"Maaf, Daddy. Kiara tidak bisa, Kiara sudah memiliki suami, dan suami Kiara putra Daddy sendiri. Jadi Kiara mohon, jangan ganggu Kiara. Lupakan semua perasaan atau obsesi Daddy terhadap Kiara, sampai kapanpun Kiara tidak akan mau menjadi kekasih bahkan istri. Daddy," tolak Kiara dengan tegas.
Victor tertegun, harga dirinya terasa tercoreng dengan penolakan Kiara. Pria itu melihat Kiara yang menarik kedua tangannya, dan mengalihkan wajahnya ke arah lain. Victor mengeraskan rahangnya. "Kenapa kau menolakku, Kia? Kau berharap apa kepada Edwin? Dia memiliki Cecilia, bahkan dia akan menceraikanmu setelah ini. Lalu apa yang kau harapkan dari Edwin, Kia?" cerca Victor, membuat Kiara terkejut. Wanita itu menoleh. "D-daddy, tau?" tanya Kiara terbata, Victor terkekeh lirih. "Kau kira aku pria bodoh? Aku tau segalanya, Kiara. Bahkan aku tau jika selama ini Edwin tidak menyentuhmu—karena aku orang pertama yang menyentuhmu!" sentak Victor, jantung Kiara berpacu kian cepat. Wanita itu menggigit bibir bawahnya. "Aku benar bukan? Lalu apa yang kau harapkan dari pernikahan ini huh? Kau tidak bahagia, Kiara. Lepaskan Edwin, dan jadilah milikku! Aku akan menjamin segala kebahagiaan yang tidak pernah Edwin berikan kepadamu," ucap Victor dengan serius. Lama Kiara terdiam, sampai akhirnya wanita itu menghembuskan nafasnya pelan. Kiara mengalihkan wajahnya ke arah lain, hatinya mendadak berdebar tidak karuan. Emosionalnya tidak stabil. "Aku tidak bisa, Dad. Meskipun pernikahan kami tidak di landasi cinta, statusku tetap istri putramu. Jangan memaksaku, karena sampai kapanpun aku tidak akan bisa menerima Daddy. Sekalipun aku bercerai dengan Edwin, aku akan pergi dan tidak akan berurusan dengan kalian kembali," jawabnya dengan lirih, ada rasa berat di benaknya saat melontarkan kata-kata tersebut. Victor mengerang, pria itu mengacak kasar rambutnya. Bagaimana bisa Kiara sangat keras kepala seperti ini, Victor rasanya hampir frustasi. Dengan cara apalagi Victor harus mendapatkan Kiara. "Aku akan tetap mengejarmu, Kiara. Kau akan menjadi milikku, camkan itu!" Victor menyalakan mesin mobilnya, pria itu mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sementara Kiara, wanita itu melirik ke arah Victor sejenak. Ada perasaan aneh di benaknya, namun Kiara tidak memahaminya. Perasaan apa yang kini ia rasakan. Setibanya di mansion, Kiara segera masuk ke dalam kamarnya. Victor sendiri memilih pergi menuju kantornya. Malam harinya, "Kemana Daddy, dan Kak Edwin. Paula?" tanya Kiara pada kepala maid saat melihat meja makan sepi. "Sepertinya Tuan Edwin, dan Tuan Victor belum kembali. Nona," jawab Paula, Kiara mengangguk. Wanita itu ingin membantu Paula. Hoekkk ... hoekkk ... hoekkk Kiara berlari ke arah wastafel, wanita itu memuntahkan isi perutnya yang kembali bergejolak hanya karena mencium aroma bumbu. Paula sendiri terkejut, ia membantu Kiara. Memijit tengkuk wanita itu. "Sudah, Paula. Terimakasih," ujar Kiara saat selesai memuntahkan semua isi perutnya, wanita itu mengelap sudut bibirnya. "Kenapa bau sekali, Paula. Apakah bumbu persediaan basi?" tanya Kiara, Paula mengernyit. "Tidak, Nona. Bumbunya masih bagus, bukankah Nona sendiri yang membelinya kemarin?" "Iya, aku yang membelinya kemarin. Tapi sungguh baunya sangat tidak enak, Paula. Perutku rasanya mual sekali saat menciumnya," ujarnya dengan kesal. "Kalau begitu Nona duduk saja, tidak usah ikut membantu hari ini. Daripada Nona kembali