Aku mengangkat bahu. "Entahlah Mi. Hesti tidak peduli. Hesti hanya merasa sakit hati sekali sekarang. Padahal Hesti juga tidak pernah curiga pada mereka."
"Oh ya. Selain overdosis obat kuat dan obat pengencang, apa ada penyebab lain terjadinya gancet?" tanya Mami."Ada. Faktor psikologis, faktor trauma dari masa lalu, faktor emosi dan mengidap penyakit kelamin.""Hm, serem. Apa memang bisa terjadi pada pasangan sah juga?"Aku mengangguk. Dan saat aku akan membuka mulut untuk menanggapi ucapan Mami, mendadak ponselku berdering.Aku melihat layar ponsel dan langsung terkejut melihat siapa yang menelpon ku malam-malam.Asisten bupati!!!Aku melihat layar ponsel dan langsung terkejut melihat siapa yang menelpon ku malam-malam.Asisten bupati!!!Aku segera melangkah kan kaki meninggalkan ruang makan dan menuju ke ruang tamu. Perasaan ku mengatakan bahwa asisten bupati menelepon ku karena kasus yang menimpa mas Adi.Dan aku tidak mau jika orang tuaku mengetahui dan kepikiran tentang kasus mas Adi. Biarlah kasus perselingkuhan mas Adi ini kuselesaikan sendiri."Halo.""Selamat Malam, Bu Hesti, saya Prawiro. Asisten pribadi bupati.""Iya. Saya tahu Pak. Ada apa?""Saya langsung pada permasalahan yang akan dibicarakan oleh bupati besok ya? Saya hanya ingin mengkonfirmasi saja.""Baiklah Pak. Silakan kalau ingin menanyakan uneg-uneg yang ada di hati Bapak. Kalau saya mampu, akan saya jawab langsung.""Baiklah Bu Hesti. Saya tahu kalau hal ini merupakan hal tabu dan menjadi privasi keluarga Ibu, tapi saya menanyakan hal ini karena berkaitan dengan wibawa bupati beserta para stafnya."Pak Prawiro menjeda kalimatnya sejenak dan menghela nafas. Pasti pak Prawiro merasa tidak enak jika menanyakan tentang perselingkuhan mas Adi."Hm, baru saja saya ditelepon oleh bupati bahwa Pak Adi tersandung kasus perselingkuhan bahkan sampai gancet dengan ... Lidia. Apa itu benar?"'Wah, ternyata pekerjaan Stevanus cepat juga ya untuk memviralkan mas Adi. Rasain kamu, Mas!'"Iya, benar. Memang telah terjadi perselingkuhan antara suami saya dan Lidia, anak angkat kami. Kalau boleh saya tahu, Pak Bupati dan pak Prawiro tahu darimana?" tanyaku hati-hati."Hm, ada video yang tersebar di akun sosial media anonim. Dan akhirnya banyak yang membagikan video itu dengan cepat. Apa bukan Bu Hesti yang menyebarkan video itu?""Bukan. Bukan saya. Tidak ada untungnya bagi saya untuk menyebarkan aib mas Adi. Saya memang ada di lokasi kejadian saat mas Adi sedang tertangkap basah tidur dengan Lidia. Bahkan saya yang menolong mereka melepaskan gancetnya. Tapi bukan saya yang menyebarkan video itu.""Hm, baiklah. Awalnya saya mengira bahwa orang yang sedang mengalami gancet di video itu semata-mata adalah orang yang mirip pak Adi. Tapi ternyata memang benar, pak Adi yang sedang berada dalam video tadi.Sebenarnya kami kesulitan mentake down dan mencari tahu siapa yang meng-upload pertama kali tentang perselingkuhan Bapak Adi. Apa mungkin Ibu tahu tentang siapa yang mempunyai dendam dengan Pak Adi?""Wah, kalau tentang hal itu, bukan urusan saya lagi, Pak. Karena saya telah meminta mas Adi langsung menalak saya tadi pagi. Sekarang saya tidak peduli lagi dan semua yang berkaitan dengan Mas Adi, itu bukan urusan saya.""Baiklah kalau begitu. Jadi kalau misalkan Pak Adi mendapat SP atau dipecat, Bu Hesti sudah tidak peduli lagi?""Tentu saja.""Baiklah. Terimakasih. Maaf sudah menganggu waktunya."Aku mengakhiri panggilan telepon setelah pak Prawiro mengucap salam lalu segera mengirim pesan pada temanku. Stevanus. Hacker sekaligus teman SMA ku yang merupakan lulusan terbaik di fakultas IT di kampus nya.[Terima kasih telah membantuku membalas dendam pada para pengkhianat itu.]Dan tanpa menunggu lama, pesanku dibalas oleh Stevanus.