masih berdiri di balik tirai.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status