muntah-muntah," saran Paula, Kiara mengangguk. "Maafkan aku, Paula. Semangat memasak." Kiara tersenyum, wanita itu menepuk lengan Paula beberapa kali. Kemudian berlalu pergi. "Apakah Nona Kiara sedang hamil? Aku harus mengatakannya kepada Tuan Victor," gumam Paula. Setelahnya, kini Kiara duduk di kursi meja makan sendiri. Wanita itu menatap sekelilingnya dengan cemberut. Kiara merasa kesal karena tidak ada Edwin, ataupun Victor. "Kemana mereka berdua? Kenapa tidak segera pulang? Apakah mereka sama-sama lembur?" cerca Kiara sendiri, wanita itu sangat kesal. "Paula, ayo temani aku makan," pinta Kiara, Paula menggeleng. "Maaf, Nona. Saya tidak bisa, Nona saja yang makan. Saya temani dari sini," tolak Paula. "Tidak mau, aku maunya di temani. Paula," rengek Kiara, tiba-tiba saja wanita itu menjadi manja. Paula terkekeh. "Baiklah, Nona. Saya temani." Paula duduk di samping Kiara, menerbitkan senyum di bibir wanita cantik itu. Sementara itu, Victor tidak ingin kembali ke mansion malam ini. Setelah penolakan yang Kiara lakukan, Victor ingin menarik diri sejenak dari Kiara. Victor ingin membiarkan Kiara sendiri sebentar. Hingga akhirnya, apa yang Victor lakukan berlarut sampai tiga hari lamanya. Pria itu sudah tiga hari ini tidak kembali ke mansion, begitu juga dengan Edwin. Pria itu pun turut tidak pernah pulang, membuat Kiara kesal. Wanita itu sedih. "Kenapa mereka berdua sama-sama tidak pulang ke mansion? Apakah mereka tidak ingin jalan pulang? Daddy Victor juga begitu, apakah dia marah setelah aku menolaknya?" Kiara terisak, wanita itu memeluk kedua lututnya sendiri. "Tapi ‘kan dia mengatakan jika akan tetap mengejarku, lalu ini apa? Kenapa dia tidak pulang ke mansion? Malah membiarkanku sendirian selama tiga hari, apakah dia tidak tau jika aku kesepian? Dia juga tidak menghubungiku." Kiara mengusap air matanya yang terus mengalir deras, dadanya terasa sesak. Wanita itu nampak bingung dengan perasaannya sendiri. "Jahat, Daddy Victor jahat! Apa yang ia katakan tidak sama dengan tindakannya! Awas saja jika bertemu, aku tidak mau berbicara dengannya lagi," gerutu Kiara tanpa sadar, wanita itu tidak sadar jika sejak tadi bibirnya terus menyebutkan nama Victor. Sedangkan yang di cari-cari oleh Kiara saat ini baru saja menginjakkan kedua kakinya di mansion, pria itu nampak lelah sekali. Selama tiga hari ini ia menyibukkan diri dengan pekerjaannya, sampai akhirnya lupa untuk pulang. Larut dalam aksi menarik diri, bahkan ponselnya pun mati sejak tiga hari lalu. "Tuan," sapa Paula, Victor mengangguk. "Kemana, Kiara?" tanya Victor, Paula tersenyum. "Ada di kamarnya, Tuan. Tiga hari ini Nona Kiara nampak sedih karena Tuan dan Tuan Edwin tidak ada di mansion," jelasnya. "Sedih?" Victor menaikkan sebelah alisnya, Paula mengangguk. "Iya, Tuan. Nona Kiara terlihat sangat sedih," "Yasudah, kembalilah ke paviliun. Aku akan melihatnya di kamar." Victor melangkah menuju kamarnya, ia membersihkan tubuhnya. Sebelum akhirnya pergi menuju kamar Kiara. Setibanya di kamar Kiara, Victor masuk. Pria itu melihat Kiara yang terisak dengan tubuh meringkuk, Victor meringis. Pria itu merasa kasihan dengan Kiara. "Kiara," panggil Victor dengan suara berat, dan seraknya. Membuat Kiara menoleh. Deg! Kiara terkejut, ia mengerjapkan kedua matanya berkali-kali. Mencoba memastikan apakah yang ia lihat benar atau tidak, kemudian Kiara beranjak duduk. Wanita itu menepuk kedua pipinya. Membuat Victor terkekeh gemas, ia duduk