LOGIN"Meski kacau saat aku melihatnya, serta merta kewarasan ini turut memudar. Namun aku tak bisa menghindar dari derasnya perasaan ini terhadapnya ... Meghan."
Hardin Willbowrn Ney York, 2021 * Langkah panjang Hardin tiba di depan pintu kamarnya. Pria itu segera meraih handel perak mahoni di hadapannya itu dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya tetap menggenggam pergelangan tangan Meghan. Wanita itu mendongak pada pria tinggi di hadapannya. Apa, apa yang akan Hardin lakukan padanya? Dia sangat berdebar-debar dan tak bisa berpikir jernih saat ini. Apakah anak tirinya ini akan mengajaknya untuk bermain-main? Oh, shit! Kenapa pikiran konyol itu yang melintas di kepalanya? Hardin mendorong pintu mahoni di hadapannya. Dia menoleh sesaat pada wanita dengan dress selutut warna merah di samping. Bibirnya menyeringai pada Meghan sebelum menyeret wanita itu memasuki kamar. Meghan tak habis pikir. Apa yang diinginkan oleh Hardin? Setibanya di dalam kamar pria itu terus saja menyeretnya menuju kamar mandi. Melewati ranjang king size di tengah ruangan. Dia benar-benar tak mengerti. Tapi dia tak kan menolak jika si tampan ini akan mengajaknya mandi bersama. Ah, gila! Kenapa hanya pikiran mesum yang terus ada di otaknya? "Anda lihat itu? Keran kamar mandinya rusak. Ayo perbaiki, aku mau mandi air hangat malam ini." Sepasang mata Meghan membulat penuh dengan mulutnya yang sedikit menganga mendengar ucapan Hardin padanya. Dia lantas menoleh pada keran air yang bocor. "A-apa? Memperbaiki keran air? A-ku nggak bisa." Dengan perasaan tak karuan dan gugup, Meghan menjawab seraya menggelengkan kepalanya. Membetulkan keran air? Yang benar saja! Hardin menyeringai melihatnya tampak kebingungan. Pria itu kembali mencekal lengan Meghan, lantas menarik wanita itu sampai ke dadanya. Meghan sangat tersentak dibuatnya. Pria itu langsung mengunci pandangannya. Menatap ke manik-manik biru Meghan dengan sangat intim dan teliti. "Kenapa tidak bisa? Bukankah Anda sangat mahir melakukannya?" bisik Hardin hampir menyentuh daun telinga Meghan. Nafasnya yang segar dan hangat menyapu wajah wanita itu dengan lembut. Seketika, jantung Meghan berdegup kencang. Sepertinya telah terjadi Tsunami di samudera jiwanya saat ini. Wangi maskulin dari tubuh Hardin membuatnya menginginkan hal lebih. Namun Meghan bersusah payah berusaha tenang. "Mahir? Apa maksudmu? Lepaskan! Aku akan memanggil Andreas untuk memperbaikinya," ucap Meghan seraya berusaha melepaskan genggaman tangan Hardin darinya. Ada apa dengan pria ini? Dari tatapan matanya ia bisa melihat ada gairah besar di sana. Apakah Hardin menginginkan dirinya? Pertanyaan demi pertanyaan aneh terus membaur di kepalanya tanpa henti. Semuanya melulu tentang sikap aneh Hardin. Meghan segera menunduk saat Hardin mendekatkan wajah padanya. "Aku ingin Anda yang perbaikinya," bisik Hardin lagi. Kali ini wajahnya hanya berjarak beberapa senti saja dari wajah Meghan. Gila! Wanita ini sudah membuatnya sangat kepanasan. Meghan bergetar, "Hm, baiklah akan kucoba," katanya masih dengan perasaan canggung tak karuan. Dia berusaha tenang mati-matian. Tangan kekar itu pun melepaskan dirinya perlahan. Hardin mengangguk. Dia segera mundur dan mempersilakan Meghan untuk segera memperbaiki keran air yang terus mengucur itu. Dengan perasaan ragu disertai debaran jantungnya yang sulit dinetralkan, Meghan menghampiri keran air di sana. Jari-jemari dengan nail warna merah itu mulai menjangkau keran air. Sialan! Dia mantan seorang model, bukan mantan seorang tukang betulin keran! Astaga, ada-ada saja, pikirnya pusing sendiri. Baru saja tangannya menjangkau keran air itu, tiba-tiba saja semburan kencang menyerangnya begitu deras. Meghan memekik kaget. Tubuhnya menjadi basah kuyup sekarang. Hardin tersenyum smirk melihatnya. Dress tipis itu menjadi basah hingga melekat ke tubuh indah Meghan. Mencetak setiap titik penting tubuhnya yang menantang. Jakun