POV penulis
Flash back On :"Pa, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Lidia ketakutan.Adi menghela nafas di samping Lidia. Lelaki berusia 35 tahun itu juga merasa sakit kepala saat sedang menunggu mamanya yang masih pingsan. Tapi Adi masih saja berusaha mengulas senyum dan berpura-pura tenang di hadapan Lidia."Ssst, kamu akan selalu aman. Aku akan menjagamu, Sayang."Adi memeluk Lidia perlahan dan mencium kening gadis itu."Adi ...."Adi segera melepas pelukannya saat mendengar Mamanya yang baru saja membuka mata."Apa Mama tidak apa-apa? Mana yang sakit, Ma?" tanya Adi sambil menghambur ke arah Mamanya.Lidia mengikuti langkah Adi dengan takut-takut."Mama masih pusing. Apa kata Dokter tentang Mama?" tanya Mama Adi."Hm, dokternya bilang kalau jantung Mama normal. Mama hanya mengalami tensi rendah dan asam lambung nya naik. Terus dokter nya juga bilang kalau gula darah Mama drop. Apa Mama belum sarapan?" tanya Adi sambil menatap wajah mamanya.Mamanya menatap sang anak dengan penuh rasa kecewa."Jujur Mama kecewa padamu. Kamu sudah mempunyai istri yang cantik, baik dan perhatian malah selingkuh."Lidia hanya bisa tertunduk dalam saat mendengar ucapan Mama Adi."Maafkan Adi, Ma. Tapi saya dan Lidia saling mencintai. Dan Adi memutuskan akan menikahi Lidia.""Apa? Tidak mungkin, Di! Mama tidak setuju. Sampai mati Mama tidak mau memberikan restu. Bagaimana kata orang kalau tahu kamu selingkuh dengan anak angkatmu sendiri dan sekarang kamu justru ingin menikahi nya?" tanya Mama sambil menatap tajam ke arah Lidia."Hm, orang-orang mungkin akan mempermasalahkan hal ini sejenak. Tapi saya yakin betul bahwa lama kelamaan, orang-orang akan melupakan skandal ini dan tidak mempedulikan berita tentang saya lagi."Mama Adi hanya bisa menghela nafas panjang. Suasana hening sejenak, dan semua mata dalam ruangan itu serentak menoleh ke arah pintu saat melihat seseorang yang baru masuk ke dalam ruang rawat inap mama Adi."Bagaimana kondisi Mama sekarang? Papa langsung kemari saat supir kita menelepon Papa dan memberitahu bahwa Mama pingsan," ujar Papa Adi mendekat kearah istrinya.Mama Adi menghela nafas panjang."Mama cuma kaget dengan kejadian yang menimpa rumah tangga anak kita. Mama malu dengan teman-teman Mama, Pa," jawab Mama Adi lirih.Papa Adi menoleh pada anak sulungnya. "Kamu memang hanya bisa membuat malu keluarga, Di. Papa tidak pernah mengajarimu untuk berkhianat dan berselingkuh. Tapi sekarang, kamu justru mempermalukan kita semua dengan perbuatan kamu!""Pa, Ma. Terserah apa kata Mama dan Papa, Adi akan tetap menikahi Lidia. Karena kami saling mencintai.""Otakmu benar-benar nggak beres. Kalau kamu yakin akan menikahi Lidia, Papa pastikan nama kamu tercoret dalam daftar kartu keluarga dan daftar warisan!" seru Papa Adi.Lidia dan Adi berpandangan.'Aduh, sudah enggak dapat harta gono gini, sekarang malah dikeluarkan dari kartu keluarga oleh Papa,' keluh Adi dalam hati.Lidia menoleh pada Adi, 'Hm, enggak jadi dapat orang kaya. Tapi semoga masih punya aset yang lainnya,' ucap Lidia dalam hati."Pa, jangan begitu. Papa nggak bijaksana banget sih. Papa kan cuma punya tiga anak. Sedangkan sawah milik Papa luas. Papa juga punya supermarket lumayan besar. Tolonglah Pa, jangan mencoret nama Adi dari daftar warisan," pinta Adi penuh harap.Papanya berpikir sejenak. "Kalau kamu memilih harta keluarga kita, suruh perempuan itu pergi dari sini. Papa nggak mau bertemu dengannya terlebih dahulu."Adi dan Lidia berpandangan sejenak. Lalu Adi segera menyeret Lidia keluar dari ruang rawat Mamanya."Sayang, kita ngalah dulu ya. Aku minta hak aku dalam warisan Papa dan mencairkan depositoku di bank lalu kita menikah. Untuk sementara, kita saling menjauh dulu. Kamu mau kan?"Tanpa berpikir panjang, Lidia mengangguk kan kepalanya dengan senyum sumringah lalu segera beranjak meninggalkan rumah sakit.