di bibir ranjang. Lalu menarik Kiara di dalam dekapannya. "Sakit, jangan di tepuk-tepuk begitu." Victor mengurai pelukannya, ia menangkup wajah cantik Kiara. Jemari besarnya mengusap air mata wanita itu. "Kenapa menangis? Merindukanku, hm?" "Tidak, aku tidak merindukan. Daddy, sana pergi. Kenapa pulang? Tidak usah pulang seharusnya, sudah sana pergi ... hhmmppthhh," Kiara tidak dapat melanjutkan ucapannya saat Victor menciumnya dengan paksa. Victor memangut bibir Kiara dengan menuntut, tangan kanannya menahan tengkuk Kiara. Kiara sendiri memberontak, ia mencoba melepaskan diri. Namun tidak bisa, hingga pada akhirnya. Kiara turut larut dalam ciuman paksa Victor. "Eugh ... Daddy," lenguh Kiara. Victor tersenyum. "Manis, bibirmu selalu manis. Kiara," bisik Victor, sebelum akhirnya pria itu menyerang leher Kiara. "Oh, Daddy!" desah Kiara, wanita itu menggigit bibir bawahnya.Langit malam menjingga saat Victor dan Kiara melangkah keluar dari mobil mewah hitam mereka, disambut kilau lampu taman dan alunan musik jazz yang lembut dari dalam mansion bergaya kolonial milik rekan bisnis Victor. Suara tawa halus dan denting gelas sampanye mengisi udara, membawa aroma elegan dari pesta eksklusif itu.Victor tampil dalam setelan jas armani berwarna abu-abu gelap yang membentuk tubuh tegapnya dengan sempurna. Dasi hitamnya rapi, dan sikapnya seperti biasa—tenang, dingin, penuh kuasa. Namun malam ini, tak satu pun mata tertuju padanya.Semua mata memandang wanita di sisinya.Kiara mengenakan gaun hitam panjang berpotongan rendah di dada, dengan belahan tinggi di paha yang menyibak langkahnya. Kain satin yang membungkus tubuhnya memeluk setiap lekuk dengan anggun, seolah diciptakan khusus untuknya. Rambut panjangnya disanggul sebagian, membiarkan beberapa helaian jatuh liar membingkai wajah cantiknya. Bibir merahnya melengkung dalam senyum memikat, dan matanya berkila
Keesokan paginya, cahaya lembut itu memantul di dinding berlapis aksen emas, menciptakan suasana hangat yang kontras dengan udara segar pagi. Aroma kopi yang baru diseduh dari mesin espresso di sudut ruangan bercampur dengan wangi samar parfum Kiara yang selalu memikat.Victor baru saja selesai mandi. Rambutnya masih sedikit basah, tetesan air sesekali jatuh dari ujung-ujungnya saat ia menggosok kepalanya dengan handuk kecil. Ia hanya mengenakan celana panjang linen hitam yang tergantung rendah di pinggulnya, memperlihatkan garis otot perut yang terpahat sempurna. Dengan langkah santai, ia keluar dari kamar mandi, berniat mengambil kemeja dari lemari. Namun, langkahnya terhenti seketika. Ia meneguk salivanya, matanya terkunci pada pemandangan di depannya.Kiara berdiri di dekat cermin besar bergaya art deco, tubuhnya dibalut g-string merah yang begitu menggoda, dengan tali tipis yang nyaris tak terlihat melingkari pinggul rampingnya. Sehelai bra renda senada membingkai lekuk tubuhnya
Malam hari menyapa penthouse mewah keluarga Anderson dengan langit New York yang berkelip lembut dari balik jendela kaca besar. Kota itu tampak hidup, namun di dalam, kehidupan yang jauh lebih hangat sedang berlangsung—bersama dua bocah laki-laki berusia satu tahun yang menjadi pusat semesta pasangan kuat ini.Di ruang keluarga yang didesain dengan nuansa hangat dan elegan, karpet lembut membentang di atas lantai marmer. Mainan edukatif premium berserakan rapi, dan aroma lembut lavender menyebar dari diffuser di sudut ruangan.“Ken... jangan ganggu Felix, Sayang,” ucap Kiara sambil tersenyum lembut, membetulkan posisi duduk Kenneth yang tengah berusaha merebut boneka singa dari saudara kembarnya.Felix meringis kecil, matanya bulat menatap sang ibu, lalu tiba-tiba menghambur ke arah Victor dengan tangan terentang. “Pa...pa...”Victor yang tengah melepas dasi dan jasnya segera berjongkok, menyambut bocah kecil itu ke dalam pelukannya. “Felix-ku! Sudah belajar manggil Papa, ya?” bisikny