pria itu naik turun menahan gejolak gila yang tercipta. "Sini, biar aku saja!" Hardin segera berdiri di belakang Meghan. Kali ini dia yang berusaha menutup keran yang bocor itu. Namun usahanya gagal. Akhirnya keduanya menjadi basah kuyup. "Biarkan saja, biar Andreas saja yang mengurusnya!" Meghan hendak memutar tubuhnya guna meraih handuk yang berada pada rak di kamar mandi. Namun dia terpeleset tiba-tiba. Tangannya spontan meraih lengan pria di sampingnya, menariknya hingga keduanya jatuh ke dalam bathtub. "Hardin," desah Meghan kala pria itu menimpa tubuhnya di dalam bathtub. Basah kuyup keduanya dengan tatapan saling mengunci satu sama lain. "Maaf." Hardin hendak segera bangkit dengan berusaha menolak hasratnya. Namun Meghan menahannya. Sepasang mata pria itu kembali menatap ke wajah wanita di bawahnya. Keduanya saling berbagi pandangan sampai beberapa detik hingga akhirnya saling memalingkan wajah salah tingkah. Sial! Meghan mau pun Hardin sedang dilanda gejolak aneh saat ini. "Keringkan tubuhmu! Aku akan memanggil Andreas." Meghan menyodorkan sehelai handuk putih pada Hardin. Dia menggigit bibir bawahnya melihat pria itu sudah melepaskan kemejanya. Tubuh yang kekar dengan otot-ototnya yang menyembul padat. Putih dan licin dengan tulisan-tulisan suci di dada kirinya. Pria seperti inilah yang ia inginkan. Sejenak Meghan tak ingin berpaling dari pemandangan erotis di hadapannya itu. "Jangan pergi." Hardin mencekal lengan Meghan saat wanita itu hendak meninggalkan kamar mandi. Meghan hanya tertegun melihatnya. Apa lagi yang pria ini inginkan? Dia sudah benar-benar tak tahan dengan godaan si anak tirinya itu. Dia bisa gila jika tetap berada di sini, pikirnya seraya memalingkan wajahnya dari tatapan Hardin padanya. Meghan sangat tersentak kala pria itu menariknya sampai ke dada bidangnya yang polos. Wangi cologne pria itu membuatnya dimabuk kepayang. Pikirannya tak lagi perduli dengan apa pun lagi. Dia hanya menginginkan Hardin saat ini. Sangat menginginkan lebih dari apapun. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" bisik Hardin ke wajah Meghan. Manik-manik biru terang itu tampak dipenuhi hasrat yang lapar. Wajah tirus bak boneka barbie itu benar-benar membuatnya gemas. Apalagi bibirnya yang bagaikan bunga mawar yang baru saja mekar. Ingin rasanya ia meneguk satu kenikmatan surgawi dari sana. "Tidak, kita baru bertemu hari ini setelah aku menikahi Ayahmu," jawab Meghan dengan wajah polosnya. Dia kelihatan sangat berbeda dari versi sebelumnya. Sepasang mata hazel itu terangkat ke wajah Hardin. Mencari jawaban dari semua pertanyaan di hatinya. Alis tebal itu sedikit menyatu setelah mendengar ucapannya. "Tidak, kita pernah bertemu sebelumnya di Polandia," bisik Hardin dengan napas berbau mint yang segar. Bibirnya mengulas senyum melihat Meghan menatapnya dengan sepasang pupilnya yang membulat penuh. Kedua tangannya melepaskan rengkuhan itu dari tubuhnya. Dia lantas melenggang pergi melewati Meghan yang masih terdiam mematung di sana. "Polandia?" Meghan berkata sendiri sembari mengingat-ingat. Namun sepertinya dia memang tak pernah bertemu dengan Hardin sebelumnya. Konyol! Ini sangat konyol! Anak nakal itu pasti sedang menggodanya saja, pikirnya kesal. Kepalanya menggeleng dan segera meninggalkan kamar mandi. Dia harus segera bertukar pakaian sebelum tubuhnya menggigil. Baru saja Meghan meninggalkan ambang pintu kamar mandi, dia kembali dikejutkan dengan sosok Hardin yang sedang berdiri di tengah ruangan kamar. Pria itu hanya mengenakan celana pendek saja. Dia berdiri di hadapan standing mirror setinggi dirinya. Meghan menelan ludah kasar melihatnya. Sial! Kenapa pria itu sangat menggoda? Bodoh! Rutuknya dalam hati seraya melanjutkan langkahnya untuk meninggalkan kamar Hardin. Pandangan Hardin menangkap sosok Meghan yang sedang berjalan menuju pintu keluar. Oh tidak! Dia tak bisa menahannya lagi. Wanita itu sudah memantik api yang dulu