"Kau masih belum bisa berdamai dengan Papa, Key?" Tanya Kahfi, pada suatu malam. Di dalam kamar minimalis kami, yang seperti kamar anak kost tentunya.
Aku memijat tubuh bagian belakang, yang aku pikir sangat lelah sekarang ini. Dengan tugas-tugas baru di hotel, yang pastinya membuat dia harus ekstra sabar dan berhati-hati.
Dia begitu menikmati pijatanku. Ah, ya. Aku berlagak jadi istri yang baik saat ini. Membuatnya merasa dihargai. Bukan malah menganggap dirinya sebagai pelayanku.
"Kau lihat sendiri, aku tak pernah lagi membuat ulah. Apa itu cukup?" sahutku cuek, dari balik punggungnya.
"Ou... kau sudah benar-benar dewasa sekarang."
"Dan kau masih saja ingin aku bersikap baik pada Papa," ketusku. "Aku tak perlu melakukan itu. Aku masih membencinya, kau tahu?"
"Kenapa? Aku tak pernah melihat kesalahan dalam dirinya. Kau saja yang berlebihan."
"Wah, wah, wah. Lihat siapa yang sedang berbicara sekar
Aku baru saja sampai di hotel, tempat Mama menginap. Atas izin Kahfi aku mengalah, dan mencoba menuruti permintaan Mama. Pintu lift terbuka, hingga kulihat adegan yang tak pernah kusangka-sangka sebelumnya.Gadis itu terpojok. Wajahnya pucat, penuh rasa takut saat Mama menantang dengan sorot matanya yang nyalang, dan benar-benar buas. Aku keluar dari lift, saat gadis itu menyadari kehadiranku. Bertambah-tambahlah rasa takut itu, dan nyaris berjalan mundur.Elena. Apa yang dia lakukan di hotel tempat Mama menginap. Apa dia, sedang tertangkap basah oleh wanita yang telah merebut Papanya itu? Aku mengitari ruangan di sekitar, tak banyak orang yang berlalu lalang. Hampir tak ada, bahkan pria tua yang seharusnya bersama Elena di tempat ini."Hai, sweety. Lihat siapa yang ada di sini," sapa Mama, begitu tahu aku sudah berdiri di belakangnya.Wajahnya tampak sumringah, seolah-olah baru saja memenangkan sebuah undian. Mataku
"Apa pun itu, katakan sekarang, Elena. Aku tak punya banyak waktu untuk mendengarkan tangisanmu!" ucapku tegas. Kurasa aku sudah terlalu sabar menghadapinya untuk hari ini.Dia masih saja sesenggukan. Lalu meraih telapak tanganku dan menggenggamnya dengan begitu erat.What the fuck!"Berhenti bersikap konyol, Elena. Aku bukan teman, apalagi saudaramu. Jadi jangan coba-coba sok akrab denganku. Katakan apa yang terjadi antara kau dan Mama, agar aku tak hanya mendengarnya dari sebelah pihak saja.""Tolong aku!" tangisnya tertahan. Seperti tak ingin didengar oleh semua orang. Napasnya naik turun, seperti menahan sesuatu."Apa yang terjadi denganmu? Mana bedebah tua itu? Kenapa dia lari dan meninggalkanmu sendirian?""Orang itu, dia, dia, selalu, memaksaku," ucapnya dengan terbata-bata. Dahiku mengernyit mendengar ucapannya. Orang itu siapa?"Mama? Dia memaksamu?" tudingku.Elena men
"Kenapa melamun?" Sentuhan tangan Kahfi tarasa di pundakku."Kau baru pulang rupanya," sambutku, di depan kolam ikan hias di samping halaman."Ya. Banyak pekerjaan." Dia duduk di sampingku." Hari menjelang malam."Kau lelah?""Ya. Tapi hilang setelah bertemu denganmu.""Gombal!" Aku mendorong bahunya dengan bahuku."Terjadi sesuatu lagi dengan Mama?""Entahlah.""Kau hanya melihat kolam ini saat sedang marah dan juga kecewa. Ikan-ikan di sini hafal betul tingkahmu itu.""Benarkah? Tapi aku tak pernah bicara pada mereka. Mereka pasti menguping pembicaraan kita. Hewan yang tidak punya sopan santun." Dia tertawa mendengar aku menggerutu, lalu mengeluarkan sebungkus rokok dari kantong celananya.Aku memandangi aksinya, tahapan demi tahapan hingga gulungan tembakau itu mengeluarkan asap dari ujungnya. Dia benar-benar menikmati, dan menghembuskannya tepat di wajahku."Kau senga
"No, Kahfi. Bukan itu maksudku." Aku membantah dengan cepat, sambil mengusap air mata. Tak ingin kami kembali salah paham, dan dia bertingkah dan membuatku seperti orang gila.Aku menatap wajah yang penuh dengan tanda tanya itu. Kenapa lagi-lagi masalah Erik dan keluarganya selalu saja mengusik dan membuat masalah di antara hubunganku dengan Kahfi. Bukankah sejak saat itu, aku sudah tak peduli lagi dengan urusan mereka?Perasaan iba terhadap Elena membuatku secara tidak sadar menceritakan hal itu. Sesuatu yang hampir sama dengan yang pernah kualami. Hanya saja aku punya banyak cara untuk menolak, bahkan dengan cara kasar sekali pun.Aku juga pernah terlibat perkelahian. Memukul laki-laki kurang ajar dengan vas bunga di sebuah vila, meski saat itu aku kalah, dan babak belur di buat bajingan itu.Aku benar-benar mengadu pada Kahfi. Laki-laki berpostur tinggi tegap itu langsung datang begitu aku bercerita, dan memberi pelajara