***"Kamu harus segera makan, Lid. Besok kamu ujian akhir sekolah," ujar Ibu Lidia sambil memandang Lidia yang tengah mengaduk makanannya.Lidia sejenak memandang sang Ibu dan kedua adiknya yang masih duduk di sekolah lanjutan pertama dan di sekolah dasar dengan perasaan campur aduk. Perempuan itu lalu meletakkan sendoknya."Aku takut, Bu.""Apa yang kamu takutkan? Kamu sudah berhasil mendapatkan lelaki yang mapan dan tampan. Kamu bisa mengangkat martabat keluarga kita. Kita bisa menyekolahkan Lila dan Dila dengan mudah setelah kamu menikah resmi dengan Adi nanti. Ibu sudah lelah menjadi buruh cuci dan buruh setrika. Apalagi yang kamu takutkan?"Lidia menghela nafas panjang. "Lidia takut kalau video yang direkam oleh Tante Hesti menyebar di sekolah. Lidia malu.""Tenang saja. Bukankah Hesti telah berjanji tidak akan menyebarkan video kamu asal Adi menalaknya dan memberikan hak asuh Verico serta aset mereka? Kita tinggal menuntut Hesti kalau dia ingkar janji kan?Malah Ibu kepikiran kalau Adi akan jatuh miskin setelah semua hartanya dikuasai oleh Hesti. Memang serakah sekali Mama angkat kamu itu!""Mas Adi tidak akan jatuh miskin. Dia mempunyai deposito dan bagian warisan dari orang tuanya."Mata Ibu Hesti terlihat berbinar. "Nah, bagus itu! Kamu harus semangat. Hanya tinggal menyelesaikan soal akhir sekolah, lulus dan kamu bisa menikah dengan Adi.""Iya. Ibu benar. Lidia akan bersemangat. Hanya tinggal satu langkah lagi untuk menjadi istri orang kaya!" seru Lidia dengan mata berbinar.***Lidia berjalan di koridor sekolah dengan mengerutkan dahi. Beberapa murid lain kelas berbisik-bisik sambil melihat ponsel yang ada di tangannya seraya tersenyum sinis ke arah Lidia.Lidia yang bingung tetap melangkah menuju kelasnya. Lalu duduk di bangkunya.Baru saja dia meletakkan tasnya di bangku, Mita, teman yang duduk di sebelahnya mendekat kearah Lidia."Apa kamu sudah gil* main sama Papa angkat mu sendiri? Siapa yang merekam dan menyebar kan video ini pada semua siswa di sini? Dan kamu kenapa masih berani datang ke sekolah? Apa kamu tidak takut dibully oleh teman-teman? Apa kamu tidak takut diDO dari sekolah?" tanya Mita beruntun sambil menunjukkan video penggerebekan Lidia saat masih di hotel melalui ponsel, membuat telinga Lidia berdenging dan kepalanya mendadak pusing.Tamu lelaki itu tersenyum dan berkata, "Saya kurir, Bu. Hendak mengantarkan buket bunga."Hesti memandangi sekeliling ruang tamu nya dengan terheran-heran. Masalahnya tidak ada satupun buket bunga ada terlihat di ruangan itu. "Buket bunga? Dimana?"Kurir itu tersenyum. "Buketnya besar. Ada di dalam mobil kami. Sebentar saya ambil dulu."Lelaki itu tanpa menunggu persetujuan Hesti keluar dari ruang tamunya dan menuju ke halaman, tempat mobilnya terparkir. Lalu beberapa saat kemudian kembali ke ruang tamu dengan seorang temannya."Ini Bu."Lelaki itu menyerahkan sebuah standing buket bunga besar dengan isi mawar merah segar, uang seratus ribu rupiah berlembar-lembar, dan beberapa batang coklat silverqueen. Berbungkus kertas cellophane berwarna hitam dan putih bening. Dan menggunakan penyangga kayu. Mata Hesti membulat melihat buket bunga yang dibawa oleh kedua kurir tersebut. "Siapa yang mengirim ini?" tanya Hesti dengan rasa yang masih tercengang. "Ada dalam kertas pengirim di dala
