"Elena tidak bersalah, Erik. Dia diperkosa dan hampir gila. Kau ingin aku bernasib sama seperti itu? Kau ingin balas dendam padaku?" Aku masih berusaha untuk membebaskan diri.
Dia melepaskan wajahnya dari tubuhku, lalu memandangku dengan tatapan tak menentu. Tangan besar itu masih setia menggenggamku dengan tekanan, tak memberiku ruang gerak lagi tuk melepaskan diri.
"Apa maksudmu?"
"Laki-laki yang menghamili Elena, aku tahu siapa dia. Kau bisa lepaskan aku sekarang?" Aku menarik tanganku sekuat tenaga.
"Siapa?" Kulihat dia menelan salivanya, masih dengan napas yang memburu.
"Lepaskan saja aku. Akan kukatakan semuanya padamu."
"Pembohong!" Dia kembali menghentakkan tubuhku. "Kau hanya beralasan."
"Kalau begitu bunuh saja aku, Erik. Aku lebih baik mati, daripada menerima perlakuan kejimu seperti ini. Itu yang kau inginkan, kan?"
"Keji? Kau dulu menikmatinya, Key. Kita begitu saling mencintai."
"Sem
Aku membenahi diri di toilet. Merapikan pakaian dan juga rambutku yang acak-acakan karena ulah Erik. Dia melepaskan dan membiarkanku pergi setelah tak mampu lagi meyakinkan hatiku."Kau akan mengadu pada Kahfi?" tanyanya saat duduk bersandar pada dinding pintu. Menghalangi aku yang ingin buru-buru keluar dari ruangan itu.Aku terpaksa ikut duduk bersamanya. Menjauh ke sudut ruangan, agar terhindar dari sentuhannya lagi. Dia bersedia menjaga jarak, begitu mata pena itu kuarahkan ke leherku, dan melaksanakan ancamanku tadi."Kau sudah bersiap untuk mati?" Aku berdecih, menjawab pertanyaannya. Dia sedikit tertawa."Kau punya rokok?" Dia menatapku, sembari mengulurkan tangannya."Aku sudah berhenti.""Kahfi melarangmu?""Itu bentuk rasa cinta kami," sinisku kemudian. Dia ikut berdecih."Kalian tidur bersama?""Hampir setiap malam." Raut wajahnya berubah kecewa."Kau ingin aku percay
Kahfi melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Berusaha bersikap tenang agar situasi di jalanan aman dan terkendali. Tak ingin tergesa-gesa atau membuatku semakin gugup.Sesekali ia menoleh ke arahku yang merasa ketakutan. Begitu cemas dengan berita yang baru saja kami dengar. Aku dan Kahfi bergegas berangkat, begitu menjawab panggilan dari Erik. Suaranya terdengar gelisah."Elena kritis. Overdosis obat tidur!" serunya, memberi tahu kami.Elena sampai tak sadarkan diri. Apa yang dia lakukan? Mencoba bunuh diri? Apa dia sudah merasa tak sanggup lagi? Dasar bodoh. Seharusnya dia minum alkohol saja, lalu melupakan semuanya. Aku bahkan bisa membelikannya sebungkus rokok setiap hari.Kenapa harus berpura-pura suci, dan bersikap bak malaikat di hadapan semua orang. Apa dengan begitu, dia merasa semua orang menyayanginya? Lalu kemudian membenci, dan membanding-bandingkan hidupnya dengan hidupku? Brengsek! Dasar jalang sialan. Bisa
"Terima kasih, Key. Kau baik sekali mau datang menjenguknya." Bibir pucat itu kembali bergetar, lalu menatapku.Apa? Kenapa menatapku? Berharap aku peluk? Oh, shit! Kini tanganku bergerak sendiri dan meraih bahunya. Membawanya dalam setengah pelukan dan menepuk-nepuk pundaknya."Terima kasih, Key...." Tangisnya semakin pecah di pelukanku.Oh, my God! Semudah itu menjadi orang baik? Dia sungguh-sungguh mengatakannya? Dia sama sekali tak menganggap kalau ini hanya sebuah pencitraan? Tidak. Aku benar-benar tulus. Dan kali ini aku benar-benar akan membantu Elena.Oh, astaga! Apa semua orang melihat kelakuan anehku saat ini? Apa Erik dan yang lainnya akan mentertawakanku karena memeluk wanita ini?Whatever!Bajingan tua itu! Kau akan segera membusuk di penjara. Atau di neraka sekalian."Aku butuh mobil." Kuulurkan telapak tangan pada Kahfi yang juga terlihat cemas."Mau kemana?" tanyanya kem