pernah ia nyalakan. Dia menginginkannya lagi. Langkah panjangnya segera menyusul Meghan. Tangan putih Meghan ingin menggapai handel pintu di hadapannya, namun tiba-tiba saja ada tangan kekar yang mencekal lengannya dari arah belakang. Meghan memekik kaget. Namun kesempatan itu sangat kecil. Hardin segera menariknya menuju ranjang. Tubuh Meghan yang masih berbalut dress basah itu terlentang pasrah di bawah kendali Hardin. Sepasang matanya menatap penuh pada pria itu dengan napasnya yang terengah-engah. "Apa aku harus membantumu untuk mengingat ku lagi?" bisik Hardin ke wajah Meghan. Tubuh kekarnya sudah memenjarakan wanita itu di tengah ranjang. "Apa?" Meghan menjernihkan tenggorokan mendengar ucapan Hardin. Apa maksudnya? Sebenarnya siapa pria ini? Hardin tersenyum seringai membalas tatapan Meghan. Dia lantas mendekatkan wajahnya ke depan wanita itu. Meghan segera memejamkan sepasang matanya dengan perasaan campur aduk tak karuan.Matahari sudah hampir terbenam saat mobil yang dikemudikan oleh Hardin menepi di pelataran sebuah villa. Hardin tersenyum pada Meghan setelah membantu wanita itu membuka seat belt yang melingkar di tubuhnya. Kemudian ia segera keluar dari mobil, lalu membukakan pintu mobilnya untuk Meghan.Tungkai jenjang itu hampir tak kelihatan saat keluar dari pintu mobil karena gaun pengantin yang besar. Meghan mengangkat tepi gaun itu saat melangkah. Jemarinya menyambut tangan Hardin yang terulur padanya. Bibirnya mengulas senyum sipu.Matanya memindai tempat di mana dirinya saat ini. Sebuah villa mewah dengan cat dinding warna putih berdiri di atas puncak tebing. Untuk menuju ke sana mereka harus menaiki anak tangga yang banyak. Meghan menghela napas lalu menoleh pada pria dengan tuxedo hitam di sampingnya.Astaga, yang benar saja. Bagaimana ia bisa menaiki anak tangga sebanyak itu dengan gaun pengantin yang besar dan berat ini?Kepalanya menggeleng pusing. Tak adakah tempat yang lebih romant
Hardin langsung menelepon orang-orang nya untuk segera datang. Emily hanya berdiri sambil memperhatikan pria tinggi yang sedang berbicara lewat sambungan ponselnya. Bibirnya mengulas senyum. Apakah benar pria tampan itu adalah Daddy Hardin, ayahnya?"Ya, cepat datang! Siapkan kamar pasien VVIP di rumah sakit paling besar di kota New York! Jemput Nyonya Meghan sekarang juga! Kami tunggu!" Hardin mengakhiri panggilan. Dibenahi ponsel pintar miliknya ke saku jas. Tubuhnya memutar. Ia sedikit terkejut melihat sosok gadis kecil yang sedang berdiri di hadapannya kini.Hardin tersenyum gemas. Ia segera berjongkok di hadapan Emily. "Hei, Nona Muda. Apa yang sedang kamu pandangi? Apakah Daddy-mu yang tampan ini?" tanyanya.Emily tersenyum puas mendengarnya. "Daddy!" Tangan mungil itu segera melingkar ke tengkuk leher Hardin. Beberapa kecupan mendarat di pipinya yang bulat. Tubuhnya diangkat oleh kedua tangan kekar sang ayah. Hardin menggendongnya."Daddy, aku juga mau digendong!""Aku jug
Charlie dan Charles saling pandang bingung mendengar pertanyaan pria dewasa di dalam mobil mewah itu. Kemudian Charlie memberanikan diri untuk menjawabnya, "Tuan, berikan saja uangnya. Untuk apa menanyakan ibu kami? Bahkan ibu kami tidak boleh tahu jika kami sedang mengemis," ucapnya.Hardin mengernyitkan dahi mendengarnya. "Ibu kalian tidak tahu kalian mengemis?"Charlie tampak mulai bosan meladeni pria berjas hitam di dalam mobil itu. Alih-alih memberi mereka uang, pria itu malah menanyakan banyak hal. Sepertinya mereka harus mencari mobil lain. Matanya menoleh pada lampu merah. Sial! Sebentar lagi mungkin lampu hijau akan menyala, tapi mereka belum mendapatkan uang sepeser pun."Ayo Charles, kita ke sana saja!" Tangannya segera menyeret lengan adiknya dan menjauhi mobil Hardin. Charles hanya menurut saat sang kakak menyeretnya pergi."Hei, tunggu!" Hardin menghardik. Kepalanya dikeluarkan sambil berteriak pada dua bocah laki-laki yang baru saja meninggalkan mobilnya. Sial!