[Tentu saja. Aku akan selalu membantumu. Aku masih berhutang budi banyak padamu karena menyelamatkan nyawa adikku satu-satunya.]Aku menghela nafas dan tersenyum. Aku tidak berbohong tentang viralnya video mas Adi. Karena memang bukan aku yang meng-upload nya di media sosial. Tapi aku hanya mengirimkan video yang kurekam pada Stevanus. Dialah yang selanjutnya kumintai tolong untuk memviralkan nya dengan cara yang aman.Sakit hati ini rasanya belum terbalas jika mas Adi masih bisa tersenyum dan melenggang bebas."Siapa yang menelepon mu, Hes?" tanya Mami yang mendadak ada di belakang ku.Aku menoleh pada Mami. "Pak Pranowo. Asisten Bupati."Aku lalu menceritakan semua percakapan aku dan Pak Pranowo. Mami dan Papi hanya bisa tercengang mendengarnya. Mereka semakin terkejut, saat aku menunjukkan video yang telah kurekam tadi pagi pada orang tuaku."Kenapa video itu bisa viral, Hes?" tanya Mami.Aku hanya mengedikkan bahu. "Tidak tahu. Mungkin diantara orang-orang yang kubawa kemarin ada yang merekam mereka diam-diam," sahutku cuek."Tapi kamu hebat, Hes.""Apa maksud Mami?""Kemarin kamu saat memergoki mereka tidak marah-marah kan? Biasanya istri sah kalau menangkap basah suami sedang bersama pelakor menjadi bar-bar dan akan menghajar pelakor itu. Tapi di video itu kamu tampak tenang justru mau menolong mereka.""Hm, Hesti ingin bermain cantik. Sebenarnya Hesti sudah curiga dengan perangai Lidia dan mas Adi. Karena Lidia pernah melihat mereka nonton tivi berdua saat Hesti baru pulang dinas malam di UGD. Tapi Hesti belum ada bukti. Untunglah sekarang Tuhan memberikan bukti yang jelas.Lagipula, istri sah yang membalas dengan elegan dan tampak sabar, tentu saja akan mendapatkan simpati dan dari para netizen. Dan hal itu pasti akan membuat sanksi sosial yang dialami mas Adi dan Lidia semakin berat."Papi dan Mami tampak mengangguk-anggukkan kepalanya."Tapi coba kamu jujur. Apa sedikit pun kamu tidak ingin menghajar Adi dan Lidia? Maksud Mami, misalkan kasus ini tidak viral, apa kamu tidak ingin menghajar Lidia yang tidak tahu diuntung itu?""Hm, ada sih keinginan untuk menghajar mereka habis-habisan. Istri mana sih yang nggak marah dan sangat sakit hati dikhianati oleh dua orang yang paling dipercayai?Tapi itu hanya akan mengotori tangan Hesti. Malah nanti bisa-bisa si Lidia playing victim lagi ke rumah sakit dan divisum. Dih, ogah Mi. Lagipula, viralnya mereka sudah bagian dari rencana Hesti termasuk mengalihkan aset yang telah mas Adi dan Hesti kumpulkan selama ini."Mami dan Papi tampak manggut-manggut. "Baiklah. Selama menurut kamu, hal itu merupakan yang terbaik untuk kamu, Mami dan Papi akan selalu mendukung kamu, Hes.""Terimakasih. Hesti menjadi lebih kuat karena Mami dan Papi," sahutku tersenyum.***Pagi ini aku memilih bersantai sambil menikmati secangkir kopi di taman depan. Untung saja hari ini aku sedang libur dinas. Jadi bisa bersantai, sambil menikmati kasus mas Adi dan Lidia yang tengah bergulir.Mendadak terlihat sebuah mobil berhenti di depan rumah orang tuaku. Dan terlihat Lidia turun dari mobil itu dan meninggalkannya sendirian di depan gerbang rumah.Lidia segera menerobos pagar rumah dengan muka merah padam dan mendekat ke arahku."Sudah puas kamu, Te? Gara-gara kamu, aku tidak dapat mengikuti ujian akhir sekolah dan langsung di DO!" serunya seraya menuding wajahku.POV penulisFlash back On :"Pa, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Lidia ketakutan. Adi menghela nafas di samping Lidia. Lelaki berusia 35 tahun itu juga merasa sakit kepala saat sedang menunggu mamanya yang masih pingsan. Tapi Adi masih saja berusaha mengulas senyum dan berpura-pura