Aku tak menyangka bisa meninggalkan Kahfi begitu saja. Duduk bersandar di sofa empuk apartemen, tempat Soraya tinggal. Menyeruput segelas air sirup berwarna merah, dan tentunya... sebatang rokok kini terselip di antara bibirku."Elena benar-benar nekat." Soraya ikut syok mendengar berita dariku."Dan bodoh!" umpatku kesal. Jariku ikut bergetar memegangi batang nikotin yang baru saja kuhisap tadi."Bagaimana jika dia tak kembali sadar?"Aku terdiam. Membayangkannya saja sungguh membuatku merasa ngeri. Apa ini? Sebuah kematian? Di rumahku?Oh, no. Ini lebih menyedihkan ketimbang kepergian Mama, dan masuknya keluarga mereka ke rumah itu. Apa nanti arwahnya akan gentayangan?"Hentikan itu, Soraya! Dia pasti selamat. Itu hanya obat tidur. Aku bahkan sudah minum ratusan liter alkohol, dan aku merasa sangat sehat sekarang ini," gerutuku. Soraya tergelak, sembari memainkan ponselnya.Sudah ham
Aku mengemudikan mobil, menuju tempat yang dijanjikan Soraya. Masih kulihat motor besar Kahfi terparkir di bagian samping rumah. Ada apa dengannya? Marah, tapi masih saja menuruti keinginanku, untuk tak naik motor dengan setelan jasnya."Hai," sapaku, saat sampai di sebuah rumah yang cukup luas. Ada banyak orang di segala area."Keyra?" Dia membalas sapaanku dengan sangat ramah."Yes, i am. Satya, kan?""Ya." Dia mengulurkan tangannya, dan dengan penuh senyum aku menyambutnya.Soraya sialan! Menjebakku dengan drama konyol seperti ini. Konten youtube? Riset tentang psikologis anak? Kenapa tak langsung saja pada duduk persoalan. Apa harus menunggu Elena mati dulu?"Terima kasih untuk waktunya. Aku pikir kau setiap hari berada di sini.""Tidak. Hanya saat senggang saja.""Kau tidak keberatan aku mengambil gambar di tempat ini? Tidak merasa, bahwa ini ranah pribadi?""Tidak apa-apa
Dia masih fokus menyetir, meski aku telah memanggil namanya. Seolah kata demi kata yang tadi dia ucapkan, sudah jelas dan tak terbantah. Begitu dalam, hingga membuatku berpikir, bahwa ia ingin melepaskan aku begitu saja.Dasar sialan! Dia seperti bisa mendengar pikiranku malam tadi. Apa dia cenayang? Bisa membaca pikiran orang? Damn! Membuatku menjadi tidak fokus dengan masalah ini.Aku menyandarkan kepalaku dengan kasar, lalu membuang pandangan ke jendela. Menatap arah jalan yang kami lewati. Aku dan dia, masih terjebak dalam suasana hening.."Belum ada perubahan?" tanyaku, pada Mamanya Elena, begitu kami tiba.Wanita bertubuh mungil itu, masih terlihat pucat. Seperti tak bergerak dari posisinya berdiri, semalam. Tapi tentu saja tidak. Pakaiannya kini sudah berganti. Hanya saja wajahnya terlihat polos, tanpa riasan tipis yang biasa dia pakai.Ia menggeleng. Seperti tak kuasa mengeluarkan suara. L
"Jangan sok perhatian!" ketusku. Lalu melirik kembali ke arah Kahfi yang terdiam dengan ucapan Erik."Kau masih ingin menemani Elena di sini?" Aku kembali mengintimidasinya. "Kau bisa masuk ke ruangan itu, dan tidur seranjang dengan si jalang itu!" umpatku kasar. "Aku bisa pulang sendiri."Aku bangkit, dan langsung berjalan meninggalkan mereka. Aku bahkan tak pamit pada Mamanya Erik.Mengesalkan!Terdengar suara langkah yang mengikutiku dari belakang. Dan itu pasti suamiku, yang mengatur langkah agar tetap berada di belakangku. Kembali pada posisi seperti dulu.Kami saling terdiam, saat kendaraan kembali melaju. Aku bersandar tanpa suara. Merasakan dadaku yang masih terasa panas. Tak adakah yang peduli pada perasaanku? Aku juga butuh perhatian. Bukan hanya Elena.Oh, damn!Aku benci situasi ini. Membuatku kembali membayangkan sesuatu, yang bisa membuatku melupakan semua masalah.
Aku semakin sesenggukan berada dalam dekapannya. Kini aku tahu ia masih Kahfi-ku yang dulu. Aku bisa merasakan itu. Berada dalam pelukannya, terasa begitu menenangkan. Membuatku dadaku yang tadi sesak, menjadi lega. Dan aku tak ingin hal ini berakhir sampai kapan pun."Kau masih percaya padaku kan, Fi?" Aku mendongak, menatap wajahnya. Kuusap rambutnya lurusnya, yang tampak masih rapi."Ya. Apa ada sesuatu yang sedang kau lakukan?" Senyum manis terulas dari bibir seksinya. Membuatku merasa semua permasalahan telah berakhir. Tak ada lagi amarah dari raut wajahnya.Ya. Hanya senyum dan kepercayaan itu yang kubutuhkan saat ini. Aku mengangguk, mengiyakan."Aku hanya tak ingin masalah Elena melibatkan keluarganya, Fi. Aku juga tak ingin berita ini ikut mencoreng nama Papa. Dia bahkan menamparku hanya karena masalah foto. Bagaimana jika video Elena ikut tersebar? Dia mungkin akan mengamuk, atau bahkan mengusir keluarga itu. Papa