Aku menyempatkan diri untuk singgah ke kamarku. Menghirup udara ruangan, yang sudah beberapa bulan ini kutinggalkan. Aku mengusap halus permukaan ranjang. Begitu nyaman dan jika kau berada di permukaannya. Berbanding terbalik dengan keadaan kamar yang aku tempati sekarang ini bersama Kahfi.Apa aku benar-benar telah jatuh cinta pada pemilik kamar tersebut? Hingga tak lagi menghiraukan apa pun yang kami pergunakan. Bagiku, tempat itu berkali-kali lebih nyaman dari pada kamar ini.Aku mulai membaringkan diri dan memejamkan mata perlahan. Memikirkan apa yang telah Elena katakan tadi. Kahfi memang pantas untuk dicintai wanita mana pun.Sifat dewasa dan bertanggung jawabnya, membuat siapa saja pasti berusaha ingin berdiri di sisinya. Ditambah lagi dengan paras yang rupawan. Ah, kenapa aku baru menyadarinya sekarang. Bahkan Papa langsung menyetujui, tanpa menghiraukan status sosialnya. Itu berarti dia punya pesona tersendiri di mata sem
Oh, man!Laki-laki ini mulai sering bertingkah yang menunjukkan, kalau dia sedang cemburu. Kenapa tak marahi aku saja? Malah mendiamkanku seperti ini. Kekanakan sekali."Hei!" Aku memukul lengannya. "Kenapa membelakangiku? Kau sedang merajuk?" Aku terkekeh. Dia bergeming, tak menjawab.Aku langsung merapatkan diri, dan memeluknya dari belakang. Lihat, siapa sekarang yang bersikap lebih dewasa."Aku mengaku salah, karena tak menyadari perasaanmu sejak dulu. Haruskah kau mengungkit-ngungkitnya lagi?" Aku mulai membujuknya.Dia mengangkat sedikit lengannya, agar tanganku lebih leluasa menggapai hingga menyentuh perutnya. Lalu ia kepit kembali dengan lengan itu."Aku sudah membayar semuanya. Sekarang aku juga merasakan sakitnya rasa cemburu. Kita impas, kan? Kau belum puas juga?" Aku masih berusaha merayunya. Hanya terdengar suara deheman tanpa kata.Oh, shit!"Ayolah! Berhenti bertingkah s
"Aku mencintaimu," bisiknya, dengan napas yang kian menderu. "Aku begitu mencintaimu, hingga mendengarmu menyebut nama Erik saja sudah membuatku hampir gila. Kau tahu? Betapa menderitanya aku, tiap kali menahan perasaan itu?""Ya, aku tahu, Fi. Karena kini, aku pun juga merasakan hal yang sama. Apa sekarang kau berencana membalas dendam padaku?""Kenapa kau berpikir seperti itu? Kapan aku pernah dengan sengaja menyakitimu, hem?" Dia mulai menggigit kecil indera pendengaranku itu. Membuatku terlena hingga terpejam menikmati aksinya."No, Kahfi. Kurasa aku pun telah menggila karena terlalu cemburu. Begitu banyak wanita yang telah kau buat jatuh hati. Bagaimana caramu melakukannya, hem?" Aku balas menyindirnya. "Apa hanya dengan mengedipkan sebelah matamu? Semudah itu?"Terdengar suara tawa lirih dari mulutnya. Membuat telingaku berdenging, dan sekujur tubuhku merinding."Aku bahkan tak pernah menatap wajah mereka seperti aku menatap
Aku duduk bersandar pada kursi kafe yang sudah dipesankan oleh Mama. Memenuhi janjiku untuk kembali bertemu dengannya, setelah insiden Elena tempo hari.Secangkir es americano sudah hampir tandas, hingga akhirnya wanita yang masih terlihat seksi itu, muncul begitu saja di hadapanku."Mama terlambat. Aku tak punya banyak waktu," sinisku, merasa kecewa."Come on, sweety. Mama punya sedikit masalah dengan Papanya Elena," ucapnya tanpa berbasa-basi.Oh, shit! Apa-apaan ini? Apa mereka main gila lagi?Setahuku mereka sudah lama berpisah. Bahkan sebelum Papa dan istrinya yang sekarang menikah. Entah terjadi masalah apa di antara mereka, aku tak pernah berniat mencari tahunya.Perpisahan memang terjadi pada mereka. Tapi, bukan berarti Mama berharap kembali pada Papa, atau berusaha untuk dekat denganku. Dia kembali mengencani pria lain, dan kemudian menetap di Bali untuk tinggal bersama.Oh, my God. Aku bah