Hesti dan Narendra serentak menoleh dan terkejut melihat kedatangan Adi. "Kamu?!""Iya aku. Kenapa? Kalian kaget?" tanya Adi dengan tertatih berjalan mendekat ke arah Hesti dan Narendra."Kamu ngapain ke sini Mas?" tanya Hesti. "Aku kangen dengan Verico. Memang kenapa? Aku kan ayah kandungnya, apa tidak boleh aku menemuinya?" tanya Adi ketus.Hesti dan Narendra saling berpandangan. "Halo Pa? Papa darimana?" tanya Verico mendekat ke arah Adi."Dari rumah saja. Kamu mau ikut Papa ke rumah Papa?" tanya Adi penuh harap. Sementara Hesti terlihat keberatan tapi menahan diri untuk tidak mengucapkan sepatah katapun. Verico menggeleng kan kepalanya dengan cepat. Lalu beralih mendekati Hesti. "Verico di sini saja sama Mama dan Eyang," tukas bocah lelaki itu sambil memeluk lengan Mamanya. Adi terlihat berdecak kesal. Tapi tanpa putus asa, dia terus berusaha merayu Verico untuk ikut dengannya. "Kenapa kamu tidak mau, Nak? Di sana kan ada Eyang juga? Ada Papa juga. Apa selama ini Mama meng
"Bu Ayu. Bu Ayu ini kan, ibunya Lidia?" tanya Mami Adi seraya menunjuk kan ponsel Adi pada sang suami.Papi Adi mengangguk. "Coba angkat aja telepon nya. Barangkali ada hal penting yang ingin disampaikan oleh ibunya Lidia."Mami Adi menoleh pada Anaknya. "Gimana, Di? Boleh kah Mami terima telepon nya?"Adi terlihat berpikir sejenak. "Oke. Boleh, Mi.""Halo," sapa Mami Adi setelah menekan tombol hijau. "Halo. Adi nya ada? Saya ingin meminta tolong. Ini berkaitan dengan Lidia," sahut suara Ibu Lidia panik. Mami Adi melihat ke arah anaknya. Adi mengangguk. Mami Adi lantas menekan tombol loud speaker lalu mendekatkan nya ke arah Adi yang sedang berbaring. "Halo, Adi. Tolong Lidia. Lidia dua Minggu lagi menghadapi persidangan.""Lalu kenapa?" tanya Adi aduh tak acuh. "Loh, kok tanya kenapa sih? Bantuin dong Nak Adi, kamu kan calon suami Lidia."Adi nyaris tertawa mendengar perkataan ibu Lidia. Tapi rasa nyeri setelah dioperasi dan perasaan kaget pasca mengetahui bahwa dirinya mengalam
Dan detik berikutnya, Adipun terguling jatuh dari dua puluh lima anak tangga!!!Hesti dan Narendra tak kalah terkejutnya saat melihat Adi jatuh terguling. "Astaghfirullah, Mas Adi!" seru Hesti berlari mendekat ke tangga."Hes, hati-hati! Kamu memakai high heels!" seru Narendra. Ketiga asisten Narendra yang sedang mengejar Adi juga berlarian turun dari tangga. Adi yang terjatuh terguling sampai di tangga paling bawah mendarat dengan telentang. Ada cairan kental berwarna merah saat Hesti dan yang lainnya sampai di dekat tubuh Adi. "Hesti, darah! Apa kita harus membawa Adi ke rumah sakit sekarang?" tanya Narendra yang berjongkok di samping tubuh temannya. Hesti menghela nafas panjang. Dia sering bertemu dengan pasien yang mengalami luka lebih parah daripada Adi. Tapi saat melihat kondisi mantan suaminya seperti ini, apalagi setelah insiden di aula tadi, mau tidak mau jantung nya berdebar lebih kencang juga. "Jangan, biar aku telepon ambulance saja. Ada perdarahan di otaknya. Aku j
Flash back On :"Ada apa, Nak? Kenapa belum tidur? Sebentar lagi kan ulang tahun show room kamu? Kenapa malah sedih?" tanya Mami Narendra sambil menyentuh bahu anaknya saat melihat Narendra sedang duduk sendiri di kursi taman belakang rumahnya. Narendra menoleh dan tampak Maminya sedang tersenyum. Tapi di matanya tersirat rasa cemas yang tidak bisa disembunyikan.Lelaki itu ikut tersenyum dan menyentuh tangan sang Ibu yang berada di atas bahunya. Lalu menarik sang ibu untuk duduk di sebelah nya. "Rendra ingin tiduran sejenak di pangkuan Ibu," tutur Rendra lirih sambil meletakkan kepalanya di paha ibunya. Ibunya menghela nafas. "Ada masalah apa? Kenapa sampai membuat kamu tidak bisa tidur?" tanya Ibunya sambil mengelus rambut sang anak. "Lah Mami juga, kenapa belum tidur?""Wah, anak ini, ditanya kok nanya balik. Ibu belum tidur karena rindu pada mendiang ayah kamu.""Hm, sama. Hanya aku juga sedang merindukan seseorang yang masih hidup.""Hesti kan?" tebak Mami Rendra. Rendra men