Mata Meghan terasa berat untuk terbuka. Darah segar mengalir dari hidung dan sudut bibirnya. Pukulan pria itu benar-benar sekuat tenaga, seperti pukulan seorang pegulat sabuk emas. Meghan merasakan leher dan hidungnya patah.Sayup-sayup terdengar olehnya tangisan Emily. Jari-jemarinya bergerak pelan. Ia ingin segera bangkit dan menolong putrinya dari para penculik itu.Matanya terbuka. Langit hitam malam yang pertama dilihatnya. Perlahan ia menoleh ke arah sumber suara Emily. Terlihat olehnya si bungsu sedang merengek dalam cengkeraman seorang pria berjaket hitam di dalam mini bus."Emily," lirihnya sambil berusaha bangkit. Tangannya berusaha menggapai pintu mobil di sampingnya.Namun, satu tendangan kuat melepaskan genggaman yang hampir sampai itu. Meghan mengeram kesakitan. Tangannya ditendang teramat kuat oleh pria yang tadi mengantam wajahnya dengan pukulan keras.Bibir pria itu menyeringai saat ia mengangkat sepasang matanya. Tangannya yang beradarah berusaha menopang tubuhnya un
Malam semakin larut saat langkah Meghan tiba di tepi jalan di depan restoran di mana ia bekerja. Jalan masih tampak ramai meski sudah malam. Lalu lalang kendaraan masih meramaikan kota. Wajahnya menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia akan segera menyebrang bersama beberapa orang.Dari seberang jalan Meghan melihat Charlie dan Charles yang sedang melambaikan tangan padanya.Bibirnya mengulas senyum. Astaga, mereka datang menjemputnya? Bahkan membawa si mungil Emily juga? Dasar anak-anak!Pasti mereka sudah tak sabaran menunggunya pulang, sampai-sampai menyusulnya. Meghan melambaikan tangannnya pada anak-anak menggemaskan di seberang sana. Ia memberi isyarat pada mereka agar tetap diam di tempat. Sangat berbahaya jika sampai mereka menyebrang, bukan? Sepertinya anak-anak itu mengerti. Mereka memang sangat cerdas. Meghan tersenyum bangga melihatnya.Lampu untuk menyebrang belum juga menyala, Meghan mulai tampak gelisah. Anak-anak sudah menunggu, ia sangat mencemaskan mereka. Wanita itu me
Malam itu Meghan sedang berdiri di depan wastafel. Ia sedang berada di dapur luas sebuah restoran. Tangannya bergerak aktif mencuci piring-piring kotor yang menumpuk di hadapannya. Bahkan, ada banyak piring kotor yang juga tersusun di sampingnya.Setelah dua hari ke sana ke mari mencari pekerjaan, akhirnya ia diterima bekerja di sebuah restoran mewah. Namun, bukan menjadi pelayan, melainkan tukang cuci piring, pekerjaan yang paling rendah dengan upah yang amat kecil. Namun, sangat melelahkan."Astaga, dari tadi kamu belum selesai juga? Benar-benar lamban! Sementara di luar sana masih banyak piring yang harus kamu cuci! Ck!" Seorang wanita berdecak jengah sambil menaruh tumpukkan piring kotor di samping Meghan. Kepalanya menggeleng, sementara matanya memperhatikan wanita muda berseragam pelayan di hadapannya itu. Bibirnya tersenyum sinis lalu melenggang pergi.Meghan hanya terdiam. Wanita berseragam pelayan yang tadi bicara ketus padanya bukanlah pemilik restoran ini. Namun, entah