tenang di hadapan Lidia. "Ssst, kamu akan selalu aman. Aku akan menjagamu, Sayang."Adi memeluk Lidia perlahan dan mencium kening gadis itu. "Adi ...."Adi segera melepas pelukannya saat mendengar Mamanya yang baru saja membuka mata. "Apa Mama tidak apa-apa? Mana yang sakit, Ma?" tanya Adi sambil menghambur ke arah Mamanya. Lidia mengikuti langkah Adi dengan takut-takut. "Mama masih pusing. Apa kata Dokter tentang Mama?" tanya Mama Adi. "Hm, dokternya bilang kalau jantung Mama normal. Mama hanya mengalami tensi rendah dan asam lambung nya naik. Terus dokter nya juga bilang kalau gula darah Mama drop. Apa Mama belum sarapan?" tanya Adi sambil menatap wajah mamanya. Mamanya menatap sang a
Lidia berpegangan pada bangkunya. "Ini tidak mungkin," desisnya geram. "Lid, kok malah diam?" tanya Mita. Lidia mendadak berdiri dan tanpa mempedulikan teriakan Mita, Lidia itu berlari keluar kelas. Beberapa murid yang berdiri di kanan kiri sisi koridor menatap Lidia. Sebagian tersenyum sinis. Sebagian menyorakinya."Wah, ada pelakor junior nih. Woy Mbak, kalau mau jadi pelakor jangan ke sekolah dong. Noh, ke salon dan spa untuk perawatan, biar tetap wangi dan rapet!" seru salah seorang siswi yang iri oleh Lidia. Lidia yang memang cantik dan seksi dan merupakan anak angkat orang kaya membuat beberapa temannya iri. Apalagi Lidia juga termasuk pemilih dalam berteman. Lidia berlari ke dalam toilet perempuan dan masuk ke dalamnya. Dia meraih ponsel dengan tangan gemetar dan membuka akun sosial media berlogo F miliknya. Dan banyak sekali inbok yang masuk ke akun nya bersamaan dengan banyak japri yang diterima di whatsapp nya."Astaga! Sial*n betul Tante Hesti! Berani-beraninya mengin
"Atau kalau memang kamu mau melaporkan saya, silakan saja. Tapi asal kamu tahu jangan-jangan malah kamu yang ditangkap polisi karena berzina dengan suami orang. Ada pasalnya lo," ucap Hesti membuat nyali Lidia semakin menciut. Lidia terdiam sejenak. "Ta-tapi Tante juga mengingkari janji untuk tidak menyebarkan video penggerebekan aku dan Papa kan?"Hesti tersenyum. Kedua tangannya bersidekap di depan dada. "Sekali lagi kutegaskan padamu kalau bukan aku memviralkan video itu.""Tidak mungkin. Cuma Tante yang merekam kami saat tertangkap kemarin. Sudahlah, nggak usah ngeles. Tante benar-benar jahat dan tega sama saya dan Papa! Seharusnya Tante harus tahu, apa yang dirasakan Verico nanti kalau tahu Papanya viral karena video mes*m?" tanya Lidia dengan tatapan menghiba. "Hm, Baiklah. Ada dua hal yang perlu kamu tahu saat ini. Satu, kamu tahu sendiri saat aku ada di hotel kemarin, ada lima orang dari pihak hotel dan tiga orang dari pihak rumah sakit. Yah, siapa tahu saja, salah satu dari
Lidia segera menuju pintu dan membukanya, dan sesaat kemudian dia terkejut. "Astaga, ada apa ini?" tanya Lidia kaget saat ada dua mobil pick up yang datang ke rumah ibunya. Berbagai barang tampak teronggok di atas pick up. "Pa ...! Papa! Kemari Pa, cepat!" seru Lidia memanggil Adi. Adi segera berdiri dan menuju ke pintu depan lalu melongo melihat ada koper, tivi, meja dan kursi belajar, lemari, komputer dan banyak barang lainnya. "Ada apa ini?" Seorang laki-laki membuka pintu kemudi lalu mendekat ke arah Adi. "Permisi Pak. Apa ini benar rumah Mbak Lidia? Kami hanya ingin mengantar barang saja."Lidia mengangguk dengan kaku lalu menyingkir untuk memberi ruang pada sopir dan temannya untuk memasukkan barang yang ada di atas mobil pick up. "Dimana kami meletakkan barang-barang ini, Pak?" tanya supir pick up pada Adi. Adi yang sedang tercengang segera duduk di kursi sofa sambil memegangi kepalanya yang mendadak terasa pusing. "Loh, ada apa ini? Kamu beli perabotan baru untuk Ibu?