Adi tertegun melihat Verico yang menghambur ke pelukan Narendra. Ada rasa iri yang menusuk di dalam hatinya. "Verico Sayang, kenapa kamu lebih memilih untuk memeluk Om Narendra?! Kenapa kamu tidak memilih memeluk Papa? Papa juga rindu sama kamu," ujar Adi sambil merentangkan kedua tangannya. Meminta pelukan pada sang anak. "Enggak mau. Papa pernah membuat Mama menangis dan sekarang Papa sudah membuat Om Rendra terluka. Verico nggak mau sama Papa!" seru Verico sambil mengeratkan pelukan pada Rendra.Rendra merasakan bibirnya berkedut nyeri setelah mendapat bogem mentah dari Adi. Tapi lelaki itu menyunggingkan senyumnya. 'Kamu terlalu mudah emosi, Di. Sekarang kamu lihat kan bahkan anak kamu pun menjauhi kamu,' bisik Narendra dalam hati. Adi mengepalkan tangannya. "Verico, ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Om Rendra itu jahat. Dia punya niat tidak baik pada mu dan Mama.""Adi."Terdengar suara Papi Hesti memanggil nama mantan menantunya. Adi menoleh. "Pi, apa Papi juga akan me
"Berdiri dan pulanglah saja. Daripada saya ikut melaporkan kalian ke polisi dengan tuduhan bekerja sama dalam melakukan tindakan kriminal!" seru Narendra yang mendadak masuk dari pintu gerbang, membuat ibu Lidia tercengang."Pak Narendra tidak bisa seenaknya saja menuduh saya. Bapak tidak punya bukti untuk melaporkan saya pada polisi," seru ibu Lidia mendadak berdiri.Narendra tersenyum. "Kata siapa saya tidak punya bukti? Kalau Ibu mengetahui rencana Lidia untuk menculik Verico tapi diam saja dan tidak melaporkan ke polisi untuk mencegahnya, sama saja Ibu mendukung perbuatan Lidia.""Tapi saya benar-benar tidak tahu kalau Lidia hendak menculik Verico!""Hm, benarkah? Bagaimana kalau Lidia sudah mengaku pada polisi bahwa dia sudah menceritakan tentang semua rencana nya pada keluarga nya? Kalian bisa ikut diperiksa kan?"Ibu Lidia menelan ludah. "Lidia tidak akan mengatakannya. Dia tidak akan menyeret ibu dan kedua adik yang sangat disayanginya walaupun saya tahu rencana nya," tukas I
"Dia tampak lelah sekali ya, Pi?" tanya Narendra pada Papi saat melihat Hesti yang tertidur pulas di samping Verico."Iya. Semalam katanya dia telah menangkap Lidia, saat Lidia mencoba melukai nya," sahut Papi seraya tersenyum melihat cucu dan anaknya yang sedang berbagi ranjang pasien untuk tidur berdua. "Iya. Saat Hesti menghubungi saya untuk meminta bantuan menelepon polisi, Lidia telah diikat dengan baik oleh satpam rumah sakit. Rekaman video yang menunjukkan bahwa Lidia berusaha menyerang Hesti secara membabi buta pun telah diamankan oleh pihak kepolisian.""Lalu bagaimana kelanjutan hukuman Lidia?"Narendra mengedikkan bahu nya. "Entahlah Pi. Yang jelas Lidia dijerat dengan pasal berlapis. Mulai dari penculikan anak, penyalahgunaan obat, penganiayaan, entahlah kalau ada pasal lainnya," sahut Narendra. Papi manggut-manggut. "Hm, Rendra, biarkan Hesti istirahat dulu. Ayo kita keluar dari sini. Ke kantin rumah sakit. Ada yang ingin Papi bicarakan padamu sebagai sesama lelaki."Na
Mendadak tubuh Narendra seolah membeku saat melihat bungkus obat tidur yang tergeletak di atas meja dan sudah kosong!"Astaga, Lidia! Kamu sudah gila?! Kamu telah memberikan obat ini untuk Verico?! Anak sekecil ini kamu beri obat tidur? Apa kamu enggak waras?" tanya Narendra marah.Ingin sekali rasanya Narendra menampar Lidia, tapi karena menurutnya menolong Verico adalah hal yang terpenting untuk saat ini, maka Narendra menahan diri. "Baiklah. Aku akan membawa Verico langsung ke rumah sakit, kalian yang membawa Lidia ke kantor polisi ya," ucap Narendra sambil menatap kepada ketiga anak buahnya.Ketiga anak buahnya mengangguk. Lalu Narendra segera keluar dari rumah itu dan menelepon Hesti. "Halo, Hesti! Verico sudah ketemu! Tapi kondisinya nggak begitu bagus. Kirimkan segera ambulance dari rumah sakit tempat kamu bekerja ke alamat yang sebentar lagi alamatnya aku share loct! Oke!"Terdengar seruan bahagia bercampur harapan dan kecemasan dari seberang telepon sebelum Narendra mengak