Cahaya pagi menelusup masuk melalui jendela kaca setinggi langit-langit, menyinari interior elegan ruang rapat utama Anderson Corporation yang berada di jantung kota New York. Lampu gantung kristal berkilau lembut di atas meja konferensi panjang berlapis kayu walnut Italia, dikelilingi pria dan wanita dalam setelan rapi dan penuh kharisma. Victor Anderson duduk di kepala meja, tegap dan tak tergoyahkan dalam balutan jas bespoke berwarna charcoal, kemeja putih bergaris tipis dan dasi sutra biru navy. Wajahnya tak menunjukkan emosi, namun jemarinya yang mengetuk permukaan meja menunjukkan ada yang tak sabar bergolak dalam dirinya. Di layar besar, grafik pertumbuhan pasar ditampilkan dengan presisi. Presentasi tengah berlangsung, namun Victor hanya sesekali meliriknya. “As expected,” ucapnya datar namun menohok, setelah kepala divisi pemasaran selesai memaparkan. “Namun ekspektasi saya bukan hal yang biasa. Saya menginginkan progres, bukan stabilitas semu.” Ruangan hening. Bebera
Victor mencium Kiara dengan penuh gairah, bibirnya menyapu dengan lembut namun menuntut, membuat wanita itu tenggelam dalam arus hasrat yang menggelora. Tangan besar Victor menelusuri lekuk tubuh Kiara, menariknya semakin dekat hingga dada mereka saling bertemu, seakan ingin menyatu lebih dalam. Kiara menggeliat dalam pelukan Victor, jemarinya menyusuri rambut pria itu, menariknya lebih dekat sementara desahan penuh nikmat meluncur dari bibirnya. Victor menyeringai, menikmati bagaimana istrinya menjadi begitu patuh dalam kungkungannya. "Kau benar-benar menggoda, Baby," gumam Victor dengan suara serak sebelum melumat bibir Kiara lagi, kali ini lebih menuntut, lebih mendominasi. Kiara tersentak, namun tubuhnya segera menyesuaikan, menerima setiap sentuhan Victor dengan penuh hasrat. Dengan satu gerakan kuat, Victor mengangkat Kiara dan mendudukkannya di bangku kayu yang dingin. Gaun rumah yang sederhana dengan mudah tersingkap saat tangan Victor mengelus pahanya, jemarinya meny
Di sebuah toko bunga mewah yang terletak di sudut jalan kota, Victor berdiri dengan tenang, matanya menelusuri berbagai macam bunga yang tertata indah di dalam vas kaca. Wangi mawar dan lily bercampur lembut di udara, menciptakan suasana yang menenangkan. Tangan Victor yang besar dan kokoh mengambil seikat mawar merah dengan kelopak yang masih segar, lalu menatapnya sejenak. Senyum tipis tersungging di sudut bibirnya saat membayangkan bagaimana ekspresi Kiara ketika menerimanya nanti. Namun, momen itu terganggu oleh suara langkah kaki seseorang yang mendekat. "Victor." Sebuah suara lembut namun tajam bergema di udara. Victor menegang sejenak sebelum menoleh sekilas. Sosok wanita dengan gaun berwarna biru tua berdiri di sana, rambut panjangnya tergerai sempurna, matanya menatap Victor dengan penuh arti. Eleanor. Namun, Victor hanya menoleh sebentar sebelum kembali menatap mawar di tangannya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia melangkah ke kasir. Eleanor memicingkan matanya,