Adi tercengang mendengar ide Lidia. "Hah? Apa kamu bilang?"Lidia mengedikkan bahunya. "Yah, bisa saja dong. Apanya yang salah? Kita cuma pura-pura menculik Verico agar dapat uang dari Tante Hesti.Begitu mendapat uang, tentu saja Verico kita lepaskan dengan selamat," tukas Lidia masih berusaha mengompori Adi. Adi terdiam dan merenung. "Papa tidak setuju, kamu pikir Hesti bisa begitu saja dikibulin? Hesti bisa melakukan apapun untuk membuat kita semakin sial. Sudahlah, kamu terima saja dulu soal Hp kamu. Papa sedang pusing karena memikirkan cari pekerjaan baru.""Huh, Papa ini gimana sih? Katanya sayang sama cinta? Cuma janji doang. Enggak ada bukti! Lidia kecewa sama Papa!" seru Lidia merengek. "Aduh, kamu itu semakin membuat Papa pusing. Kalau begitu, Papa akan langsung cairkan deposito untuk membelikan kamu Hp baru.""Nah, gitu dong. Papa memang yang terbaik. Lidia sayang banget sama Papa. Dan juga Lidia mau minta tolong, tapi Lidia takut Papa marah.""Kamu mau minta tolong apa,
Flash back on : "Kamu yakin ingin membawa Verico liburan ke pantai berdua?" "Ya Mi. Hesti sudah ijin ke TKnya Verico. Rasanya Hesti butuh piknik.""Hm, biarkan saja Mi. Kasihan Hesti. Dia baru saja menerima kenyataan pahit akibat perbuatan Adi dan Lidia. Jadi lebih baik, memang Hesti pergi berlibur dengan Verico," tukas Papi Hesti. Maminya menghela nafas. "Baiklah. Kalau begitu, Mami hanya bisa mendoakan kamu, Hes. Semoga menikmati jalan-jalannya. Kamu yakin Papi dan Mami tidak perlu menemanimu?"Hesti mengangguk mantap. "Iya. Hesti cuma ingin berlibur berdua dengan Verico. Yah, menenangkan diri dan menghibur diri.""Baiklah. Ngomong-ngomong apa yang akan kamu lakukan dengan rumah yang kamu bangun bersama dengan Adi?""Hesti akan menjualnya, Mi. Dan uangnya untuk membeli rumah baru. Untung saja dulu sertifikat nya atas nama Hesti. Ditambah pula ada perjanjian tentang harta gono-gini yang menjadi milik Verico membuat Hesti mudah memproses penjualan rumah itu.""Yah, baguslah kalau k
"Hah? Apa kamu bilang Mas?" seru Hesti dengan ekspresi kesal dari samping tempat duduk Narendra.Narendra tertawa dan merasa tidak enak berada diantara kedua mantan pasangan suami istri tersebut. "Iya deh. Aku ngaku. Hesti mantan istriku. Kami baru saja berpisah," sahut Adi lirih. Narendra menghela nafas panjang. "Yah, itu urusan pribadi kalian sih. Maaf tadi sempat bertanya apa kamu kenal dengan Mbak Hesti atau tidak.""Iya. Nggak apa-apa. Eh, tapi kok kamu bisa semobil dengan Hesti?" tanya Adi penasaran. "Hm, yah. Ceritanya panjang. Enggak enak kalau cerita sekarang. Aku lagi nyetir nih.""Hm, nggak enak cerita karena lagi nyetir apa karena kalian berdua ada hubungan?" tanya Adi membuat Narendra kaget sehingga mengerem mobilnya mendadak. Ccittt!Hesti dan Verico nyaris terjungkal karena Narendra yang mengerem mobilnya secara tiba-tiba. Untung saja jalan raya dalam kondisi sepi. "Maaf, maafkan saya Mbak Hesti, tadi saya terkejut sekali."Hesti menarik nafas panjang. "Iya. Nggak
Sesampainya di halaman rumah Hesti, Narendra segera turun dari mobil, namun baru saja berjalan beberapa langkah ke arah pintu rumah, sebuah benda menghantam kepala Narendra. Duaaaagh!Aduh!Narendra memegang kepalanya yang terasa karena lemparan bola yang mendarat tepat di dahinya. Lelaki itu memandang bola yang menggelinding di kakinya dan berjongkok untuk memungutnya. "Om, maaf. Kena bola ya?"Sebuah suara menyapa Narendra. Lelaki berperawakan tegap itu mendongak ke asal suara dan tampaklah Verico yang sedang berdiri dengan wajah cemas di hadapannya. "Om, kok bengong? Waduh, jangan-jangan Verico terlalu keras yang nendangnya sampai Om lupa ingatan?" tanya bocah berusia lima tahun itu dengan cemas. Verico menahan tawa. Tapi di saat yang sama mendadak selintas bayangan almarhum anak lelakinya muncul di kepalanya."Om, tenang saja. Mamaku seorang dokter. Nanti kalau Mama datang, biar Om diobati oleh Mama," sahut Verico sambil mendekat ke arah Narendra. Tapi Verico terlihat ragu u